Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 4a

Pada saat itu, di sebelah luar kum­pulan pengemis yang mengelilingi pang­gung itu, terdapat seorang pengemis muda yang tampan dan seorang gadis cantik. Mereka ini bukan lain adalah Yu Siang Ki dan Kwi Lan! Wajah Siang Ki agak pucat dan sepasang matanya terbelalak penuh ketegangan. Ia sama sekali tidak peduli ketika beberapa orang pe­ngemis yang duduknya paling belakang memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan. Mereka itu adalah pengemis-pengemis baju butut yang tentu saja menjadi marah melihat Siang Ki yang berpakaian bersih, mengira bahwa pengemis muda ini tentulah golongan para pengemis aliran baru, yaitu penge­mis-pengemis baju bersih yang dipimpin kaum sesat.

Hati Yu Siang Ki terlampau tegang untuk memperhatikan sikap mereka itu. Ia memandang ke atas panggung, sinar matanya berkilat-kilat ketika ia melihat seorang kakek pengemis bertopi lebar dengan muka ditutup saputangan duduk di atas kursi ketua Khong-sim Kai-pang.

“Siang Ki, kenapa kau tidak maju dan terjang badut tua itu?” tanya Kwi Lan ketika menyaksikan sikap pemuda teman barunya ini.

Yu Siang Ki menggeleng kepala, lalu menjawab sambil menggerakkan tangan kiri menunjuk ke arah Suling Emas. “Tidak boleh aku berlaku lancang, Kwi Lan. Memang ketika mendengar dari pengemis-pengemis di sepanjang jalan bahwa ada orang yang mengaku sebagai Ayahku datang merampas kedudukan Ketua Khong-sim Kai-pang, aku menjadi marah sekali dan berniat untuk membuka kedoknya dan menyerangnya. Akan tetapi setelah tiba di sini, aku menjadi ragu­-ragu. Demi menjaga nama baik Khong-sim Kai-pang, aku harus bersabar. Me­nurut cerita mereka itu, orang yang mengaku sebagai Ayahku amat aneh dan tinggi ilmunya, bahkan telah membunuh oknum-oknum jahat yang memegang pim­pinan Khong-sim Kai-pang, bahkan menghukum para anggauta yang menyeleweng, juga ia dibantu oleh Gak-lokai dan Ciam-lokai, dua tokoh Khong-sim Kai-pang yang dulu menjadi sahabat baik dan pembantu Kakek Yu Jin Tianglo. Aku harus menyaksikan dulu sepak terjangnya, siapa tahu dia itu seorang tokoh pengemis yang berusaha menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari tangan oknum­-oknum jahat dengan menggunakan nama Ayah untuk mencari wibawa.”

Kwi Lan mengangguk-angguk. Ia heran mengapa pemuda ini berpikir sedalam itu padahal kalau menurut dia, orang yang memalsukan Yu Kang Tianglo yang sudah meninggal, wajib dikutuk dan dihajar! Coba seandainya yang menghadapi urusan itu dia sendiri, atau orang-orang seperti Tang Hauw Lam si Berandal atau Siang­koan Li tentu takkan menunggu-nunggu dan melihat gelagat. Memang pengemis muda ini lain lagi sifatnya, hati-hati dan berpandangan luas. Betapapun juga ka­rena yang dipalsukan namanya adalah ayah pemuda ini, bukan ayahnya, maka ia pun tinggal diam saja menanti perkembangannya lebih lanjut.

“Orang sesabar dan selemah engkau baru sekali ini kujumpai!” omelnya sambil memandang wajah yang terlalu tampan untuk menjadi wajah seorang pengemis itu.

Yu Siang Ki juga memandang. Pan­dang mata mereka bentrok, bertaut se­jenak dan pemuda itu tersenyum.

