Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 8

Mutiara Hitam Bagian 8.

benar bersalah dalam hal ke­ributan ini sekalipun, ia tetap tidak akan membiarkan adik misannya atau orang lain merobohkannya secara curang. Sinar matanya yang amat tajam membuat Suma Kiat tak berani membuka mulut, kemudian mereka berdua, seperti juga semua orang, kembali menonton pertan­dingan antara Mutiara Hitam dan Cheng Kong Hosiang.

Yu Siang Ki juga menyaksikan peris­tiwa yang terjadi amat cepatnya itu dan ia makin tidak mengerti akan sikap Kiang Liong. Tadi memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi sekarang melin­dungi Mutiara Hitam. Dan Kwi Lan me­ngapa bersikap seperti itu? Ia merasa dihadapkan sebuah teka-teki. Benarkah apa yang dituduhkan gadis itu? Bahwa Kiang Liong bersekongkol dengan para pemberontak? Ah, rasanya tidak mungkin. Dan siapakah hwesio bernama Cheng Kong Hosiang yang diserang Kwi Lan? Ia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu Kwi Lan apabila gadis itu terancam bahaya.

Hwesio kurus itu memang lihai sekali. Tongkatnya terbuat daripada baja kebiru­an yang kuat dan berat, sedangkan ilmu tongkatnya juga luar biasa kuatnya. Tongkat di tangannya diputar cepat se­hingga lenyap bentuknya, berubah men­jadi gulungan sinar biru yang menyilaukan mata. Kwi Lan sendiri sudah lenyap bayangannya, tergulung oleh sinar pe­dangnya yang kehijauan. Namun perta­hanan hwesio tua itu benar amat tangguh. Ke manapun juga sinar pedangnya me­nyerang, selalu dapat ditangkisnya dengan tongkat sehingga pertandingan itu men­jadi makin seru dan sengit. Belasan se­rangan hwesio itu juga tak pernah ber­hasil karena gerakan Kwi Lan amat gesit.

"Trang! Trang....!" Dua kali tongkat dan pedang bertemu dan kedua orang yang bertanding seru itu mencelat mun­dur sampai tiga meter lebih.

Tahan!" seru Cheng Kong Hosiang, menghapus peluh di dahinya dengan ujung baju lengan kiri, sikapnya bengis. "Nona, pinceng adalah tamu Kiang-kongcu dan pinceng cukup menghormat tuan rumah, tidak sudi mengacau di dalam taman ini. Kalau kau tidak memandang mata kepada Kiang-kongcu dan tetap hendak menan­tang pinceng, bukan di sini tempatnya!"

Kwi Lan tersenyum mengejek. "Wah, kau tua bangka gundul benar pandai mencari muka kepada tuan rumah yang menjadi sekutumu! Eh, Cheng Kong Ho­siang, apa kaukira aku tidak mengerti akan rahasia busukmu? Engkau adalah utusan Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Engkau bertugas meng­adakan persekutuan busuk dengan kaum pengkhianat dan pemberontak di kota raja. Sebagian besar bangsawan dan pem­besar yang hadir di sini...."

"Trang-trang....!" Tongkat itu me­nyambar hebat dan Kwi Lan yang me­nangkis dua buah serangan itu sampai merasa tergetarpundaknya. Ia menjadi marah dan menggerakkan pedangnya membalas serangan lawan. Kedua orang itu kembali sudah bertanding secara he­bat.

Berubah wajah Siang Ki mendengar ucapan Kwi Lan tadi. Ah, kiranya gadis itu sudah bertindak dengan dasar yang demikian penting. Betulkah apa yang diucapkan gadis itu? Ia melirik ke­pada para tokoh pengemis dan mereka bersiap-siap. Sementara itu, para pem­besar yang mendengar ucapan Kwi Lan, menjadi pucat wajahnya dan bangkitlah mereka, kemudian secara tergesa-gesa dan diam-diam mereka bergerak hendak pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.

"Berhenti! Semua tidak boleh, mening­galkan tempat ini!" bentak Kiang Liong yang cepat memberi isyarat kepada pen­jaga, kemudian membisikkan perintah agar Si Penjaga cepat pergi mengundang komandan pengawal istana dan pasukan­nya. Ia sendiri menjaga di pintu dan menonton pertempuran dengan hati tegang. Sejak tadi ia sudah merasa heran melihat betapa hwesio tua itu amat lihai serta memiliki ilmu silat yang didasari gerakan kaki pat-kwa, persis seperti ilmu silat Bouw Lek Couwsu yang lihai. Kini men­dengar ucapan Kwi Lan, kecurigaannya makin hebat. Tuduhan gadis itu bukan hal yang tidak boleh jadi, mengingat betapa Bouw Lek Couwsu berniat keras untuk menghubungi para pembesar khia­nat.

Kwi Lan maklum bahwa ia telah membongkar rahasia besar dan tentu saja hwesio ini akan berusaha keras untuk membunuhnya. Bahkan mungkin kaki tangan hwesio ini termasuk suhengnya akan mencelakakannya. Akan tetapi hati­nya agak lega melihat betapa tadi pukul­an suhengnya digagalkan oleh Kiang Liong. Kalau sampai terjadi pertempuran besar, yang ia khawatirkan hanya Kiang Liong yang ia tahu memiliki ilmu kepan­daian yang jauh lebih tinggi daripadanya. Maka melihat sikap Kiang Liong tadi, hatinya lega, pula dugaannya bahwa Kiang Liong ikut pula berkhianat, kini menipis. Ia harus dapat menghalau hwe­sio ini lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi tidaklah mudah mengalahkan hwesio ini yang sesungguhnya adalah murid kepala Bouw Lek Couwsu sendiri.

Kwi Lan menjadi penasaran. Perta­hanan hwesio itu benar amat kuat, sukar ditembusi pedangnya. Ia harus mengguna­kan akal. Dalam satu dua detik saja ia sudah mendapatkan akal ini. Kalau la­wannya yang merupakan seorang berilmu dan sudah memiliki pengalaman matang dalam pertandingan-pertandingan itu di­biarkan terus mempertahankan diri agak­nya dalam waktu selama seratus jurus belum tentu ia akan bisa mendapatkan kemenangan. Jalan satu-satunya hanya memancing agar kakek itu menyerang, karena pertahanan seseorang sudah pasti akan menjadi lebih lemah jika diperguna­kan untuk menyerang. Artinya setiap serangan membuka lowongan atau ke­lemahan dalam pertahanan.

Tiba-tiba Kwi Lan menusukkan pe­dangnya ke arah dada lawan. Sengaja ia membuat gerakannya itu agak miring dengan kedudukan kaki yang tidak cukup kuat. Tongkat lawan menangkis dan Kwi Lan berseru keras dan kaget, pedangnya terlepas dari pegangan! Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget pula, bahkan Suma Kiat juga mengeluarkan seruan, akan tetapi seruan girang. Ia maklum bahwa betapa pun lihainya, Cheng Kong Hosiang akhirnya tidak akan dapat me­nandingi kehebatan sumoinya dan tentu akan roboh. Kini melihat berobahnya jalannya pertandingan, diam-diam ia me­rasa girang. Ia mencinta sumoinya, akan tetapi kalau sumoinya menghalang jalan menuju tercapainya cita-citanya, ia tidak segan-segan bergembira melihat sumoinya terancam bahaya maut! Hanya Kiang Liong yang tetap tenang, berdiri tegak matanya tak pernah berkedip memandang jalannya pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat digembleng oleh Suling Emas untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.

Akan tetapi Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah ter­bayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghan­tam ke arah kepala Kwi Lan. Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja membiarkan ujung tongkat me­nyerempet pundaknya!

Di dalam hatinya, Kiang Liong terte­gun. Memang siasat ini hebat, akan teta­pi terlalu berbahaya. Gadis ini bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya, terlambat seperempat detik saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun, Kwi Lan selain tabah juga tenang dan cerdik, per­hitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya nyeri diserem­pet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).

"Auuuggghhh....!" Pukulan itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat kesakitan karena selu­ruh isi perutnya seperti ditusuk-tusuk.

"Sumoi, kau terlalu....!" Suma Kiat lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suhengnya, akan te­tapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di dekat tubuh Cheng Kong Hosiang yang masih menggeliat-geliat. "Lo-suhu, bagian mana yang terasa sakit? Coba kuperiksanya....!" Pemuda ini meraba dada, meraba perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak bergerak lagi.

"Piauw-te (Adik Misan), minggirlah!" Kiang Liong membentak Suma Kiat.

Pemuda ini hendak memeriksa dan me­maksa hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia me­meriksa, Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit ber­diri, dan menatap wajah adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat hanya menyeri­ngai saja.

Pada saat itu, terdengar hiruk-pikuk di luar taman dan masuklah seorang ko­mandan berpakaian gagah memimpin se­pasukan pengawal sendiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera melangkah lebar menghampiri Kiang Liong, sedang­kan para anak buahnya dengan rapi men­jaga di pintu keluar.

"Hemm, tidak ada perlunya kita ber­ada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi!" kata Kwi Lan yang sudah menyimpan pedangnya.

Yu Siang Ki mengangguk. Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan me­ngenai tuduhan yang dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang ber­ada di sini ikut bergerak. Komandan pengawal menghadang dan memandang kepada Kiang Liong dengan pandang ma­ta bertanya, menanti perintah. Akan tetapi Kiang Liong berkata halus, "Biar­kan mereka pergi!"

Yu Siang Ki merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan di depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata.

"Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."

"Hemm, tidak ada yang perlu dimaaf­kan. Kalau kau ingin minta maaf, pergi­lah ke lereng Bukit Cin-lin-san, di Kuil Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah kau dapat dimaafkan atau tidak." Setelah berkata demikian, Kiang Liong membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada Ketua Khong-sim Kai-pang ini. Yu Siang Ki tercengang, tidak me­ngerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan sudah menarik tangan­nya, terpaksa ia mengikuti gadis itu keluar dari taman bersama para tokoh pengemis.

"Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan...."

"Ssst, diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita harus pergi menolong Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu!"

"Apa....? Bagaimana? Di mana?"

"Sstt, mari ikut saja, nanti kujelas­kan."

"Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"

"Hemm, kau benar cerewet. Aku memang takut!"

"Takut siapa?"

"Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia da­tang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan takkan tertolong."

"Ah, Gurumu marah karena kau mem­bunuh hwesio itu?"

Kwi Lan menghentikan larinya me­mandang pemuda itu dan membanting kaki. "Siang Ki, kau benar cerewet! Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu? Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan para pembesar Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus menyelamatkan Putera Mahko­ta Khitan. Kau mau membantuku? Baik, sekarang lebih baik kaukumpulkan rekan-rekanmu yang memiliki kepandaian, ke­mudian menyusulku pergi ke lembah Su­ngai Kuning di sebelah barat Lok-yang, di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sana­lah markas Bouw Lek Couwsu dan baris­an mata-matanya, dan di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah, sampai jumpa di sarang musuh!" Kwi Lan lalu melompat dan lari meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking kaget dan herannya. Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajah­nya berobah. Seorang calon nikouw? Yang akan mempertimbangkan perminta­an maafnya? Ah, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh Kiang-kongcu. Tunangan­nya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa terhina, tentu mengambil kepu­tusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan agaknya Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu. Akan tetapi, urusan yang. dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biar­pun ia tidak peduli tentang nasib Pange­ran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal ini amat berbahaya bagi gadis itu. Dia ha­rus menyusul dan membawa pasukan pengemis yang cukup kuat.

"Mari kita kumpulkan teman-teman!" katanya dan barangkatlah mereka mem­persiapkan pasukan pengemis yang kuat. Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Kwi Lan.

***

Semua tamu yang hadir dalam pesta penyambutan Suma Kiat, digiring oleh pasukan pengawal istana. Setelah diperik­sa, ditanya seorang demi seorang, me­reka itu tidak ada yang mengaku kenal dengan Cheng Kong Hosiang. Bahkan semua menyatakan tidak mengenal Suma Kiat, dan hanya datang hadir karena mengingat Pangeran Kiang dan terutama sekali mengingat nama Kiang-kongcu!

Diam-diam Kiang Liong berunding dengan pembesar yang berwenang, lalu membebaskan mereka semua, akan tetapi semenjak saat itu, gerak-gerik semua pembesar ini selalu diawasi. Kemudian Kiang Liong menghadap Kaisar dan men­ceritakan pengalamannya dalam penyelidikan gerakan orang-orang Hsi-hsia. Kai­sar menerima laporan ini dengan sabar, kemudian menjatuhkan perintah kepada semua panglimanya agar berusaha keras mencegah pecahnya perang.

"Betapa pun kecilnya, perang tetap merupakan malapetaka bagi rakyat. Oleh karena itu, sedapat mungkin harus dihin­darkan. Hubungilah bangsa Hsi-hsia dan selidiki apa kehendak mereka. Kalau hanya harta benda yang mereka kehen­daki, kami lebih suka mengorbankan se­bagian harta benda daripada mendatang­kan malapetaka bagi rakyat!"

Perintah kaisar inilah yang kelak mencelakakan Kerajaan Sung sendiri. Ka­rena perintah semacam ini yang sering kali dikeluarkan oleh Kaisar yang suka damai dan anti perang ini, kedudukan Kerajaan Sung menjadi makin lemah sehingga akhirnya tidak kuat bertahan ketika malapetaka tiba. Perintah ini pula yang membuat bangsa Hsi-hsia yang ti­dak berapa besar itu menjadi makin kuat dan kelak merupakan ancaman yang sama besarnya dengan bangsa Khitan!

Kiang Liong kecewa sekali mendengar perintah ini. Namun tentu saja tak se­orang di antara para panglima berani membangkang. Dengan hati gelisah Kiang Liong kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana caranya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan kalau kaisar melarang dipergunakannya kekerasan ter­hadap orang-orang Hsi-hsia? Dan dima­nakah adanya Pangeran Khitan yang tertawan itu? Ia teringat akan peristiwa di dalam taman. Melihat betapa Suma Kiat diam-diam membunuh Cheng Kong Ho­siang dan melihat pula sikap Suma Kiat ketika Mutiara Hitam menghamburkan dakwaan-dakwaan yang hebat itu.

Malam itu ia mengajak Suma Kiat ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya dan dengan wajah bengis ia berkata, "Nah, sekarang kau harus menceritakan semua rahasiamu, Piauw-te!"

Suma Kiat memandang kakak misan ini, menyeringai dan duduk di atas kursi, tanpa berkata sesuatu ia menuangkan arak yang tersedia di meja ke dalam sebuah cawan dan minum dengan mata mengerling penuh ejekan. Setelah cawan itu kering, ia meletakkannya di atas meja, perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa, barulah ia menoleh dan menjawab.

"Piauw-heng, aku tidak punya rahasia apa-apa."

"Suma Kiat! Orang lain boleh kau­bohongi akan tetapi aku tidak! Kaukira aku tidak tahu akan kebingunganmu ke­tika kau melihat Mutiara Hitam hendak membuka rahasia di dalam taman? Dan.... kau membunuh Cheng Kong Hosiang, tentu hendak menutup mulutnya, bukan?"

"Ha-ha-ha, Piauw-heng. Kau benar­-benar tidak adil. Mengapa kau membela Sumoi, membela pengemis itu dan orang-orang lain, sebaliknya menekan adik mi­san sendiri? Sungguh engkau seorang kakak tak patut dibanggakan. Sekarang kau malah membentak dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Hemm, agaknya kau tidak suka dan iri karena aku datang di sini, ya? Kau tidak suka melihat ke­nyataan bahwa aku putera Pamanmu? Akan kulihat apa kata Bibi kalau ku­ceritakan hal ini kepadanya!" Suma Kiat bangkit dari tempat duduknya, hendak pergi ke pintu.

Akan tetapi dengan sebuah loncatan kilat, tubuh Kiang Liong berkelebat dan sudah berada di ambang pintu. Wajahnya bengis, mulutnya tersenyum dingin, menyembunyikan hati yang panas oleh ma­rah. Suaranya mendesis perlahan, "Suma Kiat, jangan kau mempermainkan aku! Engkau telah membunuh Cheng Kong Hosiang yang agaknya benar seorang penghubung dan pembantu Bouw Lek Couwsu. Engkau bersekongkol dengan pemberontak dan musuh, mempergunakan tempat kami, mengotorkan dan mence­markan nama baik keluarga kami. Hayo ceritakan, sampai berapa jauhnya kau melakukan kesesatan ini? Tahukah kau tentang penawanan Putera Mahkota Khi­tan? Jawab sejujurnya kalau kau tidak ingin aku menggunakan kekerasan terha­dapmu!"

Tiba-tiba berubah sikap Suma Kiat. Ia berdiri tegak, bertolak pinggang dan mukanya membayangkan kemarahan yang membuat wajah yang tampan itu menjadi ganas. Bibirnya tersenyum mengejek, setengah menyeringai dan matanya disi­pitkan, dari mana menyambar keluar sinar mata yang tajam dan aneh. Kemu­dian ia tertawa, kepalanya didongakkan dan perutnya bergerak-gerak, suara ke­tawa yang panjang bergelak, akan tetapi yang tersentak berhenti secara tiba-tiba dan wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Ketawa iblis, atau ketawanya seorang yang tidak waras otaknya!

"Kiang Liong! Engkau terlalu! Apa kaukira aku ini orang bawahanmu sehing­ga boleh kauperintah begitu saja? Kau lupa agaknya bahwa aku ini seorang tamu, bahwa aku ini keponakan Ibumu. Semua orang boleh jadi gentar terhadap namamu, akan tetapi aku, Suma Kiat, selama hidupku belum pernah takut ke­pada siapapun juga. Kau tidak perlu menggertak dengan omong kosong, boleh gunakan kekerasan, aku tidak takut!"

Setelah berkata demikian, dengan membusungkan dada Suma Kiat meleng­gang terus hendak keluar, tidak mempedulikan Kiang Liong yang menghadang di pintu. Kiang Liong membentak, "Bocah setan, jangan harap dapat keluar dari kamar ini sebelum kau mengaku!" Sambil membentak tangan kanan Kiang Liong mendorong kembali tubuh Suma Kiat ke dalam kamar.

Suma Kiat tertawa, cepat miringkan tubuh dan secara tiba-tiba kepalan ta­ngan kirinya menyambar dengan pukulan keras ke leher Kiang Liong, sedangkan seperempat detik berikutnya, tangan kanannya menyusul dengan pukulan jari-jari terbuka ke arah lambung. Pukulan ke dua inilah pukulan maut, pukulan Siang-tok-ciang yang beracun dan amat ganas!

"Plak-plak....!" Tangkisan Kiang Liong cepat sekali dan bertenaga besar karena pemuda ini sudah tahu akan kelihaian adik misannya sehingga melihat pukulan maut itu ia menjadi marah dan menang­kis dengan pengerahan sin-kang disalur­kan ke tangannya. Tubuh Suma Kiat terlempar dan menabrak dinding sedang­kan dengan kaget Kiang Liong merasa betapa lengannya yang menangkis men­jadi panas sekali.

Hanya beberapa detik saja Suma Kiat menjadi nanar karena terbanting ke din­ding. Ia sudah meloncat bangun lagi, mukanya merah sekali, mulutnya terse­nyum menyeringai. "Piauw-heng, kau benar-benar mengajak berkelahi?"

"Huh, bukan aku yang mengajak ber­kelahi, melainkan engkau yang meman­cing keributan. Tinggal kaupilih, mengaku terus terang ataukah harus kuberi hajaran lebih dulu!" jawab Kiang Liong, suaranya bengis pandang matanya tajam.

Suma Kiat tersenyum dan menjura. "Ah, Kakak Misanku yang baik, mana Adikmu berani kurang ajar kepada­mu? Harap kau suka maafkan dan marilah kita bicara secara baik-baik." Sambil berkata demikian Suma Kiat mendekati Kiang Liong. Pemuda ini pada hakekatnya juga tidak suka bertentangan dengan keponakan ibunya, karena hal ini tentu akan menyusahkan hati ibunya. Maka ia bersikap sabar, menekan kema­rahannya dan berkata,

"Begitulah yang kukehendaki, Piauw­te. Sekarang kauceritakan baik-baik ten­tang...."

"Wuuuutt.... dukkkk....!" Tubuh Kiang Liong terjengkang ke belakang dan ber­gulingan di lantai. Pukulan Suma Kiat datangnya terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat sehingga dia yang tidak menyang­ka-nyangka tidak sempat menangkis, bahkan mengelak pun terlambat. Masih untung bahwa pukulan yang menghantam ulu hatinya itu menjadi meleset karena Kiang Liong melempar diri ke belakang, namun tetap saja dada kanannya terkena pukulan. Hanya karena sin-kang pemuda ini sudah mendekati tingkat tertinggi saja yang menyelamatkan nyawanya. Isi dadanya seperti dibakar, napasnya sesak dan sambil mengguling-gulingkan tubuh­nya ia menahan napas mengerahkan sin-kang yang ia desakkan dari pusar ke dada. Ia tahu bahwa ia terluka, sungguh­pun tidak berat danberbahaya. Ia me­nahan kemarahannya dan terus berguling­an, karena ia tahu kalau kemarahan menguasai hati dan menyesak di dada, lukanya akan menjadi berbahaya.

"Heh-heh, kau mencari celaka sendiri, Kiang Liong!" Terdengar suara Suma Kiat mengejek dan angin pukulan yang keras secara bertubi-tubi menyambar ke arah Kiang Liong, menutup jalan keluar dari empat jurusan.

Kiang Liong yang sedang bergulingan itu berhasil menyambar kaki sebuah kursi dan cepat ia melempar kursi itu ke atas sambil menyusul dengan lompatan yang disebut gaya Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas Membalikkan Tubuh), cepat sekali menyusul di belakang bayangan kursi yang dilontarkannya.

"Kraakkk.... bruukk!" Kursi yang ter­buat dari kayu yang tebal dan berat itu hancur berkeping-keping karena terhimpit hawa pukulan Suma Kiat yang menyam­bar dari kanan kiri.

"Aihhh....!" Suma Kiat terkejut, tidak mengira bahwa lawannya yang sudah hampir kalah itu dapat menyelamatkan diri dengan pertolongan sebuah kursi. Namun ia tidak dapat terlalu lama ber­heran, karena Kiang Liong kini sudah menyambar ke depan dan menggunakan kedua tangannya, yang kanan menimpa dari atas, yang kiri mendorong dari ba­wah. Inilah pukulan tangan kosong yang diambil dari gerakan Ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan), sebuah ilmu silat Suling Emas yang luar biasa ampuhnya. Tangan kanan menimpa dengan kekuatan berdasarkan tenaga gwa-kang (tenaga keras/luar) sedangkan tangan kiri mendorong dari bawah dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam).

Suma Kiat memang telah mempelajari pelbagai ilmu silat yang aneh-aneh, na­mun dalam hal tenaga dalam dan penga­laman, ia masih ketinggalan jauh oleh Kiang Liong. Ia terkejut dan mengguna­kan kedua tangannya untuk menahan dan menangkis dua pukulan itu. Inilah kesalahannya. Tangan kanan Kiang Liong tiba lebih dulu dan melihat sambarannya. Suma Kiat juga menangkis dengan tenaga gwa-kang, akan tetapi setengah detik berikutnya, pukulan tangan kiri Kiang Liong yang ditangkisnya itu ternyata menggunakan tenaga yang berlawanan, yakni tenaga dalam. Suma Kiat terkejut, namun terlambat. Lengannya seperti ditempel, lekat dan tahu-tahu tangan Kiang Liong sudah menangkap pergelangan tangannya dan sekali Kiang Liong membuat gerakan, menyendal, tubuh Suma Kiat terlempar ke atas menabrak langit­langit kemudian terbanting jatuh ke atas lantai!

Suma Kiat mengeluh, kepalanya yang terbentur pada langit-langit membuatnya pening. Ketika ia membuka mata, lantai terasa berputaran. Ia meramkan matanya lagi, mengaduh,, merintih dan menarik napas dalam-dalam. Ia sudah pasrah ka­rena kalau saat itu lawannya menyusul dengan serangan baru, ia tentu takkan dapat mengelak atau menangkis. Ia me­nanti maut. Namun pukulan itu tidak kunjung tiba. Ketika ia membuka mata­nya perlahan-lahan, ia melihat Kiang Liong masih berdiri tegak, bertolak ping­gang, kedua kaki terpentang lebar, sikap­nya menyeramkan dan menakutkan hati Suma Kiat.

Tiba-tiba Suma Kiat menangis! Me­nangis sesenggukan, terisak-isak dan ber­gulingan di atas lantai, seperti seorang anak, kecil menangis rewel.

"Uhuuk-hu-huuukk.... Piauw-heng, kau benar kejam sekali.... u-hu-huuk.... kalau memang kau tega kepada adik misan, kaubunuhlah aku sekarang juga.... u-hu­huuukk....!"

Kiang Liong mengerutkan keningnya. Ia teringat akan ucapan ayah bundanya tentang Kam Sian Eng, ibu pemuda ini.

Menurut penuturan ibunya, mungkin se­kali Kam Sian Eng itu seorang wanita yang selain aneh, juga tidak waras otak­nnya. Dan bukan aneh kalau puteranya ini juga agak miring, tidak waras. Atau­kah berpura-pura? Ia menghela napas dan duduk di atas sebuah kursi.

"Sudahlah, tidak perlu banyak tingkah. Bangkit dan lekas kauceritakan semua rahasia itu." katanya dengan hati sebal.

Suma Kiat menghapus air matanya, kemudian meringis kesakitan. Untung bahwa Kiang Liong tadi tidak bermaksud mencelakakannya, dan hanya mengguna­kan kekuatan sin-kang untuk melontar­kannya. Rasa nyeri yang dideritanya kini hanya akibat terbanting, hanya merupakan luka lecet dan benjol belaka. Dengan terpincang-pincang buatan Suma Kiat menghampiri kakak misannya, mengge­rakan pinggul sehingga pedangnya terputar agak dekat ke pinggang.

"Piauw-heng, kau benar-benar terlalu kejam. Apakah kesalahanku maka kau memukulku begini rupa? Memang aku bunuh Cheng Kong Hosiang, hwesio jahat dan beracun mulutnya itu. Coba saja kaupikir, Piauw-heng. Siapa yang tidak menjadi marah. Dia berani membujuk-bujuk aku untuk bersekongkol dengan­nya. Katanya.... kelak kalau bangsa Hsi-hsia menyerbu ke kota raja, aku supaya membantu gerakan itu. Nah, apa ini tidak menjengkelkan? Aku tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan, tentang persekongkolan gelap. Aku hanya suka kepada.... eh, sahabat-sahabatmu yang cantik itu. Apalagi enci adik Chi itu. Kaubagi mereka untukku, ya, Piauw-heng?"

