kanannya terkena totokan gagang kipas.
Seketika tangannya kejang dan hampir saja ia melepaskan pedang, baiknya dengan gerakan yang cepat
bukan main Kwee Seng sudah memulihkan totokan lagi sehingga gadis itu dapat menyambar pedangnya
yang sudah terlepas tadi.
Dasar gadis yang tak dapat menerima kekalahan, begitu pedangnya terpegang lagi ia terus menyerang
dengan hebat!
"Aiihh...!" Kwee Seng berseru dan tubuhnya berkelebat. Terpaksa ia mempergunakan ilmunya yang
hebat, yaitu Pat-sian Kiam-hoat yang sudah ia gabung dengan Ilmu Kipas Lo-hain San-hoat (Ilmu Kipas
Pengacau Lautan). Kipasnya mengebut pedang lawan dan selagi pedang itu miring letaknya, gagang
kipasnya menotok dan... kini seluruh tubuh Lu Sian menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi!
Kwee Seng cepat menempel pedang lawan dengan kipasnya, merampas pedang itu di antara kipas
sambil jari tangan kirinya membebaskan totokan! Lu Sian dapat bergerak lagi akan tetapi pedangnya
sudah terampas. Gadis itu marah bukan main, siap menerjang dengan tangan kosong berdasarkan
kenekatan.
"Lu Sian, cukup ! Haturkan terima kasih kepada calon suami atau gurumu! Ha-ha-ha!" teriak Pat-jiu
Sin-ong sambil melompat ke atas panggung. Tepuk tangan riuh menyambut kemenangan Kwee Seng ini,
sedangkan Lu Sian lari ke dalam tanpa menoleh lagi.
Sambil merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong berkata lantang kepada para tamunya. "Sahabat
mudaku Kwee Seng telah menang mutlak atas puteriku dan dia berhak menjadi calon mantuku. Akan
tetapi, karena dia pun seorang aneh, tidak kalah anehnya dengan aku sendiri, hanya dia yang dapat
menentukan apakah perjodohan ini diteruskan atau tidak.
Betapapun juga, ia sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang tadi mengalahkan puteriku kepada Liu
Lu Sian. Suami atau guru, apa bedanya? Ha-ha-ha-ha-ha!"
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Orang tua itu menggandeng tangan Kwee Seng untuk di ajak minum sepuasnya. Sedangkan para tamu
mulai menaruh perhatian dan mempercakapkan pemuda pelajar yang tampaknya lemah-lembut itu.
Beberapa orang tokoh tua segera mengenal Kwee Seng sebagai Kim-mo-eng dan mulai saat itu,
terkenallah nama Kim-mo-eng Kwee Seng.
Tiga hari kemudian, Kwee Seng dan Lu Sian kelihatan menunggang dua ekor kuda keluar dari kota raja
Kerajaan Nan-cao. Seperti telah ia janjikan, setelah menangkan pertandingan, ia akan mengajarkan ilmu
kepada Lu Sian dan gadis itu harus menyertai peraturannya sampai menerima pelajaran itu.
Pat-jiu Sin-ong memberi dua ekor kuda yang baik, berikut seguci arak kepada Kwee Seng karena
selama tiga hari di tempat itu, pemuda ini siang malam hanya makan minum dan mabuk-mabukan saja,
manjadi seorang peminum yang luar biasa.
Betapapun juga, melihat mereka naik kuda berendeng, memang keduanya merupakan pasangan yang
amat setimpal. Wajah Lu Sian nampak berseri, karena betapapun juga, menyaksikan sikap Kwee Seng,
gadis ini dapat menduga bahwa sebetulnya pemuda yang tampan dan sakti ini jatuh hati kepadanya.
Pandang mata pemuda itu dapat ia rasakan dan diam-diam merasa girang sekali. Memang sudah
menjadi waatak Lu Sian, makin banyak pria jatuh hati kepadanya makin giranglah hatinya, apalagi kalau
kemudian ia dapat mematahkan hati orang-orang yang mencintainya itu!
"Kwee-koko (Kakanda Kwee), kemanakah kita menuju?" Tanya Lu Sian dengan suara halus dan
manis, bahkan mesra. Kwee Seng memeluk guci araknya dan menoleh ke kiri. Melihat wajah ayu itu
menengadah, mata bintang itu menatapnya dan mulut manis itu setengah terbuka, hatinya tertusuk dan
cepat-cepat ia membuang muka sambil memejamkan matanya,
"Ke mana pun boleh!" jawabnya tak acuh, lalu menenggak araknya sambil duduk di punggung kuda
tanpa memegangi kendalinya.
"Eh, bagaimana ini? kau yang mengajak aku. Biarlah kita ke timur, sampai ditepi sungai Wu-kiang yang
indah. Bagaimana koko?" "Hemm, baik. Ke lembah Wu-kiang!" jawab Kwee Seng.
Lu Sian membedal kudanya dan Kwee Seng masih tetap duduk sambil minum arak, akan tetapi kudanya
dengan sendirinya mencongklang mengikuti kuda yang dibalapkan Lu Sian.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari daerah kota raja, memasuki hutan. Kembali Lu Sian
menahan kudanya, dan kuda Kwee Seng juga ikut berhenti.
"Kwee-koko, mengapa kau hanya minum saja? Kita melakukan perjalanan sambil bercakap-cakap, kan
menyenangkan? Apa kau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku? Kwee-koko, hentikan
minummu, kau pandanglah aku!"
Mulai jengkel hati Lu Sian yang merasa diabaikan atau tidak diacuhkan. Kwee Seng menoleh lagi ke
kiri, makin terguncang jantungnya dan kembali ia menenggak araknya!
"Nona, tidak apa-apa, aku senang melakukan perjalanan ini. Ah arak ini wangi sekali!"
Lu Sian cemberut dan tidak menjalankan kudanya. "Uh, wangi arak yang menjemukan ! Masa kau tidak
bosan-bosan minum setalah tiga hari tiga malam terus minum bersama ayah ? Kwee-koko, aku" aku
pernah disebut ayah bunga kecil harum dan orang-orang di sana semua mengatakan bahwa ada ganda
harum sari seribu bunga keluar dari tubuhku. Apakah kau tidak mencium ganda harum itu?"