“Sebelum tahu betul apa kehendak orang itu memalsukan nama Ayah, bagai­mana aku dapat bertindak? Ayah sendiri memesan agar aku berusaha membela dan membersihkan Khong-sim Kai-pang. Kalau orang aneh yang memalsukan nama Ayah itu bermaksud baik dan membela Khong-sim Kai-pang, andaikata Ayah sendiri masih hidup dan berada di sini, tentu beliau juga tidak akan mengha­langinya.”

Kwi Lan tidak berkata apa-apa lagi dan ia hanya menurut ketika pemuda itu mengajaknya memilih tempat di belakang akan tetapi dari mana mereka dapat memandang, ke atas panggung cukup jelas. Mereka berdua duduk dan menon­ton dengan penuh perhatian.

Makin lama makin banyaklah penge­mis yang datang memenuhi pekarangan depan kuil yang menjadi markas Khong-sim Kai-pang itu. Kemudian tampak Gak-lokai dan Ciam-lokai melangkah maju, memberi hormat kepada Suling Emas, kemudian mereka berdua menjura ke arah belasan orang yang duduk di kursi kehormatan yaitu para pimpinan kai-pang-kai-pang lain yang menjadi tamu. Sebagai wakil Khong-sim Kai-pang yang menjadi tuan rumah, Gak-lokai lalu berkata suara­nya lantang dan jelas.

“Saudara sekalian yang kami undang telah sudi datang memenuhi undangan, hal ini amat menggembirakan karena jelas ternyata bahwa persatuan diantara kai-pang masih erat. Kami mengundang Saudara sekalian untuk mempererat per­satuan ini dan hendak memperkenalkan Saudara tua kami yang telah puluhan tahun mengasingkan diri dan kini ber­kenan kembali untuk memimpin kita sekalian, yaitu Yu Kang Tianglo, Pangcu (Ketua) Khong-sim Kai-pang!”

Tepuk sorak menyambut ucapan ini dan Suling Emas segera bangkit dari tempat duduknya, berdiri dan menjura ke sekeliling panggung. Melihat tubuh Suling Emas yang tinggi besar dan tegap, se­pasang mata di bawah topi lebar yang tajam berkilat, muka yang bagian bawahnya ditutupi saputangan, semua pengemis memandang dengan bermacam-macam perasaan. Ada yang heran, ada yang kagum, penuh harapan, curiga dan seba­gainya. Puluhan tahun yang lalu, Yu Kang Tianglo muncul untuk membunuh It-gan Kai-ong kemudian melenyapkan diri kembali. Tak seorang pun di antara para pengemis yang belum mendengar namanya, namun tidak ada yang pernah melihat mukanya. Kini tokoh besar itu muncul lagi dengan muka tertutup se­hingga bermacam dugaan yang aneh-aneh timbul. Ketika Suling Emas berdiri, ke­adaan menjadi sunyi dan semua orang menanti dengan hati berdebar untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh Yu Kang Tianglo, tokoh pengemis yang tak pernah dijumpai orang namun namanya amat terkenal itu.

Dua pasang mata memandang ke arah Suling Emas dengan penuh perhatian dan juga dengan terheran-heran betapa be­raninya memalsukan nama orang yang sudah meninggal dunia. Kwi Lan terheran bercampur marah sedangkan Yu Siang Ki terheran dan ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa kehendaknya.

