Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 6

Mutiara Hitam bagian 6.

demikian, dua macam obat berbahaya, yang memiliki daya kekuatan luar biasa, panas dan dingin, bertemu di dalam tubuhnya, di­serap oleh darahnya yang menjadi medan pertempuran antara dua kekuatan. Darah­nya keracunan secara hebat sekali.

Ketika akan roboh pingsan, dari mulut anak ini keluar bisikan. “Aku harus me­nolong kedua enciku (kakak perempuan­ku) .... harus kutolong mereka....!”

Seperti kita ketahui atau dapat men­duga, dua orang enci anak ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, telah lenyap ketika mereka sedang menonton pertandingan antara Siauw-bin Lo-mo melawan Kiang Liong. Pada saat Siauw-bin Lo-mo meledakkan senjata rahasianya yang mengeluarkan asap tebal, dua orang gadis itu secara tiba-tiba roboh tertotok. Mereka kaget dan heran sekali karena tidaklah sembarang orang mampu me­robohkan mereka begitu mudah dengan serangan gelap dari belakang. Akan teta­pi ketika mereka melihat bahwa yang mengempit tubuh mereka dengan kedua lengan adalah searang pendeta gundul jubah merah yang berkaki satu, tahu­lah mereka bahwa nyawa mereka teran­cam maut. Mereka terjatuh ke dalam tangan musuh besar mereka, Bouw Lek Couwsu yang sakti, yang telah membunuh ayah bunda dan kakek mereka! Ketika kakek itu tidak segera membunuh mereka dan menjebloskan mereka ke dalam ka­mar tahanan, dibelenggu dan dijaga oleh hwesio-hwesio jubah merah, dua orang gadis itu dapat menduga bahwa nasib yang lebih mengerikan daripada maut sendiri yang tengah menanti mereka. Na­mun mereka tidak berdaya sama sekali, hanya mengambil keputusan bahwa setiap kesempatan akan mereka pergunakan untuk mengamuk dan mengadu nyawa.

***

“Ke sini jalannya,” Po Leng In berbi­sik sambil menarik tangan Kiang Liong yang digandengnya. Mereka menyusup di antara pohon-pohon kecil, setengah me­runduk dan mendaki naik lereng gunung itu. “Sekeliling puncak terjaga kuat, ha­nya bagian ini yang tidak terjaga karena sukar dilewati.” Setelah berbisik demi­kian, karena muka mereka saling ber­dekatan, Po Leng In merangkul leher dan mencium.

“Sudah, bukan saatnya bersenang-se­nang!” Kiang Liong mencela sambil men­jauhkan mukanya.

Po Leng In menarik napas panjang. “Liong-koko...., bisiknya dengan suara mesra dan manja, “Aku.... aku cinta pa­damu...., selamanya aku tak ingin berpi­sah dari sampingmu....”

“Huh, cukuplah. Kita bertemu dan bersenang-senang, cukup sudah. Kau ber­janji untuk membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki. Jalan hidup kita bersimpang, setelah selesai tugasku, kita berpisah sebagai sahabat.”

“Tapi....”

“Cukup sudah! Tidak ada cinta di antara kita, tidak ada kecocokan dalam jalan hidup. Asal kelak kita tidak saling bertentangan dalam jalan hidup masing­masing, hatiku akan lega. Nah, ke mana sekarang jalannya?”

Wajah yang cantik itu menjadi mu­ram, mulutnya yang tadinya tersenyum bahagia itu kini menjadi pahit. “Aku tahu.... aku harus tahu diri....“ Po Leng In menahan isak yang keluar dari dalam dada, kemudian menudingkan telunjuknya ke depan. “Lewat lereng berbatu-batu itu dan kita akan berada di wilayah kediam­an mereka. Lihat itu Sungai Nu-kiang sudah tampak.”

Kiang Liong memandang ke kanan yang ditunjuk wanita itu. Di bawah sana tampak air sungai yang berliku-liku, ber­warna putih dan di sebelah depan, masih remang-remang di senja hari itu, tampak puncak Kao-likung-san yang menjadi mar­kas para pendeta jubah merah. Di sana­lah kedua orang gadis dan adik mereka ditawan dan diam-diam Kiang Liong ber­doa semoga tiga orang itu masih dalam keadaan selamat.

Tiba-tiba Po Leng In memegang le­ngannya. “Sst, Koko, lihat....!”

Tempat mereka berdiri merupakan le­reng yang tinggi dan dari situ mereka dapat melihat pemandangan terbuka di sebelah timur Gunung Kao-likung-san. Kiang Liong dapat melihat serombongan orang mendaki bukit itu, gerakan mereka cepat dan tangkas dan di tengah-tengah rombongan terdapat dua buah kereta tahanan yang didorong-dorong naik.

Po Leng In mengeluarkan suara me­lengking tinggi, mengagetkan Kiang Liong. Pemuda itu memegang lengannya erat-erat dan membentak lirih. “Apa yang kaulakukan?”

“Aku memberi peringatan kepada para penjaga dan semua yang berada di atas.”

“Eh, apa maksudmu? Bukankah hal itu membuat mereka siap dan akan menyu­karkan aku menolong anak-anak mendiang Paman Bu Sin?”

Po Leng In menggeleng kepalanya. “Sebaliknya malah. Jika para penjahat melihat rombongan orang asing itu tentu mereka akan turun dan semua perhatian akan dicurahkan terhadap rombongan itu. Di dalam keributan, apalagi di waktu malam, penjagaan di atas menjadi kurang diperhatikan dan kau dapat bergerak leluasa.”

Kiang Liong mengangguk-angguk dan melepaskan lengan gadis, itu. “Marilah kita lanjutkan perjalanan ke atas.”

Po Leng In menggeleng kepalanya. “Jangan, kau menanti di sini sampai ge­lap. Aku harus pergi dulu.”

Kembali tangan pemuda ini memegang lengannya. “Leng In, apa sebetulnya ke­hendakmu?” pertanyaan ini disertai pan­dang mata penuh selidik dan curiga.

“Aih, Liong-koko, kau masih belum percaya kepadaku, kepada orang lain, mungkin aku akan melakukan pengkhia­natan atau aku akan membunuhnya, habis perkara. Akan tetapi tidak mungkin ter­hadapmu. Kau tahu, setelah aku mengeluarkan suaraku tadi, Guruku dan yang lain-lain akan tahu bahwa aku telah da­tang. Kalau aku tidak lekas-lekas menemui mereka, apa kaukira mereka tak­kan menjadi curiga? Aku harus segera naik ke sana, dan akan kuusahakan agar mereka semua turun puncak menghadapi rombongan. Kalau sudah gelap, kau boleh merayap terus, melalui lereng berbatu itu. Kemudian setelah kau melihat ba­ngunan-bangunan di puncak, carilah ba­ngunan yang paling besar di tengah. Di sanalah dua orang gadis itu ditawan, sedangkan adik mereka itu ditawan da­lam bangunan di samping kanannya, tem­pat tinggal Guruku. Kurasa, hanya pen­jaga-penjaga lemah saja yang akan meng­halangimu.”