Kwee Seng tersentak kaget. Alangkah beraninya gadis ini ! Alangkah bebasnya dan genitnya !
Mengajukan pernyataan dan pertanyaan macam itu kepada seorang pemuda. Dia sendiri yang
mendengarnya menjadi merah wajahnya, akan tetapi secara jujur ia berkata, "Memang ada aku mencium
bau harum itu, nona, semenjak kita bertanding ganda harum itu tidak eh, tidak pernah terlupa olehku. Eh,
bagaimana ini!" Ia tergagap dan untuk menutupi malunya kembali ia menenggak araknya. Lu Sian
menahan tawanya dan hatinya makin gembira. Kiranya laki-laki ini tiada bedanya dengan yang lain,
mahluk lemah dan bodoh, canggung dan kaku kalau berhadapan dengan gadis ayu ! Alangkah akan
senang hatinya dapat mempermainkan laki-laki ini, mempermainkan pendekar yang memiliki kepandaian
tinggi, yang kesaktiannya menurut ayahnya ketika membisikkan pesan tadi, tidak berada di sebelah
bawah tingkat ayahnya !
"Kwee Seng, berhenti!!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang pada saat Kwee Seng sedang
minum araknya di awasi oleh Lu Sian. Gadis itu terkejut karena mengenal suara bentakan. Cepat ia
membalikkan tubuh diatas punggung kudanya.
"Ma-susiok (Paman Guru Ma)! Ada keperluan apakah Susiok menyusul kami?" Biarpun masih duduk di
atas kudanya membelakangi mereka yang baru datang, Kwee Seng tahu bahwa yang datang adalah dua
orang. Kemudian ia merasa heran juga ketika mendengar suara Ma Thai Kun berubah sama sekali dalam
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
jawaban pertanyaan Lu Sian.
"Lu Sian, kau menjauhlah dulu. Urusan ini adalah urusan antara Kwee Seng dengan aku dan percayalah,
tindakanku ini sesungguhnya demi kebaikan dirimu."
Kwee Seng adalah seorang pemuda yang amat halus perasaanya. Ia maklum orang macam bagaimana
adanya sute ke dua dari Pat-jiu Sin-ong ini, seorang kasar dan pemarah, sombong dan tinggi hati.
Mengapa tiba-tiba terkandung getaran halus yang amat berlawanan dengan wataknya itu ketika bicara
terhadap Lu Sian ?
Tiba-tiba ia teringat akan semua peristiwa di Nan-cao dan keningnya berkerut. Tahulah ia sekarang
sebabnya dan sekaligus terbongkar sudah olehnya semua rahasia pembunuhan di Beng-kauw. Hal ini
mendatangkan marah di hatinya dan ia berkata.
Nona, lebih baik kau menuruti permintaan susiokmu. Kau minggirlah, dan biar aku bicara dengannya.Liu
Lu Sian tersenyum dan menjauhkan kudanya dengan wajah berseri. Hal inilah yang tidak dimengerti oleh
Kwee Seng. Mengapa gadis itu malah tersenyum seperti orang bergembira padahal jelas bahwa paman
gurunya mempunyai niat tidak baik terhadap dirinya ? Ia tidak peduli, lalu meloncat turun dari atas
kudanya dengan guci arak masih di tangan kiri, sambil membalik sehingga ketika kedua kakinya
menginjak tanah, ia berhadapan dengan Ma Thai Kun dan seorang laki-laki muda yang sikapnya tenang
sungguh-sungguh, berpakaian sederhana memakai caping dan punggungnya terhias sebatang cambuk.
Ma Thai Kun merah mukanya, alisnya berkerut dan sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan.
Ma Thai Kun, katakanlah kehendak hatimu sekarang. Kwee Seng, kau seorang yang telah menghina
Beng-kauw ! Kau tidak memandang mata kepada tokoh-tokoh Beng-kauw, mengandalkan kepandaian
mengalahkan seorang wanita muda, mengandalkan mulut manis mengelabuhi seorang tua. Twa-suheng
boleh saja kau kelabuhi, akan tetapi aku Ma Thai Kun takkan membiarkan kau pergi menggondol
keponakanku begitu saja untuk melaksanakan niatmu yang kotor!
Wah-wah ! Hatimu dan pikiranmu sendiri berlepotan noda, kau masih bicara tentang niat kotor orang
lain. Bagus sekali mengenal tangan mautmu yang telah kau pergunakan untuk membunuh tujuh orang
pemuda di rumah penginapan dan tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Nona Liu Lu Sian!
Ma-susiok ! Betulkah itu?Tiba-tiba Lu Sian yang mendengar kata-kata ini bertanya dengan suara
terdengar gembira. Benar-benar Kwee Seng tidak mengerti dan sekali lagi ia terheran-heran atas sikap
Lu Sian ini.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Merah wajah Ma Thai Kun. Memang betul aku membunuh mereka. Cacing-cacing tanah itu tak tahu
malu dan berani mengharapkan yang bukan-bujan, orang-orang macam mereka mana patut memikirkan
Lu Sian ? Aku membunuh mereka apa sangkut-pautnya dengan kau, Kwee Seng?
Suheng Kenapa kau lakukan kekejaman itu ? Bukankah Ji-suheng sudah melarang kitaOrang muda
bertopi runcing itu bertanya, suaranya penuh kekuatiran.
Sute, tak usah kauturut campur ! Kau anak kecil tahu apa!
Kwee Seng tertawa bergelak. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa orang muda yang menjadi adik
seperguruan Ma Thai Kun ini seorang yang jauh bedanya dengan saudara-saudara seperguruannya, jauh
lebih bersih batinnya.