Kiang Liong mendongkol bukan main. Ia tahu bahwa adik misannya ini mem­bohong. Ia sudah mendongkol oleh sikap Kaisar yang tidak berniat membasmi ancaman bangsa Hsi-hsia, kini setelah ada harapan memperoleh keterangan ten­gang ditawannya Pangeran Mahkota Khi­tan, Suma Kiat mempermainkannya. Ka­lau tidak ingat ibunya, ingin ia sekali pukul merobohkan adik misan yang tidak patut ini!

"Suma Kiat!" bentaknya marah. "Tak perlu kau berpura-pura lagi. Aku bukan anak kecil yang dapat kaubodohi dengan sandiwaramu. Hayo katakan, di mana adanya Pangeran Mahkota Khitan yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu, di mana markas orang-orang Hsi-hsia, kalau tidak mengaku.... hemm.... engkau tentu akan kuhajar!" Kiang Liong melangkah maju, mengamangkan tinjunya, mengancam.

"Eh.... eh.... ohh.... Piauw-heng kaubu­nuhlah saja aku...." Kembali Suma Kiat menangis menggerung-gerung! Kiang Liong menjadi gemas dan makin marah. Celaka, pikirnya, kalau anak edan ini makin keras menangis, tentu akan ter­dengar oleh ibunya. Lebih baik kutotok dia agar tidak dapat banyak tingkah. Ia melangkah maju dan.... sinar putih yang menyilaukan mata menyambarnya ketika tahu-tahu Suma Kiat sudah mencabut pedang dan menyerangnya secepat kilat!

Kiang Liong terkejut bukan main. Serangan pedang ini amat cepat dan dilakukan dari jarak dekat secara tak ter­sangka-sangka. Untuk mencabut senjata pensilnya sudah tidak keburu lagi, maka tiada lain jalan bagi Kiang Liong kecuali mengerahkan tenaga gin-kang dan tubuh­nya mencelat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang putih itu terus menyambar diikuti bunyi dengus Suma Kiat yang agaknya mentertawakan.

"Crak-crak....!" Sebuah meja besar pecah menjadi beberapa potong kena sambar sinar pedang Suma Kiat ketika tubuh Kiang Liong menyelinap ke bela­kang meja.

Beberapa detik ini sudah cukup bagi Kiang Liong. Ketika pedang Suma Kiat bertemu dengan meja yang mewakili dirinya, ia sudah mencabut sepasang pensilnya dan kini ia meloncat melam­paui meja sambil menyerang! Suma Kiat tidak gentar melihat bahwa kakak misan­nya hanya memegang sepasang senjata pensil yang hanya satu kaki lebih pan­jangnya itu. Ia tertawa dan pedangnya diputar cepat, membentuk gulungan sinar putih

"Cring-cring.... trang-trang-trang....!" Berkali-kali pedang yang bersinar putih itu bertemu denpan sepasang pensil dikedua tangan Kiang Liong. Barulah Suma Kiat menjadi terkejut ketika tangan kanannya terasa hampir lumpuh setiap kali pedangnya bertemu dengan kedua pensil kakak misannya. Ia jauh kalah kuat tenaganya dan ia menjadi bingung karena dua pensil itu mengandung tenaga yang berlawanan dan lebih membingungkan lagi, berubah-ubah. Kalau dalam bentrokan pertama pensil kiri mengan­dung tenaga kasar, dalam bentrokan ke dua mengandung tenaga lemas, dan demikian sebaliknya dengan pensil kanan. Orang yang sudah dapat mengatur tenaga berubah-ubah seperti itu, benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh.

Betapa pun Suma Kiat mengeluarkan semua ilmu pedangnya yang aneh, tetap saja ia terkurung dan terhimpit oleh sinar sepasangpensil. Ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar pedang me­lindungi tubuhnya. Andaikata Suma Kiat bukan adik misan Kiang Liong melainkan seorang musuh yang boleh dibunuh, tentu saja ia sudah roboh binasa karena dengan kelebihan ilmunya, dengan mudah Kiang Liong dapat membunuh Suma Kiat. Akan tetapi Kiang Liong tidak ingin membunuh­nya, hanya ingin merobohkan dan menak­lukkannya, maka hal ini memakan waktu agak lama dan tidaklah mudah, sama dengan orang hendak menangkap hidup-hidup seekor harimau ganas. Kiang Liong sedang menanti kesempatan untuk meno­tok adik misannya.

Tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring menyeramkan. Mendengar ini Kiang Liong terkejut, akan tetapi Suma Kiat dengan suara girang berseru. "Ibu, tolonglah!" Angin yang keras menyambar masuk dari jendela dan.... lampu dinding dalam kamar itu seketika menjadi pa­dam! Kiang Liong kaget, tidak melanjut­kan serangannya dan meloncat mundur. Akan tetapi dari depan, pedang Suma Kiat menerjangnya dengan hebat. Kaget­lah Kiang Liong dan ia menangkis. Per­temuan pedang dengan pensil di tangannya menciptakan bunga api yang tampak jelas di dalam kamar gelap ini. Kembali Suma Kiat menyerangnya. Kiang Liong me­nangkis kembali hanya mengandalkan ketajaman pendengarannya. Ia sama se­kali tidak menduga bahwa lawannya jauh lebih tajam pandangan matanya di dalam gelap daripada dia. Suma Kiat semenjak kecil hidup di dalam istana bawah tanah, sudah biasa dengan kegelapan. Matanya amat tajam di dalam gelap, inilah sebab­nya mengapa setelah kamar menjadi gelap ia dapat menyerang bertubi-tubi sehingga mengejutkan Kiang Liong.

Karena tidak ingin "salah tangan" dalam gelap itu sehingga ia membunuh atau mendatangkan luka berat pada adik misannya, pada saat pedang Suma Kiat menyambar dari depan, ia cepat "me­nangkap" pedang itu dengan §epasang pensilnya dengan cara menjepit pedang itu dengan dua pensil yang disilangkan. Suma Kiat terengah-engah berusaha me­narik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedang itu seperti lekat pada sepasang pensil.

"Suma Kiat, lepaskan pedangmu!" Dengan suara tegas Kiang Liong berkata.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut bu­kan main. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu ada hawa pukulan menyambar ke arah tengkuknya. Ia menjadi serba susah. Melepaskan jepitan pedang Suma Kiat berarti memberi kesempatan kepada adik misan yang gila itu untuk menyerangnya lagi. Tidak melepaskannya, ia terancam pukulan hebat yang kini sudah tiba. Kiang Liong mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar suara seruan kaget Suma Kiat karena pedangnya sudah terampas, secara paksa direnggut lepas dari tangannya oleh tenaga putaran yang hebat. Pada saat itu, Kiang Liong terpaksa menerima tamparan dari belakang yang mengenai pundaknya karena ia sudah miringkan tubuh dan mengerahkan sin-kang ke arah pundak. Ia percaya bahwa tenaga sin-kangnya dapat melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak kelihatan.

"Plakk....!”

Pukulan yang merupakan tamparan telapak tangan halus itu tidak keras, akan tetapi ternyata tubuh Kiang Liong terguling roboh, sepasang pensil yang masih menjepit pedang Suma Kiat ter­lepas dari kedua tangan, jatuh berkeron­tangan di atas lantai kamar.

Suma Kiat menyalakan lampu dinding, menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil berkata. "Untung kau da­tang, Ibu."

"Goblok! Menghadapi senjata sepasang pensil jangan mau bertempur dekat!" gumam wanita itu yang bukan lain ada­lah Kam Sian Eng. Melihat wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia merasa serem juga. Di dalam hati ia mentertawai ucapan wanita itu. Me­mang kata-katanya mengandung kebe­naran, yaitu bahwa keampuhan senjata pit adalah untuk pertempuran jarak de­kat, akan tetapi mengingat akan tingkat Suma Kiat, tetap saja ia akan dapat mengalahkan adik misan itu biarpun menggunakan siasat pertempuran jarak jauh. Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lebih panjang lagi karena rasa nyeri di pundaknya membuat ia terpaksa menge­rahkan tenaga melawannya. Baru saja ia memejamkan mata mengatur pernapasan, tiba-tiba belakang lehernya ditotok. Ka­gum juga hatinya karena wanita itu da­pat menotoknya tanpa ia ketahui sama sekali, tanda bahwa gerakannya amat ringan. Ia kini tidak dapat bergerak pula menjadi lemas karena yang tertotok ada­lah jalan darah yang berpusat di pung­gung. Maka ia hanya dapat rebah telen­tang sambil memandang ibu dan putera yang gila itu.

"Bagus, Ibu. Kita bawa Kiang Liong kepada Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang Liong ini menggagalkan pertemuan dan persekutuan bahkan membahayakan kedudukan para pembantu di kota raja."

Sian Eng mengangguk. Sepasang sinar mata yang amat tajam menembus ke­rudung hitam, membuat Kiang Liong tertegun dan ngeri. Mata itu bukan mata orang biasa! Mata itu kehilangan perasa­an, kehilangan ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang sudah gila atau mata iblis!

"Kaubawa dia dan mari kita pergi!" katanya lirih.

"Heh-heh-heh, nanti dulu, Ibu. Masih ada lagi yang harus kubawa bersama kita. Aku tanggung Bouw Lek Couwsu akan lebih senang hatinya dan yang akan ku­bawa ini merupakan tanggungan akan bala bantuan Khitan, Heh-heh!"

"Siapa?"

"Puteri Panglima Besar Khitan. Kau tunggu sebentar, Ibu." Suma Kiat menya­rungkan pedangnya yang tadi terampas Kiang Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan meloncat keluar dari dalam kamar.

Di ruangan tengah Suma Kiat ber­temu dengan Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama Puteri Mimi. "Kiat­-ji (Anak Kiat), apakah yang terjadi? Aku mendengar suara ribut-ribut. Apakah.... kau bertengkar lagi? Mana Liong-ji?"

"Heh-heh-heh, anakmu sudah mam­pus!" Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap Puteri Mimi yang jelita.

"Apa....? Di mana dia....?" Suma Ceng menjerit.

Akan tetapi dengan lebih kurang ajar lagi Suma Kiat mendorong dengan tangan kanannya ke arah dada bibinya sambil membentak. "Pergilah kau!"

Nyonya Kiang itu cukup mengenal ilmu silat sehingga ia cepat miringkan tubuh mengelak dari dorongan kurang ajar itu. Akan tetapi tidak cukup menge­nal kecurangan dan kelihaian keponakan­nya. Dengan sabetan kaki yang amat cepat, Suma Kiat menyerang. Kedua kaki nyonya itu tersabet, terangkat dan tu­buhnya terbanting ke lantai. Kepala­nya membentur lantai dan nyonya ini pingsan!

"Kau jahat!" Mimi membentak marah, sepasang matanya yang indah lebar itu terbelalak.

"Heh-heh, tidak kepadamu, manis." Suma Kiat terkekeh, tangannya menjang­kau hendak menangkap.

Akan tetapi Puteri Mimi bukan se­orang wanita lemah. Cepat ia mengelak dan tangan kirinya yang dikepal keras menghantam dada Suma Kiat, disusul tendangan kaki kanannya.

"Heh-heh, kau gesit juga, manis!" Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan berusaha menangkap lagi.

Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan, mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan mengarah ba­gian berbahaya dan lemah dari tubuh lawan.

Terdengar suara ribut-ribut, tanda para penghuni rumah sudah terbangun semua oleh suara hiruk-pikuk ini. Suma Kiat cukup cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia berseru dan tangannya menyelonong, mengirim pukulan yang amat kuat ke arah muka Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha menangkis, akan tetapi ternyata pukulan ini hanya gertakan be­laka dan di lain saat tubuh Mimi sudah menjadi lemas karena tertotok oleh ta­ngan kiri Suma Kiat. Mimi mengeluh dan tubuhnya yang akan roboh itu disambar oleh Suma Kiat dan dipanggulnya, dibawa lari ke arah kamar Kiang Liong.

Melihat Suma Kiat kembali membawa tubuh seorang gadis Khitan yang cantik, Sian Eng tidak berkata apa-apa. Wanita ini lalu menyambar tubuh Kiang Liong, dikempit dengan lengan kirinya, kemudian berkata singkat. "Hayo pergi, ikuti aku!"

Bagaikan bayangan dua setan, ibu dan anak ini menghilang melalui jendela dan terus melompat ke atas genteng, berlari-lari dan lenyap ditelan kegelapan malam. Di dalam gedung menjadi gempar. Pa­ngeran Kiang dan para pelayan serta pengawal menjadi kaget dan gelisah me­lihat Nyonya Kiang pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget lagi mereka melihat bahwa Puteri Mimi telah lenyap, demi­kian pula Kiang Liong lenyap dari dalam kamarnya yang kacau-balau keadaannya. Setelah Nyonya Kiang siuman, barulah Pangeran Kiang mendengar akan perbuat­an Suma Kiat. Ia menghela napas pan­jang dan mengomel.

“Ah, tidak disangkanya dia menurun ayahnya....!” Tentu saja Pangeran Kiang ini kenal akan Suma Boan yang memang amat jahat. Mendengar ucapan suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan berkata ketus.

“Perlu apa memburuk-burukkan nama Kakakku yang sudah mati? Lebih baik kau cepat-cepat berusaha, mengerahkan pengawal untuk mencari Liong-ji dan Puteri Mimi!”

Pangeran Kiang menggerakkan pundak, akan tetapi ia keluar dari kamar isteri­nya untuk mengerahkan pasukan penga­wal. Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan hatinya. Pertama karena ia tahu akan kelihaian Kiang Liong se­hingga lenyapnya tidak perlu dikhawatir­kan. Ke dua karena ia memang kurang peduli akan pemuda itu yang menurut hukum adalah putera sulungnya akan tetapi yang ia ketahui dengan yakin di dalam hati bukanlahketurunannya. Ia maklum akan permainan asmara antara isterinya dan Suling Emas, maka melihat sikap dan wajah Kiang Liong, melihat pula betapa Suling Emas amat mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pe­muda itu adalah keturunan Suling Emas. Akan tetapi ia terlampau mencinta is­teri, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini.

Sementara itu, Kiang Liong dan Mimi dibawa lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat. Semalam suntuk mereka berlari seperti terbang cepatnya menuju ke ba­rat. Mereka melewati kota Lok-yang, terus ke barat sampai mereka tiba di luar sebuah hutan besar di kaki Bukit Fu-niu-san di lembah Sungai Kuning.

Malam telah terganti pagi dan mata­hari telah bersinar cemerlang. Mereka berhenti di luar hutan dan Kiang Liong yang sudah tertotok lemas kembali di­lempar oleh wanita berkerudung itu se­hingga rebah telentang di atas tanah.

Suma Kiat duduk di bawah pohon, tubuh Mimi dipangkunya.

“Ibu, kenapa berhenti?”

“Kita menanti penjemputan. Tempat ini penuh rahasia, amat berbahaya.” Kata ibunya. Puteri Mirni mengeluh dan bergerak perlahan, berusaha melepaskan diri dari atas pangkuan dan dari lengan Suma Kiat yang memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas dari totokan, Suma Kiat, tertawa. “Ha-ha-ha, manis. Tenanglah, karena aku tidak akan menyusahkanmu. Sebaliknya, engkau akan menikmati ba­nyak kesenangan dengan aku, ha-ha!”

Suma Kiat memeluk erat dan men­dekatkan mukanya hendak mencium. Pu­teri Mimi meronta-ronta, namun tenaga pemuda itu jauh lebih kuat.

Kam Sian Eng duduk bersila, me­mejamkan mata, sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya itu. Hanya Kiang Liong yang menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya ber­api. Pemuda ini mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam itu benar hebat, membuat kaki tangannya lumpuh dan ia hanya dapat membentak keras.

“Suma Kiat! Demi Tuhan, kalau kau mengganggu puteri itu, aku pasti akan membunuhmu!”

Suma Kiat mengangkat muka meman­dang sambil menyeringai. Melihat sinar mata Kiang Liong, ia tertawa. “Ha-ha, Piauw-heng, apakah kau cemburu dan iri?” Ia mengejek, akan tetapi agaknya sinar mata Kiang Liong yang menyeram­kan itu membuat ia kederjuga. Ia tahu betapa lihainya kakak misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora nafsu­nya. Ia mendorong tubuh Mimi dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan jatuh ke atas tanah, rebah miring. Biar­pun ia sudah dapat bergerak, namun ia pura-pura tak berdaya dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega bahwa untuk sementara ia terbebas dari­pada penghinaan. Akan tetapi tentu saja ia amat cemas, apalagi mengingat bahwa Pangeran Mahkota Khitan tertawan mu­suh, dan kini dia sendiri, bahkan Kiang Liong, satu-satunya orang yang dapat ia harapkan juga tertawan!

Mereka tidak lama menanti. Dari dalam hutan terdengar suara seperti lolong srigala susul-menyusul, makin lama makin dekat dan tak lama kemudian muncullah dua belas orang hwesio jubah merah yang segera memberi hormat kepada Kam Sian Eng. Seorang di antara mereka, yang bermuka hitam, segera berkata.

“Maafkan pinceng sekalian yang agak lambat menyambut, Couwsu memerintah­kan pinceng untuk menyambut Toanio dan mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu.”

Kam Sian Eng bangkit, tak menjawab hanya menggerakkan tangan kepada Suma Kiat, memberi tanda agar puteranya mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh Kiang Liong. Suma Kiat memondong Puteri Mimi lalu meng­ikuti ibunya, diiringkan dua belas orang hwesio jubah merah, memasuki hutan yang besar dan gelap. Hwesio muka hi­tam sebagai penunjuk jalan membawa mereka berjalan melalui pohon-pohon besar menerjang alang-alang dan berputar­-putaranan. Sungguh jalan yang amat sulit bagi orang luar dan hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman. Mengambil jalan lain berarti harus menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia, pasukan-pasukan terpendam dan hujan anak panah!

***

Setelah berpisah dari Yu Siang Ki yang akan mengumpulkan teman-teman para tokoh Kai-pang, Kwi Lan melanjutkan perjalanan melanjut­ perjalanan seorang diri menuju kebarat. Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan ia tiba di kaki bukit Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja. Jantungnya berdebar keras. Ia belum pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi karena Pangeran Mahkota itu adalah putera angkat ibu kandungnya, maka berarti saudara angkatnya pula. Ia hanya tahu bahwa putera angkat ibunya itu bernama Pangeran Talibu. Biasanya Ia tak senang dan iri kalau teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar Pangeran ini tertawan oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisahsekali. Ia sendiri menjadi heran mengapa ia menjadi begini? Jantungnya terasa bergetar penuh kecemasan dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya hanya pergi me­nolong dan membebaskan Pangeran itu daripada ancaman orang-orang Hsi-hsia! Ibu kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai Pangeran Mahkota ini tertimpa bencana. Kini, ia dapat menggambarkan betapa keadaan ibu kandungnya itu. Melihat watak guru­nya, sudah pasti ia dahulu dipisahkan secara paksa oleh gurunya dari Ibu kan­dungnya. Dan tentu saja ibu kandungnya mengangkat seorang putera yang menjadi penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak kandung, kalau sekarang harus kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan hancur hatinya.

Hutan yang lebar dan gelap itu tidak menjadikannya gentar. Kwi Lan seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Pula ia sudah terbiasa di dalam gelap. Tidak percuma ia sejak kecil dahulu tinggal di dalam istana bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi Lan mencabut pedangnya kemudian memasuki hutan. Ada sebuah lorong kecil di dalam hutan itu dan jalan inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam hutan, sunyi dan gelap, bahkan angin sedikit pun tak ada bertiup.

Jalan kecil itu penuh daun kering. Baru kurang lebih seratus langkah ia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba ka­kinya menginjak alat rahasia yang tersembunyi di bawah tumpukan daun kering. Terdengar bunyi berciutan dari kanan kiri dan puluhan batang anak panah menyambar ke arahnya dari pohon-pohon dan di kanan kiri, anak panah yang meluncur dari busur digerakkan oleh alat-alat rahasia secara otomatis! Kwi Lan tidak mau ber­tindaksembrono. Ia berdiri tegak dan te­tap di tempatnya, hanya memutar pe­dangnya menjadi segulung sinar melin­dungi tubuhnya. Semua anak panah terpu­kul runtuh dan akhirnya hujan anak panah itu pun berhenti.

Kwi Lan amatcerdik. Ia dapat men­duga bahwa kiranya bukan hanya ini tempat yang mengandung rahasia serang­an atau jebakan gelap. Ia memandang ke sekeliling. Kalau ia mengambil jalan liar, besar sekali bahayanya ia akan tersesat di dalam hutan ini, apalagi malam ham­pir tiba. Kalau melalui jalan kecil ini ia akan menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia yang lebih berbahaya lagi. Ia memandang ke atas dan matanya yang indah berseri-seri. Itulah jalan yang pa­ling tepat, pikirnya dan sekali ia mengenjotkan kaki pada tanah dan menga­yun tubuh, tubuhnya yang ramping itu melayang ke arah pohon. Kemudian mu­lailah ia melanjutkan perjalanan melalul “jalan atas” yaitu berloncatan dari pohon ke pohon! Hal ini tidak terlalu sukar ia lakukan karena pohon-pohon di situ amat lebat, sambung-menyambung di kanan kiri jalan kecil yang dari atas nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus berloncatan sehingga dalam waktu sing­kat ia sudah masuk ke dalam hutan, melampaui lebih seratus batang pohon besar.

Tiba-tiba ketika ia meloncat ke se­buah pohon besar, ada bayangan hitam lebar seperti layar menyambar ke arah­nya. Cepat ia menggerakkan pedangnya ke depan, diputar sambil mengerahkan tenaga.

“Cring-cring.... brettt....!”

Ketika ia memandang, kiranya yang menyambarnya adalah sehelai jala yang dalamnya dilengkapi dengan kaitan-kaitan baja! Ia bergidik dan marah sekali, apa­lagi ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia, berlompatan dan me­nyerangnya dari lima penjuru. Gerakan binatang-binatang ini tentu saja amat tangkas. Sambil cecowetan mereka me­nyerbu, menggerakkan kedua lengan yang panjang berbulu.

Kwi Lan boleh jadi pandai ilmu silat dan andaikata ia dikeroyok di atas tanah, jangankan hanya oleh lima ekor monyet, biar oleh lima puluh ekor monyet sekalipun ia tidak akan gentar. Kini ia ber­ada di atas dahan-dahan pohon yang tentu saja merupakan “daerah” monyet. Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak lebih leluasa dan gesit. Betapa­pun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal. Tangan kirinya sudah merogoh saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau menyambar. Itulah jarum-jarum hijau! Lima ekor monyet itu tak dapat mengelak dan dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Kwi Lan ketika mendengar betapa “monyet-monyet” itu mengeluarkan suara mengaduh seperti manusia! Kiranya mereka adalah manu­sia-manusia yang menyamar sebagai mo­nyet, agaknya untuk mengawasi daerah itu sekalian menjadi penjaga. Setelah mendapat kenyataan bahwa mereka itu manusia, Kwi Lan menjadi makin tabah. Lima orang Itu masih berusaha bergan­tung pada dahan-dahan pohon. Kwi Lan menerjang maju, lima kali Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima orang itu terpelanting ke bawah tanpa dapat menge­luh lagi karena mereka semua telah te­was!

Akan tetapi pada saat itu, terdengar ledakan keras dan.... pohon besar di mana Kwi Lan berada itu tiba-tiba roboh! Kwi Lan tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat turun, takut tertimpa dahan-dahan pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga terdapat bahaya terbanting bersama pohon. Biarpun terancam bahaya maut, gadis ini masih tidak kehilangan akal. Ia mempergunakan pandang mata­nya yang tajam dan terbiasa di tempat gelap, mengikuti robohnya pohon itu sambil berpegang kuat-kuat pada dahan. Setelah tahu arah pohon roboh, ia cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah atas sehingga ia berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apabila pohon itu sudah rebah di tanah. Kemudian, sambil mengerahkan seluruh gin­kangnya, sebelum pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot tubuhnya ke depan, melampaui pohon itu dan mela­yang turun ke atas tanah sambil menyambar ujung dahan terpanjang.

Untung sekali bahwa dalam seperem­pat detik terakhir ia ingat untuk me­nyambar ujung ranting dari dahan terpan­jang pohon itu, karena begitu kedua ka­kinya turun menginjak tanah yang tertu­tup daun-daun kering, tiba-tiba tanah itu bergoyang dan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang sumur yang amat lebar dan dalam! Kwi Lan menahan napas, menge­rahkan tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan bantuan ujung ranting pohon. Tubuhnya mencelat keluar dari sumur dan ia tidak berani lagi turun ke atas tanah yang banyak jebakannya melainkan memeluk dahan terendah sebatang pohon terdekat!

Kini ia “nongkrong” di atas dahan mengeluarkan saputangan dan menghapus dahi dan leher yang penuh dengan ke­ringat dingin. Tangan yang dipergunakan untuk menghapus keringat itu agak ge­metar, jantungnya berdebar-debar. Bukan main, pikirnya. Kini terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari tengah hutan. Bahaya baru lagi mengancam pi­kir Kwi Lan. Ia berada terlalu dekat dengan mayat lima orang itu, dan hal ini berbahaya. Para penjaga tentu akan me­meriksa sekeliling tempatini. Ia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat akan banyaknya alat rahasia yang demikian berbahaya. Di samping ini, ia tidak ingin bertempur dengan mereka sebelum dapat menemu­kan dan menolong Pangeran Mahkota. Lebih baik ia bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di mana tempat sembunyi?