“Maafkanlah kecurigaanku tadi, Leng In. Baiklah aku menurut petunjukmu.”

Po Leng In tiba-tiba merangkulnya. “Koko, kau.... kau takkan melupakan Po Leng In, bukan....?”

Kiang Liong menggeleng kepalanya, akan tetapi lalu menyambung lirih. “Aku akan tetap mengenangmu sebagai saha­bat, kecuali.... kecuali kalau kelak kita saling jumpa dalam keadaan lain. Kalau jalan kita bersimpang, terpaksa aku me­nentang kau dan Gurumu.”

Po Leng In terisak, melepaskan rang­kulannya lalu lari ke depan, menuju ke puncak. “Gadis yang hebat,” Kiang Liong berkata seorang diri, “sayang terjerumus menjadi murid iblis betina itu.”

Ia duduk terlindung pohon-pohon kecil dan dari tempat ia duduk, ia dapat me­mandang ke bawah, ke sebelah timur. Dari tempat ia berada, ia tak dapat melihat siapa adanya rombongan orang yang gerakannya tangkas itu, juga tidak tahu siapa yang berada di dalam dua buah kerangkeng tahanan. Akan tetapi ia mengenal kakek yang kurus, yang berja­lan di depan rombongan itu. Kakek itu menggendong bambu di punggung, ping­gangnya dilingkari dompet-dompet tempat senjata-senjata rahasianya yang aneh. Kakek itu adalah Siauw-bin Lo-mo! Ter­ingat akan ini, Kiang Liong terkejut dan ia mengerahkan ketajaman pandang ma­tanya untuk menembus cuaca senja yang remang-remang untuk melihat lebih jelas siapa yang berada di dalam kereta ke­rangkeng itu. Tidak tampak jelas, namun hatinya berdebar. Siapa mereka? Ada dua orang dalam dua buah kerangkeng itu.

Kiang Liong tak dapat menduga bah­wa yang berada di dalam kereta kerang­keng itu, yang seorang adalah Mutiara Hitam! Memang, Kwi Lan dan Yu Siang Ki yang berada di dalam kereta kerang­keng itu. Rombongan itu adalah orang-orang Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Cap-ji-liong. Setelah mereka ini herhasil menawan Yu Siang Ki dan Kwi Lan, mereka lalu melanjutkan perjalanan seperti yang telah diperintahkan oleh Siauw-bin Lo-mo. Ke Gunung Kao-likung­-san. Di kaki gunung ini Siauw-bin Lo­mo telah menanti dan betul saja seperti dugaan Ma Kiu dan adik-adiknya, kakek ini menjadi gembira sekali melihat dua orang tawanan itu.

“Yang seorang Ketua Khong-sim Kai-pang! Bagus, bagus. Ha-ha-ha, tentu akan kecut muka Bu-tek Siu-lam si banci me­lihat betapa musuh mudanya terjatuh ke tanganku. Ini merupakan sebuah jasa yang mengangkat aku lebih tinggi dari­padanya, memungkinkan aku menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian! Dan gadis ini? Mutiara Hitam? Ha-ha-ha, dia cantik. Kudengar Bouw Lek Couwsu pa­ling suka gadis cantik, kebetulan sekali karena aku tidak membawa oleh-oleh untuknya. Hadiah seperti ini tentu akan menyenangkan pemimpin orang-orang Hsi-hsia. Ha-ha-ha-ha!”

Demikianlah, dengan girang Siauw-bin Lo-mo lalu memimpin Cap-ji-liong dan beberapa orang pentolan perampok dan bajak yang menjadi anak buahnya untuk mengunjungi, pimpinan pendeta jubah merah, yaitu Bouw Lek Couwsu karena ia sudah mendengar akan sepak terjang pendeta itu yang sudah membas­mi Beng-kauw dan ingin bersahabat untuk memperkuat kedudukannya. Tokoh yang sudah berhasil membunuh Beng-kauw patut dijadikan sahabat kalau dapat di­tarik untuk menguntungkan kedudukannya, sebaliknya bila perlu juga patut dibasmi kalau membahayakan! Dibantu oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan para kepala bajak dan rampok, tentu saja ia tidak takut menghadapinya andaikata Bouw Lek Couwsu memperlihatkan sikap tidak bersahabat.

Siauw-bin Lo-mo yang belum menge­nal watak Bouw Lek Couwsu dan para pendeta jubah merah dari Tibet, juga tidak menduga bahwa di situ terdapat pula Siang-mou Sin-ni orang terakhir Thian-te Liok-kwi, dengan hati besar memimpin rombongannya mendaki lereng Gunung Kao-likung-san. Akan tetapi ke­tika rombongan tiba di padang rumput yang berada di lereng itu, hari sudah mulai gelap. Karena tidak mengenal daerah ini, Siauw-bin Lo-mo memerintah­kan rombongannya berhenti.

“Besok kita lanjutkan pendakian ke puncak.” katanya.

Akan tetapi keadaan yang sunyi dan aman itu segera terganggu oleh suara lengking tinggi yang datangnya dari ba­wah puncak, lengking aneh yang meng­ingatkan Siauw-bin Lo-mo akan wanita muda yang pernah datang menemui para tokoh Bu-tek Ngo-sian di puncak Cheng­liong-san. Lengking gadis baju merah yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni. Salahkah pendengarannya? Akan teta­pi kakek ini tidak sempat memikirkan hal itu karena tiba-tiba terdengar pekik kesakitan dan kemarahan di antara anak buahnya. Di antara sinar obor yang dipa­sang anak buahnya, ia melihat beberapa orang perampok roboh dan kini tampaklah olehnya hujan anak panah menyerang mereka.

Siauw-bin Lo-mo kaget sekali. Ia melompat ke depan, menyampok anak­-anak panah yang menyambar ke arahnya, mengerahkan khikang dan berseru keras.

“Tahan anak panah! Di sini aku, Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, memimpin Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan orang-orang gagah dari hutan sungai, bermaksud mengun­jungi Bouw Lek Couwsu pemimpin pasu­kan Hsi-hsia!”

Suara Siauw-bin Lo-mo amat nyaring dan bergema di empat penjuru. Seketika terhentilah hujan anak panah dan tiba-tiba tampak api obor yang banyak sekali menerangi tempat itu muncul puluhan orang pasukan Hsi-hsia, pasukan panah yang dipimpin oleh belasan orang hwesio berjubah merah yang berwajah keren. Tempat itu sudah terkurung! Seorang di antara mereka, pendeta jubah merah, melangkah maju dan berkata kepada Siauw-bin Lo-mo, suaranya parau besar dan logatnya kaku.

“Nama Siauw-bin Lo-mo sudah ter­kenal, akan tetapi belum cukup besar untuk berlancang datang membawa anak buah ke wilayah kami tanpa ijin. Apakah gerangan niat yang dikandung di hati Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya?”