Ma Thai Kun, memang urusan dengan pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi
pembunuhan keji itu tak boleh kudiamkan saja tanpa menegurmu. Apalagi, kau masih menitipkan sebuah
benda kepadaku, apakah kau tidak ingin memintanya kembali?Sambil berkata demikian, Kwee Seng
mengeluarkan sebatang jarum merah dari saku bajunya. Kau mengenal ini ? Kau menghadiahkan ini
kepadaku selagi aku tidur, dan untuk kebaikan hati itu aku belum membalasnya.Kwee Seng menyindir.
Berubah wajah Ma Thai Kun. Kau kaukah jahanam itu ?bentaknya dan tanpa memberi peringatan lagi ia
sudah menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya mengirim serangan maut dengan
pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sin-kang sepenuhnya.
iii . aiih. inikah tangan maut yang mengandung racun merah itu ?Kwee Seng mengelak sambil mengejek
dan tiba-tiba dari dalam guci arak itu meleset keluar bayangan merah dari arah yang mencrat dan
menyerang muka Ma Thai Kun. Biarpun hanya benda cair, karena arak itu digerakkan oleh tenaga
lwee-kang, terasa seperti tusukan jarum. Ma Thai Kun cepat mengibaskan tangannya dan hawa
pukulannya membuat arak itu pecah bertebaran. Akan tetapi mendadak sebuah guci arak yang sudah
kosong melayang ke arah kepalanya. Ma Thai Kun menangkis dengan tangan kirinya.Brakkk !guci itu
pecah pula berkeping-keping. Namun Kwee Seng sudah merasa puas. Serangannya yang mendadak
dapat memecahkan rahasia gerakan Ma Thai Kun, maka ia sudah dapat menyelami dasarnya. Maka
ketika Ma Thai Kun menerjangnya lagi, ia menyambut dengan gerakan kedua tangan yang sama kuatnya.
Kwee Seng tidak mengeluarkan senjata melihat lawannya juga bertangan kosong.
Memang di antara para saudara seperguruannya, Ma Thai Kun terkenal seorang ahli silat tangan kosong
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
yang tak pernah menggunakan senjata. Namun, kedua tangannya merupakan sepasang senjata yang
mengandung racun, menggila dahsyat dan ampuhnya ! Jarang ia menemui tandingan, apalagi kalau
lawannya juga bertangan kosong. Baru beradu lengan dengannya saja sudah merupakan bahaya bagi
lawan.
Namun kali ini Ma Thai Kun kecelik. Lawannya biarpun masih muda, namun telah memiliki tingkat
kepandaian yang sangat tinggi sekali. Biarpun ia tidak mengisi kedua lengannya itu telah kebal terhadap
hawa-hawa beracun yang betapa ampuhnya pun juga, karena ketika ia merantau dan berguru kepadanya
pertapa-pertapa di Pegunungan Himalaya, ia telah melatih dan menggembleng kedua lengannya dengan
obat-obat mujijat, juga di dalam pertempuran berat ia selalu Mengisi kedua lengannyadengan hawa sakti
dari dalam tubuhnya.
Pertandingan itu hebat bukan main. Setiap gerakan tubuh, baik tangan maupun kaki, membawa angin
dan menimbulkan getaran, bahkan tanah yang mereka jadikan landasan serasa tergetar oleh
tenaga-tenaga dalam yang tinggi tingkatnya. Beberapa kali Ma Thai Kun menggereng dalam pengerahkan
tenaga racun merah, disalurkan sepenuhnya ke dalam lengan yang beradu dengan lengan lawan. Namun
akibatnya, dia sendiri yang terpental dan merasa betapa hawa panas di lengannya membalik. Makin
merahlah ia dan terjangannya makin nekat.
Ma Thai Kun, manusia macam kau ini semestinya patut dibasmi. Akan tetapi mengingat akan
persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong, melihat pula muka nona Liu Lu Sian yang masih terhitung murid
keponakan dan melihat muka adik seperguruanmuyang bersih hatinya, aku masih suka mengampunkan
engkau. Pergilah!
Sambil berkata demikian, tiba-tiba Kwee Seng merendahkan tubuhnya, setengah berjongkok dan kedua
lengannya mendorong ke depan. Inilah sebuah serangan dengan tenaga sakti yang hebat. Tidak ada angin
bersiut, akan tetapi Ma Thai Kun merasa betapa tubuhnya terdorong tenaga yang hebat dan dahsyat. Ia
pun merendahkan diri, mendorongkan kedua lengannya untuk bertahan, namun akibatnya, terdengar
bunya berkerotokan pada kedua lengannya dan tubuhnya terlempar seperti layang-layang putus talinya,
lalu ia roboh terguling dan kedua lengannya menjadi bengkak-bengkak.
Orang she Kwee, kau melukai suhengku, terpaksa aku membelanya!kata orang muda bertopi runcing
sambil melepaskan cambuknya dari punggung.
Saudara yang baik, siapakah namamu?Kwee Seng bertanya, suaranya halus."Aku bernama Kauw Bian,
saudara termuda dari Twa-suheng Liu Gan.Hemm, kaulihat kau seorang yang jujur dan baik. Mengapa
engkau henndak membela orang yang meyeleweng daripada kebenaran?
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Tindakan Sam-suheng memang tidak kusetujui, akan tetapi sebagai sutenya, melihat seorang suhengnya
terluka lawan, bagaimana aku dapat diam ? Kewajibankulah untuk membelanya ! Orang she Kwee, hayo
keluarkan senjatamu dan lawanlah cambukku ini!Setelah berkata demikian, Kauw Bian menggerakkan
cambuknya keatas dan terdengar bunyi Tar-tar-tar!nyaring sekali. Diam-diam Kwee seng kagum sekali.
Cambuk itu biarpun kelihatan seperti cambuk biasa, namun ditangan orang ini dapat menjadi senjata yang
ampuh sekali. Dan ia kagum akan isi jawaban yang membayangkan kejujuran budi dan kesetiaan yang
patut dipuji. Maka Kwee Seng segera menjura dan berjata.
Kauw-enghiong, sikapmu membuat aku lemas dan aku mengaku kalah terhadapmu. Maafkanlah, aku
tidak mungkin mengangkat senjata melawan seorang yang benar, dan aku pun percaya kau tidak seperti
Suhengmu untuk menyerang seorang yang tidak mau melawan.Setelah berkata demikian, Kwee Seng
melompat keatas kudanya, menoleh kepada Lu Sian sambil berkata.