Kwi Lan memandang kesekeliling. Ia tidak mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak jebakan. Bersembunyi di pohon juga tidak aman. Buktinya tadi ia ber­temu lima orang yang menyamar sebagai monyet. Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari situ terdapat sebuah jurang. Ia lalu berloncatan mendekati jurang ini melalui pohon-pohon menjauhi jalan kecil. Kemudian dengan hati-hati sekali ia tu­run dari pohon, tidak berani meloncat. Ia masih berpegang kepada batang pohon ketika kakinya turun ke tanah, kemudian ia melangkah maju perlahan-lahan meng­gunakan sebatang ranting sebagal tong­kat. Ia menekan tanah di depan tongkat lebih dulu sebelum kakinya menginjak. Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini tidak ada jebakannya. Suara manusia ter­dengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup banyak. Malam telah tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang yang kecil, lebih mirip sebuah sumur besar yang dindingnya batu karang. Perlahan-lahan ia merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan batu-batu menonjol.” Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah sebuah batu yang menonjol, terlindung dari atas oleh batu itu. Tempat ia bersembunyi itu tidak berapa jauh dari tempat pohon roboh tadi dan ia mulai mendengar jejak kaki banyak orang dan suara mereka, ada yang berbahasa daerah yang ia mengerti.

“Siapa yang terjebak? Di mana dia?” terdengar suara yang parau,

“Tidak ada bayangan seorang setan pun!” seru suara yang lain, suara tinggi.

“Wah, mereka ini tewas....!”

“Bawa obor, biarkan pinceng meme­riksanya!”

Kwi Lan tersenyum. Girang hatinya bahwa ia memasuki tempat yang benar. Itulah suara orang Hsi-hsia dan yang ter­akhir tentulah seorang hwesio jubah me­rah, anak buah Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi, di sini markas baru Bouw Lek Couwsu, dan menurut suhengnya, di sinilah Pangeran Mahkota tertawan. Ia me­mutar otaknya. Agaknya penjagaan di daerah ini pasti amat kuat, jauh lebih kuat daripada markas Bouw Lek Couwsu di Bukit Kao-likung-san di lembah Nu­kiang dahulu, karena selain markas ini dekat kota raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di Kao-likung-san yang di­basmi orang-orang Beng-kauw tentu membuat Bouw Lek Couwsu kini berhati­hati. Apa akal untuk dapat menemukan Pangeran Mahkota yang ditawan?

Suara orang-orang di sebelah atas makin ribut. Benar saja, mereka kini mencari-carinya. Mereka sudah tahu bahwa lima orang anak buah yang me­nyamar sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia, terluka jarum dan te­was oleh bacokan pedang. Makin jeias suara mereka ketika mendekat dan tak lama kemudian Kwi Lan mendengar me­nyambarnya puluhan senjata rahasia dan anak panah ke dalam jurang atas sumur di mana ia bersembunyi. Kalau ia ber­sembunyi di dasar jurang itu, tentu tu­buhnya dihujani senjata rahasia. Akan tetapi di bawah batu besar yang menon­jol ini, ia terlindung dan aman!

“Kalau dia bersembunyi di bawah tentu mampus!” terdengar seorang berkata. Kemudian suara mereka makin menjauh. Kwi Lan maklum bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat merayap naik. Dari tepi jurang ia mengintai. Lima buah mayat itu telah mereka angkut dan masih ada beberapa orang berkeliaran men­cari-cari di sekitar tempat itu, dengan obor di tangan, Kwi Lan menyelinap dan berindap-indap membayangi seorang tinggi besar, bangsa Hsi-hsia yang mencari sen­dirian ke jurusan barat. Orang Hsi-hsia ini memandang ke kanan kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan. Ia membabati alang-alang dengan goloknya, mencari-cari. Tiba-tiba dua batang jari yang kecil namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan seketika orang Hsi-hsia itu lumpuh dan ping­san. Bagaikan iblis sendiri bayangan Kwi Lan berkelebat dekat, menerima obor dan golok yang terlepas dari tangan orang Hsi-hsia itu, membuang golok dan menangkap dengan korbannya, lalu mema­damkan obor, mengempit tubuh yang gemas itu dan membawanya naik ke atas pohon. Ia merasa yakin bahwa kini pohon merupakan tempat sembunyi yang aman setelah orang-orang itu tadi mencari dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang makin baik karena kini mereka berpencar mencari ke tempat yang agak jauh.

“Jawab saja dengan angguk.” bisik Kwi Lan dekat orang Hsi-hsia yang dita­wannya setelah ia menotok urat gagu orang itu. “Kau tahu di mana Pangeran Mahkota Khitan ditawan?”

Orang itu menggeleng kepalanya.

“Jangan kau bohong. Kalau kau mau mengantarku ke tempat tawanan itu, kau takkan kubunuh.”

Kembali orang itu menggeleng kepala, kini dengan keras. Ketika Kwi Lan me­mandang di bawah sinar bulan yang ber­sinar melalui celah-celah daun pohon, ia melihat betapa orang itu memandang kepadanya dengan mata melotot penuh kebencian. Sebuah muka yang membayangkan keras hati dan keras kepala, se­dikit pun tidak takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan sadar akan kekeliru­annya. Mengapa ia menawan seorang Hsi­-hsia? Tentu saja, orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya dengan taruhan nyawa, menganggap diri sendiri seorang patriot, seorang pahlawan! Ia melihat, banyak tadi orang sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han su­dah membantu Hsi-hsia menentang kerajaan sendiri, dia adalah seorang peng­khianat. Dan biasanya, seorang pengkhia­nat adalah seorang pengecut, hanya ber­juang untuk uang dan kedudukan. Orang yang berjuang untuk cita-cita bangsa, bangsa apapun, juga, adalah seorang patriot yang tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang yang berjuang untuk harta dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa, tentu seorang pengecut besar. Orang seperti itu tentu takut mati. Sadar akan kekeliruannya ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi lumpuh, dan Ia men­jepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang, kemudian dengan gerakan tangan ia merayap turun daripohon. ia berlaku hati-hati, tidak berani semba­rangan meloncat.

Setelah mencari dengan hati-hati, menyelinap di antara alang-alang dan pohon-pohon, akhirnya ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti pengemis penuh tambalan, membawa obor dan pedang mencari-cari seperti orang Hsi-hsia tadi. Kwi Lan merunduk sampai dekat, kemudian bergerak cepat seperti tadi, membikin orang itu tidak berdaya dan pingsan dengan sebuah totokan di belakang telinga. Kembali ia membawa orang itu naik ke atas pohon.

Tepat dugaannya, pengemis baju ber­sih yang berjiwa khianat ini menjadi ketakutan, apalagi ketika ia mengenal bahwa yang menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah amat terkenal di an­tara kaum sesat dunia pengemis. Wajah­nya pucat, tubuhnya menggigil, akan tetapi ia tidak berani berteriak minta tolong karena tak dapat bersuara akibat totokan pada urat gagunya.

“Bawa aku ke tempat tahanan Pange­ran Mahkota Khitan, dan kau tidak akan kubunuh.” desis Kwi Lan sambil menem­pelkan pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak, mengangguk-angguk.

“Akan kubebaskan totokanmu dan kau boleh berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku akan menembus lehermu sebe­lum ada kawanmu yang datang untuk menolongmu!” Kembali orang itu meng­geleng-geleng kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan membebaskannya.

“Ampunkan aku, Li-hiap....”

“Sst, jangan banyak cerewet,” bisik Kwi Lan. “Hayo bawa aku ke tempat itu.”

Mereka turun dari pohon, Kwi Lan terus mengikuti orang ini dengan ujung pedang ditodongkan di punggung. Penge­mis itu lalu mengambil jalan simpangan, melalui alang-alang dan kumpulan pohon yang besar dan liar, jauh dari jalan kecil yang penuh jebakan.

Sampai lima kali orang itu menyuruh Kwi Lan berhenti di tempat-tempat ter­tentu, berbisik bahwa tempat itu terjaga oleh seorang dua orang penjaga. Kwi Lan menotoknya lumpuh, kemudian merayap ke tempat penjagaan. Pedangnya bekerja cepat dan di setiap tempat penjagaan rahasia ini dua atau tiga orang penjaga­nya roboh binasa semua sebelum mereka sempat bergerak. Akhirnya, lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan me­reka kini menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sebuah daerah yang berbatu-batu be­sar. Kwi Lan biarpun melakukan perjalanan malam gelap, hanya diterangi bulan sepotong, namun ia mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau sudah berhasil membebaskan Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa mereka keluar dari sarang Bouw Lek Couwsu.

“Di sanalah tempat tahanan itu, Li­hiap. Di dalam guha, yang tampak dari sini itu.” pengemis yang ditawan itu ber­bisik, suaranya gemetar dan dengan ujung bajunya ia menghapus peluh. Mereka telah melakukan perjalanan yang amat sukar dan amat lambat sehingga malam telah menjelang pagi ketika mereka tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari tangannya menotok tawanannya. Orang itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh tak mampu bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang ber­gerak-gerak memandang penuh rasa ta­kut. Nyawanya berada di ujung rambut. Andaikata ia terbebas dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah tahu akan perbuatannya membawa Mutiara Hitam ke sini, ia pasti akan mengalami kematian yang lebih hebat lagi.

Dengan amat hati-hati Kwi Lan me­rayap di bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu yang berbaris di sepan­jang tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu, ia meloncat dan menyelinap di belakang batu, lalu perlahan-lahan ia bergerak mendekati guha batu yang tadi ditunjukkan dari jauh oleh tawanannya. Tiba-tiba ia berhenti dan menyelinap di belakang batu, mengintai. Jantungnya berdebar keras karena tegang. Kiranya di depan guha yang cukup besar itu ter­dapat lima orang penjaga! Dan melihat keadaan mereka, ia dapat menduga bah­wa lima orang yang bertugas menjaga tempat tahanan Ini tentulah bukan orang-orang biasa. Tiga orang hwesio jubah merah yang bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi besar dan memegang sebuah penggada yang me­ngerikan karena selain besar dan berat juga dihias duri-duri runcing, sedangkan orang ke lima adalah seorang kecil pen­dek yang memegang toya. Melihat tam­bal-tambalan pada pakaian orang ini jelas bahwa dia seorang tokoh kai-pang yang sesat.

Kwi Lan mengintai, hatinya bergun­cang. Tentu saja ia tidak gentar. Akan tetapi tampaknya lima orang itu cukup tangguh. Kalau ia melompat keluar dan dikeroyok lima, tentu tidak dapat men­capai kemenangan secara cepat dan kalau ia tidak bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan atau Bouw Lek Couwsu muncul sendiri, usahanya ten­tu akangagal. Ia mulai menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu di sampingnya tentu akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan akan berhasil. Apalagi kalau Kiang Liong ikut membantu. Pemuda hebat! Pemuda lihai luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri. Hatinya gemas. Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan me­ngenang pemuda itu? Ih, pemuda som­bong. Tidak memandang mata kepadanya! Padahal semua pemuda, yang tampan-tam­pan dan gagah-gagah, seorang demi se­rang jatuh cinta kepadanya! Mula-mula Tang Hauw Lam Si Berandal! Hampir ia tertawa ketika teringat kepada Hauw Lam. Kemudian Siang Koan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi Kiang Liong ini tidak memandang sebelah mata kepada­nya! Si Sombong, mentang-mentang men­jadi murid Suling Emas lalu besar kepala!

Kwi Lan makin gemas. Menghadapi tugas berat, mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan? Salahnya orang she Kiang itu! Ia mengusir semua kenangan, kemudian menjemput batu kecil, dilemparkan ke sebelah kanannya, kurang lebih dua puluh meter jauhnya dari mulut guha.

“Eh, apa itu?” Seorang di antara me­reka bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang kepalanya besarsekali. Ia mencabut pedang lalu menggerutu. “Biar pinceng periksa, siapa tahu ada musuh.”

“Benar, mari kita periksa, Suheng.” kata hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati sambil mencabut pedangnya pula.

Kwi Lan siap dengan jarum-jarumnya, mendekam di belakang sebuah batu be­sar. Ketika ia mendengar jejak kaki dua orang hwesio ini sudah datang dekat, lewat di depan batu besar, ia membiar­kan mereka lewat beberapa langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang dengan jarum-jarum hijau dari belakang!

Hebat bukan main serangan ini. Ja­rum-jarum hijau itu adalah senjata-sen­jata rahasia yang halus sekali, dilontar­kan dengan tenaga sin-kang sehingga hampir tak mengeluarkan suara, saking cepatnya hanya tampak sinar kehijauan. Apalagi dilontarkan dari jarak dekat dan dari belakang Si Korban, benar-benar amat berbahaya. Dua orang hwesio itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi serang­an gelap seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Biarpun mereka yang telah memiliki gerak reflek lumayan, namun ketika mengelak masih kurang cepat sehingga dua tiga batang jarum telah menyusup ke dalam kulit memasuki daging meracuni darah. Dua orang hwesio ini menjerit, terhuyung-huyung dan sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam dua kali bergerak, menamat­kan riwayat dua orang hwesio ini. Se­telah membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap kembali ke belakang batu besar.

Tiga orang penjaga yang lain terkejut sekali, dengan lompatan-lompatan jauh mereka menyerbu. Kwi Lan mempergu­nakan kesempatan ini untuk memutar batu besar, lalu cepat ia lari memasukiguha. Ia melihat seorang pemuda yang tampan, tubuh dari pinggang ke atas telanjang, berdiri dengan terbelenggu. Pemuda ini setengah pingsan, bersandar pada dinding batu, tubuhnya yang kuat dan berkulit putih bersih itu penuh de­ngan luka-luka bekas cambukan. Namun wajah yang tampan itu masih memba­yangkan kegagahan dan keagungan, se­dikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir.

Kwi Lan memegang pundaknya, meng­guncangnya perlahan. “Eh, sadarlah!”

Pemuda itu membuka matanya, me­mandang heran, seakan-akan tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Sinar matanya yang tajam itu seperti bertanya apakah ia dalam mimpi.

“Jawablah, apakah engkau ini Pange­ran Mahkota Khitan yang bernama Pa­ngeran Talibu?”

Pemuda itu sejenak memandang ta­jam, lalu balas bertanya. “Engkau siapa­kah, Nona? Bagaimana kau bisa....”

“Tidak penting aku siapa, yang pen­ting, apa kau benar Pangeran Mahkota Talibu?” Suaranya gemas dan tidak sa­baran.

Pemuda itu menahan senyum yang mengembang di bibirnya, lalu mengang­guk. “Aku mengenalmu! Ya.... Aku me­ngenalmu. Kau tidak, asing bagiku.... tapi di mana dan kapankah? Nona, kau sia­pakah?”

“Wah, kau cerewet benar, apakah pa­ngeran-pangeran memang cerewet? Aku datang untuk menolongmu.”

Pemuda itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru. “Nona, awas....!”

Kwi Lan yang sudah lega hatinya karena yakin bahwa pemuda inilah Pa­ngeran Mahkota Khitan yang harus ditolongnya, cepat membalikkan tubuh dan pedang Siang-bhok-kiam sudah berada ditangan kanannya. Kiranya tiga orang itu, sisa para penjaga sudah kembali ke situ dan berdiri di depan guha dengan senjata di tangan dan sikap mengancam. Melihat ini, Pangeran Talibu mengeluh, meme­jamkan mata dan berkata lirih.

“Nona, kenapa kau mengorbankan diri untukku? Kenapa....?” Ia tidak berani menoleh, tidak tega menyaksikan nona ini dikeroyok para penjaga yang ia tahu amat lihai. Di samping kekhawatirannya, ia pun masih mengingat-ingat di mana dan kapan ia pernah melihat nona ini.

Wajah yang jelita itu bukan asing baginya, wajah yang amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana.

Pangeran Talibu makin merapatkan matanya, keningnya berkerut ketika ia mendengar suara “cring-cring-trang­-trang!” bertemunya senjata tajam, dise­ling bentakan marah tiga orang penjaga yang mengeroyok nona itu. Ia tahu betapa lihai para penjaga itu, terutama sekali hwesio-hwesio jubah merah. Seorang gadis remaja seperti tadi mana akan mampu bertahan melawan pengeroyokan mereka? Melawan seorang di antara mereka saja sudah cukup berat. Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan sehebat ibunya. Ibunya. Teringatlah ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan ibunya! Hanya bedanya tua dan muda. Mata itu, bibir itu! Ia menjadi makin heran dan makin khawatir. Sepuluh menit sudah lewat. Suara pertempuran sudah berhenti. Ah, tentu gadis yang mirip ibunya itu sudah menggeletak menjadi mayat. Atau tertawan. Ih, kalau ia ter­ingat akan nasib lima orang gadis yang jatuh ke tangan Bouw Lek Couwsu, Bu­tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia menjadi ngeri. Lebih baik dara ini mati saja daripada tertawan hidup-hidup!

Talibu membuka matanya dan.... ia terbelalak heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga sudah menggeletak di de­pan guha, tak bernyawa lagi! Adapun dara itu sejenak memandang ke sekeliling depan guha, kemudian meloncat masuk ke dalam guha, gerakannya seperti se­ekor burung, demikian ringan dan lincah. Wajahnya tetap tenang dan napasnya biasa saja seakan-akan bukan seperti orang yang baru saja dikeroyok tiga lawan berat!

“Tahanlah, aku akan melepaskan be­lenggu!” bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat ketika ia menggerakkan pe­dangnya. Terdengar suara nyaring empat kali. Pangeran Talibu menggigit bibir karena setiap kali pedang membabat belenggu, ia merasa kulit tangan atau kakinya panas dan sakit. Akan tetapi kini ia telah bebas, belenggu yang mengikat kaki tangannya sudah putus semua. Ia menjadi makin kagum, memandang Kwi Ian dengan sepasang mata bersinar-sinar.

“Nona, kau....”

“Sstt, mari kita lari!” Kwi Lan me­nyambar tangan Pangeran itu dan di­tariknya keluar dari guha, diajak lari cepat meninggalkan guha. Tak jauh dari guha Talibu melihat mayat dua orang hwesio jubah merah, maka mengertilah ia mengapa hanya ada tiga orang penjaga yang tadi mengeroyok gadis perkasa ini. Kiranya yang dua orang sudah dipancing keluar dan dibunuh pula. Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik hwesio itu, barulah ia mengikuti Kwi Lan sambil berkata.

“Nona, kau benar hebat! Aku kagum dan berterima kasih....”

““Sssttt, jangan cerewet! Kita belum bebas!” bisik Kwi Lan galak.

Talibu yang berjalan berindap-indap di belakang gadis ini mau tak mau terse­nyum. Gadis ini hebat, memiliki ilmu silat tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Juga galaknya tidak kepalang. Baru sekali ini selama hidupnya ia di­maki-maki cerewet beberapa kali oleh seorang gadis remaja. Dia, putera Ratu Khitan, Pangeran Mahkota yang disem­bah-sembah rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita yang galak!

Akan tetapi belum lama mereka per­gi, baru tiba di daerah hutan, terdengar bunyi terompet dan dari empat penjuru muncullah pasukan Hsi-hsia yang me­ngurung mereka. Pangeran Talibu ter­tawa, membuat Kwi Lan terheran dan gadis ini menoleh, memandang Pangeran itu, khawatir kalau-kalau dalam keadaan terancam pangeran itu menjadi gila karena takut. Akan tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka itu ber­diri tegak dengan sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, wajahnya amat tampan. Pangeran itu mem­balas pandang mata Kwi Lan dan ber­kata.

“Bagus! Seperti inilah selayaknya se­orang pangeran tewas! Tidak mati konyol dalam guha sebagai tawanan. Mati dalam medan perang adalah mati nikmat, mati terhormat. Namun, kalau Tuhan meng­hendaki dan aku akan dapat terbebas daripada ancaman ini sehingga dapat melanjutkan hidup, percayalah, aku Talibu selama hidupku tidak akan pernah melu­pakan engkau! Sekarang aku tidak peduli lagi. Andaikata kita berdua takkan dapat lolos, bagi aku, mati dalam bertanding di sampingmu merupakan kehormatan besar. Ha-ha-ha!”

Kwi Lan memandang dengan mata berseri. Sungguh patut menjadi seorang pangeran. Patut menjadi putera angkat ibu kandungnya. Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini memiliki sema­ngat pendekar, jiwa satria, dan amat tampan! Ia pun tersenyum dan berkata lirih.

“Pangeran Talibu, selama nyawa saya belum meninggalkan badan, selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari kita menghajar anjing-anjing Hsi-hsia itu!”

“Bagus! Kau hebat sekali, Nona. Ma­rilah kita mati bersama atau bebas!” Pangeran Talibu berseru penuh semangat sambil menerjang maju, memutar pedang­nya. Melihat gerakan pedang Pangeran itu, Kwi Lan maklum bahwa orang-orang Hsi-hsia untuk sementara tidak mungkin dapat merobohkannya, maka ia pun lalu meloncat maju memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang Pangeran karena ia harus memasang mata melindungi Pangeran itu dari marabahaya. Begitu enam orang memapaki pedangnya, Kwi Lan membuat gerakan menyilang dengan pedang agak ke bawah dan robohlah tiga orang lawan dengan perut terobek pedang!

Tiba-tiba terdengar suara bergelak ketawa dan Kwi Lan cepat-cepat melon­cat mundur ketika ada angin hebat me­nyambar dari kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah berdiri di depannya dan tadi mengirim pukulan dengan tangan kirinya.

“Kakek busuk! Mari kita mengadu nyawa!” bentak Kwi Lan yang menjadi marah sekali melihat musuh besarnya Ini.

“Heh-heh-heh, kau masih belum ka­pok?” Siauw-bin Lo-mo mengejek dan cepat menubruk maju. Kwi Lan menyambar dengan tusukan pedang, akan tetapi sambil membuang diri ke kiri, kakek itu maju terus, tangannya menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena dicengkeram! Hebat bukan main dan aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku hati-hati, tidak memberi kesempatan kepada kakek bertangan kosong itu untuk mendekati dirinya dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki itu berkelebat. Dengan gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas, un­tuk sementara Kwi Lan dapat, bertahan terhadap desakan kakek ini, akan tetapi hatinya gelisah karena ia kini sama se­kali tidak dapat membagi perhatiannya untuk melindungi Pangeran Talibu.

“Pangeran, kau larilah!” bentak Kwi Lan nyaring sambil menubruk dengan pe­dangnya yang diputar membentuk ling­karan panjang. Namun Siauw-bin Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindar­kan diri dan membalas dengan sebuah tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan gemas oleh Kwi Lan. Kem­bali kakek itu dapat menghindarkan diri. Serang-menyerang terjadi dan Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh per­hatiannya terhadap kakek ini.

Siauw-bin Lo-mo diam-diam menjadi gemassekali. Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu sebagai tebus­an tempo hari ketika ia kehilangan gadis yang sudah menjadi tawanannya. Se­telah melayani Kwi Lan selama lima puluh jurus dan melihat betapa Pangeran Talibu juga belum dapat tertawan kem­bali, ia mendapatkan akalbaik. Ia tahu bahwa orang-orang Hsi-hsia dan para hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu tidak berani membunuh Pangeran Talibu yang merupakan tawanan penting, dan untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang nekat itu pun bukan hal mudah bagi mereka.

“Kalian kepung gadis ini!” Tiba-tiba ia berseru dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali melewati kepala hwesio-hwesio jubah merah yang sudah datang menerjang Kwi Lan, ke­mudian turun di depan Pangeran Talibu sambil terkekeh menyeramkan.

Pangeran Talibu terkejut, cepat me­nusukkan pedangnya ke dada kakek itu, Siauw-bin Lo-mo hanya miringkan tubuh kemudian secepat kilat ia sudah menangkap pergelangan tangan Pangeran itu, merampas, pedangnya, kemudian sekali kakinya menendang lutut, Pangeran Ta­libu roboh. Siauw-bin Lo-mo menempelkan ujung pedang di dada Pangeran Tali­bu sambil berseru.

“Mundur semua! Lepaskan bocah itu!”

Namun sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan sudah berhasil merobohkan empat orang hwesio jubah merah dengan pedangnya yang ganas. Kini ia membalik memandang ke arah suara Siauw-bin Lo-mo dan pucatlah wajahnya ketika melihat Pangeran Talibu sudah roboh dan ditodong pedang.

“Heh-heh-heh, bocah nakal. Lekas kaulepaskan pedang dan menyerah. Kalau tidak, sebelum aku mengambil nyawamu, Pangeran ini akan kutusuk sampai tembus jantungnya!”

Kwi Lan ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian kakek itu dan harus ia akui bahwa dia sendiri belum tentu dapat mengatasinya. Dan ia tahu pula betapa kejam hati Si Kakek yang tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Pange­ran Talibu. Hatinya menjadi lemas dan ia berdiri dengan tubuh lemas.

“Nona, kau larilah! Jangan mende­ngarkan ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan apa-apa! Lari dan lawanlah, Jangan menyerah!” Talibu berteriak-teriak akan tetapi sebuah tendangan pada dagu­nya membuat ia pingsan!

“Heh-heh-heh, Nona, kau menghendaki aku menusuk jantungnya?” Siauw-bin Lo­mo mengguratkan ujung pedang pada dada yang telanjang itu dan....kulit Pangeran Talibu di dada robek sedikit, memperlihatkan garis merah memanjang. Kwi Lan merasa pusing, terpaksa melepaskan pedangnya dan berkata lemah, “Siauw-bin Lo-mo, kau jahanam tua bangka, lepaskan dia!”

“Heh-heh-heh, aku tidak akan membu­nuhnya kalau kau menyerah. Hayo be­lenggu dia!”

Empat orang hwesio jubah merah menghampiri Kwi Lan dan membelenggu kedua tangan gadis itu. Kwi Lan tidak melawan. Ia harus berani menyerah untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Talibu. Seorang Hsi-hsia tinggi besar yang me­rasa benci dan marah kepada gadis yang telah membunuh banyak kawannya ini, menyeringai dan datang mendekati Kwi Lan, tangannya menjangkau untuk meraba dada gadis itu. Sudah biasa bagi orang-­orang peperangan ini apabila pasukan mereka menawan seorang wanita, siapa saja di antara anggauta pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang Hsi-hsia tinggi besar ini pun tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi Lan dan mengingat betapa gadis ini sudah menjatuhkan korban banyak di antara temannya, ia hendak menjadi orang pertama menghina dan mempermainkan gadis jelita yang lihai ini.

“Heh, mundur....!” Namun seruan Siauw-bin Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau tentu saja ia akan dapat menyelamatkan orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi merendah­kan diri menolong seorang perajurit Hsi-hsia biasa yang baginya tidak lebih se­ekor kucing atau anjing.