“Ha-ha-heh-heh, bagus sekali kalau orang telah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo! Kalau kami datang dengan maksud hati buruk, tentu tidak datang secara terang-terangan. Aku da­tang dengan hati terbuka, ingin bersaha­bat dengan Bouw Lek Couwsu dan mem­bawa hadiah dara jelita untuk Couwsu!”

“Tidak ada perintah dari Couwsu untuk menerima tamu. Kalau ada hadiah, boleh serahkan kepada kami dan selanjutnya kami harap Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya suka meninggalkan gunung seba­gai sahabat.”

“Ha-ha-ha-ha! Para pendeta Tibet benar-benar tidak memandang mata ke­pada Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi kare­na kedatanganku memang bukan berniat buruk, biarlah kalian boleh membawa gadis jelita yang menjadi tawanan di dalam kerangkeng itu untuk dipersembah­kan kepada Bouw Lek Couwsu diiringi hormatku. Juga harap disampaikan bahwa aku Siauw-bin Lo-mo mohon berjumpa besok pagi.”

Pendeta jubah merah itu kelihatan ragu-ragu. Betapapun juga, ia tidak be­rani memandang ringan Siauw-bin Lo­-mo yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang tokoh sakti dan agaknya permintaannya ini cukup pantas untuk dipertimbangkan. Kalau ia pergi mengha­dap Bouw Lek Couwsu, menyampaikan persembahan berupa seorang gadis muda cantik yang memang ia tahu menjadi kesukaan ketuanya dan mohon persetu­juannya menerima permintaan Siauw­-bin Lo-mo yang sudah merendahkan diri untuk menghadap, agaknya ketuanya tak­kan marah.

“Hemm, asal cianpwe suka berjanji akan menjaga agar anak buahmu tidak menimbulkan kekacauan dan tidak pergi dari tempat ini, agaknya kami akan da­pat menerima permintaan yang layak ini.” katanya dan ia pun sudah menyebut cianpwe kepada Siauw-bin Lo-mo sebagai tanda bahwa ia mengakui kakek itu se­bagai seorang sakti.

Lega hati Siauw-bin Lo-mo. Setelah melakukan perjalanan jauh tentu saja ia cukup cerdik dan sabar untuk mengalah dan sedikit merendah terhadap pemimpin pendeta-pendeta Tibet yang sekaligus juga merupakan pimpinan bala tentara Hsi-hsia yang kuat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras yang didahului dengan lengkingan tinggi.

“Tidak mungkin! Para Lo-suhu jangan kena dikelabuhi oleh kakek kurus kering yang jahat ini! Namanya Siauw-bin Lo-mo, mukanya tersenyum-senyum akan tetapi hatinya busuk dan palsu!”

Siauw-bin Lo-mo terbelalak meman­dang dengan penuh kemarahan. Ternyata yang muncul adalah gadis berpakaian merah, murid Siang-mou Sin-ni yang ber­nama Po Leng In. Tampak cantik dan gagah di bawah sinar banyak obor, tangannya memegang pedang dan rambut­nya yang hanya tinggal separuh itu ter­gantung di depan dada.

“Po-kouwnio (Nona Po), apakah yang kaumaksudkan dengan ucapan itu?” tanya hwesio tinggi besar muka merah.

“Maksudku, dia ini adalah orang jahat yang tidak mempunyai niat baik. Kalau berniat baik, masa ia membawa-bawa pasukan? Nah, para Lo-suhu dengar baik­baik, aku akan mengajukan beberapa per­tanyaan kepadanya.” Setelah berkata demikian, Po Leng In melangkah maju mendekati Siauw-bin Lo-mo sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung kakek itu.

“Heh, Siauw bin Lo-mo, kalau kau benar-benar sebagai seorang tokoh besar dan maksud kedatanganmu baik-baik, tentu kau akan menjawab semua perta­nyaanku dengan sebenar dan sejujurnya. Bukankah engkau pernah bertemu dengan aku?”

“Benar, pernah aku melihat Nona di Cheng-liong-san.” jawab Siauw-bin Lo-mo, sedikit pun tidak khawatir karena ia memang tidak tahu akan hubungan guru nona ini dengan Bouw Lek Couwsu.

“Bagus, engkau ternyata masih cukup berani untuk menjawab sebetulnya. Bu­kankah engkau bersama dengan Thai-lek Kauw-ong, Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, dan seorang tokoh lain lagi membentuk apa yang kalian sebut Bu-tek Ngo-sian?”

Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk bangga. “Memang benar dan akulah orang pertamanya!”

“Bagus! Sekarang katakan, ketika aku muncul di sana mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan puncak, engkau melihat Bu-tek Siu-lam menangkapku dan menghinaku, menghina nama baik Guruku, dan hampir membunuhku. Betulkah? Dan engkau sama sekali tidak mencampuri urusan itu malah engkau lalu pergi, be­tul?”

Siauw-bin Lo-mo masih tidak menger­ti apa artinya semua itu dan apa hu­bungan dengan Bouw Lek Couwsu serta para hwesio jubah merah ini. Namun sebagai seorang cerdik, kini melihat munculnya Po Leng In di antara para hwesio jubah merah, ia dapat menduga tentu ada hubungan baik di antara mereka itu. Maka ia lalu menjawab.

“Yang menghinamu adalah Bu-tek Siu-lam, tidak ada sangkut pautnya dengan aku.”

“Bagus, tidak ada sangkut-pautnya kaubilang? Akan tetapi kau tadi mengaku bahwa Bu-tek Siu-lam adalah sekutumu, saudaramu dalam kelompok Bu-tek Ngo-sian! Engkau melihat Guruku diperhina nama baiknya tanpa bilang apa-apa, me­lihat aku hampir dibunuh kau pun tidak bilang apa-apa, sekarang masih berani datang dengan maksud baik?”

“Eh-eh, apa sangkut-pautnya dirimu atau Gurumu dengan kunjunganku pada Bouw Lek Couwsu? Aku....”

“Tutup mulutmu! Engkau tentu datang sebagai pembela Beng-kauw!” Setelah berkata demikian, serta-merta Po Leng In lalu menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo dengan pedangnya yang bergerak cepat seperti kilat menyambar. Namun dengan mudah sekali Siauw-bin Lo-mo miringkan tubuh mengelak, bahkan sekali tangannya diulur ke depan, hampir saja gagang pedang di tangan Po Leng In dapat dirampasnya. Gadis itu berseru kaget dan meloncat mundur.

Sementara itu, para hwesio jubah me­rah yang mendengar betapa kakek ini berani menghina nama baik Siang-mou Sin-ni, tentu saja sudah menjadi terpe­ngaruh dan serentak mereka maju mener­jang dengan senjata mereka.

“Ha-ha-ha! Pendeta-pendeta Tibet mudah dibujuk murid Siang-mou Sin-ni!” Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak dengan ilmu silatnya yang dahsyat dan aneh. Dua orang hwesio yang ilmunya tinggi, setingkat dengan ilmu Po Leng In, kena ditendang mencelat.