Nona, terserah kepadamu ingin melanjutkan perjalanan bersamaku atau tidak.Lalu ia melarikan kudanya
pergi dari situ. Liu Lu Sian tercengang sejenak lalu tersenyum dan membedal kudanya pula, mengejar.
Tinggal Kauw Bian yang masih memegang pecut, tidak tahu harus berbuat apa dan hanya dapat
memandang dua buah bayangan yang makin lama makin kecil dan akhirnya lenyap itu.
Kauw Bian-sute ! Adik macam apa kau ini ? Kenapa tidak serang dia?Kauw Bian terkejut dan cepat
menoleh. Kiranya Ma Thai Kun sudah berdiri di belakangnya, meringis kesakitan dan ke dua lengannya
masih bengkak-bengkak.
Tidak mungkin, Suheng. Dia tidak mau melawanku, bagaimana aku bisa menyerang orang yang tidak
mau melawan?
Ahhh, dasar kau lemah. Mendadak Ma Thai Kun menghentikan omelannya karena mendadak bertiup
angin dan sesosok tubuh tinggi besar melayang turun.
Kiranya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang datang. Jelas bahwa tokoh ini marah, sepasang matanya melotot
memandang Ma Thai Kun dan begitu kakinya menginjak tanah, ia lalu membentak.
Ma Thai Kun ! Bagus sekali perbuatanmu, ya ? Kau layak dipukul seperti anjing!Tangan kiri Liu Gan
bergerak dan Plakkk, plakkk!telapak dan punggung tangan sudah menampar cepat sekali mengenai
sepasang pipi Ma Thai Kun yang terhuyung-huyung ke belakang. Pucat muka Ma Thai Kun dan matanya
menyipit berbahaya ketika berdongak memandang.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Twa-suheng, apa kesalahanku? Masih bertanya tentang kesalahannya lagi ? Anjing hina kau ! Kau, tua
bangka, kau berani menaruh hati cinta kepada puteriku, keponakanmu ? Penghinaan besar sekali ini,
tidak dapat diampunkan!
Suheng, apa buktinya? Setan alas ! Kaukira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu ? Sebelum kau
membunuhi pemuda-pemuda itu, pada malam hari itu kau membujuk-bujuk Lu Sian dengan kata-kata
merayu, kau menyatakan cintamu dan minta kepada Lu Sian agar jangan mau diadakan pemilihan jodoh.
Huh, tak malu ! Dan kau begitu cemburu dan membunuhi para pemuda yang tergila-gila kepada Lu Sian,
malah engkau membunuh tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Lu Sian. Kemudian sekarang kau
berani mampus menghadang Kwee Seng sehingga dikalahkan dan karenanya menampar mukaku.
Keparat!!
Mendengar ini semua, Kauw Bian mukanya sebentar merah sebentar pucat saking heran, terkejut, dan
bingung mendengar kelakuan Sam-suheng (Kakak Seperguruan ke Tiga). Namun Ma Thai Kun malah
tersenyum.
Twa-suheng, semua itu memang benar ! Akan tetapi, apa salahnya kalau aku mencinta Lu Sian ! Dia
wanita dan aku laki-laki ! Agama kita tidak melarang akan hal ini, tidak melarang perjodohan antar
keluarga, apalagi antara kita hanya ada hubungan keluarga seperguruan. Twa-suheng, memang aku
mencinta Lu Sian dengan sepenuh jiwaku. Lu Sian sendiri tidak marah mendengar pengakuanku,
mengapa Suheng marah-marah?
Gemertak bunyi gigi dalam mulut Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Jahanam hina ! Apa kau kira menjadi tanda
bahwa dia membalas cintamu ? Huh, goblok dan hina ! Lu Sian selalu akan gembira mendengar orang
laki-laki jatuh cinta kepadanya, karena ia ingin menikmati kelucuan badut-badut itu ! Kau sama sekali
tidak memandang mukaku, maka kau harus binasa sekarang juga!Liu Gan sudah bergerak maju, akan
tetapi ia menarik kembali tangannya ketika melihat Kauw Bian melompat ke tengah menghalanginya.
Kauw Bian Sute, mau apa?? Maaf, Twa Suheng. Terus terang saja siauwte seendiri tidak setuju
perbuatan Ma-suheng itu. Akan tetapi, Twa-suheng, betapapun besar kesalahannya, kiranya tidaklah
baik kalau Twa-suheng menjatuhkan hukuman mati kepada Ma-suheng. Pertama, mengingat akan
saudara seperguruan, ke dua hal itu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw dan merendahkan
nama besar Twa-suheng, malah menyeret pula nama Beng-kauw yang kita cintai. Betapa dunia
kang-ouw akan gempar kalau mendengar bahwa Ketua Beng-kauw
membunuh adik seperguruannya sendiri.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Liu Gan mengerutkan kening, menarik napas panjang dan memeluk sutenya yang paling muda dan
memang paling ia saying itu. Ah, Siauw-sute ! Kau masih begini muda namun pandanganmu luas,
pikiranmu sedalam lautan. Untung ada engkau yang dapat menahan kemarahan ku. Eh, Ma Thai Kun,
minggatlah kau ! Mulai detik ini, aku tidak sudi lagi melihat mukamu dan kalau kau berani muncul di
depanku, hemmm, aku tidak peduli lagi, pasti aku akan membunuhmu !
Ma Thai Kun menjura dalam-dalam lalu membalikkan tubuh dan lenyap di antara pohon-pohon. Kauw
Bian menarik napas panjang dan mengusap dua titik air matanya dari pipi.
Kau menangis, Sute ?Liu Gan bertanya heran. Dengan suara serak Kauw Bian menjawab, masih
membalikkan tubuh memandang ke arah perginya Ma Thai Kun. Perbuatan manusia selalu mendatangkan
kebaikan dan keburukan, Twa-suheng. Kalau kita mengingat yang buruk-buruk saja memang dapat
menimbulkan benci. Akan tetapi saya teringat akan kebaikan-kebaikan Ma-suheng selama menjadi
kakak seperguruan, dan bagaimana hati saya takkan sedih melihat dia pergi untuk selamanya ?