Pada saat jari tangan kurang ajar itu menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak dengan kecepatan yang sukar diduga, tepat menghantam pusar orang Hsi-hsia itu yang hanya sempat mengeluarkan suara “Hekkk!” lalu tubuhnya terlempar dan roboh tak dapat bergerak lagi. Isi perutnya berantakan karena tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga sin­kang yang hebat! Setelah menendang, gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang dengan pandang mata dingin, yang agaknya bertanya atau me­nantang siapa lagi berani kurang ajar terhadap dirinya. Keadaan tegang dipe­cahkan suara ketawa Siauw-bin Lo-mo.

“Heh-heh-heh, orang goblok macam dia sudah sepatutnya mampus! Hayo ba­wa tawanan menghadap Couwsu!” Ia sen­diri lalu memegang dengan dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran Talibu yang pingsan dipanggul oleh seorang hwe­sio jubah merah.

“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, memang sudah takdirnya engkau bernasib baik. Lihat siapa yang kutawan untukmu ini. Si Mutiara Hitam! Ha-ha-ha, kutanggung selama hidupmu belum pernah kau me­nikmati bunga liar sehebat ini!” kata Siauw-bin Lo-mo kepada Bouw-Lek Couwsu yang sedang duduk bercakap-cakap ditemani Bu-tek Siu-lam dan Thai-lek Kauw-ong serta Jin-cam Khoa-ong. Memang Bouw Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat cerdik. Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan dan menggerakkan bangsa Hsi-hsia menyerbu Kerajaan Sung, ia telah dapat pula me­nempel kelima orang Bu-tek Ngo-sian. Tentu saja lima orang sakti ini suka sekali bersekutu dengan Bouw Lek Couw­su, oleh karena, kecuali Thai-lek Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita untuk mengangkat diri sendiri men­jadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan barisan orang-orang tangguh.

Sian Eng sendiri tidak bersekongkol dengan pe­mimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini mempunyai cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu apabila bala tentara Hsi-hsia berhasil mengalahkan Kerajaan Sung, ia akan mengangkat puteranya, Suma Kiat, menjadi kaisar baru. Betapa tidak? Suma Kiat adalah putera Suma Boan yang ma­sih keturunan Pangeran! Inilah sebabnya mengapa Kam Sian Eng menempatkan puteranya di kota raja di rumah Pange­ran Kiang, kemudian mengusahakan per­sekutuan di antara pembesar-pembesar Kerajaan Sung.

Adapun Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu, adalah seorang dari dunia ba­rat yang sengaja bertualang untuk men­cari kesempatan baik guna menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi. Tadinya ia hanya ingin menguasai para pengemis dan ingin menjadi raja pengemis, akan tetapi kini melihat kesempatan terbuka untuk memperoleh kedudukan ynng lebih tinggi lagi, ia segera meneri­ma penawaran Bouw Lek Couwsu untuk bersekutu dan mengerahkan barisan pe­ngemis baju bersih untuk membantu Hsi-­hsia apabila saat penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini berhasil, kelak ia sedikitnya tentu akan menjadi seorang pangeran!

Siauw-bin Lo-mo adalah seorang pe­rampok sejak kecil, kini pun ia telah menjadi datuk para perampok dan bajak. Setelah terbuka kesempatan untuk memi­liki jabatan atau kedudukan tinggi, tentu saja ia pun senang membantu Bouw Lek Couwsu. ia sudah tua dan sudah waktunya hidup bergelimang kesenangan dan kemewahan, hidup dimuliakan orang sam­pai matinya. Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok dan bajak, juga orang-orang Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek Couwsu bah­kan berjanji kelak akan bergerak dari dalam bersama para pengemis anak buah Bu-tek Siu-lam.

Jin-cam Khoa-ong sudah tentu saja mendukung usaha Bouw Lek Couwsu se­penuh hati. Seperti diketahui, Algojo Ma­nusia ini juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara), menjadi musuh Keraja­an Khitan dan dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa Khitan. Ia pun menyatakan ingin membantu Hsi-hsia dengan janji bahwa kalau usaha Hsi-hsia ini ber­hasil, kelak ia akan diberi pinjam tentara dan perlengkapan untuk menyerbu Khitan dan merampas singgasana Ratu Khitan yang menjadi musuh besarnya.

Hanya Thai-lek Kauw-ong seorang yang tidak mempunyai cita-cita. Ia da­tang ke markas Bouw Lek Couwsu kare­na terbujuk teman-temannya dan teruta­ma sekali karena tidak mau kalah dengan empat orang temannya yang katanya sedang mengusahakan pekerjaan penting dan besar. Ia sendiri tidak peduli siapa yang akan menjadi kaisar, akan tetapi kalau empat orang kawannya yang ter­gabung dalam Bu-tek Ngo-sian semua berjasa, dan ia sendiri berpeluk tangan tentu namanya akan kalah dan ia tidak patut menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya mengapa ia suka datang menjadi tamu Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi ia tidak pernah ikut bicara tentang urusan pemberontak­an, hanya menikmati hidangan yang serba lezat. Bouw Lek Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini untuk merundingkan soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan tenaga kakek sakti itu apabila menghadapi musuh-musuh tangguh kelak. Apa lagi kalau diingat bahwa Thsi-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun pengikut atau anak buah. Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap sendiri di belakangnya, bahkan sudah berkumpul di markas Sian-toanio yang lebih aktip bersama puteranya untuk mengumpulkan dan memperkuat persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.

Ketika Siauw-bin Lo-mo datang mem­bawa tawanan Mutiara Hitam, ia menjadi girang dan juga terkejut mendengar la­poran tentang usaha Mutiara Hitam un­tuk membebaskan Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu sembrono, terlalu percaya ke­pada alat-alat rahasia dan penjagaan anak buahnya. Ternyata masih ada yang menyelundup dan hampir saja membebas­kan tawanan penting itu. Ia telah meng­gunakan pelbagai usaha untuk memaksa Pangeran Talibu menulis surat kepada Ratu Khitan, bahkan sudah menyiksanya, namun pangeran yang keras hati itu te­tap tidak mau menuruti permintaannya. Pangeran itu ditahan dalam guha juga dalam rangka penyiksaan agar Pangeran itu tunduk. Siapa kira malah hampir dibebaskan Mutiara Hitam.

Bouw Lek Couwsu adalah seorang laki-laki tua, seorang pendeta yang di­waktu mudanya terlalu banyak mengejar ilmu, mengekang nafsu dan karena pada dasarnya ia memang seorang hamba naf­su, setelah tua pengekangannya jebol dan jadilah ia seorang sakti yang gila nafsu, gila perempuan. Melihat Mutiara Hitam yang selain muda remaja dan cantik jelita, juga lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air liur. Akan tetapi di samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan ambisinya besar sekali untuk kedudukan yang tertinggi. Ambisi ini agaknya lebih besar daripada nafsu­nya, sehingga begitu melihat Mutiara Hitam yang jelita dan melihat Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya untuk menundukkan. Pangeran Talibu.

“Bagus!” jawabnya kepada Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa bergelak. “Sekali ini pinceng benar-benar berterima kasih kepadamu, Lo-mo.” Kemudian ia berkata kepada muridnya, “Masukkan mereka ber­dua dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang kuat jangan sampai ada ke­mungkinan didatangi orang luar!”

Setelah Kwi Lan dan Pangeran Talibu dibawa pergi, Bouw Lek Couwsu mem­bicarakan rencananya terhadap Kwi Lan dan Talibu kepada empat orang kakek sakti dan tertawalah mereka. Bahkan Thai-lek Kauw-ong mengangguk-angguk­kan kepalanya yang gundul sambil ber­kata.

“Demi Iblis! Engkau benar-benar pin­tar sekali, Couwsu!”

Bouw Lek Couwsu tertawa. “Memang, sesungguhnya sayang sekali melepaskan bunga ini kepada seorang Hsi-hsia, sama dengan melemparkan daging pilihan untuk seekor anjing buduk. Akan tetapi, makin buruk si anjing, makin sakit hati Talibu dan makin besar kemungkinan ia menye­rah! Ha-ha-ha!”

“Heh-heh-heh, Couwsu. Rencanamu ini baik sekali, akan tetapi harus cepat-ce­pat kaulaksanakan. Karena kalau sampai Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu dilaksanakan lagi, bahkan kiraku, Mutiara Hitam harus dibebaskan.”

“Mengapa?” Bouw Lek Couwsu berta­nya heran.

“Heh-heh, Mutiara Hitam itu adalah murid Sian-toanio.”

Semua orang terkejut mendengar ini. Keadaan menjadi sunyi. Bouw Lek Couw­su mengerutkan kening lalu memandang Siauw-bin Lo-mo. “Eh, Lo-mo. Apa arti­nya ini? Kalau kau sudah tahu dia murid Sian-toanio, mengapa kau sengaja me­nawannya dan memberikannya kepadaku? Apakah kau sengaja hendak mengadu aku dengan Sian-toanio?”

Siauw-bin Lo-mo terkekeh, “Couwsu, kau benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara Hitam menentangmu? Be­rapa kali menentangku? Bahkan sekarang dia datang untuk membebaskan Talibu. Bukankah dia termasuk musuh yang ber­bahaya? Kalau muridnya seperti itu, kita harus berhati-hati terhadap gurunya. Siapa tahu hati macam apa yang ada di balik kedok kerudung hitam mengerikan itu? Kau harus hati-hati, Couwsu”

Bouw Lek Couwsu masih mengerutkan kening, meraba-raba dagunya, berpikir lalu mengangguk-angguk. “Hemmm, me­mang diam-diam aku sudah menaruh curiga kepada wanita itu. Kalau dapat menariknya sebagai kawan, baik, kalau sebagal lawan, amat berbahaya. Memang kita harus berhati-hati dan rencana ini harus cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga!”

Kalau Kwi Lan dan Talibu mendengar apa yang mereka rencanakan tentu hati kedua orang muda ini menjadi cemas sekali. Akan tetapi mereka tidak men­dengar apa-apa ketika mereka digusur dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar ta­hanan yang luas. Kamar ini merupakan ruangan yang lebarnya sepuluh meter, kosong tidak ada perabot sebuah pun. Lantainya dari batu putih yang bersih dingin, dindingnya dari tembok tebal, atapnya pun dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di samping dilindungi jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi dan bagian atasnya ada jeruji pula. Setelah Kwi Lan yang dibelenggu kedua tangannya dan Talibu yang masih pingsan itu didorong masuk, pintu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dua pasang mata penjaga un­tuk beberapa lama memandang ke arah Kwi Lan dengan pandang mata kurang ajar, mulut mereka menyeringai kemudian mereka bicara dalam bahasa Hsi-hsia, tertawa-tawa dan lenyap dari balik jeruji pintu.

Kwi Lan duduk di atas lantai, me­mandang Pangeran Talibu yang rebah telentang di dekatnya. Kembali jantung­nya berdebar. Wajah Pangeran ini telah menggetarkan perasaannya, membuat darahnya berdenyut lebih cepat daripada biasa. Ia telah rela menyerah, rela di­tawan untuk menyelamatkan nyawa pe­muda yang baru sekarang ia jumpai ini. Alangkah anehnya ini. Biasanya ia tidak peduli akan keadaan orang lain. Mengapa ia menjadi takut dan ngeri melihat nyawa pemuda ini diancam maut dan tidak ragu-ragu untuk mengorbankan dirinya? Jantungnya berdebar aneh dan teringatlah ia akan pernyataan Hauw Lam,. Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki ter­hadap dirinya. Mereka itu menyatakan cinta kepadanya. Adakah perasaan hati­nya terhadap Pangeran Talibu ini yang dinamakan cinta? Adakah dia mencinta pemuda ini? Kakak angkatnya, putera angkat ibunya?

Kwi Lan mengguncang-guncang kepalanya, seakan hendak mengusir semua lamunan yang membuat ia bingung dan jantungnya berdebar-debar itu. Bagaimana ia harus meloloskan diri bersama Pa­ngeran Talibu? Kakinya bebas. Tangannya biarpun terbelenggu, namun kalau ia ber­usaha, kiranya akan dapat ia bebaskan pula. Ia masih mempunyai tenaga sim­panan untuk mematahkan belenggu baja ini. Akan tetapi apa gunanya? Dinding itu amat kuat. Pintu dan jendelanya pun kokoh kuat. Belum lagi para penjaga, dan di sana berkumpul orang-orang sakti seperti Bouw Lek Couwsu, Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, dan dua orang kakek lain yang ia duga tentu juga amat sakti. Ataukah mereka itu Bu-tek Ngo-sian yang pernah ia dengar? Harapan untuk dapat lolos dari tangan mereka amat tipis. Seorang di antara mereka saja sudah merupakan lawan yang amat berat. Apalagi kini pedangnya terampas oleh Siauw-bin Lo-mo. Dan ada Pangeran Talibu lagi yang masih harus ia lindungi. Kwi Lan duduk menekur dengan kening berkerut. Satu-satunya harapannya adalah Yu Siang Ki. Kalau saja pemuda itu da­tang membawa banyak tokoh kai-pang yang sakti!

Ia tidak kaget ketika mendengar pintu dibuka dan Bouw Lek Couwsu seorang diri masuk. Iasudah siap menghadapi segala macam kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Tanpa bangkit, ia meng­angkat muka memandang.

“Bouw Lek Couwsu, apakah kau akan membunuh kami? Siiakan! Memang orang macam engkau ini pengecut, mana berani menghadapi lawan secara jantan?”

Bouw Lek Couwsu tersenyum lebar dan sabar. “Bagaimana kalau menghadapi secara jantan?”

“Berikan pedangku dan mari kita ber­tanding sampai selaksa jurus, sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi! Baruiah jantan namanya!”

Kembali pendeta itu memperlebar senyumnya. “Nona, kau ganas benar. Kalau kau sayang kepada Pangeran ini, kau harus bersikap sabar dan tenang. Aku berjanji sebagai pimpinan bangsa Hsi-hsia, kalau Pangeran Talibu suka me­nulis surat membujuk ibunya untuk mem­bantu pergerakan Hsi-hsia, akan kubebas­kan engkau dan dia juga! Berlakulah sabar dan tenang, dan untuk menjaga agar kau tidak menimbulkan keributan, terpaksa kau harus dibuat tidak berdaya.” Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu bergerak maju dan menotok de­ngan jari telunjuknya ke arah tengkuk­nya. Kwi Lan yang kedua tangannya terbelenggu, tidak dapat menangkis dan berusaha mengelak, akan tetapi gerakan tangan Bouw Lek Couwsu amat cepat, dan sudah meluncur turun menotok pun­daknya. Kwi Lan roboh lemas dan hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan ketika Bouw Lek Couwsu mengeluarkan sebuah bungkusan. Ia melihat betapa bungkusan itu ditabur­kan di atas mukanya, ia mencium bau wangi dan keras, kemudian tak ingat apa-apa lagi, pingsan. Baik Kwi Lan maupun Pangeran Talibu dalam keadaan pingsan dan tidak tahu betapa Bouw Lek Couwsu memberi mereka minum anggur yang dicampuri obat, memaksa mereka minum dengan menuangkan anggur ke dalam mulut yang dipaksa membuka. Setelah membuka belenggu Kwi Lan, Bouw Lek Couwsu meninggalkan kamar sambil tersenyum dan meninggalkan pe­san kepada para penjaga.

Menjelang senja, Kwi Lan siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa panas bukan main, rasa panas yang menyesakdada. Ia bangkit dan duduk, tubuhnya basah oleh keringat. Ia menghapus peluh dari dahi dan leher. Kemudian berseru heran ka­rena baru ia ingat bahwa kedua tangan­nya kini tidak terbelenggulagi. Ia sudah bebas dari belenggu. Aneh sekali! Siapa yang membuka belenggunya? Dan menga­pa begini panas?

Ia duduk menoleh ke arah Pangeran Talibu. Pemuda itu pun basah oleh ke­ringat. Dadanya yang bidang dan berkulit halus putih itu berkilauan. Lantai di bawahnya sampai basah oleh tetesan-tetesan keringat dari tubuh pemuda itu.

Pangeran Talibu agaknya baru sadar. Menggeliat perlahan, seperti orang me­rintih. Jantung Kwi Lan terasa tertusuk.

Rasa iba dan cinta menyesak dada. Tan­pa ia sadari, ia sudah merangkak maju, lalu bersimpuh di dekat pemuda itu, menggerakkan tangan mengusap luka-luka di dada dan dahi, luka kecil, darah­nya pun sudah mengering. Pemuda itu membuka mata, dua pasang mata ber­temu pandang, sejenak bertaut, kemudian pemuda itu bangkit duduk.

Entah mengapa, pandang mata pemu­da itu bagi Kwi Lan seperti sinar mata­hari yang menyilaukan matanya. Ia me­nunduk, tersenyum kecil, tak berani mengangkat muka, rasa panas menjalar ke mukanya, dadanya, dan pusarnya.

“Sakit sekalikah luka-luka itu....?” tanya Kwi Lan, menjadi heran sendiri mengapa suaranya begini halus dan me­sra, mengapa ia menjadi begini malu, mengapa ia gemetar dan tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.

“Ti....tidak...., Nona....,mengapa kau menyerah....?” Lebih aneh lagi bagi Kwi Lan ketika mendengar suara ini. Mengapa suara Pangeran Talibu menggetar dan setengah berbisik? Suaranya yang baginya begitu mesra sehingga getaran suara itu menggetarkan pula hatinya, membuat Kwi Lan menahan isak yang menyesak di dada. Ia mengangkat muka perlahan. Kembali dua pasang mata bertemu pan­dang dan bertaut, lekat seperti tak dapat dipisahkan lagi. Bagi Kwi Lan, mata Pangeran itu memandangnya begitu mesra, begitu penuh cinta kasih, begitu halus. Seakan-akan ada kekuatan ajaib dalam pandang mata itu yang mendorong dorongnya atau menariknya, membuat ia ingin membuang diri ke dalam pelukan Pangeran itu, membuat ia ingin merapat­kan mukanya pada dada yang bidang dan berkeringat itu, ingin merasai belaian jari-jari tangan Pangeran Talibu dan mendengar bisikan-bisikan cinta di dekat telinganya. Semua keinginan yang amat besar ini membuat ia terengah-engah, menahan-nahan sekuat tenaga sampai kepalanya menjadi pening.

“Aku....aku tak mungkin....membiar­kan kau....,kau terbunuh....” Suaranya tersendat-sendat, agak serak dan tubuh­nya terasa lemas, dan tentu ia sudah terguling kalau saja sepasang lengan yang kuat tidak merangkul dan menariknya.

“Nona....“ Suara Pangeran Talibu ter­sendat-sendat, kedua lengannya memeluk erat, sedangkan Kwi Lan seperti dalam mimpi membenamkan muka di dalam dada itu sehingga mukanya yang sudah basah menjadi makin basah oleh keringat Pangeran Talibu. Hatinya merasa bahagia sekali, kedua telinganya mendengar suara detak jantung pemuda itu, kemudian mendengar suara Talibu seperti bunyi musik yang merdu, “Nona....,siapakah engkau....? Siapakah namamu....?”

Belum pernah selama hidupnya Kwi Lan menikmati perasaan seperti saat ini. Terhadap pemuda ini, lenyap semua rasa malu dan jengah, ia tersenyum manis dan tanpa mengangkat muka ia berkata lirih, “....aku....namaku Kam Kwi Lan....”

Tubuh Pangeran Talibu serasa digetarkan sinar kilat yangmenyambarnya. Tu buh itu seperti kejang, mendadak menjadi dingin dan ia meloncat ke belakang sam­pai tubuhnya membentur dinding. Kwi Lan yang tenggelam dalam kenikmatan madu yang manis memabokkan itu sam­pai jatuh terguling, namun gerak refleks tubuhnya yang matang membuat ia ter­loncat bangun dan berdiri.

“Ada apakah....? Mengapa kau....kau....?” Ia bertanya gagap, lalu duduk pula di atas lantai.

Pangeran Talibu terengah-engah, serasa tercekik lehernya. Ah, pan­tas ia merasa kenal betul dengan gadis

ini. Persamaan dengan wajah ibunya! Inilah Kam Kwi Lan Mutiara Hitam.Inilah adik kandungnya, bahkan saudara kembarnya!

"Kau.... kau.... Mutiara Hitam....?" bisiknya dengan suara menggetar.

Kwi Lan memandang terbelalak dan lalu mengangguk. "Betul. Kau kenapakah, Pangeran? Menyesalkah kau karena.... karena.... kita saling mencinta?"

"Diam....!" Pangeran Talibu memben­tak. "Jangan bicara tentang itu....!"

Biarpun Kwi Lan merasa sudah ter­gila-gila kepada pemuda ini, namun dia seorang gadis yang keras hati. Ia menge­rutkan kening dan berkata, "Apa? Jadi.... kau tadi.... hanya pura-pura.... dan kau tidak cinta kepadaku?"

"Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mu­tiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diriku sendiri! Tapi.... kau....!"

"Kenapa....?" Tiba-tiba Kwi Lan me­naruh telunjuknya di depan bibir, tanda bahwa ia mencegah pemuda ini bicara karena pendengarannya yang tajam menangkap gerak kaki di luar jendela. Kemudian ia menuding ke jendela sambil menyentuh telinga sendiri. Pangeran Ta­libu mengangguk, maklum bahwa di luar jendela ada orang mendengar dan meng­intai. Ah, untung ia belum membuka rahasia. Kalau tadi ia katakan kepada Mutiara Hitam bahwa gadis itu adik kembarnya dan berarti puteri Ratu Khi­tan, tentu keadaan mereka menjadi ma­kin berbahaya. Ia lalu merangkul dan duduk dekat Kwi Lan.

Merasa kehangatan tubuh pemuda itu, mencium bau keringatnya, membuat tu­buh Kwi Lan menggigil. Hawa nafsu remaja menyesakkan napasnya. Ia tidak tahu bahwa inilah akibat obat yang dipaksakan masuk ke perutnya. Demikian pula dengan Pangeran Talibu. Melihat wajah adik kembarnya yang begini cantik jelita, sepasang pipi yang halus putih kemerahan, mata yang indah bersinar­sinar, hidung yang kecil mancung dan seakan-akan menghembuskan hawa panas penuh nafsu dengan cuping hidung kem­bang-kempis, bibir yang kecil mungil, penuh dan merah basah seakan menan­tang, dada yang padat dan bergelombang turun naik seperti minta dipeluk. Ah, hampir pemuda ini tidak kuat bertahan. Keadaannya bagaikan seekor harimau kelaparan yang dihadapkan seekor kelinci gemuk. Ingin sekali langsung menerkam dan memangsanya. Akan tetapi, penge­tahuan bahwa gadis jelita ini adalah adik kandungnya bahkan adik kembar yang lahir pada hari yang sama, pengetahuan ini merupakan perisai yang kokoh kuat. Ketika lengannya bersentuhan dengan lengan Kwi Lan, pemuda itu memejamkan mata. Seperti ada aliran yang meng­getar-getar melalui kulit mereka yang bersentuhan. Naik sedu-sedan di dada pemuda ini dan cepat-cepat ia menggigit bibirnya sendiri sampaiberdarah. Ia ter­pekik kesakitan, akan tetapi dorongan nafsu berahi dapat tertahan.

Juga Kwi Lan dalam keadaan seperti mabok. Memang ia mabok, mabok nafsu berahi yang timbul dari obat pemberian Bouw Lek Couwsu. Kwi Lan adalah se­orang gadis yang aneh dan sejak kecil digembleng oleh gurunya yang aneh pula. Di balik kemabokannya, masih ada ke­sadaran pikirannya yang merasa terheran-heran melihat sikapnya sendiri. Mengapa ia begini gila? Mengapa ia ingin sekali bersentuhan dengan Pangeran Talibu? Dan ingin didekap dibelai? Ingin men­dengar bisikannya? Mengapa? Andaikata ia mencinta pemuda ini, mengapa harus ­ada perasaan yang seperti memabokkan­nya ini? Di sudut hatinya yang masih perawan, gadis ini merasakan sesuatu yang tidak wajar. Akan tetapi ia tidak tahu apa ketidakwajaran itu dan menga­pa. Kini menyaksikan keadaan Pangeran Talibu ia makin terheran. Sinar mata pemuda itu jelas memancarkan kasih me­sra, memancarkan kehausan akan cinta. Akan tetapi pemuda itu seperti tersiksa bahkan menggigit bibir sendiri sampai berdarah.

"Pangeran, kau kenapa? Kita.... kena­pa?" Ketidakwajaran yang makin men­desak dalam kesadarannya membuat ia mengajukan pertanyaan terakhir itu.

Pertanyaan ini menolong banyak bagi Pangeran Talibu. "Kwi Lan.... Mutiara Hitam ah, kita mabok. Tidak wajar ini! Kita keracunan.... begini panas dan begini.... merangsang...."

Kwi Lan tersentak kaget. Benar! Ra­cun! Biarpun racun yang amat aneh dan belum pernah ia mendengar akan racun vang menimbulkan kemabokan seperti ini, yang mendatangkan daya rangsangan berahi begini hebat, namun ia dapat menduga tentu mereka telah terkena racun! Teringat akan taburan bubuk wa­ngi yang membuat ia pulas, dan tahu-tahu setelah ia sadar, belenggu tangannya telah terlepas dan ia bersama Pa­ngeran Talibu berada dalam keadaan tidak wajar! Akan tetapi teracun atau tidak, tetap saja ia yakin bahwa ia men­cinta pemuda ini! Ia rela menyerahkan jiwa raganya kepada Pangeran Talibu, kapan dan di manapun juga.

"Benar kiranya, Pangeran. Kita ter­kena racun. Akan tetapi.... apa bedanya? Aku tidak menyesal...."

"Apa? Apa maksudmu?"

"Aku tidak menyesal menjadi tawanan bersamamu, Pangeran. Aku.... aku.... ah, bukan main panas hawanya...." Kwi Lan mengeluh dan mengerang, mengerang bukan hanya karena hawa panas! Ia lalu duduk di sudut dan bersandar pada din­ding, mengebut-ngebutkan bajunya bagian atas agar agak melonggar untuk mengu­rangi hawa panas. Gerakan gadis itu begitu menarik dan manis. Kembali Ta­libu memejamkan mata dan ia pun mun­dur di sudut yang berlawanan. Mereka kini duduk berpisah dalam jarak sepuluh meter. Hanya saling pandang dari jauh, saling menahan gelora berahi yang mem­bakar. Namun siksaan batin ini bagi Pa­ngeran Talibu tidaklah seberat yang di­derita Mutiara Hitam. Pangeran itu me­maksakan kesadaran pengetahuannya bahwa gadis jelita itu adalah adik kem­barnya sendiri! Teringat akan ini, ingin ia menangis! Menangis saking girang ber­temu dengan adik kandung yang sejak terlahir dipisahkan orang. Menangis kare­na berduka karena begitu bertemu, me­reka berdua menjadi tawanan dan kese­lamatan nyawa mereka di ujung rambut. Akan tetapi, semua perasaan ini meru­pakan penguat batinnya untuk melawan arus berahi yang tidak wajar dan yang membakar tubuhnya.