Adapun Cap-ji-liong tokoh-tokoh Thian-liong-pang, para ketua bajak dan rampok, yang melihat betapa datuk me­reka diserang dan dikeroyok, segera ber­teriak marah dan menyerbu, diikuti anak buah mereka. Demikian pula dari pihak anak buah para pendeta, yaitu orang Hsi-hsia yang berani dan liar, sambil menge­luarkan teriakan lantang lalu maju menggerakkan senjata masing-masing. Terjadi­lah perang kecil yang dahsyat dan seru di antara sinar-sinar obor.

Di bawah pimpinan Siauw-bin Lo-mo yang sakti, Cap-ji-liong mengamuk hebat dan tentu akan banyak jatuh korban di tangan Siauw-bin Lo-mo dan dua belas orang naga itu kalau saja Siauw-bin Lo­-mo yang cerdik tidak cepat berseru nya­ring. “Hajar kerbau-kerbau dungu ini, akan tetapi jangan bunuh mereka!”

Inilah sebabnya maka orang-orang Hsi-hsia yang roboh, juga beberapa orang hwesio jubah merah, hanya terluka saja dan tidak sampai tewas. Melihat hebat­nya sepak terjang para penyerbu, seorang hwesio jubah merah cepat-cepat lari naik seperti terbang cepatnya, membuat pela­poran kepada Bouw Lek Couwsu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Lek Couwsu yang sedang bersenang-se­nang dengan Siang-mou Sin-ni di dalam kamar iblis betina ini, segera lari keluar ditemani Siang-mou Sin-ni.

Kwi Lan yang terkurung dalam ke­rangkeng tidak luka parah seperti Yu Siang Ki yang sampai lama berada dalam keadaan pingsan. Ketika sadar dan men­dapatkan kedua tangannya terbelenggu, demikian pada kedua kakinya, dan ia meringkuk di dalam kerangkeng, Kwi Lan cepat bangkit dan meneliti keadaannya. Ia melihat Siang Ki yang masih pingsan berada dalam kerangkeng lain, tak jauh dari kerangkeng yang mengurung dirinya, didorong-dorong oleh beberapa orang, dan dijaga oleh Cap-ji-liong.

Sekarang tahulah Kwi Lan mengapa Siang Ki mendesaknya untuk melarikan diri. Pemuda itu ternyata benar. Kalau ia menurut nasihatnya dan membebaskan diri, biarpun Siang Ki menjadi tawanan, namun dia sendiri masih bebas dan tentu akan dapat mencari akal untuk menolong Siang Ki. Akan tetapi, segala hal telah terlanjur, kini ia sendiri tertawan sehing­ga tidak saja Siang Ki tak dapat ditolong bahkan keselamatannya sendiri terancam malapetaka hebat.

Kwi Lan meneliti tubuhnya. Tidak terluka parah. Juga belenggu pada kaki tangannya, kalau ia mau, dapat ia patah­kan. Namun kerangkeng itu cukup kuat, dan terutama sekali di sekeliling kerang­keng terdapat tokoh-tokoh Cap-ji-liong. Tidak ada harapan baginya untuk melo­loskan diri pada waktu itu. Saking jengkelnya, Kwi Lan lalu memaki-maki di sepanjang jalan. Ia amat marah, akan tetapi pengalaman ini membuat ia ber­tambah kecerdikannya dan ia tidak mau melepaskan atau mematahkan belenggu kaki tangannya pada saat itu karena maklum bahwa hal ini akan percuma saja. Pedang Siang-bhok-kiam dan jarum hijau dalam kantung telah dirampas mu­suh dan di sekeliling kerangkeng terdapat Cap-ji-liong yang kosen ditambah banyak kepala bajak dan rampok. Ia menanti ke­sempatan dan saat baik untuk dapat meloloskan diri dengan berhasil sambil menolong Yu Siang Ki. Akan tetapi, alangkah kaget dan kecewa hatinya keti­ka di kaki Gunung Kao-likung-san, rom­bongan orang Thian-liong-pang ini berte­mu dengan Siauw-bin Lo-mo yang agak­nya memang sudah menanti di situ. De­ngan adanya kakek ini, lenyaplah harap­annya untuk dapat membebaskan diri!

Kwi Lan tadinya sudah merasa putus asa dan sudah mengambil keputusan untuk memberontak malam hari itu, nekat mengadu nyawa. Maka dapat diba­yangkan betapa tegang dan gembira hati­nya ketika ia melihat munculnya kesem­patan yang baik sekali yaitu pada waktu para pendeta jubah merah yang didahului oleh Po Leng In menyerang Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya.

Kwi Lan segera mengenal Po Leng In dan begitu pertempuran dimulai diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya. Sete­lah beberapa kali membetot dan menarik, putuslah belenggu kedua tangannya. Tan­pa banyak kesukaran, ia membebaskan kedua kakinya.

Seorang di antara kepala rampok yang ditugaskan menjaga kedua kerangkeng, berseru kaget dan cepat menghampiri kerangkeng Kwi Lan. Namun tiba-tiba lengan tangan Kwi Lan menyambar dari dalam kerangkeng dan tahu-tahu rampok itu sudah tercengkeram lengannya, dita­rik ke kerangkeng dan sebelum orang itu mampu berteriak, nyawanya sudah me­ninggalkan raganya karena pukulan Siang-tok-ciang yang amat dahsyat dari tangan kiri Kwi Lan.

Penjaga kerangkeng semua ada tujuh orang. Enam orang yang lain melihat be­tapa temannya tewas, cepat maju me­ngurung kerangkeng Kwi Lan dengan tombak di tangan. Biarpun Kwi Lan ber­kepandaian tinggi, namun bertangan ko­song menghadapi ancaman tombak, dari enam penjuru ini sedangkan dirinya masih dikurung di dalam kerangkeng, amat berbahaya juga. Pada saat itu, enam orang perampok ini sudah menjerit ke­sakitan dan roboh bergulingan. Kwi Lan hanya melihat sinar menyambar, sinar halus. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa muka seorang di antara perampok yang dite­rangi sinar obor, menjadi hijau ketika orang ini toboh. Itulah tanda bahwa dia terkena racun hijau dari senjata rahasia jarum. Jarum hijau, seperti senjata raha­sianya yang kantungnya kini dipegang seorang di antara para perampok, bersa­ma pedang Siang-bhok-kiam. Kini ia akan melihat orang yang telah membunuhi hwesio-hwesio dalam kelenteng memper­gunakan jarum-jarum hijau!

Ketika dua orang berkelebat datang mendekati kerangkeng, Kwi Lan terkejut. Yang seorang adalah laki-laki tua ber­jenggot, pakaiannya sederhana, usianya tentu sudah enam puluh tahun, tubuhnya kecil kurus, sepasang matanya bersinar lembut, punggungnya membawa pundi-pundi. Orang ke dua adalah seorang gadis amat cantik, senyumnya manis, rambut­nya digelung ke atas, usianya sebaya dengannya. Kedua orang ini memegang sebatang pedang dan di pinggang gadis itu terdapat, sebuah kantong kulit. Agak­nya gadis itulah yang tadi melepaskan jarum-jarum hijau yang merobohkan para penjaga kerangkeng.