“Saudara-saudara para pimpinan dan anggauta kai-pang!” Suara Suling Emas lantang dan nyaring, akan tetapi halus. “Maafkan bahwa saya menutupi muka, karena memang sesungguhnya bukan mak­sud saya mencari ketenaran diri dengan hadir saya di sini. Sudah semenjak dahulu saya selalu berusaha menyembunyikan diri dan menjauhkan diri dari pada urus­an dunia. Akan tetapi, dua kali saya ter­paksa menampilkan diri, pertama kali dahulu di waktu It-gan Kai-ong mengo­torkan dunia pengemis dengan kejahatan­nya. Sekarang, mendengar betapa dunia pengemis kembali diselundupi kaum sesat, mau tidak mau saya terpaksa menampil­kan diri untuk menegakkan kembali kebenaran dan kebersihan di dunia penge­mis. Terutama sekali Khong-sim Kai­-pang yang semenjak mendiang Ayah saya dahulu merupakan kai-pang yang bersih dan gagah ternyata telah diselundupi oknum-oknum jahat yang mengangkat diri sendiri menjadi pimpinan dan menyelewengkan kai-pang ke jalan sesat. Terpaksa saya turun tangan membasmi mereka. Karena itu, dalam kesempatan ini saya peringatkan kepada saudara-saudara pim­pinan kai-pang lain agar berhati-hati dan bersatu padu untuk menghalau kaum sesat yang hendak mencari tempat dan me­nguasai kai-pang.”

“Bagus, bagus.”

“Akur....! Akur....!”

Para pengemis bertepuk sorak. Yu Siang Ki mengangguk-angguk dan hatinya lega. Kiranya benar seperti dugaannya. Orang aneh ini sengaja memalsukan nama mendiang ayahnya dengan maksud baik, yaitu hendak mengandalkan nama ayah­nya untuk mempengaruhi kai-pang dan mengajak mereka melawan kaum sesat. Ia menoleh ke arah Kwi Lan yang juga memandang ke atas panggung dengan mata terbelalak. Pada saat itu, Kwi Lan menyentuh tangannya.

“Siang Ki, lihat....!”

Yu Siang Ki cepat menengok dan ma­tanya tajam masih sempat melihat sinar hitam melayang ke arah leher dan lam­bung orang aneh yang memalsukan nama ayahnya itu. Jelas bahwa sinar itu adalah senjata rahasia yang halus sekali, yaitu jarum-jarum rahasia!

“Celaka!” bisiknya khawatir. Akan tetapi ia dan Kwi Lan memandang de­ngan melongo ketika Suling Emas dengan tenang menerima jarum-jarum itu dengan leher dan lambung, kemudian tangan ki­rinya seperti mengusir lalat di leher dan lambungnya dan sekali tangannya berge­rak, sinar hitam melesat dan jarum-ja­rum itu sudah di “retour” kembali kepada pengirimnya, namun dengan kecepatan dan kekuatan yang dahsyat sekali. Ter­dengar jerit-jerit kesakitan dan dua orang pengemis baju bersih yang berdiri di antara banyak pengemis itu roboh dan tewas seketika karena leher dan lambung mereka termakan jarum rahasia mereka sendiri!

Hanya para pengemis yang sudah tinggi ilmunya saja menyaksikan gerakan Suling Emas dan maklum apa yang telah terjadi. Yang tidak begitu tinggi ilmunya terheran-heran dan tidak tahu apa yang terjadi sehingga keadaan menjadi panik.

Suling Emas mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat kepada semua orang agar tidak menjadi panik. Kemudi­an terdengar suaranya lantang.

“Harap Saudara semua tenang. Mati­nya dua orang itu menjadi peringatan bagi kita bahwa di mana-mana kaum sesat sudah menyelundup sehingga perlu kita waspada karena mereka berdua itu adalah orang-orang jahat yang berusaha untuk membunuh saya. Sebaliknya pihak kaum sesat juga telah mendapat peri­ngatan!” Suara ini tegas dan penuh wi­bawa.

“Mereka itu pengemis baju bersih! Basmi para pengemis baju bersih yang jahat!” Terdengar teriakan-teriakan ma­rah.

Kembali Suling Emas mengangkat tangannya. “Dengarlah baik-baik! Menilai orang bukan dari pakaian bersih atau kotor! Menilai orang harus dari sepak terjangnya, dari perbuatannya! Pengemis memang orang miskin. Sedapat mungkin orang harus berpakaian bersih dan baik, akan tetapi kalau tidak ada, apa boleh buat, kotor pakaiannya asal tidak kotor hati dan pikirannya. Orang-orang yang pernah menyeleweng dari pada kebenaran bukan sekali-kali berarti bahwa mereka itu selama hidupnya menjadi orang-orang jahat yang harus dikutuk! Karena itu, kami anjurkan kepada saudara-saudara kaum kai-pang yang pernah menyeleweng, kembalilah ke jalan benar dan bertobat­lah. Apabila kalian tidak insyaf, kami kaum kai-pang yang sudah bersatu akan membasmi kalian!”