Hebat memang pengaruh obat itu. Se­rangan yang datang dari dalam tubuh ini bukan main kuatnya. Kwi Lan terpaksa mempergunakan sin-kang yang dikerah­kannya untuk melawan hasrat yang di­anggapnya gila dan tidak tahumalu. Ia menjadi lemas karena pengerahan sin­-kang ini dipergunakan untuk menindas hawa yang timbul dari dalam tubuh sen­diri.

Cuaca sudah menjadi gelap. Hal ini melegakan hati Pangeran Talibu. Sung­guhpun ia mempunyai perisai berupa

pengetahuan bahwa gadis itu adik kem­barnya, namun tetap saja rangsangan di dalam tubuhnya masih amat membahayakan. Kalau keadaan dalam ruangan itu gelap dan ia tidak dapat melihat wajah cantik dan tubuh menggairahkan itu, tentu akan berkurang siksaan yang dira­sakannya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa, suara ketawa Bouw Lek Couwsu disusul kata-kata mengejek, "Tuan dan Nyonya pengantin tentu lapar, silakan makan minum!"

Daun pintu terbuka dan seorang hwe­sio jubah merah masuk membawa seba­tang lilin merah besar yang sudah dinya­lakan, meletakkan lilin di dekat pintu, kemudian meletakkan pula beberapa mangkuk makanan dan seguci arak di atas lantai. Tanpa berkata apa-apa hwe­sio ini lalu keluar lagi dan mengunci daun pintu. Kwi Lan tadinya hendak menerjang hwesio itu, akan tetapi ia melihat pula Bouw Lek Couwsu yang memegang tongkat kuningannya berada di depan pintu, maka ia mengurungkan niat­nya. Belum saatnya untuk turun tangan, pikirnya.

Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Api lilin berkelap-kelip menerangi kamar dengan cahayanya yang kemerahan, membuat suasana dalam kamar menjadi romantis, dan indah seperti suasana ka­mar pengantin!

"Pangeran, apakah yang kaupikirkan?" Kwi Lan akhirnya bertanya setelah se­kian lamanya ia memandang ke arah Talibu yang duduk di sudut bersandar dinding dengan mata meram, kening berkerut dan dada turun naik bergelombang.

Talibu membuka mata memandang, mata yang bersinar-sinar dan ganas pe­nuh nafsu berahi. Mata yang melotot menyusuri tubuh Kwi Lan yang tanpa sadar telah membuka kancing pakaian luar sehingga tampak pakaian dalamnya yang tipis halus berwarna merah. Gadis ini telah melepaskan kancing tanpa di­sadarinya saking hebat serangan hawa panas. Akan tetapi keadaan pakaiannya ini membuat Talibu menjadi makin ter­siksa. Pandang mata Talibu seolah-olah sudah melahap dan menelannya bulat­bulat!

"Apa yang kaupikirkan? Aku.... aku.... memikirkan.... kematian!" jawab Talibu. Bagi Pangeran ini, keadaannya merupa­kan siksaan batin hebat. Ia jatuh cinta atau berhasrat mencinta adik kembarnya sendiri! Berbeda dengan Kwi Lan yang belum tahu akan rahasia itu, baginya perasaan yang merangsang terhadap pria yang ia cinta, bukanlah merupakan hal yang terlalu menyiksa batin, sungguhpun ia tahu bahwa racun membuatnya seperti mabok.

Kwi Lan tersenyum dan kembali Ta­libu memejamkan mata. Senyum itu de­mikian manisnya, seperti ujung golok menusuk jantung! "Pangeran, mengapa engkau berputus asa benar? Jangan kha­watir, aku bersumpah akan membelamu sampai titik darah terakhir."

Kembali Talibu membukamatanya. Ia merasa terharu sekali. Ingin ia meneriak­kan bahwa mereka adalah kakak adik kembar, namun terpaksa ia menahan. Kalau Bouw Lek Couwsu mendengar dan tahu bahwa Mutiara Hitam ini pun puteri Ratu Khitan, tentu pendeta murtad itu akan mempergunakan kenyataan ini untuk makin menekan Ratu Khitan agar suka membantu Hsi-hsia. Tidak, ia harus memegang rahasia selama mereka masih menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu. Namun rangsang berahi sukar dikendalikan lagi. Melihat mangkuk-mangkuk di lantai, Pangeran itu menjadi girang dan segera mengalihkan perhatian dengan berkata gembira.

"Apapun yang terjadi, sebelum mati kita harus dapat menikmati hidup. Ada makanan lebih baik dimakan, Nona!"

Kwi Lan tersenyum, senang hatinya melihat Pangeran itu bergembira dan baru ia merasa betapa lapar perutnya. Ia mengangguk dan mendekati mangkuk-mangkuk yang diletakkan di atas lantai. Mereka duduk menghadapi mangkuk itu yang terisi makanan harum sedap baunya. Araknya pun arak wangi. Talibu kembali tertawa dan berkata.

"Bagaimana kalau makanan ini ada racunnya?"

"Paling hebat kita mati. Tiada lebih mengerikan daripada itu.," jawab Kwi Lan yang membuat pangeran itu kaget. Gadis ini begitu pasrah, begitu rela seakan-akan tiada kekurangan sesuatu di dunia ini. Memang demikianlah orang muda kalau sudah bercinta. Lupa akan segala. Asalkan berada di samping orang yang dicintanya, lupa makan lupa tidur lupa segala, tidak peduli apakah dunia akan kiamat!

Pangeran Talibu menarik napas pan­jang. Alangkah akan bahagianya kalau Kwi Lan bukan adiknya. Mempunyai ke­kasih seperti gadis ini! Tiba-tiba ia me­ngerutkan keningnya penuh penyesalan. Mengapa hatinya begini tidak setia? Ia sudah mempunyai seorang yang amat dikasihinya, dikasihi seperti seorang pria mencinta wanita, yaitu Puteri Mimi! Teringat akan Mimi, terasalah betapa aneh dan janggal jalan hidupnya. Puteri Mimi yang semenjak kecil ia anggap adik kandung, kiranya sama sekali bukan apa-apanya. Orang lain dan cintanya sebagai kakak berubah menjadi cinta sebagai pria terhadap wanita. Sebaliknya, gadis ini yang sampai saat ini mengira bahwa mereka orang lain yang tiada hubungan sama sekali, tiada hubungan darah, bah­kan saudara kembarnya!

"Kalau memang ada racunnya, marilah kita mati bersama jawabnya kemudian dan mulai makan. Kwi Lan tersenyum bahagia dan tanpa ragu-ragu makan pula. Masakan-masakan itu ternyata amat lezat dan araknya pun amat harum. Sampai habis beberapa mangkuk masakan itu, guci araknya pun menjadi kosong. Sebaliknya, perut mereka kenyang.

"Ahh.... betapapun juga Bouw Lek Couwsu bukan orang yang terlalu pelit. Lezat makanannya...." kata Pangeran Talibu sambil bangkit berdiri, menghapus bibir dengan telapak tangannya, lalu ber­jalan menuju ke sudut kembali. Akan tetapi pandang matanya berkunang dan ia terhuyung-huyung. Rasa aneh menguasai seluruh tubuhnya, hawa panas makin menghebat sampai terasa kepalanya seperti akan meledak!

"Pangeran.... !"

Talibu sampai disudut membalikkan tubuh dan ternyata Kwi Lan sudah ber­ada di depannya. Mereka saling pandang tubuh mereka bergoyang,-goyang dan bagaikan besi dengan besi sembrani, ke­duanya saling tubruk dan saling peluk.

"Mutiaraku....!"

"Talibu, Pangeranku....”

Dekapan makin erat dan muka me­reka bertemu dalam ciuman mesra. Kwi Lan sudah pasrah bahkan membalas peluk cium pemuda itu dengan penuh nafsu. Tiba-tiba Pangeran Talibu mengeluarkan seruan seperti isak tertahan, lalu me­renggutkan diri terlepas dari pelukan dan terhuyung-huyung lari ke sudut lain.

"Pangeran....!"

"Berhenti! Jangan maju selangkah pun. Kalau kau bergerak, mendekatku, aku.... aku akan bunuh diri....!" Terengah-engah Talibu berteriak.

Kwi Lan sedang dibuai racun yang memabokkan. Di dalam makanan tadi memang diberi obat oleh Bouw Lek Couwsu, yang membuat racun di tubuh mereka bekerja makin hebat. Bouw Lek Couwsu yang mengintai di luar kamar menjadi penasaran sekali tadi melihat betapa obatnya belum juga berhasil, ma­ka ia lalu mengirim makanan yang ia campur dengan obat untuk memperhebat pengaruh racun asmara itu. Melihat ke­kasihnya melarikan diri dan mengeluarkan ucapan seperti itu, Kwi Lan menjadi he­ran, kaget, dan juga kecewa. Ia melang­kah maju sedikit dan serentak menghen­tikan langkahnya karena tiba-tiba Pange­ran Talibu membenturkan kepalanya pada dinding!

"Ahhh...., jangan.... Pangeran....! Aku aku tidak akan mendekatimu....!" jerit Kwi Lan cemas.

Pangeran Talibu yang sudah putus asa karena ngeri memikirkan kalau sampai terjadi pelanggaran susila dengan adik kembarnya sendiri, dapat mendengar jerit ini dan ia nmenghentikan perbuatannya yang nekat. Dengan terengah-engah ia duduk di sudut ruangan itu memandang. Gadis itu terlampau cantik, apalagi di­bawah penerangan lilin merah. Bentuk-bentuk yang menonjol pada tubuhnya tampak nyata antara sinar dan bayangan. Ia tahu bahwa biarpun ia merasa yakin bahwa gadis itu adiknya, namun keyakin­an ini belum tentu akan kuat menahan gelora nafsu yang menyesak di dada dan ia akan menjadi seperti seorang buta mabok kalau gadis itu mendekati dan menyentuhnya lagi.

"Mutiara Hitam.... ini tidak baik.... kita dirangsang racun.... nafsu berahi menguasai kita...." gumamnya.

Tiada jawaban dan ketika Talibu mengangkat muka, dilihatnya Kwi Lan yang duduk di sudut lain menangis ter­isak-isak. Gadis ini merasa terhina dan malu. Merasa bingung dan kecewa.

"Mutiara, Adikku sayang.... maafkan aku.... percayalah, aku tidak bermaksud menolak dan menghinamu.... akan tetapi kautunggu.... sampai racun ini bersih dari tubuh kita.... aku tetap cinta kepadamu."

Kwi Lan menarik napas panjang, me­nahan tangisnya dan pikiran bersih me­nyelinap di benaknya. Mengapa ia harus merasa nelangsa? Jelas bahwa mereka telah keracunan, bahkan perasaan tubuh­nya membuktikan bahwa makanan dan minuman tadi pun mengandung racun yang mempunyai daya rangsang hebat. Ia mencinta pemuda ini, akan tetapi tidak semestinya menurutkan rangsang nafsu berahi. Dengan pengerahan tenaga batin­nya, ia bersila dan memejamkan mata, bersamadhi. Melihat keadaan gadis itu, Pangeran Talibu bernapas lega dan ia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menindas nafsu dan ber­samadhi.

Malam itu merupakan malam siksaan bagi Kwi Lan dan Talibu. Belum pernah mereka merasa tersiksa seperti malam hari itu. Tubuh yang terasa panas dengan hawa yang menggelora tidak memungkin­kan mereka dapat bersamadhi secara layak. Mereka gelisah sekali. Terdengar. Pangeran Talibu menggereng berkali-kali seperti harimau terluka. Tubuhnya penuh peluh. Adapun Kwi Lan tidak dapat di­bayangkan sengsaranya. Gadis ini yang mencinta Talibu dan yang merasa yakin bahwa pemuda itu pun mencintanya, lebih hebat penderitaannya. Berkali-kali ia mengeluarkan suara merintih dan mengerang, tubuhnya menggeliat, peluh­nya bercucuran, namun ia berusaha se­kuat tenaga untuk bertahan agar dapat menindas keinginan hatinya yang mem­buat ia seakan-akan ingin loncat menu­bruk pemuda itu.

Menjelang pagi, mereka mendengar suara Bouw Lek Couwsu di luar kamar tahanan. Suara pendeta itu menyumpah­-nyumpah dan marah-marah agaknya ke­cewa sekali melihat dua orang muda ini tidak terpengaruh obatnya yang amat luar biasa. Diam-diam ia merasa kagum akan kekerasan hati dua orang muda itu, di samping merasa kecewa, penasaran, dan marah. Tak lama kemudian, kamar tahanan itu penuh dengan asap yang disemprotkan dari luar melalui lubang jendela dan pintu. Mula-mula Kwi Lan yang mencium bau harum tidak sewajar­nya.

"Pangeran, hati-hati, asap beracun....!" Serunya, namun sia-sia belaka. Mereka meloncat dan hendak menghindarkan diri, akan tetapi ke mana? Tak mungkin ke

luar dari ruangan tertutup itu dan asap makin menebal Tak mungkin pula me­nahan napas untuk waktu lama dan akhirnya mereka terhuyung dan roboh ping­san setelah terbatuk-batuk dan menyedot asap wangi itu.

Ketika Pangeran Talibu sadar, ia sudah terbaring di sudut ruangan. Ia mendengar suara orang dan ketika ia membuka mata, bukan main kaget dan ngeri rasa hatinya. Ia melihat Kwi Lan terbelenggu kaki tangannya dan di situ berdiri Bouw Lek Couwsu dan dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar dan amat buruk rupanya, seperti monyet-monyet besar. Mereka berdua itu hanya memakai sebuah celana kasar pendek sebatas lutut dengan badan bagian atas telanjang. Tampak kaki tangan mereka yang besar dan kekar kuat itu penuh bulu hitam. Juga dada mereka penuh bulu yang me­manjang sampai ke perut. Muka mereka menghitam dan kasar sekali karena bo­peng bekas luka penyakit cacar. Mata mereka liar dan merah, hidung besar dengan mulut besar tampak gigi mereka besar-besar menguning. Pendeknya, dua orang raksasa Hsi-hsia ini mengerikan dan buruk sekali, sedikit pun tidak mempunyai daya tarik sebagai seorang laki­-laki dan mendatangkan rasa jijik.

Bouw Lek Couwsu memperlihatkan kertas putih dan alat tulis kepada Pange­ran Talibu, lalu berkata, suaranya halus dan sopan. "Pangeran, apakah sampai sekarang juga Pangeran tidak sudi menu­lis surat untuk Ibunda Pangeran di Khi­tan?"

"Bouw Lek Couwsu! Percuma saja kau membujuk. Sampai mati pun aku tidak sudi. Kau boleh membunuhku, aku tidak peduli!" jawab Talibu sambil bangkit duduk. Rasa panas tubuhnya masih ada, akan tetapi tidak sehebat malam tadi. Ia kini dapat melihat betapa Kwi Lan juga sudah sadar, akan tetapi gadis itu tidak mampu bergerak karena belenggu pada kaki tangannya yang amat kuat. Gadis ini pun sama sekali tidak memba­yangkan takut pada pandang matanya yang melotot ke arah Bouw Lek Couwsu penuh kemarahan.

"Hemmm...." pemimpin orang-orang Hsi-hsia itu menyeringai dan tampak betapa muka pendeta itu kini memba­yangkan kekejaman hati yang dingin. "Pangeran benar-benar keras hati. Meng­ingat bahwa kita sama-sama bangsa yang besar dan dan gagah perkasa, kami tidak ingin menyusahkan Pangeran. Sekarang harap Pangeran sudi memilih, menulis surat ini ataukah terpaksa pinceng mem­bunuh gadis ini!"

Terbelalak mata Pangeran Talibu. Mutiara Hitam adalah adik kandungnya, adik kembarnya. Andaikata orang lain sekalipun, tak mungkin ia dapat mem­biarkan gadis itu tewas karena dia! Apa­lagi adik kembarnya, adiknya yang telah datang dengan niat menolongnya, tanpa mengetahui bahwa yang ditolong adalah kakak kembarnya. Bagaimana mungkin ia mengorbankan nyawa adik yang dicinta­nya ini? Ia tak mampu menjawab, hanya menatap wajah pendeta yang tersenyum-senyum dingin itu, sambil menggeleng­geleng kepalanya.

"Pinceng tahu bahwa hati Pangeran adalah baik dan tentu saja tidak tega melihat gadis jelita ini mati. Oleh ka­rena itu, harap Pangeran sudi membuat surat yang kami butuhkan itu dan inilah kertas...."

"Pangeran Talibu! Jangan pedulikan dia! Eh, Bouw Lek Couwsu pendeta pal­su. Kau mau bunuh aku lekas bunuh! Apa kaukira aku takut mati? Cih, pendeta tak tahu malu. Jahanam yang berkedok pendeta untuk melampiaskan angkaramurka!"

Bouw Lek Couwsu melihat perubahan pada muka Pangeran Talibu yang kini kembali mengeras, tanda bahwa Pangeran itu timbul semangatnya dan tidak akan suka tunduk. Ia menjadi marah sekali kepada Mutiara Hitam. "Baiklah, jangan kira bahwa kau akan begitu enak menerima kematianmu. Dan kau, Pangeran Talibu, marilah kita menyaksikan peman­dangan yang amat menyenangkan." Ia memberi perintah dalam bahasa Hsi-hsia kepada dua orang raksasa buruk itu.

Dua orang setengah telanjang itu saling pandang, tertawa ha-ha-hi-hi, me­nyeringai lebar sehingga deretan gigi besar-besar kuning dekil tampak nyata. Kemudian keduanya bermain jari menga­du untung. Si Raksasa yang hidungnya pesek sekali yang menang, maka sambil mengeluarkan suara seperti binatang buas ia berlutut, girang bukan main, Si Raksasa Hidung Besar yang kalah hanya tertawa ha-ha-he-he, lalu berlutut dekat kepala Kwi Lan dan tangannya yang besar meraih ke bawah.

"Breeetttt....!" Sekali renggut robek­lah baju Kwi Lan, tidak hanya baju luar yang robek sama sekali, bahkan sebagian baju dalamnya ikut robek dan tampaklah sebagian dada yang putih padat dan se­bagian kulit paha yang putih bersih! Si Raksasa Hidung Pesek kembali mendengus dan tangannya siap bergerak un­tuk menelanjangi calon korbannya. Jelas kelihatan betapa nafsu iblis sudah me­nguasainya, siap melakukan perkosaan tanpa mempedulikan orang-orang di sekelilingnya.

"Iblis keparat....!"

Pangeran Talibu sudah meloncat maju dan dalam kemarahan yang meluap-luap ia menerjang dengan pukulan ke arah raksasa hidung pesek yang hendak mem­perkosa Kwi Lan. Tubuhnya agak mem­bungkuk, mukanya menjadi pucat dan lengan kanannya mengeluarkan suara berkerotokan ketika pemuda bangsawan ini mengirim pukulan ke arah kepala Si Raksasa Hidung Pesek. Inilah ilmu pukul­an sakti Tok-hiat-coh-kut (Racun Darah Lepaskan Tulang) yang amat hebat dan biarpun baru dilatih setengah matang dari Ratu Yalina namun raksasa Hsi-hsia yang hanya bertenaga besar itu mana mampu menghindarkan diri. Terdengar suara "kraakkkk....!" dan raksasa itu terguling dengan kepala remuk isinya!

"Hemmm....!" Bouw Lek Couwsu mengeluarkan suara mendengus dari hi­dungnya, tangannya bergerak dan Pangeran Talibu terguling roboh dengan kaki seperti patah rasanya. Pukulan jarak jauh pendeta ini telah merobohkannya. Bouw Lek Couwsu memberi perintah lagi dalam bahasa Hsi-hsia. Raksasa hidung besar yang menjadi marah sekali karena te­mannya roboh tewas, mentaati perintah itu lalu bangkit berdiri dan mencabut sebuah cambuk kulit dari ikat celananya. Kemudian menghampiri Pangeran Talibu dan terdengarlah suara meledak-ledak ketika cambuk itu melecut dan menghan­tam tubuh Pangeran Talibu yang juga telanjang bagian atasnya, pangeran yang memang sudah luka-luka itu merasa betapa kulit dan sedikit daging di bawah kulit seperti dicacah-cacah, digigiti cam­buk, terasa panas dan perih. Saking sa­kitnya, ia sempat menggeliat-geliat dan bergulingan ke sana ke mari seperti se­ekor ayam disembelih, akan tetapi ia menggigit bibir sampai berdarah, sedikit pun tidak ada suara keluhan keluar dari mulutnya!

Biarpun Kwi Lan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu saking terharu dan sakit hatinya, namun air matanya ber­cucuran menyaksikan betapa pemuda yang dicintanya ini mengalami siksaan seperti itu. Kemudian ia mendapatkan kembali suaranya lalu memaki-maki nyaring.

"Bouw Lek Couwsu kau manusia iblis! Kau anjing tua berkedok pendeta! Aku bersumpah akan mencabut nyawamu ka­lau diberi kesempatan!"

Bouw Lek Couwsu hanya tertawa bergelak, kemudian berkata dalam bahasa yang dimengerti Kwi Lan, "Heeii, kauberi rasa sekali dua kali kepada bocah ber­mulut lancang ini!"

Raksasa Hsi-hsia berhidung besar yang tadinya memandang Kwi Lan dengan mata penuh nafsu berahi, kini meman­dang dengan kebencianmeluap-luap. Ia membalik dan mengangkat cambuknya, siap dijatuhkan ke atas muka yang jelita dan berkulit halus putih kemerahan itu.

Cambuk diangkat ke atas, bergerak di udara mengeluarkan bunyi "tarrr!" dan ujungnya menyambar ke arah muka Kwi Lan.

"Binatang....!"

Tubuh Pangeran Talibu yang tadinya sudah menggeletak kehabisan tenaga dan amat menderita rasa panas perih dan nyeri, kini meloncat dan ujung cambuk yang menyambar ke arah muka Kwi Lan tertangkap oleh tubuhnya.

"Tarrr....!"

Tubuh Pangeran Talibu terguling roboh lagi. Ia tadi dapat bergerak karena kemarahan yang meluap-luap ditambah rasa gelisah menyaksikan adik kembarnya akan disiksa, akan tetapi begitu ia ber­hasil menghindarkan wajah adiknya dari cambukan, kedua kakinya yang sudah setengah lumpuh oleh pukulan Bouw Lek Couwsu tadi tidak dapat berdiri tegak maka ia terguling. Orang Hsi-hsia tinggi besar menjadimarah. Ia lalu menggerak­kan cambuknya dan kembali tubuh Talibu dihajar bertubi-tubi sampai akhirnya pe­muda itu roboh pingsan! Dada dan pung­gungnya tertutup darah dan garis-garis biru merah.

"Cukup, kau anjing tolol! Jangan bu­nuh dia! Hajar perempuan ini kataku!" Bouw Lek Couwsu membentak kemudian melangkah minggir.

Orang Hsi-hsia itu terkejut, maklum akan hebatnya hukuman kalau ia membuat marah pemimpin besar ini, lalu meng­angkat cambuknya, menghantam sekeras­nya ke arah Kwi Lan yang rebah telen­tang tak mampu bergerak. Gadis ini sama sekali tidak berkedip, menanti da­tangnya cambuk ke muka dengan keta­bahan luar biasa.

"Wuuuutt...., adduuuuhhhh....!"

Cambuk yang sudah nenyambar itu berhenti di tengah jalan bahkan lalu ter­lepas dari pegangan Si Raksasa Hsi-hsia yang roboh seperti pohon ditebang. Se­batang jarum telah menembus punggung dan terus menancap di jantungnya!

"Hemmm…. Bouw Lek Couwsu! Be­ginikah engkau memperlakukan muridku?" terdengar suara halus dingin dan muncul di ambang pintu seorang wanita berpa­kaian putih berkerudung hitam, Kam Sian Eng! Tangan kanannya masih mengempit tubuh Kiang Liong dan tadi dengan tangan kiri, hanya menggunakan sebatang jarum, ia telah membunuh raksasa Hsi-hsia dalam sekejap mata. Di sebelahnya tampak Suma Kiat yang memondong tubuh Puteri Mimi, dan di belakang dua orang ini berdiri Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong. Empat orang tokoh sakti ini hanya tersenyum-senyum, agaknya me­reka ini tidak peduli, atau bahkan gem­bira menyaksikan betapa kini Bouw Lek Couwsu agaknya akan bentrok dengan Sian-toanio!

Bouw Lek Couwsu tentu saja tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia kalau ia tidak cerdik dan pikirannya dapat bekerja amat cepat dan mengambil keputusan yang amat tepat, padawaktunya. Ia sama sekali tidak kelihatan terkejut atau kehilangan akal. Bahkan lalu cepat-cepat menjura kepada Kam Sian Eng, tersenyum lebar dan ke­mudian menghela napas panjang, meng­geleng kepala dan berkata.

"Aaahhh, sayang sekali. Tanpa aku sengaja, kau telah menggagalkan siasat­ku, Sian-toanio. Pinceng belum gila untuk menyakiti murid Toanio. Dapat Toanio periksa apakah muridmu itu terluka se­dikit pun, Pinceng terpaksa melakukan ancaman ini tidak lain hanya dalam usa­ha menundukkan kekerasan hati Pangeran Khitan itu. Marilah kita ke dalam dan bicara lebih leluasa, Toanio. Dan orang yang Toanio bawa itu.... ah, bukankah dia Kiang-kongcu murid Suling Emas?"