Kwi Lan mengerahkan tenaganya, menghantam kerangkengnya sehingga ter­dengar suara keras dan jebollah kerang­keng itu.

“Engkau hebat sekali, Adik manis!” kata gadis itu melihat cara Kwi Lan menjebol kerangkengnya. Akan tetapi sambil berkata demikian ia menggunakan pedangnya untuk dibabatkan ke arah kerangkeng yang mengurung tubuh Yu Siang Ki.

“Jangan ganggu dia!” Kwi Lan me­nyambar cepat, mengirim pukulan Siang-tok-ciang ke arah gadis cantik itu. Hebat sekali serangannya dan karena hal ini ia lakukan dari belakang selagi gadis itu membabatkan pedangnya ke arah kerang­keng, maka tentu serangannya akan me­ngenai sasaran.

“Desss....!” Tubuh Kwi Lan terhuyung mundur dan lengannya terasa sakit. Ka­kek kurus yang menangkisnya itu pun terhuyung mundur dan berubah wajahnya ketika berseru, “Ihhh....! inikah Siang-tok-ciang? Keji sekali....!”

Akan tetapi Kwi Lan tidak mempe­dullkan kakek ini karena perhatiannya tertuju kepada keselamatan Yu Siang Ki yang ia sangka akan dicelakakan gadis cantik itu. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, ternyata dugaannya keliru karena kini gadis itu telah membabat? beberapa orang hwesio jubah merah putus kerangkeng dan bahkan sudah me­lepaskan belenggu tangan Yu Siang Ki.

“Siapa kalian? Mau apa....?” tanyanya gagap.

“Nona, kami datang menolong kalian. Selagi ada kesempatan tidak lekas lari mau tunggu apalagi? Goat-ji (Anak Goat) kaujaga dibelakangku, biar kugendong dia!”

Tanpa pedulikan Kwi Lan lagi, laki­-laki kurus itu lalu melompat ke dekat kerangkeng Siang Ki, menyambar tubuh pemuda itu dan memanggulnya, kemudian melompat hendak lari. Gadis cantik yang disebut Goat itu pun dengan pedang ter­hunus melompat di belakangnya, melindungi kakek yang menggendong pemuda itu.

Kwi Lan cepat mengambil pedang dan kantong jarumnya dari tubuh penjaga yang sudah menjadi mayat, kemudian berpaling menonton pertempuran yang berlangsung hebat. Ia melihat betapa Po Leng In terdesak hebat biarpun gadis ini mengeroyok Siauw-bin Lo-mo dengan beberapa orang Hwesio jubah merah. Timbul keinginan hatinya untuk memban­tu Po Leng In karena dianggapnya bahwa munculnya Po Leng In merupakan pertolongan baginya, membuka kesempatan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi ia teringat akan keselamatan Yu Siang Ki. Pemuda ini dalam keadaan luka-luka parah, kini dibawa lari dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana kalau pemuda itu terjatuh di tangan musuh? Berpikir demikian, tanpa banyak cakap lagi Kwi Lan lalu melom­pat dan lari mengejar bayangan dua orang yang membawa lari tubuh Yu Siang Ki.

***

“Tahan, senjata....!”

Bentakan ini keras luar biasa, seakan­-akan menggetarkan Gunung Kao-likung-san. Apalagi bagi anak buah Siauw-bin Lo-mo karena sambil membentak, Bouw Lek Couwsu melakukan gerakan mendorong sehingga empat orang anggauta Cap-ji-liong terpental dan terhuyung-huyung mundur hanya oleh hawa pukulan yang amat kuat, keluar dari dorongannya tadi.

Para hwesio jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia cepat menarik senjata masing-masing dan melompat mundur. Siauw-bin Lo-mo juga memberi perintah kepada anak buahnya untuk menghentikan pertandingan.

Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang di bawah sinar obor yang amat banyak, Siauw-bin Lo-mo melihat seorang hwesio tinggi besar berkaki satu, memegang sebatang tongkat kuningan yang amat besar dan berat dengan ke­pala tongkat berukirkan patung Buddha yang amat indah. Di dekat kakek ini berdiri seorang wanita yang amat cantik dan garang, berambut terurai panjang. Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya, bibirnya manis tersenyum-senyum akan tetapi matanya membuat orang berdiri bulu tengkuknya karena sinar mata itu amat keji dan ganas. Melihat wanita ini jantung Siauw-bin Lo-mo berdebar saking kagetnya karena biarpun selamanya ini belum pernah bertemu dengan wanita ini, sekarang ia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah terbasmi habis itu. Ia memang mende­ngar kabar bahwa hanya Siang-mo Sin-ni seorang yang masih hidup di antara Thian-te Liok-kwi, akan tetapi menurut berita, wanita sakti ini sudah mengasing­kan diri di pulau kosong di laut selatan. Kini mengertilah Siauw-bin Lo-mo meng­apa Po Leng In bersekutu dengan hwesio jubah merah, kiranya gurunya berada di tempat ini, bersama Bouw Lek Couwsu!

“Ha-ha-ho-ho-ho! Terima kasih bahwa Bouw Lek Couwsu berkenan keluar sen­diri menyambut. Sungguh merupakan kehormatan besar bagiku. Tidak kelirukah dugaanku bahwa sahabat yang perkasa ini adalah Bouw Lek Couwsu, pemimpin pasukan Hsi-hsia yang gagah berani?” Siauw-bin Lo-mo menegur sambil mende­kati Bouw Lek Couwsu.

Bouw Lek Couwsu mengerutkan alis­nya yang tebal, lalu matanya menyapu keadaan di sekeliling tempat itu. Ia me­lihat beberapa orang anak buahnya ter­luka dan dirawat teman-temannya, akan tetapi tak seorang puntewas. Ia meng­angguk-angguk dan kembali memandang Siauw-bin Lo-mo sambil berkata, meng­gerakkan tongkat kuningan itu di depan dada.

“Pinceng pernah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo. Apakah Lo-mo mengandalkan kepandaian tidak memandang mata kepada pinceng (aku) dan malam ini sengaja hendak mencoba ke­pandaianku?”

“Ho-ho-ha-ha-ha! Sama sekali tidak. Salah mengerti.... salah mengerti! Mana bisa aku begitu tak tahu diri membentur gunung? Aku Siauw-bin Lo-mo selamanya mengenal orang gagah. Aku sengaja da­tang untuk berkenalan dan bersahabat, dan sebagai bukti kemauan baikku, aku datang membawa hadiah seorang dara jelita yang liar, bukan sembarangan dara berjuluk Mutiara Hitam, untuk dipersem­bahkan kepada Bouw Lek Couwsu....“

Pada saat itu Ma Kiu sudah lari menghampiri Siauw-bin Lo-mo dan ber­kata, suaranya gugup.

“Locianpwe...., dalam keributan.... dua orang tawanan telah lolos....!”