Betapapun juga, beginilah agaknya yang paling baik. Dengan penuh duka adikmu ini melihat betapapun
juga Ma-suheng pergi membawa serta dendam dan kebencian yang hebat, yang tentu akan membuatnya
nekat dan melakukan hal-hal yang berbahaya. Akan tetapi karena Twa-suheng mengusirnya, berarti
bahwa semua perbuatannya tiada sangkut-pautnya dengan Beng-kauw.
Mendengar kata-kata ini, berkerut kening Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Hemmm, agaknya benar lagi
pendapatmu tentang baik buruk yang lekat pada perbuatan manusia. Kwee Seng kelihatan seorang yang
pilihan, akan tetapi siapa tahu sewaktu-waktu sifat buruknya akan menonjol pula. Kauw Bian Sute, kau
kembalilah dan bantulah Suhengmu Liu Mo menjaga Beng-kauw dan beri laporan kepada Sri Baginda
bahwa aku akan merantau selama dua tiga bulan.
Twa-suheng hendak membayangi perjalanan Kwee Seng dan Lu Sian ? Itu baik sekali, Twa-suheng,
karena perjalanan bersama antara seorang pri dan wanita, sungguh merupakan bahaya besar yang
bahayanya lebih banyak mengancam si wanita daripada si pria.
Sute, kau benar-benar berpemandangan tajam. Nah, aku pergi !Pat-jiu Sin-ong Liu Gan berkelebat,
angin menyambar dan ia sudah lenyap dari depan Kauw Bian. Pemuda yang berpakaian sederhana
seperti pengembala ini menarik napas panjang saking kagumnya, kemudian ia pun melangkah pergi dari
hutan itu.
Musim dingin telah tiba dan melakukan perjalanan pada musim dingin bukanlah hal yang menyenangkan
atau mudah. Apalagi kalau hanya menunggang kuda tanpa ada tempat untuk berlindung dari serangan
hawa dingin yang menusuk tulang, tidak mengenakan baju bulu yang tebal, tentu perjalanan itu akan
mendatangkan sengsara dan juga bahaya mati kedinginan.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Namun, tidak demikian agaknya bagi Kwee Seng dan Liu Lu Sian. Dua orang muda ini bukanlah
orang-orang biasa, melainkan pendekar-pendekar yang sudah gemblengan yang dengan ilmunya telah
dapat menyelamatkan diri daripada serangan hawa dingin tanpa bantuan benda luar seperti baju tebal dan
selimut. Mereka melakukan perjalanan seenaknya dan hanya mengaso kalau kuda yang mereka tumpangi
sudah lelah dan kedinginan.
Pada siang hari itu, mereka mengaso di pinggir Sungai Wu-kiang yang mengalirkan airnya perlahan-lahan
ke jurusan timur. Airnya tampak tenang dan sedikit pun tidak bergelombang, membayangkan bahwa
sungai itu amat dalam. Lu Sian menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh dua ekor kuda
mereka, juga dengan bantuan api, mereka merasa nikmat dan hangat.
Kwee-koko, sudah dua pekan kita melakukan perjalanan, akan tetapi belum juga kau penuhi dua
permintaanku.Lu Sian berkata sambil mengorek-orek kayu membesarkan nyala api.
Nona ? Nah, yang dua belum dipenuhi, yang satu dilanggar pula. Berapa kali sudah kukatakan supaya
kau jangan menyebut Nona kepadaku ? Wah, pelajar apakah kau ini, Begitu pikun dan kurang perhatian
? Mana bisa maju mempelajari sastra begitu sulitnya!
Kwee Seng menarik napas panjang. Gadis ini memang hebat. Tidak saja benar-benar mempunyai
kecantikan yang asli dan gilang-gemilang, yang cukup meruntuhkan hatinya, namun juga memiliki watak
yang kadang-kadang membuat ia bertekuk lutut karena ia jatuh hatinya. Watak yang berandalan, namun
seakan-akan dapat menambah terangnya sinar matahari, menambah merdu kicau burung, menambah
meriah suasana dan menjadikan segala apa yang tampak berseri-seri. Akan tetapi, juga makin yakin
hatinya bahwa di balik segala keindahan, segala hal-hal yang menjatuhkan hatinya ini, tersimpan sifat-sifat
lain yang amat bertentangan dengan hatinya. Sifat kejam dan ganas, tidak mempedulilkan orang lain,
terlalu cinta kepada diri sendiri, dan tidak mau kalah, ingin selalu menang dan berkuasa saja.
Memang aku seorang pelajar yang gagal, tidak lulus ujian.Ia menjawab kemudian menambahkan. au
minta aku menceritakan riwayatku, apakah gunanya ? Aku tidak ada riwayat yang pantas menjadi cerita,
aku seorang sebatang kara, yatim piatu, miskin dan gagal. Apalagi ? Tentang permintaanmu ke dua
mempelajari ilmu silat yang sedikit-sedikit aku bisa, nantilah, belum tiba saatnya.
Wah, kau jual mahal, Koko!Lu Sian mengejek dan mengisar duduknya mendekati pemuda itu. Memang
demikianlah selalu sikap Lu Sian, terhadap siapapun juga. Jinak-jinak merpati, tampaknya jinak tapi tak
mudah didekati ! Hawa begini dingin, kalau ditambah sikapmu, bukankah kita akan menjadi beku ? Eh,
Kwee-koko, kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah seorang ahli silat yang lihai, kau ini pelajar gagal
dan murung mengingatkan aku akan seorang penyair yang sama segalanya dan sama murungnya dengan
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
engkauhi hikGadis ini menutup mulutnya dengan tangan, akan tetapi matanya jelas mentertawakan Kwee
Seng.
Penyair mana yang kau maksudkan?Biarpun tahu gadis itu hanya menggodanya, namun bicara tentang
syair dan menyair menimbulkan kegembiraan selalu bagi Kwee Seng.