Kam Sian Eng tadi membunuh rak­sasa Hsi-hsia, bukan semata-mata karena hendak menolong Kwi Lan, melainkan ia merasa terhina kalau muridnya diganggu orang di depanmatanya. Ia sebetulnya masih marah kepada muridnya itu, apala­gi ketika mendengar penuturan Suma Kiat tentang sepak terjang Kwi Lan di kota raja. Kini mendengar ucapan Bouw Lek Couwsu, ia mendengus dan melem­parkan tubuh Kiang Liong ke atas lantai. Kiang Liong ternyata pingsan dan tubuh­nya menggelundung dekat Kwi Lan yang hanya melotot dan memandang gurunya.

"Kakanda Pangeran....!"

Puteri Mimi meronta dari pondongan Suma Kiat. Ketika pemuda ini yang ter­tawa-tawa tidak mau melepaskannya, Mimi mencakar dan menggigit. Lucu juga pemandangan itu dan terdengar Kam Sian Eng berkata ketus, "Lepaskan dia!"

Suma Kiat masih menyeringai, akan tetapi ia tepaksa melepaskan Mimi yang segera lari dan menubruk tubuh Pangeran Talibu dan menangis tersedu-sedu, memanggil nama Talibu dan menggosok-gosok tubuh yang penuh darah dan luka-luka cambukan.

Bouw Lek Couwsu mengajak tamu­-tamunya meninggalkan ruangan tahanan. Daun pintu ditutup dan dikunci dari luar, para penjaga kini ditambah jumlahnya dan sunyilah keadaan ruangan tahanan itu, kecuali tangis Puteri Mimi. Kwi Lan yang melihat guru dan suhengnya tidak berusaha membebaskannya, mengerti di dalam hatinya bahwa ia telah dianggap musuh oleh mereka. Namun ia tidak me­rasa sedih karena kini tahulah ia bahwa gurunya dan suhengnya itu bukanlah ma­nusia-manusia baik. Ia bahkan merasa lega ditinggal di sini bersama Pangeran Talibu dan Kiang Liong, karena andaikata ia dibebaskan gurunya, ia masih belum yakin apakah ia akan mau bersekutu dengan mereka. Kini perhatiannya ter­curah kepada Puteri Mimi yang mena­ngisi Talibu. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, melihat puteri cantik yang pernah ia jumpai di taman bunga Kiang Liong itu kini menangisi Talibu, ia se­cara tiba-tiba saja membenci puteri ini! Ingin ia bangkit dan menamparnya, menyeretnya pergi menjauhi Pangeran Ta­libu.

“Kakanda Pangeran....!”

Panggilan berkali-kali ini membuat Talibu sadar. Ia mengeluh lalu membuka matanya. IA masih dikuasai racun yang memabokkan. Begitu membuka mata dan melihat Puteri Mimi duduk bersimpuh di dekatnya dan memeluki serta memanggil-manggil namanya sambil menangis, serentak ia bangkit.

“Mimi.... kau.... kau....?”

Mereka berpelukan. Puteri Mimi terkejut sekali ketika merasa betapa kakaknya ini, kakak kandungnya yang ia tahu diambil putera ratunya, kini memeluknya dengan tidak wajar. Bahkan menciumi mukanya, menciumi bibirnya penuh nafsu. Ia terlonjak kaget, matanya terbelalak, khawatir kalau-kalau kakaknya yang dicintanya ini menjadi gila!

"Kakanda....!" Ia berusaha melepas­kan pelukan. Akan tetapi Pangeran Ta­libu memeluk makin erat, bahkan men­cegahnya bersuara lagi dengan ciuman mesra.

Tiba-tiba terdengar bunyi melengking nyaring. Itulah suara Kwi Lan yang tak dapat menahan rasa amarahnya yang menggelegak di hati. Ia tidak tahu bahwa ia telah berada dalam cengkeram iblis cemburu, yang membuatnya marah dan beringas, siap membunuh Puteri Mimi. Setelah mengeluarkan suara melengking seperti suara gurunya kalau marah, tu­buhnya mencelat ke depan, memukul ke arah Mimi dengan pukulan maut. Ia sudah lemah, tenaganya sudah hampir habis karena ia pergunakan untuk mela­wan rangsangan berahi sepanjang malam, akan tetapi pukulan itu masih ganas dan dahsyat luar biasa.

"Dukkk....!" Tubuh Kwi Lan terpelan­ting dan gadis yang sudah lemah ini se­belum sempat bangkit kembali, sebuah totokan membuatnya rebah miring dalam keadaan pingsan.

Puteri Mimi terkejut dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya ia berhasil melepaskan diri dari pelukan Pangeran Talibu. Akan tetapi Pangeran itu bangkit dengan mata merah, mulut terengah-engah lalu hendak mengejar.

"Kakanda...., apakah kau gila....?" teriak Mimi dan gadis ini merasa ngeri dan khawatir. Pangeran Talibu menubruk akan tetapi sebuah totokan dari samping membuat ia roboh pula menggelundung di dekat Kwi Lan dalam keadaan pingsan.

Kiranya Kiang Liong yang tadi siuman cepat turun tangan melihat Kwi Lan menyerang Mimi tadi. Pemuda yang ba­nyak pengalaman dan berpemandangan luas ini melihat sesuatu yang tidak wajar pada sinar mata Kwi Lan dan Pangeran Talibu, maka melihat betapa Pangeran itu mengejar adiknya sendiri dengan naf­su menyala-nyala, segera ia menotoknya roboh.

Untung bahwa dua orang muda itu sudah kehabisan tenaga. Kalau tidak, belum tentu Kiang Liong dapat meroboh­kan mereka secara mudah. Apalagi me­robohkan Kwi Lan, karena tenaga Kiang Liong sendiri pun sudah lemah akibat luka yang dideritanya akibat pukulan Kam Sian Eng. Setelah melihat betapa Kiang Liong merobohkan kakaknya, Pu­teri Mimi berbalik menjadi marah kepada Kiang Liong. Ia menghadapi pemuda itu dengan mata terbelalak dan membentak. "Kauapakan Kakakku....?"

Kiang Liong mengerutkan kening. "Mereka tidak wajar, seperti beringas dan gila. Aku hanya menotok mereka agar tidak terjadi hal-hal tidak baik. Mungkin mereka berada di bawah penga­ruh racun." Ia menuding ke arah mang­kuk-mangkuk bekas makanan.

Puteri Mimi mengeluh lalu bersimpuh lagi dekat kakaknya. Kalau teringat betapa kakaknya tadi menciuminya seperti itu, mukanya menjadi merah saking jengah. Ah, selama hidupnya belum pernah ia dicium orang seperti itu! Kemudian tim­bul pula rasa kasihan dan khawatir di hati melihat tubuh kakaknya yang penuh luka bekas cambukan. Ia menoleh ke arah Kwi Lan, mengerutkan kening. Siapa wanita cantik jelita ini dan mengapa datang-datang hendak menyerangnya? Ia mengeluh dan kembali merenungi kakak­nya dengan hati penuh kegelisahan.

Kiang Liong juga maklum bahwa ke­adaan mereka amatberbahaya. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan ber­duka atau berkhawatir. Cepat ia bangkit untuk menyelidiki keadaan kamar tahan­an. Setelah mendapat kenyataan bahwa kamar itu kuat sekali, dijaga ketat di luar, ia lalu mengundurkan diri di sudut ruangan itu, duduk bersila mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan dan kesehatannya. Ia tahu bahwa yang terpenting adalah memulihkan kekuatan karena apa pun yang akan terjadi, yang paling ia perlukan adalah tenaga dan kesehatannya. Keadaan di dalam ruangan tahanan ini menjadi sunyi sekali. Hanya terdengar helaan napas panjang diselingi isak dari Puteri Mimi. Lilin merah makin mengecil dan akhirnya padam. Ruangan menjadi gelap. Puteri Mimi makin geli­sah. Dua orang pingsan, yang seorang duduk bersamadhi. Dia merasa seperti di kuburan.

Menjelang pagi terjadi geger di dalam hutan dekat markas Bouw Lek Couwsu. Yu Siang Ki yang membawa pasukan pengemis sebanyak lima puluh orang telah tiba dan langsung menyerbu hutan yang kini terjaga rapat oleh orang-orang Hsi-hsia dan para pendeta jubah merah. Pasukan yang dibawa Yu Siang Ki adalah orang-orang pilihan dari dunia kai-pang dan rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Sebagai tokoh-tokoh kai-pang yang berpengalaman, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang ahli akan siasat pertempuran dan ahli pula akan tempat-tempat rahasia, maka mereka tidak bertindak sembrono. Yu Siang Ki di samping teman-temannya yang berpenga­laman, dapat menduga bahwa markas besar pimpinan orang Hsi-hsia ini tentu penuh dengan perangkap-perangkap ber­bahaya. Oleh karena itu mereka menanti sampai datangnya malam gelap, barulah mereka menyerbu ke dalam hutan. Yu Siang Ki dan teman-temannya tidaklah begitu sembrono seperti Kwi Lan untuk melalui jalan satu-satunya yang terdapat di hutan itu, melainkan mengambil jalan menyusup di antara semak-semak belu­kar, menyelinap di antara pohon-pohon besar.

Dengan amat hati-hati mereka me­nyusup seperti gerakan pasukan monyet yang amat lincah. Setelah melalui per­jalanan yang amat sukar dan lama, men­jelang senja barulah mereka dapat men­dekati markas. Mereka telah lolos dari­pada perangkap-perangkap rahasia yang dipasang di sepanjang jalan, akan tetapi ternyata mereka tidak dapat lolos dari­pada para penjaga yang ketat. Ketika para penjaga melihat gerakan mereka, para hwesio jubah merah beserta pasukan Hsi-hsia segera bergerak mengepung dan terjadilah pertempuran hebat sekali di dekat markas besar Bouw Lek Couwsu. Keadaan masih remang-remang gelap, dan pasukan kai-pang di bawah pimpinan Yu Siang Ki menyerbu dengan dahsyat sehingga pertempuran itu berlangsung seru sampai pagi. Akan tetapi ternyata pasukan yang dipimpin Yu Siang Ki cukup tangguh sehingga banyak perajurit Hsi-hsia roboh binasa. Para hwesio jubah merah melakukan perlawanan gigih, na­mun mereka kalah banyak sehingga mu­lailah mereka terdesak.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Jembel-jembel busuk sungguh menjemu­kan!" Bentakan ini disusul munculnya seorang kakek kurus bertopi tinggi, namun gerakannya hebat luar biasa. Begitu dengan tangan kosong ia menyerbu, empat orang pengemis roboh dengan mata mendelik dan putus napasnya!

"Hemmm, baru kalian mengenal Pak-sin-ong!" kata Si Kurus dan kembali ia melangkah maju. Para pengemis yang terkejut bukan main menyaksikan kelihai­an kakek ini, menjadi lebih kaget men­dengar namanya. Kiranya inilah Pak-sin­-ong! Namun hanya sebentar mereka ter­kejut. Seorang pengemis yang bertubuh kekar dan berkumis lebat, menubruk maju mengayun tongkatnya, menghantam ke arah kepala Pak-sin-ong. Kakek itu hanya berdiri dengan angkuh dan terse­nyum mengejek.

"Krakk!" Tongkat itu tepat mengenai kepala dekat dahi, akan tetapi kakek itu tetap tersenyum, sebaliknya tongkat itu yang terbuat daripada kayu keras, patah menjadi dua potong dan terlempar jauh entah ke mana. Si Pengemis kaget, na­mun tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya dan ditusukkan ke depan.

Pengemis itu terbelalak dan mulutnya mengeluarkan jerit mengerikan. Juga teman-temannya terbelalak ngeri ketika melihat betapa pengemis ini pecah perut­nya, ususnya, berantakan dan ditarik-tarik keluar oleh Si Kakek Kejam! Pemandang­an yang amat mengerikan, akan tetapi juga menimbulkan kemarahan yang me­luap-luap, membuat para pengemis men­jadi nekat. Majulah mereka menerjang kakek itu yang melayani sambil terse­nyum simpul.

Yu Siang Ki yang mendengar laporan tentang munculnya kakek hebat ini, ce­pat meloncat dan menggerakkan tongkat­nya merobohkan seorang hwesio jubah merah. Akan tetapi sebelum ia tiba di tempat Pak-sin-ong mengamuk tiba-tiba ia harus melempar diri ke sarnping, ber­gulingan dan menyabetkan tongkatnya ke kiri karena dari arah kiri menyambar sebuah gunting besar yang tadi hampir saja menggunting putus lehernya! Ia me­loncat bangun dan berhadapan dengan seorang kakek yang terbahak-bahak. Bu­tek Siu-lam!

Kagetlah Yu Siang Ki, sudah lama ia mendengar akan nama besar Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong sebagai se­orang tokoh utara yang luar biasa sakti­nya, juga ia pernah mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam yang baru muncul namun memiliki nama yang tidak kalah oleh orang-orang pertama. Melihat ben­tuknya, lagaknya, dan guntingnya, tak salah lagi inilah orangnya. Ia tahu bahwa lawan ini amat berbahaya, maka cepat Siang Ki menyambar topinya dan begitu tangannya bergerak, topinya melesat seperti petir menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam.

"Klikk!" Gunting itu menyambar dan.... biarpun topi masih terbang lewat, namun kembangnya yang menghias topi sudah terguling dan kini terpegang di tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang mencium-cium kembang itu dengan lagak genit!

"Hi-hik, pemuda tampan, Engkau bo­leh juga, sayang semuda dan setampan engkau begini malas menjadi pengemis. Hi-hik!"

Pada saat itu, seorang pengemis tua mendekati Yu Siang Ki dan berkata sua­ranya gugup, "Pangcu, keadaan kita ter­desak. Minta putusan."

"Beri tanda untuk mundur, sedapat mungkin keluar dari tempat ini!" kata Yu Siang Ki yang tidak ingin mengorbankan teman-temannya dan maklum bahwa se­telah muncul dua orang sakti yang sama sekali tidak pernah disangkanya, keadaan pasukannya terancam bahaya. Kakek pengemis itu mengangguk lalu meloncat pergi sambil mengeluarkan pekik seperti orang menangis. Itulah tanda untuk mun­dur, maka paniklah pasukan pengemis. Mereka mulai mundur sambil memper­tahankan diri, didesak oleh musuh yang kini mendapat hati.

Jalan keluar kiranya malah lebih su­kar daripada jalan masuk karena selain pasukan Hsi-hsia dan pendeta-pendeta jubah merah, juga kini sudah muncul pula Thai-lek Kauw-ong dan Siauw-bin Lo­mo dari sebelah kiri dan dari sebelah kanan muncul pula Kam Sian Eng dan Suma Kiat! Percuma saja para pengemis melakukan perlawanan dan berusaha lari. Mereka disapu sampai bersih, dan tidak seorang pun dapat lolos dari tempat itu!

Ketika Bu-tek Siu-lam mendengar bahwa pengemis muda yang tampan ga­gah ini adalah seorang Kai-pangcu (Ketua Pengemis) yang memimpin pasukan pe­ngemis, ia menjadi kagum dan berkata, "Eh, kiranya engkau seorang pangcu! Hi-hik! Aku mendengar laporan para penge­mis anak buahku bahwa ada seorang ketua pengemis muda belia yang katanya adalah putera mendiang Yu Kang Tiang­lo. Engkaukah orangnya?"

"Benar, dan aku pun tahu bahwa eng­kaulah orang dari barat yang menampung kaum sesat untuk menyelewengkan dunia pengemis ke dalam kejahatan. Sudah tiba saatnya kita membuat perhitungan!" kata Yu Siang Ki, sedikit pun tidak gentar dan ia sudah menggerakkan tongkat pan­jangnya.

"Hi-hi-hik, bagus! Bouw Lek Couwsu akan suka sekali menerima bantuanmu dan anak buahmu. Eh, bocah ganteng, engkau ikut saja denganku membantu Couwsu."

"Bu-tek Siu-lam! Kaukira aku Yu Siang Ki orang macam apakah? Lihat tongkatku!" pemuda itu sudah menerjang dengan gerakan yang dahsyat. Tongkatnya mengeluarkan suara mengaung ketika menyambar ke arah kepala Bu-tek Siu­lam. Namun kakek ini hanya tertawa mengejek dan berkata, "Hi-hik, percuma kau melawan!" Tongkat Siang Ki lewat di dekat kepalanya ketika tokoh banci ini mengelak. Namun sungguh tak disangka­nya ketika tongkat itu seperti seekor naga membalikkan tubuh sudah membalik dan menusuk ke arah dadanya. Ketika ia cepat miringkan tubuh, tongkat itu kem­bali tahu-tahu sudah menghantam ke arah pinggangnya.

"Hiyaa...., kau boleh juga....!" seru tokoh ini, terkejut dan juga kagum. Ki­ranya biarpun masih muda, pengemis ini memiliki kepandaian yang hebat. Pantas saja menjadi ketua kai-pang dan juga tidak mengecewakan menjadi putera mendiang Yu Kiang Tianglo yang dulu amat tersohor.

Pada saat itu, muncul dua orang pengemis tua. Tubuh mereka sudah ter­luka di lengan dan pundak, dan wajah mereka penuh keringat, pandang mata mereka penuh kegelisahan. Mereka serentak menerjang Bu-tek Siu-lam membantu Yu Siang Ki dan seorang di antara me­reka berkata, "Pangcu mari kita lari, keadaan sudah berbahaya dan mende­sak....!"

Kiranya dua orang pengemis ini yang melihat betapa pasukannya yang sedang melakukan usaha mengundurkan diri di­hajar habis-habisan oleh musuh, kini ber­usaha membujuk Siang Ki untuk menye­lamatkan diri. Mendengar ucapan mereka ini, Siang Ki mempercepat gerakan tongkatnya sehingga ujung tongkatnya ber­ubah menjadi puluhan buah banyaknya, yang kesemuanya menyerbu ke arah jalan darah dan bagian-bagian lemah dari tu­buh Bu-tek Siu-lam.

"Hi-hi-hi-hik, dasar pengemis tak tahu diri!" seru Bu-tek Siu-lam dan tubuhnya berkelebat ke arah dua orang pengemis tua itu. Guntingnya yang besar menyam­bar dan mengeluarkan bunyi nyaring "Klikk! Klakk!" Dua orang pengemis itu menjerit keras dan tubuh mereka roboh menjadi.... empat potong! Siang Ki kaget dan kemarahannya meluap. Ia segera menerjang, mainkan ilmu tongkat ajaran ayahnya sambil mengerahkan semua te­naga sin-kang di tubuhnya. Lenyaplah tubuh pemuda ini, berkelebatan dengan loncatan cepat, diselimuti gulungan sinar tongkatnya yang menyambar-nyambar. Bunyi mengaung, makin meninggi sampai melengking-lengking nyaring.

Namun, yang dihadapi pemuda lihai ini adalah Bu-tek Siu-lam, seorang tokoh besar, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian. Sungguhpun dasar ilmu silat Bu-tek Siu-lam tidak semurni ilmu silat Yu Siang Ki, namun jauh lebih berbahaya dan ga­nas, juga kakek banci ini menang tenaga dan menang pengalaman. Semua terjang­an tongkat Yu Siang Ki yang demikian dahsyatnya dapat terbendung oleh gunting sehingga terdengarlah berkali-kali suara nyaring disusul percikan bunga api ketika kedua senjata itu bertemu. Yu Siang Ki terkejut. Setiap kali senjatanya bertemu senjata lawan, lengannya menjadi kesemutan. Inilah tandanya bahwa tenaga sin-kang lawan amat kuat. Dan ia pun dapat melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, melihat pula munculnya Siauw-bin Lo-mo si kakek sakti di samping Pak-sin-ong dan Bu-tek Siu-lam ini. Habislah harapannya, bukan hanya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan, bahkan kini ia sendiri terancam, pasukannya hancur dan entah bagaimana dengan nasib Kwi Lan. Semua kegagalan ini membuat ia menjadi nekat dan marah. Tongkatnya diputar makin hebat dan kini ia tidak pedulikan apa-apa lagi, semua perhatiannya ia curahkan dalam penyerbuan terhadap Bu-tek Siu­lam.

"Bocah tampan yang bodoh! Engkau masih tidak mau menyerah?" Bu-tek Siu­-lam mengejek dan terpaksa ia pun mempercepat gerakan guntingnya karena biar­pun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan. Jarang ia menemui lawan semuda tapi setangguh ini, dan diam-diam ia makin kagum. Alangkah akan senangnya mempunyai seorang kekasih seperti pemuda ini, pi­kirnya. Tampan, kulitnya putih halus, matanya jernih tajam, lahir batinnya gagah perkasa dan jantan! Namun tidak­lah mudah menangkap pemuda tampan ini, dan mereka sudah bertanding sampai seratus jurus lebih!

Yu Siang Ki juga menjadi bingung. Ia maklum bahwa ia tidak akan menang melawan kakek yang amat sakti ini. Betapapun juga, ia harus mempertahan­kan diri dan kalau perlu mengadu nyawa dengan Bu-tek Siu-lam. Tidak terlalu penasaran kalau ia mati bersama kakek ini yang memiliki ilmu jauh lebih tinggidaripadanya. Ia harus menggunakan akal, kalau tidak, hanya mengandalkan ilmu silat saja tak mungkin ia dapat membu­nuh Bu-tek Siu-lam. Berpikir demikian, Siang Ki yang sudah menjadi nekat dan putus harapan itu lalu mencondongkan tubuh ke depan, tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan disusul tangan kiri yang melepaskan tongkat dan memukul dengan jari-jari terbuka ke arah dada. Serangan tongkatnya tidak berbahaya, dan pukulan inilah yang berbahaya, mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Bu-tek Siu-lam bukan anak kecil, dan ia tahu akan akal ini, yaitu yang disebut serangan membesar-besarkan yang kosong menyembunyikan yang isi. Menghadapi sambaran tongkat, ia hanya menundukkan kepala dan berbareng ia menggerakkan gunting besarnya, yang sudah dibuka dan siap menggunting lengan kiri Yu Siang Ki yang mengirim pukulan ke dada.

Tangan kiri Siang Ki sudah meluncur ke depan dengan sepenuh tenaga dan gunting itu siap menanti untuk mencaplok lengan. Terlambatlah Siang Ki untuk menarik kembali lengannya, dan memang sesungguhnya inilah akalnya, akal seorang nekat yang hendak mengadu nyawa. Ia menggunakan lengan kirinya itu untuk memancing, menjadi umpan dan kalau perlu mengorbankan lengan kirinya di­caplok gunting lawan. Begitu melihat gunting menyambar lengan kirinya, tanpa menarik kembali lengan kirinya, kaki kanannya maju melangkah dan tongkatnya menghantam ke arah pinggang lawan sekerasnya. Hebat pukulannya ini, cepat dan tak tersangka-sangka. Ia akan ke­hilangan lengan kiri, akan tetapi pukul­annya tentu akan membinasakan lawan­nya!

Bu-tek Siu-lam terkejut setengah mati melihat betapa lengan kiri itu sama se­kali tidak mengelak atau ditarik kembali, membiarkan menjadi korban gunting. Sebagai seorang ahli tingkat tinggi, ia menjadi curiga dan menarik kembali guntingnya sehingga ketika terdengar suara "klik", hanya ujung lengan baju Siang Ki saja tergunting. Dengan gerakan reflex yang mengagnmkan, kakek itu sudah miringkan tubuh dan sekaligus menggerakkan guntingnya menangkis tongkat. Ia terlambat sedikit, tongkat yang tertangkis itu menyeleweng ke ba­wah dan menghantam paha kirinya.

"Bukkk....!"

Bu-tek Siu-lam terhuyung ke bela­kang, meringis kesakitan. Biarpun tulang pahanya tidak remuk, namun celananya pecah dan tampak pahanya yang putih itu kini menggembung dengan warna biru kemerahan!

"Bocah sinting! Kau tak mengenal kasihan orang!" teriaknya marah-marah dan kini terpincang-pincang ia menerjang maju, guntingnya menyambar-nyambar ganas dan diam-diam tangan kirinya me­ngeluarkan senjatanya yang ke dua, yaitu seutas benang dengan jarumnya!

Yu Siang Ki kaget dan menyesal se­kali. Ia berhasil memukul lawannya, akan tetapi tahu pula bahwa ia hanya menda­tangkan luka di kulit saja. Maka terpaksa ia lalu membela diri dan memutar tong­katnya. Akan tetapi sebentar saja Yu Siang Ki menjadi repot terdesak secarahebat. Ia melihat jarum berkilauan yang menyambar-nyambar seperti seekor lebah hidup, dan celakanya, jarum itu menyam­bar ke arah kedua matanya! Pemuda ini terpaksa membantu tongkatnya dengan ujung lengan baju dikibaskan setiap kali ada sinar berkilau menyambar mata. Namun dengan cara begini, permainan tongkatnya menjadi kacau-balau. Ketika kembali gunting menyambar pinggang, ia menangkis dengan tongkat. Kilauan jarum menyambar mata, ia kibas dengan lengan kiri dan berusaha menangkap jarum. Akan tetapi jarum yang diikat benang itu se­perti hidup digerakkan tangan kiri Bu­tek Siu-lam, kini jarum itu terbang membalik dan tahu-tahu telah menancap d pergelangan tangan kanan Yu Siang Ki! Pemuda ini mengeluh, tongkatnya terlepas, dan ketika ia membungkuk untuk menyambar kembali senjatanya, punggung gunting lawannya menotok tengkuknya. Yu Siang mengeluh perlahan dan roboh pingsan.

***

Dalam, keadaan tidak berdaya, Kiang Liong terpaksa menonton saja ketika ia dan para tawanan lain dibelenggu, karena yang melakukan ini adalah Bouw Lek Couwsu sendiri yang masuk ke ruangan tahanan ditemani Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo. Di antara para tawanan, hanya dia dan Puteri Mimi yang kini dalam keadaan sehat. Akan tetapi apa artinya dia dan Puteri Mimi berdua saja menghadapi empat orang kakek sakti ini? Belum waktunya untuk menerjang dan mati-matian mengadu nyawa, pikirnya. Terpaksa ia berpura-pura lemah dan tidak berbuat sesuatu sehingga mereka semua ini terbelenggu dengan rantai-rantai baja, diikat pada dinding kamar tahanan Kiang Liong di­sudut kiri, dan berbaris di sebelah ka­nannya adalah Pangeran Talibu, Yu Siang Ki, Kam Kwi Lan dan Puteri Mimi. Lima orang muda belia berbaris dalam keadaan terbelenggu di dalam kamar tahanan itu, nasib mereka berada di tangan kakek-kakek yang kejar, dan ganas!