“Apa?” Sekali ini Siauw-bin Lo-mo lupa ketawanya dan mukanya kelihatan marah sekali. “Goblok kau! Hayo lekas kejar sampai dapat!” Ia lalu menjura kepada Bouw Lek Couwsu setelah meli­hat Cap-ji-liong berkelebat pergi untuk mengejar tawanan yang lolos, menjura dan berkata, “Maaf, Couwsu, aku harus menangkap kembali tawanan itu dan mempersembahkan kepadamu sebagai bukti niat baikku. Besok aku naik untuk menghadap.” Tanpa menanti jawaban, Siauw-bin Lo-mo lalu berkelebat pergi menyusul anak buahnya.

“Hemm, iblis tua itu mencurigakan!” kata Siang-mou Sin-ni.

“Dia, memang jahat dan sama sekali tidak boleh dipercaya!” kata Po Leng In. “Sudah teecu (murid) laporkan bahwa dia adalah seorang di antara Bu-tek Ngo­sian yang membiarkan saja ketika teecu dihina di Cheng-liong-san.”

“Hemm, harus diberi hajaran!” Siang­-mo Sin-ni sudah siap untuk mengejar ke­tika tiba-tiba terdengar suara tanduk ditiup dari puncak. Itulah tanda rahasia yang digunakan oleh pasukan Hsi-hsia untuk memberi tanda bahaya.

“Agaknya di puncak terjadi hal yang tidak baik. Marilah, Kim Bwe, kita lihat ke atas. Urusan Siauw-bin Lo-mo kita tunda sampai besok, kita lihat apa kehendaknya besok.”

Ketika dua orang sakti itu dengan gerakan cepat laksana terbang berkelebat ke arah puncak, wajah Po Leng In men­jadi pucat. Ia dapat menduga apa makna­nya tanda bahaya yang ditiup orang di puncak itu. Tentu Kiang Liong sudah turun tangan dan agaknya ketahuan pen­jaga. Dengan jantung berdebar tak enak ia lalu berlari cepat pula menyusul guru­nya dan Bouw Lek Couwsu, mendahului para pendeta jubah merah yang juga ber­lari-lari naik.

Dugaan Po Leng In memang tepat. Kiang Liong yang ditinggalkan wanita ini di lereng gunung itu, menanti sampai cuaca menjadi gelap dan tepat seperti yang dipesankan Po Leng In. Ia lalu mendaki ke puncak melalui lereng ber­batu. Gerakannya cepat sekali akan te­tapi ia berlari naik dengan amat hati-hati dan waspada.

Begitu tiba di puncak, hatinya girang melihat keributan dan melihat para pendeta baju merah berlari-larian keluar masuk pintu gerbang yang terjaga kuat oleh orang-orang Hsi-hsia. Kemudian dari tempat persembunyiannya di luar tembok, ia melihat pula pendeta baju merah yang buntung kaki kirinya berkelebat cepat keluar tembok bersama seorang wa­nita cantik berambut panjang. Ia dapat menduga bahwa tentu mereka inilah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin­-ni. Biarpun hanya mendengar keterangan dari Po Leng In, namun kini melihat ge­rakan mereka berdua demikian cepat, ia tahu bahwa dua orang itu amat sakti. Maka legalah hatinya ketika malihat dua orang ini berlari turun diikuti beberapa orang pendeta baju merah dan sepasukan orang-orang Hsi-hsia. Ia segera meloncat ke atas tembok pada saat peronda dan penjaga sedang lengah karena keributan yang terjadi di bawah puncak. Makin terasa olehnya jasa Po Leng In, karena ia maklum bahwa andaikata tidak terjadi keributan di bawah puncak, andaikata Po Leng In tidak sengaja memancing ke­ributan dan memancing keluar dua orang sakti itu serta menimbulkan kesibukan di puncak, akan sukarlah baginya untuk dapat melompati tembok yang selalu terjaga rapat itu.

Gerakan Kiang Liong memang amat cepat sehingga tubuhnya sukar diikuti pandangan mata orang biasa. Ketika ia meloncat ke dalam dan bergerak menye­linap di antara bangunan-bangunan di situ, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih saja. Betapapun juga, ketika ia tiba di bangunan terbesar di tengah-tengah kelompok bangunan itu, seperti yang ditunjuk oleh Po Leng In, ia menghadapi kesulitan. Bangunan ini terjaga, baik di bagian depan, kanan kiri, belakang maupun atas! Dengan hati-hati sekali Kiang Liong mengintai dan menga­tur siasat. Agaknya bangunan besar-besar yang menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwsu dan para selirnya, juga termasuk tempat kediaman Siang-mou Sin-ni, mem­punyai penjaga-penjaga tetap. Di depan terjaga empat orang, di belakang, kanan dan kiri masing-masing tiga orang dan di atas genting tampak menjaga dua orang. Dari semua penjaga itu, agaknya penjaga di atas genteng merupakan penjaga ber­kepandaian tinggi karena mereka adalah dua orang pendeta jubah merah. Adapun penjaga lain adalah orang-orang Hsi-hsia tinggi besar.

Kiang Liong lalu mengumpulkan bebe­rapa buah batu kecil, kemudian menye­linap ke sebelah kiri bangunan itu. Be­berapa detik kemudian, tiga orang penja­ga di sebelah kiri rumah besar itu roboh dan tak sempat mengeluarkan sedikit pun suara karena tengkuk mereka disambar batu-batu kecil yang membuat mereka roboh pingsan tanpa mengetahui sebab­nya. Cepat bagaikan bayangan setan, Kiang Liong melompat keluar dan sekaligus mengempit tiga tubuh penjaga itu dibawa ke tempat gelap, ditotok lumpuh dan disembunyikan di bawah gerombolan pohon kembang. Berturut-turut ia lakukan hal seperti pada penjaga di kanan, depan dan belakang sehingga dalam waktu be­berapa menit saja tiga belas orang Hsi-hsia yang menjaga rumah itu sudah rebah tumpang-tindih dalam keadaan pingsan di bawah pohon.

Tepat seperti dugaan Kiang Liong, dua orang penjaga di atas rumah, yaitu dua orang pendeta jubah merah, ternyata adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, tidak seperti tiga belas orang Hsi-hsia yang hanya kuat saja. Buktinya, sambitan kerikil, dari tangan Kiang Liong itu tidak merobohkan dua orang hwesio jubah merah ini, hanya membuat mereka terhuyung-huyung saja di atas genteng. Kiang Liong tidak mau memberi kesempatan. Tubuhnya berkele­bat cepat melayang naik ke atas gen­teng. Dua orang pendeta jubah merah yang masih belum pulih kagetnya, me­nyambutnya dengan usaha perlawanan.

Namun sia-sia, tingkat kepandaian mere­ka masih terlalu rendah untuk menan­dingi pemuda sakti ini. Dua kali tangan Kiang Liong bergerak dan mereka sudah tertotok lumpuh dan di saat lain tubuh mereka sudah dilempar di tumpukan tu­buh para penjaga lain dalam keadaan pingsan dan lumpuh.