Kembali tepuk sorak menyambut ucapan yang lantang dan penuh semangat dari Suling Emas ini, karena semua orang menyetujui pendiriannya. Akan tetapi tentu saja tidak termasuk mereka yang memang hadir dengan maksud menentang, seperti rombongan Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dua kai-pang ini memang sudah seluruhnya dikuasai kaum sesat, bahkan dua kai-pang ini pula yang belum lama ini mengadakan pertemuan di dunia kaum sesat untuk membicarakan soal pemilihan bengcu golongan hitam.

Oleh karena itu, kedatangan dua rom­bongan ini tentu saja berdasarkan menye­lidik dan juga untuk menghalangi perge­rakan kaum pengemis yang dipimpin oleh Yu Kang Tianglo. Bahkan dua orang pengemis yang tewas karena senjata jarum mereka diretour oleh Suling Emas tadi adalah anggauta-anggauta Hek-coa Kai-pang.

Di antara tepuk sorak gemuruh itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring yang mengatasi kegaduhan itu. “Siapa di anta­ra kita yang mampu menandingi Locian­pwe Bu-tek Siu-lam?”

Pernyataan nyaring yang entah dike­luarkan oleh siapa ini menusuk telinga semua orang dan seketika kegaduhan ter­henti, tak seorang pun berani mengeluar­kan suara lagi. Pada saat itu dua orang kakek pengemis sudah melompat bangun dari barisan kursi pimpinan kai-pang yang menjadi tamu. Mereka ini lalu melangkah maju ke tengah panggung, menghadapi semua pengemis yang hadir. Keduanya adalah kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, berpakaian sebagai pengemis akan tetapi pakaian mereka bersih dan baru yang sengaja ditambal-tambal. Me­reka ini memegang tongkat panjang dan melihat betapa pada baju bagian dada mereka terdapat gambar garuda dan ular, maka mudah diduga bahwa mereka tentu­lah tokoh-tokoh dari Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dan memang betul sekali. Kakek yang baju di dadanya tergambar garuda hitam adalah seorang tokoh Hek-peng Kai-pang, sedangkan yang dadanya tergambar ular hitam ada­lah seorang tokoh Hek-coa Kai-pang.

Sejak tadi, kehadiran rombongan Hek-coa Kai-pang dan Hek-peng Kai-pang sudah merupakan hal yang menimbulkan tegang di hati para pengemis karena mereka semua itu tahu dengan jelas siapakah mereka ini. Boleh dibilang pada waktu itu, pelopor para kai-pang yang menggabung dengan kaum sesat adalah dua buah perkumpulan inilah. Maka semua orang sudah dapat menduga bah­wa munculnya tokoh-tokoh dua kai-pang ini tentulah mengandung maksud kurang baik. Kini melihat dua orang kakek ini muncul di panggung, semua orang diam dan memandang penuh perhatian.

Kakek yang dadanya bergambar ular hitam itu tubuhnya kecil tinggi, kepala­nya besar. Setelah memandang ke sekeli­ling ia lalu berkata.

“Kami adalah wakil dari Hek-coa Kai-pang. Mendengar uraian pangcu dari Khong-sim Kai-pang tadi, kami setuju sekali. Memang di antara kai-pang harus diadakan persatuan erat untuk mengha­dapi musuh-musuh kita! Dan untuk mem­perkuat para kai-pang kita harus memilih seorang pemimpin yang cakap. Kami dari pihak Hek-coa Kai-pang dan juga sau­dara-saudara kita dari Hek-peng Kai-pang dalam pertemuan orang-orang gagah telah bersepakat untuk mengangkat Lo­cianpwe Bu-tek Siu-lam sebagai bengcu kita.”