Puteri Mimi terisak-isak menangis. Melihat ini, Kiang Liong berkata perla­han dan tenang menghibur, "Harap puteri jangan gelisah dan putus harapan. Percayalah bahwa Bouw Lek Couwsu yang amat mengharapkan bantuan Khitan tidak akan begitu gila untuk membunuh puteri dan Pangeran. Ia melakukan ini sebagai gertakan saja untuk mengancam dan membujuk Pangeran Talibu yang saya lihat amat gagah dan keras hati tidak mau menyerah sehingga mengalami sik­saan. Kalau dia nanti sadar dan melihat puteri menangis, hal ini amat tidak baik bagi pertahanannya. Engkau adalah puteri Panglima Kayabu yang gagah perkasa, tidak semestinya takut menghadapi baha­ya yang baru sekian saja."

Puteri Mimi menghentikan tangisnya. Hanya air matanya yang masih mengalir turun melalui kedua pipinya, akan tetapi. makin lama air mata itu pun makin mengecil dan akhirnya berhenti. "Terima kasih, Kiang-kongcu. Sesungguhnya, aku tidak akan memalukan nama besar ayah­ku dan aku bukan menangis karena takut. Kematian di tangan musuh bukanlah apa­-apa bagiku. Yang kutangisi dan kusedih­kan adalah keadaan Pangeran Talibu. Melihat keadaan jasmaninya tersiksa seperti itu sudah cukup mengenaskan, akan tetapi melihat betapa ia tadi.... ah, Kongcu, engkau tahu bahwa dia adalah kakak kandungku, bahwa dia adalah Pa­ngeran Mahkota. Hati siapa takkan ber­duka melihat kakak sendiri dan pangerannya menjadi.... menjadi.... gila....?"

Kiang Liong menarik napas panjang. Ia tadi pun melihat betapa Pangeran ­Talibu memeluk dan menciumi adik kan­dungnya itu secara berlebihan bahkan se­cara tidak patut. Pelukan dan ciuman yang mengandung nafsu berahi sepenuh­nya! Bahkan sedemikian hebat nafsu itu menggelora dan menguasai Pangeran tadi sehingga Pangeran itu tidak mempeduli­kan kehadiran orang lain dan hendak me­maksa Sang Puteri. Hal ini memang be­nar-benar tidak wajar dan ini pula yang menyebabkan ia tadi turun tangan me­nolong Sang Pangeran.

"Puteri Mimi, harap kau suka tenang. Saya tahu bahwa sikapnya tadi tidak wajar, seperti juga sikap Mutiara Hitam ini, akan tetapi percayalah, mereka ini pasti terkena racun yang hebat. Mereka berdua bukanlah orang-orang jahat dan juga tidak gila. Tunggu saja kalau me­reka sadar, tentu kita akan. mendengar keterangan mereka...."

Terdengar keluhan Kwi Lan. Mimi menoleh ke sebelah kirinya, melihat Kwi Lan menggerakkan kaki tangan yang terbelenggu, kemudian kepalanya dan akhirnya membuka matanya. Sejenak mata itu nanar dan bingung, kemudian Kwi Lan menoleh ke kanan kiri dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Mata itu kini memandang ke arah pintu besi dan mulutnya memaki.

"Heh si bedebah Bouw Lek Couwsu, kakek tua bangka mau mampus yang tak tahu malu! Kau pengecut besar yang hanya mengandalkan jebakan-jebakan rahasia, racun-racun menjijikkan dan bantuan pengeroyokan! Kalau memang kau mengaku jantan pemimpin bangsa biadap Hsi-hsia, hayo kita bertanding sampai selaksa jurus!"

"Kwi Lan, tidak ada gunanya menan­tang-nantang kalau kita sudah tak ber­daya begini," kata Yu Siang Ki. Kwi Lan menoleh ke kiri dan nenjawab dengan mulut cemberut.

"Dasar kau yang tidak punya guna, Siang Ki. Kau datang bersama pasukan pengemis pilihan, bagaimana tahu-tahu sudah menjadi tawanan? Ke mana pergi­nya pasukanmu itu?"

Siang Ki menarik napas panjang. "Aaahhh, semoga saja di antara mereka ada yang berhasil meloloskan diri. Masih terlalu berat, apalagi kakek-kakek iblis seperti Siauw-bin Lo-mo, Bu-tek Siu­lam, Pak-kek Sin-ong dan yang lain. Sungguh mereka merupakan lawan berat."

"Aku tidak takut!" bentak Kwi Lan marah dan kembali ia berteriak-teriak "Iblis-iblis tua bangka macam Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo atau Bouw Lek Couwsu, kalau berani bertan­ding melawan aku secara jantan, biarkan maju. Kalau aku kalah, aku rela mam­pus di tangan. seorang di antara mereka!"

Siang Ki hanya menghela napas, mak­lum akan watak gadis ini. Kiang Liong tertawa kecil dan berkata, "Heh-heh, biarkan saja dia, Yu-pangcu. Andaikata dilayani, dia takkan mampu mengalahkan seorang di antara Bu-tek Ngo-sian."

Kwi Lan kini menoleh ke kiri, se­dapat mungkin memanjangkan lehernya untuk dapat melihat Kiang Liong yang terhalang Siang Ki dan Talibu, matanya mendelik dan ia menghardik.

"Kau murid Suling Emas si sombong tekebur! Kalau kau takut mampus, boleh kau menyerah kepada mereka dan boleh wakili mereka menempur aku! Huh, som­bong, tidak menengok tengkuk sendiri. Kalau kau pandai dan murid Suling Emas kenapa kau sendiri tertawan? Tak tahu malu!"

Kiang Liong hanya tertawa, memper­lihatkan deretan gigi yang putih dan kuat, Kwi Lan makin marah, mendengus­-dengus dan meronta-ronta, akan tetapi belenggu kaki tangannya terlampau kuat. Akhirnya ia tidak meronta-ronta lagi dan hanya merenung ke depan. Dua titik air mata meloncat ke atas sepasang pipinya yang kemerahan. Melihat ini, Kiang Liong menjadi kasihan. Dengan kata-kata serius ia lalu berkata.

"Mutiara Hitam, siapakah yang me­nyangsikan kegagahan dan keberanianmu? Aku kagum sekali kepadamu. Akan teta­pi, kau tentu mengerti pula bahwa se­orang gagah akan dapat menanggung penderitaan dengan sikap tenang dan tidak putus harapan."

"Huhh....!" Kwi Lan hanya mendengus, akan tetapi tidak membantah dan kini ia mencurahkan perhatiannya ke sebelah kanan, kemudian ke kiri ke arah Pange­ran Talibu. Ia melihat betapa pangeran yang dicintanya itu telah sadar pula, dan kembali jantungnya berdebar aneh. Kini ia tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Talibu dan kalau ia teringat akan keadaan mereka pada malam hari tadi, wajahnya menjadi merah sekali. Ah, jelas bahwa malam tadi terjadi peristiwa yang amat memalukan antara mereka berdua. Sikap mereka seperti orang kemasukan setan, tidak tahu malu! Dan makin yakin

pula hati Kwi Lan bahwa tentu malam tadi ia terpengaruh oleh racun yang ter­dapat dalam masakan dan minuman, demikian pula Pangeran Talibu. Buktinya, pagi ini ia tidak mempunyai perasaan panas dan rangsangan seperti semalam, sungguh harus ia akui bahwa cinta kasih­nya terhadap pangeran itu makin mem­besar. Juga sinar mata Pangeran Talibu pagi ini halus dan tenang tidak panas dan penuh nafsu seperti malam tadi. Akan tetapi, perih hatinya kalau ter­ingat akan kelakuan Pangeran itu terha­dap Puteri Mimi. Dan saat ini, pandang mata Pangeran itu pun ditujukan kepada Puteri Mimi yang berdiri terbelenggu di sebelah kanannya. Dan di antara mereka ini terjadi percakapan dalam bahasa yang ia tidak mengerti! Bahasa Khitan!

Ia sama sekali tidak mengerti dan tiba-tiba mendengar ketawa perlahan di sebelah kirinya. Ia menoleh dan melihat Yu Siang Ki tersenyum dan mengangguk-angguk. Juga di ujung kiri tampak Kiang Liong tersenyum tenang. Jelas bahwa Siang Ki dan Kiang Liong mengerti baha­sa Khitan dan tahu apa yang dipercakapkan kedua orang itu. Membicarakan ten­tang dia? Mentertawakan dia? Hatinya panas dan betapapun ditahan-tahannya, akhirnya ia tidak kuat dan berbisik ke­pada Siang Ki.

"Mereka bicara apa? Apa yang dika­takan oleh dia?" Ia menunjuk dengan gerakan muka ke arah Pangeran Talibu.

Siang Ki menoleh kepadanya dan menjawab sambil berbisik pula. "Pange­ran Talibu bilang bahwa puteri ini bukan adik kandungnya, bahkan sama sekali tidak ada hubungan keluarga di antara mereka."

Kwi Lan tertegun, heran. Ia menoleh ke kanan dan melihat Puteri Mimi me­mandang ke kiri, ke arah Pangeran itu dengan mata terbelalak, seperti tidak percaya, akan tetapi wajah itu berseri-seri, penuh cemas, harap, dan bahagia! Kemudian ia mendengar Talibu masih berkata-kata penuh semangat dan perasa­an, dan wajah Puteri Mimi makin berse­ri, lalu kemerahan kedua pipinya.

"Apalagi yang dikatakan?" desisnya kepada Siang Ki.

"Ha, Pangeran itu bilang bahwa dia mencinta Puteri Mimi, dan telah meng­ambil keputusan untuk menikah dengan Puteri Mimi...."

Kwi Lan memejamkan mata, me­rasa seakan-akan halilintar me­nyambar kepalanya. Ia membuka mata, menoleh ke kanan melihat Puttri Mimi juga memejamkan mata sambil tersenyum penuh bahagia. Menoleh ke ujung kiri me­lihat Pangeran Talibu memandang ke arah Puteri Mimi, melalui dia, dengan penuh cinta kasih! Hatinya makin panas dan tiba-tiba air matanya bercucuran tanpa dapat dicegahnya lagi.

“Kita akan mampus semua....” desis­nya menghibur hati panas dan patah, “kita akan mampus semua di sini....!”

Yu Siang Ki tidak tahu apa yang terjadi dalam hati dan pikiran Mutiara Hitam. Mendengar ucapan ini dan meli­hat air mata bercucuran, ia terheran. Mengapa kini Kwi Lan seperti orang putus harapan? Ke mana keberaniannya tadi?

“Kwi Lan, sebelum hayat meninggal­kan badan, masih ada harapan untuk lolos....”

“Cukup! Siapa putus harapan?” bentaknya.

Sementara itu, menjelang pagi tadi terjadi hal-hal yang aneh di luar ruangan tahanan. Serombongan penjaga bangsa Hsi-hsia sebanyak lima orang yang men­jaga barisan luar markas, menantikan da­tangnya pengganti penjaga sambil ber­main kartu untuk menghilangkan rasa kantuk. Mereka sedang gembira karena ketegangan semalam telah mereda dan mereka merasa beruntung mendapat tugas menjaga sampai pagi, lebih untung daripada teman-teman yang mendapat tugas menyingkirkan sekian banyaknya mayat-mayat para pengemis yang me­nyerbu markas. Keadaan mayat-mayat itu mengerikan, ada yang terpotong-potong tubuh mereka oleh gunting besar Bu-tek Siu-lam, ada yang berceceran isi perutnya sampai berantakan ususnya oleh tangan Pak-sin-ong. Menyingkirkan ma­yat-mayat seperti itu amat menjijikkan dan jauh lebih enak melakukan penjagaan dalam gardu ini sambil mengobrol dan bermain kartu. Apalagi setelah kaum penyerbu dapat dihancurkan, keadaan menjadi aman dan siapa berani memasuki markas mereka?

Suara tapak kaki halus membuat me­reka menengok dan lima orang Hsi-hsia ini meloncat keluar dari gardu sambil menghunus golok masing-masing. Sebentar saja mereka telah mengepung wanita yang mendatangi gardu itu. Wanita yang masih muda, cantik manis dengan sikap yang genit, tersenyum-senyum malu, dengan sepasang mata bening lincah, tubuhnya melenggak-lenggok, biarpun sedang berdiri, pinggangnya tak pernah diam, bergerak-gerak seperti batang pohon liu tertutup angin. Wanita yang cantik molek menggairahkan dan genit! Namun lima orang penjaga Hsi-hsia itu tidak mau bersikap sembrono. Terlalu banyak wanita cantik yang berbahaya dan berkepandaian tinggi, seperti Puteri Mimi dan terutama sekali Mutiara Hitam. Sia­pa tahu wanita cantik ini pun sahabat Mutiara Hitam. Maka mereka mengurung dengan golok terhunus.

“Siapa kau? Dari mana dan mau apa?” bentak seorang di antara penjaga yang berkumis panjang, mengacungkan golok­nya yang tajam berkilauan.

“Iihhh...., jangan bunuh aku.... aduhhh, jangan bunuh aku.... Cu-wi-enghiong (Tuan-tuan Yang Perkasa)....!” wanita itu menjerit lirih, suaranya parau basah.

Lima orang Hsi-hsia itu tertawa. Per­tama karena serasa dielus-elus hati me­reka mendengar mereka disebut lima orang perkasa! Dan ke dua karena de­ngan sikapnya itu, wanita ini jelas bukanlah pendekar wanita yang pandai silat. Seorang wanita dusun yang cantik dan bodoh.

“Siapa kau dan mau apa datang ke sini?” bentak seorang penjaga lain yang matanya buta sebelah akibat perang.

“Aku.... aku bernama Kiok Hwa (Bunga Seruni).... dan aku.... aku datang mencari Boan-koko (Kakanda Boan)....”

Wanita itu tertawa hak-hak-hik-hik, malu-malu dan akhirnya berkata, “Boan­-koko adalah Boan-hwesio, seorang hwesio jubah merah yang.... ah.... sahabatku, eh.... dia sering datang ke rumahku di luar hutan. Sudah tiga bulan kami berhubung­an, akan tetapi lebih sepekan ini dia tidak datang....”

“Ha-ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa terbahak-bahak. Mereka tidak mengenal Boan-hwesio akan tetapi dapat menduga bahwa tentulah seorang di antara hwesio­hwesio jubah merah. Bukan rahasia lagi bahwa hwesio-hwesio itu, biarpun pakaian­nya jelas seperti hwesio dan kepalanya gundul namun dalam hal mengejar wanita cantik, tidak kalah oleh mereka! Bahkan mereka tahu betapa Bouw Lek Couwsu sendiri setiap hari berganti kekasih.

“Kenapa kalian tertawa? Tolong pang­gilkan Boan-toako, atau tunjukkan ke mana aku dapat bertemu dengan dia.... “ wanita itu kembali berkata, sikapnya makin genit, senyum manisnya murah dan kerling matanya menyambar-nyambar penuh tantangan.

“Ha-ha-ha-ha!” Si Kumis Panjang ber­kata sambil tertawa. “Jadi kau sudah sepekan lebih tidak didatangi sehingga menjadi rindu dan kini menyusul ke sini?” Tangan kirinya diulur dan meraba dagu yang putih halus itu.

“Aiihh.... kenapa raba-raba.” Wanita itu menjerit genit.

Si Kumis tiba-tiba memandang tajam dan sikap gembiranya berubah dengan bentakan menghardik. “Perempuan, jangan kaucoba mengelabuhi kami! Kau seorang perempuan dusun penghuni luar hutan? Bagaimana kau dapat memasuki tempat ini?” Kiranya Si Kumis ini teringat be­tapa jalan menuju masuk ke situ penuh perangkap dan terjaga sehingga tak mungkin seorang wanita muda yang bo­doh dan lemah dapat masuk tanpa dike­tahui, sedangkan Mutiara Hitam sendiri terjebak.

Wanita itu tersenyum genit. “Aahhh. kenapa Cu-wi begini curiga? Apakah per­cuma saja aku mempunyai kekasih Boan­-koko? Sudah beberapa hari aku diselundupkan masuk oleh Boan-koko, melalui jalan yang aman menyusup-nyusup semak dan alang-alang. Apa sukarnya?”

Lima orang ini lega dan percaya kini, lalu timbul pula kegembiraan mereka untuk mempermainkan wanita cantik genit ini. “Kenapa kau menjadi kekasih seorang hwesio gundul? Apakah dia masih muda?”

“Ah, tidak muda lagi, lebih tua dari­pada kalian.”

“Hemm, apa dia tampan?”

“Tampan? Huh, mukanya bopeng dan terutama sekali hidungnya amat kubenci. Terlalu besar hidung itu, dan dia.... ra­kus.”

“Ha-ha.-ha-ha! Apanya yang rakus? Apakah hidungnya?”

“Idihh, mau tahu aja. Pendeknya dia tua dan buruk, kalian jauh lebih menarik. Apalagi.... hemm, aku paling suka pria berkumis panjang!” Ia memandang Si Kumis dengan mata dipicingkan penuh tantangan.

“Waduh! Kalau begitu, kenapa tidak menjadi kekasih kami saja?”

“Boan-koko biarpun buruk rupa tapi hatinya baik. Kalau tidak ada dia, bagai­mana aku dan Ayah Ibu serta adik-adikku dapat makan? Aku menjadi kekasihnya bukan untuk mencari kesenangan melain­kan mencari.... makan. Kalau mencari senang tentu aku memilih kalian, teruta­ma yang kumisnya panjang.”

“Ha-ha-ha!” Si Kumis Panjang meme­lintir kumisnya dengan bangga, matanya liar menjelajahi tubuh wanita itu lalu menengok ke kanan kiri, “Manis, marilah ikut kami sebentar ke dalam gardu!” bisiknya sambil merangkul.

Wanita itu terkekeh genit dan balas memeluk pinggang Si Kumis, sambil ber­kata, “Aku mau akan tetapi satu-satu. Yang lain menjaga di luar, karena aku takut ketahuan Boan-koko!”

“Baik. Kawan-kawan, kalian jaga di luar menanti giliran!” Si Kumis terkekeh dan menyeret tubuh wanita itu memasuki gardu. Empat orang kawannya tersenyum senyum dan menanti di luar dengan sikap tak sabar. Jarang sekali, bahkan belum pernah mereka mendapatkan korban yang begini lunak. Mereka menanti di luar dan tertawa-tawa ketika mendengar suara Si Kumis menggereng dan menge­luh di dalam gardu. Tak lama kemudian muncul kepala Si Wanita sambil meng­gerakkan leher ke arah Si Buta Sebe­lah. “Giliranmu. Dia tertidur!”

Si Buta Sebelah seperti ditarik tenaga tak tampak, meloncat memasuki gardu menyusul bayangan wanita itu. Kemudian ganti-berganti mereka memasuki gardu, akan tetapi tak tampak seorang pun di antara mereka keluar lagi. Tak lama kemudian, muncullah seorang Hsi-hsia yang bertubuh tegap ramping, mukanya kotor berdebu, pakaiannya longgar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok. Orang ini melenggang keluar dari dalam gardu penjagaan, langsung masuk ke ba­gian dalam dari markas itu. Ketika di baglan dalam dari batas penjagaan ia bertemu dengan beberapa orang Hsi-hsia, ia ditegur dalam bahasa Hsi-hsia.

“Hee! Siapa kamu dan dari mana?

Mengapa baru kali ini kami melihatmu?”

Orang muda itu tersenyum dan men­jawab sambil mengangkat dada. “Aiih, kawan-kawan apakah belum mendengar? Couwsu sendiri yang dengan rahasia mengutusku dari utara langsung melaku­kan penyelidikan ke kota raja Sung dan kini aku datang untuk menyampaikan hasil kerjaku.” Ia lalu memberi salam dengan tangannya. Sikapnya yang lincah dan tidak ragu-ragu serta wajahnya yang gembira agaknya tidak menimbulkan ke­curigaan.

“Tunggulah, kawan-kawan. Setelah selesai menghadap Couwsu, akan kuceri­takan pengalamanku dengan puteri-puteri Sung!” Semua penjaga tersenyum dan pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke sebelah dalam dan mulailah tampak bangunan-bangunan markas Bouw Lek Couwsu. Tidak lagi tampak orang-orang Hsi-hsia dan di bagian ini penjagaan dilakukan oleh hwesio-hwesio jubah me­rah murid anak buah Bouw Lek Couwsu. Pemuda Hsi-hsia ini melanjutkan perja­lanan dengan hati-hati, akan tetapi kali ini ia menyelinap di antara bangunan-bangunan,mencari-cari. Ia mulai bersikap hati-hati sekali karena ia dapat menduga bahwa lima orang Hsi-hsia yang dibunuh­nya di dalam gardu penjagaan tadi tentu kini sudah ditemukan orang-orang Hsi­-hsia lainnya. Ia tertawa sendiri kalau teringat akan perannya sebagai seorang wanita cantik tadi. Untung lima orang Hsi-hsia itu semuanya goblok-goblok dan mata keranjang sehingga mudah saja ia pancing masuk gardu seorang demi se­orang. Kalau tidak, ia harus bertempur melawan pengeroyokan mereka dan sung­guhpun ia sanggup pula membunuh me­reka dengan cara ini, namun bahayanya ketahuan lebih besar. Ia harus bekerja cepat. Ia maklum bahwa para penjaga kini adalah hwesio-hwesio jubah merah dan ia dapat menduga pula bahwa penjaga-pen­jaga ini tidaklah selemah penjaga-penjaga sebelah luar yang hanya terdiri dari orang-orang Hsi-hsia kasar. Hwesio-hwe­sio ini adalah murid Bouw Lek Couwsu!

“Heiii! Mau apa kau masuk ke sini?” Teguran ini begitu tiba-tiba sehingga dia terkejut sekali. Akan tetapi teguran yang diucapkan dalam bahasa Hsi-hsia ini me­legakan hatinya. Selama hwesio-hwesio di sini menyangka ia seorang Hsi-hsia, hal ini baik sekali. Sambil bersikap menghor­mat ia lalu berkata.

“Saya hendak menghadap Couwsu untuk menyampaikan hasil penyelidikan saya di kota raja Sung sebagaimana yang diperintahkan langsung kepada saya.”

Hwesio itu mengerutkan keningnya, memandang tajam. Ia memang tahu bah­wa gurunya banyak mengirim mata-mata ke kota raja musuh, akan tetapi mengapa mengirim seorang pemuda seperti ini” Pula, ia merasa tak pernah bertemu dengan orang ini. Kembali ia membentak.

“Hemm, kalau menghadap Couwsu, mengapa longak-longok di sini dan tidak langsung saja masuk melalui pintu ger­bang? Dan kenapa tidak melapor kepada penjaga agar menyampaikan permohon­anmu menghadap kepada Couwsu? Hayo kita pergi ke tempat jaga, dan pinceng (aku) sendiri yang akan melapor kepada Couwsu yang sekarang sedang sibuk.”

“Ah, Couwsu sedang sibuk apakah? Apakah ada tamu? Kalau sibuk, lebih baik saya tidak mengganggu, jangan-ja­ngan saya akan mendapat marah besar!” pemuda itu tampak ketakutan. Sikapnya itu agak mengurangi kecurigaan Si Hwe­sio yang mengenal watak gurunya. Memang kalau gurunya sedang sibuk, orang yang mengganggunya seringkali menerima hukuman berat.

“Karena itu harus pinceng yang menghadap. Suhu sedang menjamu Bu-­tek Ngo-sian yang sekarang sudah hadir lengkap. Malah wanita mengerikan itu, Sian-toanio, datang bersama puteranya. Dan tempat tahanan makin penuh saja!”

“Eh, apakah yang terjadi? Mengapa ada orang tahanan? Dari mana?” Pemuda itu bertanya.

“Tahanan-tahanan penting. Pangeran Mahkota Khitan, puteri Pangllma besar Khitan, Kiang-kongcu dari kota raja, Ketua Khong-sim Kai-pang, Mutiara Hi­tam....”

“Mutiara Hitam....?” Pemuda itu bertanya terbelalak lebar memandang.

“Ya, gadis cantik jelita dan galak.... auuughhh....!” Hwesio itu roboh oleh pukulan jari-jari terbuka yang tepat menghantam tenggorokannya, membuat kerongkongannya hancur dan tewas seke­tika! Sebelum tubuhnya terbanting, pe­muda itu menyambarnya dan menyeret­nya ke belakang semak-semak.

Tidak lama kemudian, dari belakang semak itu muncullah Si Pemuda yang kini sudah berubah menjadi.... hwesio muda tampan berjubah merah berwajah alim! Goloknya yang tadi tak tampak lagi, tersembunyi di balik jubah merah yang kebesaran itu. Hwesio tadi memang gemuk. Setelah berpakaian hwesio, pemu­da ini dapat memasuki markas tanpa mendapat kesukaran. Ia selalu menjaga agar wajahnya tidak tampak dari depan oleh hwesio lain, hanya jubahnya yang merah dan kepalanya yang gundul licin saja yang tampak dan dalam hal ini, biarpun ada banyak hwesio, jubah merah dan kepala gundulnya tentu saja tiada banyak bedanya.

Di dalam kamar tahanan orang-orang muda yang terbelenggu di situ, kecuali Kiang Liong yang tetap tenang, sudah hampir kehilangan harapan. Apalagi keadaan Pangeran Talibu, sungguh amat mengenaskan. Biarpun keselamatannya tidak terancam bahaya, namun ia sung­guh menderita. Kulitnya pecah-pecah matang biru, terasa panas perih dan nyeri bukan main. Kadang-kadang Pange­ran ini siuman, mengerang dan seringkali pingsan lagi, tubuhnya lemas menggan­tung pada kedua tangan yang terbelenggu di atas kepalanya. Melihat keadaan Pangeran ini, Puteri Mimi memandang dengan air mata bercucuran. Kasihan sekali kakaknya. Agaknya penderitaan yang hebat itu membuat kakaknya berubah ingatan. Tadi kakaknya mengaku cinta kepadanya, hendak mengawininya. Mengatakan bahwa mereka bukan sanak kadang, apalagi saudara kandung! Dan pandang mata kakaknya itu, pandang mata penuh cinta kasih dan amat mesra. Puteri Mimi menangis.

Kwi Lan juga beberapa kali menoleh ke arah Pangeranini. Ia gemas, marah, penasaran, benci dan.... cinta! Hatinya seperti ditusuk-tusuk menyaksikan keadaan pria yang dicintanya ini, akan tetapi mengingat akan kata-kata yang diterje­mahkan Siang Ki, hatinya panas bukan main. Kalau diberi kesempatan, ia akan membunuh Puteri Mimi!