Akan tetapi, Kiang Liong tertegun dan mau tidak mau harus mengagumi kesetiaan dan kegagahan para penjaga dan dua orang pendeta itu karena beta­papun dipaksa dan diancamnya, ketika ia mencari keterangan tentang dua orang gadis tawanan, mereka itu tetap membungkam! Terpaksa Kiang Liong lalu mencari sendiri, menyelinap ke dalam bangunan besar itu.

Ketika empat orang pelayan wanita menyambut munculnya dengan mata ter­belalak ketakutan, Kiang Liong cepat mengangkat tangan dan berkata, “Aku tidak akan menyusahkan kalian, aku da­tang untuk menolong dua orang tawanan, dua orang gadis yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu. Beritahu di mana mereka dan aku akan membawa pergi mereka dari sini dengan segera.”

Dengan tubuh gemetar empat orang pelayan itu berlutut dan saking takutnya tak seorang pun dari mereka dapat men­jawab! Dan pada saat itu kembali bermunculan wanita-wanita pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik, diam-diam Kiang Liong mengeluh dalam hatinya. Tidak dirobohkan berbahaya, untuk me­nyerang mereka ia tidak tega karena mereka itu adalah wanita-wanita lemah!

“Hayo lekas beritahukan di mana adanya dua orang gadis tawanan itu. Kalau tidak, terpaksa aku bunuh kalian!” ia sengaja mengancam.

“Ampun.... mereka.... mereka di sana.... di kamar belakang....!” Seorang pelayan akhirnya dapat menjawab.

“Lekas bawa aku ke sana!”

Pelayan itu terhuyung-huyung keta­kutan, akan tetapi dapat berjalan menuju ke ruang belakang, diikuti oleh Kiang Liong dari belakang. Akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang pintu­nya bercat merah, daun pintunya tertu­tup. Dengan pengerahan tenaganya, sekali dorong saja daun pintu itu terbuka dan.... Kiang Liong mengeluarkan suara mengu­tuk ketika ia melihat Siang Kui dan Siang Hui, dua orang gadis cucu Ketua Beng-kauw yang cantik itu, terbelenggu di atas pembaringan dalam keadaan te­lanjang! Melihat tumpukan pakaian mere­ka di atas pembaringan, Kiang Liong cepat meloncat dekat dan sebentar saja semua belenggu yang mengikat dua orang gadis itu sudah dipatahkan.

“Lekas pakai pakaian kalian!” bisiknya sambil membalikkan tubuh, tidak mau melihat kakak beradik yang telanjang itu. Siang Kui dan Siang Hui dengan muka merah sekali cepat-cepat mengenakan pakaian mereka.

“Untung kau datang tepat pada wak­tunya, Liong-twako.” kata Siang Kui dengan suara terharu.

“Terima kasih, Twako. Mari sekarang kita hajar sampai mampus monyet-mo­nyet gundul itu!” seru Siang Hui penuh kemarahan.

Kiang Liong menoleh menghadapi mereka. Mendengar ucapan mereka, me­lihat sikap dan keadaan mereka, hatinya lega. Ia maklum bahwa kedatangannya belum terlambat.

“Siauw-moi, jangan bicara tentang menghajar mereka. Jumlah mereka ba­nyak sekali, yang paling penting seka­rang, di mana adanya Han Ki adik ka­lian?”

Barulah enci adik itu teringat dan mereka menjadi bingung. “Kami berdua begitu terculik, selalu dikeram ke dalam kamar ini dan tak seorang pun di antara pelayan ada yang mau membuka mulut memberi tahu di mana adanya Han Ki. Mari kita cari.” kata Siang Kui penuh semangat.

Kiang Liong menggeleng kepala, lalu menarik tangan mereka keluar dari da­lam kamar itu, terus ke ruang depan. Di ruangan ini terdapat rak senjata dan ia menyuruh kakak beradik itu memilih senjata. Siang Kui dan Siang Hui memilih sebatang pedang dan begitu tangan me­reka memegang senjata, dua orang nona ini kelihatan bersemangat sekali. Mereka sudah gatal tangan untuk mengamuk dan mengadu nyawa dengan orang yang telah membasmi keluarga mereka dan bahkan telah menculik mereka, nyaris membunuh mereka.

Melihat sikap ini, Kiang Liong ber­bisik. “Lekas kalian lari dari sini, ambil jalan dari kiri bangunan ini. Di sana ada sebatang pohon, kalian loncati pagar tembok melalui pohon itu dan melarikan diri keluar. Aku akan mencari Han Ki baru menyusul kemudian....“

“Mana bisa begini?” Siang Hui men­cela. “Aku tidak mau lari, aku akan mengadu nyawa dengan monyet-monyet gundul itu!”

“Biarkan kami berdua membantumu, Twako.” Siang Kui juga berkata nadanya mendesak.

“Ji-wi Siauw-moi harap jangan salah mengerti. Keadaan di sini berbahaya sekali dan amat kuat. Kalau tidak kebe­tulan ada musuh menyerbu sehingga semua tokoh di sini terpancing keluar, aku sen­diri agaknya belum tentu dapat menolong kalian dengan mudah. Kalau Han Ki sudah dapat kutolong tentu aku ikut me­larikan diri bersama kalian. Akan tetapi sekarang aku harus mencari Han Ki lebih dulu.”

“Justeru untuk adik kami itu kami harus bantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa!” kata Siang Hui.

Kiang Liong habis sabar. “Kalian harus mengerti, kepandaian mereka he­bat, aku sendiri belum tentu dapat menang menandingi mereka, masih harus melindungi kalian, berarti kita semua berempat akan binasa semua.”

“Kami tidak takut mati!” Siang Kui dan Siang Hui berseru saling mendahului.

Kiang Liong melotot. “Kalau aku bekerja sendirian, lebih besar harapan dapat menolong adikmu. Kalian hendak menggangguku? Ingin semua ditangkap dan semua mati sehingga tidak akan ada orang yang membalas kematian Ayah Bunda kalian? Masih tidak cepat-cepat pergi?”

Dua orang gadis itu seketika menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian bagaikan dua ekor ayam digebah, mereka meloncat keluar dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar mereka mening­galkan isak tertahan. Kiang Liong terse­nyum geli. “Dasar puteri-puteri Paman Bu Sin gagah perkasa dan berani mati.” Ia memuji, hatinya perih teringat akan kematian Kam Bu Sin dan Isterinya yang begitu menyedihkan. Segera ia teringat akan Kam Han Ki, maka cepat ia me­nyelinap keluar dari bangunan besar itu dan mendatangi para pelayan wanita yang berkumpul di sebuah ruangan de­ngan tubuh menggigil dan muka pucat.

“Aku tidak akan ganggu kalian. Akan tetapi kalian harap memberi tahu, di mana adanya Kam Han Ki, anak laki-­laki kecil yang diculik dan dibawa ke sini sebagai tawanan!”

Setelah ribut bicara sendiri akhirnya seorang pelayan berkata. “Kami tidak tahu orang gagah. Yang menahannya adalah Siang-mou Sin-ni....“

“Di mana kamar Siang-mou Sin-ni?”