“Benar apa yang diucapkan oleh Sau­dara dari Hek-coa Kai-pang ini!” kata kakek ke dua yang dadanya bergambar garuda hitam. Kakek ini mukanya merah dan matanya sipit sampai hampir terpe­jam selalu, tapi mulut lebar dan bibirnya tebal sekali. “Hanya di bawah bimbingan seorang Locianpwe yang sakti seperti Bu­-tek Siu-lam saja maka derajat golongan kita dapat terangkat. Kami rasa Yu Kang Tianglo dari Khong-sim Kai-pang cukup bijaksana untuk menyadari hal ini dan menyetujui pengangkatan Locianpwe Bu-tek Siu-lam sebagai pimpinan terting­gi semua kai-pang!”

Para pengemis menyambut ucapan dua orang kakek itu dengan berbisik. Dari rombongan pimpinan kai-pang sudah me­loncat maju lagi dua orang kakek penge­mis berpakaian butut. Seorang di antara mereka berteriak.

“Apa? Bu-tek Siu-lam menjadi bengcu kita? Setelah ia membunuh secara keji dua ratus orang golongan kita?”

Yang berteriak ini adalah Ketua Ang-­tung Kai-pang, seorang kakek bertubuh kecil pendek akan tetapi bermata lebar. Ia memutar-mutar tongkat merahnya dengan sikap marah sekali. Ketika Bu-tek Siu-lam melakukan pembunuhan ter­hadap dua ratus orang pengemis, belasan orang pengemis anak buahnya ikut ter­bunuh, maka tentu saja ia marah-marah mendengar betapa dua orang kakek itu hendak mengangkat Bu-tek Siu-lam menjadi bengcu.

“Cocok! Tidak sudi kami menerima tokoh jahat itu menjadi bengcu!” Teriak pula pengemis ke dua yang sudah melon­cat maju. Dia ini adalah wakil dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Laksaan Bunga).

“Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai­pang memang perkumpulan yang menye­leweng dan bersekongkol dengan kaum sesat!” Teriakan-teriakan itu terdengar saling bantah dan suasana menjadi berisik sekali melebihi pasar.

“Yang dibunuh adalah pengemis-penge­mis jahat!”

“Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang menyenangkan hidup anak buahnya!”

“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”

Demikianlah sorakan-sorakan mereka yang pro kepada tokoh yang diusulkan menjadi bengcu itu.

“Basmi penyeleweng-penyeleweng!” “Basmi Hek-peng Kai-pang dan Hek­-coa Kai-pang!”

“Bu-tek Siu-lam musuh besar kai­pang!”

Demikianlah sorakan-sorakan mereka yang anti sehingga keadaan menjadi ribut dan tegang karena setiap saat dapat timbul perang saudara antara para pe­ngemis ini. Gak-lokai dan Ciam-lokai menjadi pucat wajahnya dan mereka sudah hendak bergerak, akan tetapi Su­ling Emas mencegah dan berkata halus.

“Biarkan saja. Malah lebih baik. De­ngan begini kita dapat melihat siapakah di antara mereka yang menyeleweng. Kalau mereka sudah menyatakan penda­pat, baru kita turun tangan melakukan pembersihan.”

Sementara itu, di atas panggung su­dah terjadi perdebatan yang makin lama menjadi saling maki antara tujuh orang pimpinan pengemis baju bersih yang dikepalai oleh dua orang dari Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang, dan pihak lawan mereka adalah sebelas orang pimpinan dari kai-pang-kai-pang lain yang rata-rata berpakaian butut. Suling Emas hanya duduk di atas kursi sambil me­natap tajam, meneliti mereka yang pro dan mereka yang anti terhadap

No comments:

Post a Comment