Yu Siang Ki menyesal sekali kalau mengingat akan kawan-kawannya. Pasu­kan yang dibawanya itu adalah tokoh­-tokoh pengemis di kota raja dan di Lok­-yang, kini mereka telah dibasmi habis! Sungguhpun tewas sebagai patriot yang membela negara menghadapi bangsa Hsi-hsia, akan tetapi semua itu adalah ka­rena kesalahannya! Ia terlalu memandang rendah kekuatan Bou Lek Couwsu.

Hanya Kiang Liong yang tetap te­nang. Pemuda ini selain pada dasarnya memiliki watak yang tenang, juga ia lebih tahu akan duduknya persoalan, lebih tahu akan suasana dan politik ne­gara. Ia telah yakin bahwa nyawa mere­ka belum terancam bahaya. Kalau Bouw Lek Couwsu hendak membunuh mereka, tentu sudah dibunuhnya dan tidak perlu ditahan seperti sekarang ini. Dengan cara menahan, berarti tidak menghendaki mereka mati dan selama nyawa mereka masih ada, harapan untuk lolos pun sela­lu akan tetap ada. Apalagi bagi Talibu dan Mimi, ia tidak perlu khawatir. Bang­sa Hsi-hsia bukanlah bangsa yang besar dan kuat, akan tetapi mereka memiliki ambisi besar, hendak menaklukkan Sung. Untuk ini tentu saja Hsi-hsia tidak se­kali-kali berani membunuh Pangeran Mahkota dan puteri Panglima Khitan yang diharapkan oleh mereka menjadi sekutu, bukan musuh! Tentang Kwi Lan ia pun mempunyai keyakinan takkan di­bunuh karena bukankah Kwi Lan ini mu­rid wanita aneh yang disebut Sian-toanio dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian? Betapapun juga, guru itu tentu tidak membiarkan muridnya terbunuh, apalagi di sana masih ada Suma Kiat, suheng gadis itu yang menurut penglihat­annya, mencinta Mutiara Hitam. Dan dia sendiri masih ada dan masih hidup. Ia tidak akan membiarkan Mutiara Hitam terbunuh! Heeii, apa pula ini? Kiang-Liong ingin menampar kepalanya sendiri, akan tetapi kedua tangannya terbelenggu sehingga ia hanya dapat menarik napas panjang dan kembali melirik ke arah Kwi Lan.

Sejak tadi ia memperhatikan Kwi Lan dan makin dipandang, makin jatuh hatinya. Entah bagaimana, gadis itu se­akan-akan mempunyai hawa yang menye­dot dan menarik perhatiannya, kemudian menimbulkan rasa suka dan cinta yang belum pernah dirasakannya terhadap ga­dis lain. Ia memang selalu suka akan gadis cantik, akan tetapi rasa suka ini seperti rasa suka seseorang akan benda-benda indah, akan bunga-bunga harum, tidak pernah lebih mendalam daripada itu. Kini ia mempunyai rasa suka dan cinta yang lain terhadap Mutiara Hitam. Seperti ada dorongan dalam hati bahwa ia harus membela gadis ini, harus meno­longnya, dan kalau perlu mengorbankan nyawa sendiri untuknya! Kalau biasanya terhadap gadis-gadis cantik yang pernah menjadi kekasihnya ia ingin mendengar pengakuan cinta gadis itu kepadanya, kini sebaliknya. Ia ingin menyatakan cinta kasihnya kepada gadis ini! Alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau gadis ini mau menerima cintanya!

“Kiang Liong, kau sudah gila....!” Pikiran ini tanpa ia sadar, ia ucapkan melalul mulutnya sehingga semua tahan­an, kecuali Pangeran Talibu, memandang kepadanya dengan penuh,keheranan ter­masuk Kwi Lan.

“Orang yang gila tidak akan mengaku gila!”, tiba-tiba Kwi Lan berkata, suara nya mengejek. Memang gadis ini sedikit banyak merasa gemas kepada Kiang Liong. Bukankah Puteri Mimi tertawan bersama Kiang Liong? Berarti bahwa Kiang Liong murid Suling Emas ini yang membawa datang Puteri Mimi ke tempat tahanan! Kalau Kiang-kongcu ini tidak tertawan, tentu Puteri Mimi juga tidak dan kalau begitu, tentu Mimi tidak da­tang ke sini dan Talibu tidak jatuh cinta kepada gadis itu!

Kiang Liong memandang gadis ini, matanya bersinar-sinar wajahnya berseri. “Betulkah, Nona? Pendapatmu membe­sarkan hatiku, terima kasih.”

“Engkau memang tidak gila, akan tetapi engkau merasa gila karena.... ta­kut! Huh, dan beginikah murid perkasa dari Suling Emas?”

Senyum di bibir Kiang Liong lenyap, berubah menjadi masam karena hati ke­cewa. “Aku.... ? Takut....? Aku tidak ta­kut, Nona dan....”

Terpaksa Kiang Liong menghentikan ucapannya karena pada saat itu terde­ngar suara pintu dibuka. Semua mata memandang hwesio gundul jubah merah berwajah tampan yang memasuki ruangan tahanan itu.

“Eh, kau.... Berandal...!” Suara Kwi Lan ini membuat semua orang menoleh dan memandang kepadanya dengan heran. Apa pula sekarang maksud Mutiara Hi­tam yang menyebut berandal kepada seorang hwesio jubah merah, dengan suara bukan seperti orang memaki, bah­kan dengan mata bersinar-sinar dan mu­ka tersenyum geli?

“Sssttt...., matamu selalu tajam, Mu­tiara Hitam.” Hwesio muda itu berbisik dan menaruh telunjuk ke depan bibir, kemudian melanjutkan sambil mendekati Kwi Lan, “Aku terpaksa menyamar. Aku datang untuk membebaskanmu. Kau ber­siaplah, aku akan mematahkan belenggu tangan dan kakimu.”

Pemuda itu bukan lain adalah Si Be­randal Tang Hauw Lam! Dia datang me­masuki markas mempergunakan akalnya, menyamar sebagai wanita cantik, kemu­dian sebagai orang Hsi-hsia dan terakhir ini sebagai seorang hwesio gundul berju­bah merah. Kini Hauw Lam mengeluar­kan goloknya dan empat kali bacokan kuat, belenggu kaki tangan yang meng­ikat Kwi Lan terlepas.

“Mari kita cepat pergi dari sini!” bisik Hauw Lam sambil menyambar le­ngan Kwi Lan yang sedang menggosok­gosok pergelangan tangannya yang terasa sakit.

“Kaubebaskan dulu yang lain-laini” bisik Kwi Lan merenggut lengannya.

“Kita harus lekas lari....“ bantah Hauw Lam.

“Berandal! Kalau mereka ini tidak dibebaskan, aku pun tidak ingin bebas!” kata Kwi Lan marah.

Hauw Lam mengangkat alis dan pun­dak, lalu menghampiri Kiang Liong de­ngan golok di tangan. “Kiang-kongcu,” katanya. “Bagaimana selama kita ber­pisah, engkau baik-baik sajakah? Maaf, bukan maksudku tadi tidak mau membe­baskan kalian, hanya makin banyak orang ang lari makin sukar dan....”

“Saudara tak perlu sungkan-sungkan. Aku pun sudah bebas dari belenggu.”

“Apa?”

Kiang Liong menggerakkan kaki ta­ngannya dan.... benar saja, kedua kaki dan tangannya terlepas daripada belenggu tanpa mematahkan belenggu itu. Hauw Lam terbelalak, memandang ke arah be­lenggu dan mengangguk-angguk. “Hebat! Ilmu Sia-kut-hoat (Lepaskan Tulang Lemaskan Diri) yang luar biasa!”

Melihat ini, Kwi Lan yang menghampiri Pangeran Talibu dan menggunakan kekuatan sin-kangnya mematahkan be­lenggu, berkata mengomel. “Kalau bisa melepaskan diri kenapa tidak dari tadi? Aksinya!”

Kiang Liong hanya tersenyum dan juga mulai membantu melepaskan beleng­gu kaki tangan Siang Ki sedangkan Hauw Lam membebaskan Puteri Mimi. “Ah, kalau terlepas dari belenggu, apa arti­nya? Pintu tertutup kuat dan penjagaan amat kuat, belum waktunya mencoba be­bas. Akan tetapi setelah Saudara Tang datang, terpaksa kita harus berusaha menerobos keluar!”

“Kita harus keluar berpencar.” kata pula Kiang Liong yang kini sikapnya sungguh-sungguh. Yang lain-lain, kecuali Kwi Lan, tunduk kepadanya karena mak­lum bahwa selain dia yang paling lihai di antara mereka, juga memiliki pengalaman yang dalam. “Kalau keluar bersama, se­kali ketahuan akan kena tawan semua. Kita masih kurang kuat untuk mengha­dapi mereka yang berjumlah besar, apa­lagi banyak orang sakti di sini. Dengan berpencar, ada harapan seorang di antara kita bebas untuk pergi mencari bantuan menyerbu ke sini.”

“Benar,” kata Hauw Lam. “Aku pun tadi mendahului pasukan Khitan yang agaknya hendak menyerbu dan menyusup dalam usaha mereka menolong Pangeran Talibu dan Puteri Mimi.”

Mendengar ini, timbul semangat Pa­ngeran Talibu. Ia diam saja karena Pu­teri Mimi menggosok-gosok tubuhnya yang telanjang dan penuh luka itu dengan obat bubuk pemberian Hauw Lam. Obat ini manjur dan mendatangkan rasa dingin. Kwi Lan hanya memandang dengan penuh iri dan cemburu. Dalam keadaan seperti itu, ia menahan diri dan tidak mungkin mengumbar amarah urusan cinta. Apalagi ia tahu bahwa Puteri Mimi memang sahabat Pangeran, bahkan saudara.

“Pangeran biarlah bersama aku,” kata pula Kiang Liong membagi tugas. Pe­muda ini menahan pula keinginan hatinya untuk berusaha lolos di samping Kwi Lan. “Mutiara Hitam bersama Saudara Tang, dan Puteri Mimi bersama Saudara Yu-pangcu. Tiga rombongan kita mencari jalan masing-masing, sebaiknya. melalui kanan, kiri, dan belakang markas karena di depan adalah tempat yang terjaga kuat.”

“Baik, pendapat Kiang-kongcu tepat. Aku pun tidak perlu lagi menyamar!” Sambil berkata demikian, Hauw Lam me­raba dahinya dan membuka “kulit” dahi terus ke belakang. Lenyaplah gundulnya dan kini tampak rambuthya hitam pan­jang yang segera digelung ke atas bela­kang dan dibungkus kain sutera. Jubah merahnya dibuka dan kini ia sudah ber­ganti pakaian, yaitu pakaiannya sendiri yang ringkas, goloknya ia gantung di pinggang.

“Berapa orang penjaga di luar?” bisik Kiang Liong kepada Hauw Lam.

“Hanya tiga. Aku tadi membohongi mereka, mengatakan bahwa aku khusus diperintah Couwsu membujuk para tahan­an.”

“Baik, mereka bagianku, Mutiara Hi­tam, dan Yu-pangcu. Kau menjadi penga­was kalau-kalau ada muncul yang lain.”

Biarpun Kiang Liong hanya berbisik dan ucapannya singkat-singkat, namun mereka sudah tahu akan kewajiban masing-masing. Pintu dibuka perlahan oleh Kiang Liong, kemudian melihat tiga orang hwesio jubah merah menjaga di depan pintu, ia membukanya serentak lebar-lebar dan empat bayangan berke­lebat keluar dengan gerakan amat cepat laksana empat ekor burung terbang. Ba­yangan pertama adalah Hauw Lam yang sudah menghunus goloknya dan meloncat jauh ke depan untuk berjaga, sedangkan tiga orang kawannya dengan kecepatan kilat sudah menerjang tiga orang hwesio itu. Tiga orang hwesio ini kaget setengah mati karena tidak menyangka akan hal ini. Mereka berusaha menangkis namun tiga orang muda itu terlampau cepat gerakannya. Hampir berbareng mereka roboh tanpa mendapat kesempatan untuk berteriak sedikit pun.

“Aman....“ bisik Hauw Lam memberi tanda dengan tangan.

“Berpisah, sampai jumpa!” kata Kiang Liong yang menujukan kata-kata ini ke­pada semua temannya akan tetapi mata­nya memandang kepada Kwi Lan yang sebaliknya memandang kepada Pangeran Talibu. Mereka segera meloncat pergi, Kiang Liong menggandeng tangan Pange­ran Talibu meloncat melalui jurusan be­lakang markas, Yu Siang Ki dan Mimi lari ke jurusan kanan, sedangkan Kwi Lan dan Hauw Lam yang bergerak paling akhir menuju ke kiri.

Hauw Lam dan Kwi Lan menyusup-nyusup melalui bangunan kecil, makin menjauhi bangunan besar. “Bagaimana kau tiba-tiba bisa muncul, Berandal?”

Hauw Lam terkekeh. Girang bukan main hatinya, kegirangan yang selama ia berpisah dari samping Kwi Lan tak per­nah ia rasakan lagi. “Aduh, serasa kita tidak pernah berpisah. Mutiara! Serasa kita masih seperti dulu ketika berlari­-lari bersama melawan orang-orang jahat Thian-liong-pang dan pengemis-pengemis busuk berbaju bersih! Tahukah kau, Mutiara, selama ini tak pernah aku melupa­kan engkau sekejap mata sekalipun.”

“Bohong!” Mau tidak mau Kwi Lan terseret oleh kegembiraan teman yang jenaka ini. “Kalau kau tidur?”

“Tidur pun mimpi bersama engkau!”

“Ah, kau bisa saja. Aku tidak per­caya.”

“Eh, tidak percaya? Perlukah aku membuka dadaku dengan golok ini?” Hauw Lam berhenti lari, mencabut golok dan bersikap seperti hendak membuka dada. Kwi Lan tertawa.

“Ihhh, sudahlah jangan ngaco! Aku tadi tanya bagaimana kau tiba-tiba saja muncul seperti setan?”

“Memang aku setan! Heh-heh, setan cilik seperti kata Ibu.”

“Ibu? Kau bertemu Bibi Bi Li?”

Pemuda itu mengangguk, mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang tak menyenangkan teringat olehnya. Akan tetapi ia tersenyum lagi, “Dan aku melihat istana di bawah, tanah. Wah, pan­tasnya menjadi tempat tinggal setan-setan. Ibuku bertahun-tahun tinggal di sana, bukankah patut aku menjadi setan pula? Aduhh....!” Ia menekan perutnya.

“Ada apa?” Kwi Lan kaget, khawatir.

“Perutku.... lapar amat, tak tertahan­kan!” Ia masih menekan-nekan perutnya dan lapat-lapat terdengar oleh telinga Kwi Lan suara perut berkeruyuk. Kwi Lan tertawa geli.

“Dasar rakus! Kau tiada bedanya de­ngan cacing-cacing dalam perutmu!”

“Sstt....! Tuh di sana....!” Telunjuknya menuding ke kanan, ke sebuah bangunan kecil.

“Ada apa di sana?”

Hidung Hauw Lam kembang-kempis menyedot-nyedot. “Benar-benarkah kau tidak mencium sesuatu? Begini sedap, begini gurih!”

Baru sekarang Kwi Lan tahu apa yang dimaksudkan. Memang dari bangunan itu tercium bau sedap masakan dan tampak asap mengebul. Agaknya tempat itu ada­lah sebuah dapur. Ia menggeleng-geleng­kan kepalanya. “Perlu apa ke sana? Kita lari saja. Kalau sudah terbebas, baru makan sekenyangnya.”

Hauw Lam menggeleng-geleng kepala. “Makan saja tanpa kerja amat tidak baik, seperti babi. Akan tetapi kerja saja tan­pa makan juga tidak mungkin. Kita menghadapi bahaya, membutuhkan te­naga, kalau perutku yang sudah dua hari dua malam tidak diisi karena mendekam terus di hutan ketika menyerbu ke sini, mana aku ada sisa tenaga untuk bertem­pur? Kau pun harus makan, Mutiara Hi­tam.”

“Aku sudah kenyang!” jawab Kwi Lan mendongkol, akan tetapi mukanya menjadi merah karena teringat betapa ia makan kenyang di tempat tahanan lalu terjadi hal-hal luar biasa dan memalukan bersama Pangeran Talibu.

“Tapi kau tidak ingin melihat aku roboh bukan oleh pedang musuh, tapi karena kelaparan, bukan?”

“Sudahlah. Hayo, kalau memang kau sudah kelaparan!” ajak Kwi Lan dan me­reka berindap-indap menghampiri dapur itu. Ketika mereka mengintai dari jen­dela, benar saja dugaan Hauw Lam bah­wa tempat itu memang sebuah dapur. Dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar melayani dua orang koki yang pendek-pendek dan gemuk seperti babi. Dua orang koki itu adalah bangsa Han, agak­nya anggauta kaum sesat yang menjadi kaki tangan sekutu-sekutu Bouw Lek Couwsu. Di meja sudah penuh dengan masakan-masakan lezat, mengebul panas dari mangkok-mangkok besar. Hampir tersedak kerongkongan Hauw Lam ketika ia menelan sudah. Karena sudah tidak tahan lagi, Hauw Lam mengayun tangan melempar empat buah batu kerikil ke arah empat orang itu. Terdengar koki-koki itu berseru kaget dan tubuh mereka terhuyung-huyung. Dua orang Hsi-hsia sudah roboh pingsan karena batu-batu kecil itu tepat mengenai belakang telinga mereka. Karena koki-koki itu tidak roboh pingsan, maklumlah Hauw Lam dan Kwi Lan bahwa sedikit banyak mereka me­ngerti ilmu silat. Kalau sampai mereka berteriak, keadaan akan menjadi berba­haya, maka bagaikan dua ekor burung walet, Hauw Lam dan Kwi Lan melayang lewat jendela. Sebelum dua orang koki itu tahu apa yang terjadi, mereka sudah roboh tertotok dan “ngorok” di atas lan­tai!

Tanpa banyak cakap lagi dan tanpa sungkan-sungkan Hauw Lam menyeret sebuah bangku, duduk menghadap meja lalu “menyapu” masakan-masakan yang tersedia di atas meja. “Wah-wah,” serunya girang sambil mencoba ini mencaplok itu,” dalam hal makanan ternyata Bouw Lek Couwsu tidak pelit! Tidak kalah dengan masakan orang-orang Thian-liong-pang!” Supitnya sibuk bekerja menjepit potong­an-potongan daging dan sayur. Hauw Lam memang mempunyai hobby (kegemaran) makan enak! Melihat lahapnya pemuda ini makan, Kwi Lan menelan ludah, dan tak dapat menahan keinginannya. Ia pun duduk dan mencicipi beberapa masakan yang memang lezat.

“Sudahlah,” akhirnya Kwi Lan berkata setelah beberapa lama mereka makan, melihat betapa banyaknya Hauw Lam memasukkan masakan-masakan itu ke dalam perut didorong aliran arak wangi. “Kalau kau makan terus sampai keke­nyangan, kau bisa tertidur di sini.”

Hauw Lam tertawa, bangkit berdiri, mengelus-elus perutnya yang anehnya tetap kempis dan ramping. “Wah, kalau makan lupa segala! Bakso goreng ini luar biasa enaknya, entah terbuat dari daging apa! Perlu bawa sebanyaknya untuk be­kal!” Ia sibuk menggunakan kedua ta­ngannya mengambil bakso-bakso goreng sebesar kepalan tangan itu. Kantung-kantungnya penuh. Ia masih belum puas dan mengambil semua sisa dalam panci, memasukkan panci kecil ini ke dalam celana di mana terdapat sebuah kantung besar tepat di depan perutnya! Kwi Lan hanya tertawa dan menggeleng kepala. Kemudian mereka keluar dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu, terus ke jurus­an kiri markas.

Setelah mereka meninggalkan kelompok bangunan dan mulai menuju ke jalan yang berbatu-batu melalui hutan kecil menuju sungai dan merasa bahwa kini sudah aman, terlewatlah bahaya, mendadak terdengar seruan-seruan dan derap kaki kuda dari belakang.

“Kita dikejar! Cepat!” seru Hauw Lam yang mulai “menancap gas” mem­percepat larinya. Kwi Lan yang tadi di dapur mengambil pedang milik koki yang dirobohkan, meraba gagang pedang dan siap untuk melawan. Akan tetapi melihat Hauw Lam berlari cepat, ia pun mempercepat larinya. Tempat itu berbatu-batu dan naik turun, maka sambil berlari mereka melompat-lompat.

Para pengejar itu terdiri dari seorang Hsi-hsia berpedang yang memakai topi dan lima orang berpakaian pengemis. Mereka adalah petugas-petugas yang menjaga di wilayah ini, dan kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilih­an yang cepat-cepat larinya.

“Wah-wah-wah.... celaka bakso-bakso ini!” Tiba-tiba Hauw Lam berseru.

“Kenapa?” Kwi Lan bertanya, masih lari di samping kiri Hauw Lam. Ketika gadis itu memandang, ia hampir tak dapat menahan tawanya. Kwi Lan me­nutupi mulutnya yang tertawa dan dengan mata terbelalak ia memandang temannya itu. Kiranya ketika berlari cepat dan berloncat-loncatan, bakso-bakso dalam kantung ikut berloncatan dan yang ber­ada di kantong kanan kiri baju sudah berloncatan keluar. Akan tetapi yang berada di dalam panci yang disembunyi­kan dalam kantung yang letaknya di dalam celana, berloncatan di dalam ce­lana, keluar dari panci dan karena bakso itu digoreng, keluarlah minyaknya mem­basahi semua bagian bawah tubuh Hauw Lam. Kini sambil berlari dan mengempit goloknya di ketiak kanan, terpaksa Hauw Lam membuka kolor celana dan berlom­patanlah bakso-bakso besar bundar-bun­dar itu keluar dari dalam celana, meng­gelinding ke atas tanah seperti bola-bola karet! Bersungut-sungut Hauw Lam membuang panci kosong dan pada saat ter­akhir tangannya masih sempat menyam­bar bakso penghabisan dan memasukkan bakso ini ke dalam mulutnya. Ia menge­luarkan suara ha-ha-hu-hu saking kecewa. Ia tak dapat bicara karena mulutnya penuh bakso, kini ia mengikatkan kembali kolor celana dan tiba-tiba ia berhenti lari dan membalikkan tubuh. Bakso itu pun sudah ditelannya.

“Percuma lari. Kita lawan!” katanya.

Kwi Lan masih tersenyum. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda ini tiba-tiba marah dan hendak melawan. Mungkin sekali karena kecewa dan marah bahwa pengejar-pengejar itu membuat bakso-baksonyahilang. I a pun tidak gen­tar dan mencabut pedangnya. Ketika para pengejar melihat dua orang itu ber­henti dan menanti, mereka meloncat turun dari kuda. Akan tetapi bukan mereka yang menyerbu, melainkan Hauw Lam dan Kwi Lan yang langsung mener­jang dengan lompatan jauh dan senjata diputar di tangan. Terjadi pertandingan yang hebat dan seru, akan tetapi yang hanya berlangsung beberapa menit saja. Dua orang muda itu seakan berlumba dan pertempuran berakhir dengan robohnya keenam orang, tiga oleh Hauw Lam dan tiga oleh Kwi Lan dalam waktu hampir bersamaan!

Hauw Lam tersenyum memandang mayat-mayat musuh. Ia membersihkan golok pada baju mereka lalu mengang­guk-angguk kagum melihat betapa tiga orang lawan Kwi Lan tewas tanpa luka bacokan. “Kau makin hebat saja, Mutiara Hitam!”

“Dan kau makin gila!” kata Kwi Lan tersenyum, teringat akan bakso-bakso tadi.

Mereka menyarungkan senjata dan membalik, lalu melanjutkan lari mereka. Akan tetapi belum seratus meter mereka lari, tiba-tiba mereka berhenti dan wajah Kwi Lan berubah ketika gadis ini menge­luarkan suara tertahan. Di depan mereka telah berdiri Kam Sian Eng, Suma Kiat, dan Pak-sin-ong! Dan di belakang mereka berdiri belasan orang Hsi-hsia yang membawa kuda tunggangan mereka.

Hauw Lam terkejut sekali, apalagi melihat wanita berkerudung yang sikap­nya begitu menyeramkan. Ia sudah men­dengar nama Bu-tek Ngo-sian, namun baru sekali ini bertemu dengan Kam Sian Eng maupun dengan Pak-sin-ong. Akan tetapi melihat sikap Kwi Lan, ia menduga bahwa tentu dua orang ini, dan pemuda tampan pesolek itu, merupakan lawan berat. Maka ia cepat mencabut goloknya.

“Srattt....!”

Begitu goloknya tercabut, golok itu sudah terbang terlepas dari tangannya. kaget sekali. Ia hanya melihat sinar menyambar dari tangan kakek bertopi tinggi, bertubuh kurus dan berwajah ang­kuh. Kiranya sinar itu adalah sehelai tali pancing yang sudah melibat goloknya dan pancingnya mengancam tangannya yang memegang golok sehingga terpaksa ia lepaskan dan golok itu terbang, kini ter­pegang kakek yang sama sekali tidak tersenyum itu! Hebat bukan main! Biar­pun perampasan golok terjadi di kala ia lengah dan tidak menduga namun melihat ini saja sudah menimbulkan keyakinan bahwa kakek ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh! Ia mengharap­kan gerakan bantuan Kwi Lan, akan te­tapi gadis ini sama sekali tidak bergerak, bahkan memandang ke arah wanita ber­kerudung dengan kening berkerut gelisah.

“Kwi Lan, apakah engkau hendak melawan aku?” Wanita berkerudung itu bertanya, suaranya dingin seperti suara dari balik kubur, membuat bulu tengkuk Hauw Lam meremang.

Kwi Lan menggelengkepala. Ia bukan tidak berani, sungguhpun ia tahu percuma saja melawan gurunya ini, melainkan tidak mau. Kalau ia pernah melawan ketika gurunya hendak membunuh Siang Ki, hal ini lain lagi. Kini tidak ada sia­pa-siapa yang harus ia bela, maka untuk dirinya sendiri tentu saja ia tidak mau melawan gurunya yang

No comments:

Post a Comment