Siapa lagi kalau bukan Tu Fu ! Pernah aku mendengar ayah bicara tentang syair-syairnya, mengerikan!
Mengapa mengerikan kalu dia selalu mencurahkan isi hatinya berdasarkan kenyataan dan terdorong oleh
rasa kasihan kepada sesamanya?
Bukan rasa kasihan kepada sesamanya, Koko, Melainkan rasa kasihan kepada diri sendiri ! Karena
keadaannya miskin terlantar, dia pandai bicara tentang kemiskinan. Coba dia itu kaya raya, atau
andaikata tidak kaya harta benda, sedikitnya kaya akan cinta kasih kepada alam seperti penyair yang
seorang lagieh, siapa itu yang suka memuji-muji alam, yang sukamabok-mabokan, gila arak seperti kau
pula
Kau maksudkan penyair Li Po? Na, dia itulah. Kalau Seperti Li Po yang memandang dunia dari segi
keindahan, tentu dalam kemiskinannya Tu Fu takkan begitu pahit dan pedas sajak-sajaknya. Wah, aku
seperti mengajar itik berenang ! Kau tentu lebih tahu dan pandai. Aku paling ngeri mendengar syair Tu Fu
tentang anggur, daging dan tulang. Bagaimana bunyinya, Kwee-koko?
Kwee Seng meramkan mata, menengadahkan mukanya yang tampan ke atas lalu mengucapkan syair
ciptaan Tu Fu dengan suara bersemangat, terpengaruh oleh isi sajak yang memaki-maki keadaan pada
waktu itu.
Di sebelah dalam pintu gerbang merah hangat indah serba mewah anggur dan daging bertumpuk-tumpuk
sampai masam rusak membusuk ! Di sebelah luar pintu gerbang merah dinding kotor serba miskin
berserakan tulang-tulang rangka mereka yang mati kedinginan dan kelaparan!
Iiiihhh ! Itu bukan sajak namanya!Lu Sian mencela, kelihatan jijik dan ngeri, Tidak enak benar
mendengarkan sajak seperti itu.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Memang sajak itu keras dan tegas, agak berlebihan, namun mengandung kegagahan yang tiada
bandingnya, Noneh, Moi-moi.
Sepasang bibir indah merah terbelah memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara ketika Lu Sian
mendengar sebutan moi-moi (dinda) itu. Diam-diam ia mentertawakan Kwee Seng di dalam hatinya.
Katakanlah kau menang dalam ilmu silat, boleh kau mengira dirimu gagah perkasa dan tampan, namun
alangkah mudahnya kalau aku mau menjatuhkanmu, membuatmu bertekuk lutut di depan kakiku !
Demikianlah nona ini berkata dalam hatinya.
Ah, apakah dia itu pun pandai ilmu silat seperti kau, Kwee-koko?Biarpun aku juga hanya seorang
bodoh, akan tetapi sedikit banyak mengerti ilmu silat, sedangkan mendiang Tu Fu benar-benar seorang
sastrawan yang tak tahu bagaimana caranya memegang gagang pedang, tahunya hanya memegang
gagang pensil.
Kalau begitu dia orang lemah. Bagaimana gagah tiada bandingnya?$BE.(Boi-moi, kau tidak tahu.
Biarpun orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali pada waktu itu, tak mungkin ia berani
melontarkan kata-kata yang seperti bunyi sajak itu, karena dapat dicap sebagai pemberontak dan di
hukum mati!
Tapi aku lebih kagum kepada penyair Li Po. Masih teringat aku akan sajaknya yang benar-benar
membayangkan kegagahan, kalau tidak salah begini :
Alangkah inginku dapat terbangdengan pedang sakti di tanganmenyebrangi samudera untuk membunuh
ikan paus pengganggu nelayan!
Ketika mengucapkan sajak ini, Lu Sian bangkit berdiri, kedua kakinya terpentang, tubuhnya tegak dada
membusung penuh semangat dan kelihatan gagah dan cantik jelita. Suaranya
bersemangat, merdu dan penuh perasaan sehingga Kwee Seng melihat dan mendengar dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga ! Ia berada dalam keadaan seperti itu dan baru tersipu-sipu membuang
muka ketika Lu sian memandangnya dan bertanya.Kau kenapa, Koko?
Tidak apa-apa, tidak apa-apakau pandai membaca sajak, Moi-moi kata Kwee Seng gagap. Akan
tetapi terdengar gadis itu terkekeh tertawa, suara ketawa yang mengandung banyak arti dan gadis itu
masih tersenyum-senyum dan sinar matanya mengerling tajam penuh ejekan ketika mereka bangkit
berdiri dan berhadapan, Lu Sian menggerakkan kakinya perlahan mendekati, sampai dekat benar,
sampai terasa benar oleh hidung Kwee Seng keharuman yang luar biasa keluar dari tubuh gadis itu.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Wajah jelita itu dekat sekali dengan wajahnya, wajah yang berseri dengan mata bersinar-sinar dan bibir
terbuka menantang dikulum senyum. Serasa terhenti detik jantung Kwee Seng, bobol pertahanannya dan
dengan nafsu yang memabokkan pikirannya didekapnya pundak Lu Sian dalam rangkulan dan
ditundukkannya mukanya untuk mencium.
Akan tetapi tiba-tiba Lu Sian menundukkan mukanya sehingga yang tercium oleh Kwee Seng hanyalah
rambutnya, rambut yang harum menyengat hidung, dan tiba-tiba terdengar gadis itu bertanya, suaranya
dingin aneh, penuh cemooh. Hai, Kwee Seng pendekar muda yang sakti, pertapa belia tahan tapa dan si
teguh hati, apakah yang akan kau perbuat ini?
Seakan disiram air salju mukanya, Kwee Seng gelagapan, mukanya menjadi pucat lalu berubah merah,
dilepaskannya dekapan tangannya dan ia membuang muka lalu menundukannya. Maaf ah, maafkan aku.
Seperti sudah gila aku tadi ah, Nona Liu, maafkan aku. Kenapa kau begitubegitu jelita dan.. dan.. keji
Liu Lu Sian tertawa, suara tawanya merdu sekali, akan tetapi juga penuh dengan ejekan.
Kwee-koko, kau ingatlah. Agaknya kemuraman penyair Tu Fu menularimu. Mari kita lanjutkanTiba-tiba
Kwee Seng mendorong gadis itu yang segera meloncat, bermodal tenaga dorongan Kwee Seng yang
juga sudah meloncat ke belakang dengan gerakan cepat. Sambil mengeluarkan bunyi berciutan
menyambarlah lima batang senjata piauw (pisau terbang) dan menancap ke dalam batang pohon. Tidak
hanya berhenti disitu saja penyerangan gelap ini karena dari tiga penjuru menyambarlah
bermacam-macam senjata rahasia menghujani tubuh Kwee Seng dan Lu Sian. Akan tetapi, kini dua
orang muda yang berilmu tinggi itu kini sudah siap sedia dan waspada, dengan mudah mereka
menyelamatkan diri. Lu Sian sudah mencabut pedangnya dan dengan putaran pedangnya secara indah
dan cepat, semua piauw jarum dan senjata rahasia paku beracun dapat ia pukul runtuh. Adapun Kwee
Seng sendiri hanya dengan menggerak-gerakkan kedua lengannya saja, ujung lengan bajunya
mengeluarkan angin pukulan, cukup membuat semua senjata! rahasia menyeleweng dan tidak mengenai
dirinya.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan ternyata dua ekor kuda mereka yang dilarikan orang. Keparat
hina dina!Lu Sian melompat, pedangnya berkelebat dan dua orang yang menunggang kuda mereka
terjungkal, tak bernyawa lagi !
Ah, Moi-moi, kenapa begitu ganas?Kwee Seng menegur penuh sesal sambil memegangi kendali
kudanya yang terkejut dan akan memberontak.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Penjahat rendah yang telah menyerang secara pengecut, lalu hendak mencuri kuda, sudah sepatutnya
dibunuh.Kata Lu Sian dengan suara dingin sambil menyarungkan kembali pedangnya.
Kwee Seng membungkuk sambil memeriksa dua orang itu. Pakaian mereka tidak menunjukkan
orang-orang miskin, juga rapi tidak seperti maling-maling kuda biasa. Akan tetapi, bekas tusukan pedang
Lu Sian hebat sekali, mereka itu sudah mati dan tak dapat ditanya lagi.
Justeru karena mereka mengandalkan banyak orang dan secara menggelap menyerang kita, perlu kita
ketahui apa latar belakangnya. Dua ekor kuda kita, biarpun merupakan kuda pilihan, kiranya belum patut
menggerakkan hati orang-orang kang-ouw untuk merampasnya. Tentu saja ada apa-apa di belakang
semua ini, namun sayang, mereka sudah mati tak dapat ditanya lagi. Mari kita lanjutkan perjalanan, dua
mayat ini tentu akan diurus oleh teman-temannya yang kurasa tidak kurang dari lima orang banyaknya
melihat datangnya senjata-senjata rahasia tadi. Kau hati-hatilah, Moi-moi, kurasa orang-orang yang
memusuhi kita takkan berhenti sampai disini saja.
Lu Sian mengangkat kedua pundak, memandang rendah sekali kepada ancaman musuh, lalu melompat
ke atas punggung kudanya. Dua orang muda itu segera menjalankan kuda ke timur di sepanjang lembah
sungai Wu-kiang. Melihat Kwee Seng naik kuda dengan wajah muram dan alis berkerut, diam tak
mengeluarkan kata-kata dan sama sekali tak pernah menoleh kepadanya, Lu Sian bertanya.
Koko, apakah kau masih marah kepadaku?Tanpa menoleh Kwee Seng berkata lirih, Kenapa marah ?
Tidak!
Diam pula sampai lama. Hanya suara derap kaki kuda mereka yang berjalan congklang. Dari jauh
tampak tembok sebuah kota. Itulah kota Kwei-siang yang terletak di tepi sungai.
Kwe-koko, hemm, ada apakah kau lihat aku. Tidak enak bicara dengan orang yang tunduk saja. Apa
kau tidak sudi memandang mukaku lagi?
Mau tidak mau Kwee Seng menoleh dan wajahnya seketika menjadi merah ketika ia melihat wajah
gadis itu berseri-seri, sepasang matanya mengeluarkan cahaya yang bersinar tajam menembusi
jantungnya, yang seakan-akan mengandung penuh pengertian, yang menjenguk isi hatinya sehingga Kwee
Seng merasa seperti ditelanjangi, seperti telah terungkapkan semua rahasia perasaan dan hatinya.
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Sian-moi, (adik Sian), kau mau bicara apakah?Kwee Seng mengeraskan hatinya, menekan perasaan.
Kwee-koko, kau telah jatuh hati kepadaku, bukan ? Kau mencintaiku sepenuh hatimu!
Sejenak Kwee Seng menjadi pucat wajahnya. Bukan main, pikirnya. Gadis ini benar-benar berwatak
siluman ! Pertanyaan macam benar-benar tak mungkin diajukan oleh gadis manapun juga. Ia tahu bahwa
pertanyaan ini disengaja oleh Lu Sian, dan ia maklum pula bahwa gadis ini, sepeti seekor kucing, hendak
mempermainkannya seperti seekor tikus. Ia merasa betapa jantungnya tertusuk, akan tetapi Kwee Seng
adalah pemuda gemblengan. Cepat ia dapat memulihkan ketenangannya dan mukanya berubah merah
kembali.
Tak perlu aku menyangkal, Moi-moi. Aku memang jatuh hati kepadamu. Kau terlalu cantik jelita,
pribadimu mengeluarkan daya tarik seperti besi sembrani yang tak dapat kulawan. Kini aku balas
bertanya, apakah kau tidak mencintaiku?
Lu Sian kelihatan gembira dan senang sekali. Gadis ini menggerak-gerakkan kepalanya, matanya
bersinar-sinar dan ia tertawa sambil menengadahkan muka ke atas. Aku ? Mencintaimu ? Ah, aku tidak
tahu, Koko. Aku takkan begitu tergesa-gesa seperti engkau mengambil keputusan tentang cinta. Belum
cukup lama aku mengenalmu. Kau terlalu lemah lembut, terlalu muram. Biarlah aku mempelajarimu lebih
dulu. Bukankah ayah telah memberi kesempatan kepadamu untuk mengawiniku, mengapa kau menolak
dan malah berjanji akan menurunkan ilmu kepadaku?
Aku memang cinta kepadamu, Sian-moi, akan tetapi tentang kawin ah, terlalu banyak aku melihat
kekejian-kekejian di Beng-kauw, terlalu banyak aku melihat keganjilan-keganjilan yang mengerikan. Dan
kau sendiriah, kurasa takkan mungkin kau bisa mencinta pria secara lahir batin. Aku cinta pribadimu, tapi
mungkin aku tidak menyukai watakmu dan keluargamu!
Kembali Lu Sian tertawa sambil menutupi mulut dengan tangannya. Kwee Seng makin heran.
Benar-benar gadis yang aneh. Aneh dan berbahaya sekali. Ia tadi sengaja berterus terang untuk
membalas agar gadis ini merasa terpukul. Akan tetapi kiranya gadis itu malah mentertawakannya !
Hi-hik, kau lucu, Kwee-koko. Aku pun belum percaya akan cintamu kalau kau belum buktikan dengan
berlutut menyembah-nyembah kakiku!Setelah berkata demikian, gadis itu berseru keras dan menyendal
kendali kudanya sehingga binatang itu terkejut dan membalap ke depan. Kwee Seng terheran-heran,
lebih heran daripada terhina oleh ucapan aneh itu, akan tetapi ia merasa lega bahwa gadis itu mengakhiri
percakapan yang menyakiti hatinya, maka ia pun lalu membedal kudanya mengejar, memasuki kota
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
Kwei-siang.
Hari telah menjelang senja ketika mereka berdua memasuki kota Kwei-siang. Mereka mencari sebuah
rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di bagian depan. Seorang pelayan penginapan
tergopoh-gopoh menyambut mereka, merawat kuda dan memberi dua buah kamar yang mereka minta.
Setelah ke dua orang muda ini membersihkan diri daripada debu dan keringat, berganti pakaian bersih,
mereka lalu mengambil tempat duduk di rumah makan dan memesan makanan. Kwee Seng yang masih
belum lenyap rasa tekanan hatinya, lebih dulu memesan seguci arak yang paling baik.
Wah, kau mau mabok-mabokan lagi Koko ? Benar-benar menjengkelkan ! Aku malam ini ingin sekali
bercakap-cakap denganmu sampai semalam suntuk!
Sambil menuangkan arak pada cawannya, Kwee Seng menjawab, memaksa senyum, karena
kadang-kadang, seperti sekarang ini sikap Lu Sian yang kekanak-kanakan mengelus dan menghibur
hatinya, melenyapkan rasa sakit akibat ucapan-ucapan yang menusuk dari gadis itu pula.
Biarpun minum arak bukan kebiasaanku dan baru saja hinggap padaku semenjak aku berjumpa
denganmu, Moi-moi, akan tetapi aku tak akan begitu mudah mabok. Bercakap-cakap sambil minum kan
dapat juga.
Ahhh, siapa bilang ? Biar kau tidak mabok, akan tetapi kau lebih mencurahkan perhatianmu pada arak,
dan.. eh, koko, lihat mereka itu. Tiba-tiba Lu Sian menghentikan kata-katanya ketika melihat beberapa
orang laki-laki muncul seorang demi seorang dari pintu depan dengan gerak-gerik mencurigakan sekali.
Yang pertama masuk adalah seorang laki-laki yang berwajah muram, mukanya licin tidak berjenggot,
pakaiannya kumal, di punggungnya terselip sebatang golok telanjang, usianya kurang lebih empat puluh
tahun. Orang ini berjalan dengan gerakan kaki ringan seperti seekor kucing, dan ketika memasuki pintu,
matanya mengerling ke arah tempat duduk Kwee Seng dan Lu Sian.
Karena Kwee Seng duduk membelakangi pintu, maka Lu Sian yang berhadapan dengannya lebih dulu
melihat dan tertarik. Apalagi ketika berturut-turut masuk lima orang laki-laki lain di belakang Si
Pembawa Golok. Dua orang berpakaian tosu (pendeta To), seorang laki-laki setengah tua yang tampan
dengan rambut digelung ke atas, kemudian seorang pemuda tampan yang pakaiannya seperti pelajar
akan tetapi di pinggangnya tergantung pedang, kemudian yang terakhir adalah seorang hwesio (pendeta
Buddha) berkepala gundul yang membawa sebatang tongkat besi yang berat. Enam orang ini terang
bukanlah orang-orang sembarangan karena gerak-gerik mereka ringan dan gesit.
Koko, kau lihat mereka, bisik pula Lu Sian. Moi-moi, mari kita minum, hal-hal lain tidak perlu
Generated by ABC Amber LIT Converter, http://www.processtext.com/abclit.html
dihiraukan.Kata Kwee Seng yang sikapnya tetap tenang seakan-akan tidak ada apa-apa, kemudian
pemuda ini minum araknya dari cawan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya tahu-tahu sudah
mengeluarkan kipas yang diletakkannya di atas meja. Liu Lu Sian tersenyum dan kembali memperhatikan
makanan yang tersedia diatas meja tanpa menghiraukan orang-orang itu. Ia maklum bahwa tanpa ia
peringatkan, Kwee Seng juga sudah tahu akan masuknya enam orang itu dan sudah siap sedia. Ia kagum
akan sikap ini dan mendapat pelajaran bahwa menghadapi segala macam ancaman, lebih baik bersikap
tenang sehingga dapat menentukan sikap dengan tepat.
Betapapun juga, Lu Sian tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat dengan kerling sudut
matanya ke arah orang-orang itu. Ternyata mereka sekarang memperlihatkan sikap yang cukup jelas.