Pelayan itu hanya dapat menudingkan telunjuknya pada bangunan sebelah kanan bangunan besar itu. Tampak bayangan putih berkelebat dan pemuda baju putih itu sudah lenyap dari depan mata mere­ka. Para pelayan itu cepat berlutut dan saling peluk penuh rasa takut. Akan te­tapi dua orang di antara mereka lalu berlari keluar, biarpun kaki mereka menggigil namun akhirnya mereka sampai juga ke tempat penjaga. Di sini dengan suara terputus-putus mereka lalu men­ceritakan tentang serbuan pemuda pakaian putih.

Ributlah para penjaga, dan para pen­deta jubah merah lalu membunyikan tan­da tiupan tanduk untuk memberi tahu para tokoh yang sedang turun puncak menghadapi lawan. Sebagian pula dengan senjata di tangan lalu menyerbu, lari ke arah bangunan yang menjadi tempat tinggal Siang-mou Sin-ni.

Kiang Liong yang berhasil memasuki tempat tinggal Siang-mou Sin-ni, kaget mendengar suara tiupan tandukitu. Ia maklum bahwa bahaya mengancamnya, bahwa suara itu merupakan tanda bahaya dan persiapan pihaklawan. Ia harus se­gera menemukan Han Ki. Rumah itu kosong, agaknya para pelayan sudah lari keluar. Ia cepat menuju ke belakang. Biasanya, tempat tawanan adalah di ba­gian belakang. Kamar-kamar di belakang dimasukinya, yang pintunya tertutup di­dobraknya, namun ia tidak dapat mene­mukan anak itu.

“Han Ki....! Kam Han Ki....!”

Teriakan panggilan berkali-kali ini menggema di sekitar puncak karena sua­ra Kiang Liong didorong oleh khi-kang yang amat kuat. Namun tidak ada ja­waban. Tentu saja Han Ki tak dapat menjawab karena pada saat itu Han Ki menggeletak di dalam kamar Siang-mou Sin-ni dalam keadaan pingsan!

Suara tapak kaki banyak orang me­nyatakan bahwa rumah itu telah terku­rung. Ia lalu melayang keluar dari dalam rumah melalui jendela. Dalam sekejap mata, belasan buah senjata tajam me­nyambutnya seperti hujan.

“Trang-trang-trang....!” Suara perte­muan senjata nyaring ini disusul robohnya lima orang pengeroyok sekaligus. Ketika meloncat keluar tadi ia telah mencabut, keluar sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sepasang pensil. Dengan tubuh ma­sih melayang dapat menangkis dan sekaligus merobohkan lima orang pengeroyok, dapat dibayangkan betapa lihainya pemu­da ini.

Akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah. Orang-orang Hsi-hsia sung­guh pun tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, namun mereka adalah orang-orang peperangan yang ulet dan berani, lagi pula amat kuat sehingga robohnya banyak kawan tidak mengecilkan hati mereka yang terus mengamuk dan mengeroyok. Jumlah mereka yang puluhan orang ba­nyaknya ini diperkuat oleh belasan orang hwesio jubah merah yang memiliki ilmu silat cukup lihai karena mereka ini ada­lah kaki tangan, juga murid Bouw Lek Couwsu.

Hebat sekali amukan Kiang Liong. Dalam waktu setengah jam lebih, tidak kurang dari dua puluh orang Hsi-hsia roboh tak dapat bangun lagi ditambah tujuh orang pendeta jubah merah roboh terluka! Ia tidak akan melarikan diri se­belum dapat menolong Han Ki. Sepasang siang-pit (pensil) di tangannya menjadi dua gulungan sinar memanjang seperti dua ekor ular sakti saling belit dan me­layang-layang di angkasa.

“Tahan senjata, mundur semua....!” Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring berpengaruh, Kiang Liong tidak mengenal suara ini, akan tetapi semua pengeroyok seketika meloncat mundur sambil menarik senjata masing-masing, bahkan lalu mundur dan berdiri menjadi dua barisan dengan sikap menghormat. Karena menduga bahwa kini yang muncul tentulah Bouw Lek Couwsu yang terkenal sakti bersama Siang-mou Sin-ni yang kesaktiannya pernah ia dengar dari suhu­nya, maka Kiang Liong memegang sepa­sang senjatanya erat-erat, pandang mata ditujukan ke depan, seluruh urat syaraf­nya siap menghadapi lawan tangguh.

Di bawah sinar obor yang dipegang kedua barisan berjajar di kanan kiri, tampaklah kini seorang pendeta gundul berkaki satu yang berjubah merah. Biar­pun kaki kirinya buntung, namun dengan bantuan tongkat, ia dapat berjalan de­ngan tegak dan cepat sekali. Di samping hwesio ini berjalan seorang wanita cantik yang berambut panjang.

“Bagus! Engkau tentulah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, iblis tua jantan betina yang amat keji!” Kiang Liong membentak marah sekali.

Bouw Lek Couwsu membelalakkan matanya. Kalau seorang tokoh benar seperti Siauw-bin Lo-mo yang terkenal sakti masih jerih terhadap dirinya, bagai­mana ada seorang pemuda seperti ini berani memaki dia dan Siang-mou Sin-ni? Dan menyaksikan pengeroyokan tadi, Melihat banyaknya murid-murid dan orang-orang Hsi-hsia roboh, benar-benar pemuda ini luar blasa sekali. Keheranan­nya melampaui kemarahannya ketika ia bertanya.

“Orang muda yang tak takut mati, engkau siapakah?”

Dengan sikap tenang pemuda itu menjawab, “Aku she Kiang bernama Liong. Karena engkau melakukan kebiadaban di kalangan Beng-kauw dan menculik wanita dan kanak-kanak, maka aku datang untuk menghadapimu. Bouw Lek Couwsu, hayo kaubebaskan Kam Han Ki, anak kecil itu tidak tahu apa-apa!”

Bouw Lek Couwsu mengangguk-ang­gukkan kepala sambil meraba kepalanya yang gundul.

“Aih-aih.... pantas kau seberani ini. Kiranya engkau inikah yang bernama Kiang-kongcu, putera Pangeran Sung yang terkenal sebagai murid Suling Emas?”

Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melompat ke depan dan tertawa, suara ketawanya melengking tinggi menyeramkan, sungguh­pun wajahnya menjadi menarik sekali ketika tertawa, karena tampak giginya berderet rapi dan putih berkilauan di balik bibir merah, cuping hidungnya berkembang kempis dan matanya menyinar­kan api. “Hi-hi-hik! Inikah murid Suling Emas? Bagus, kauwakili Gurumu mampus di tanganku!” Berkata demikian, kepala wanita ini bergerak dan dari kanan kiri pundaknya menyambar bayangan hitam.

“Siuuuuttt!” Dahsyat sekali gulungan dua, sinar hitam ini menyambar ke arah leher dan pusar Kiang Liong. Pemuda ini sudah menyaksikan kelihaian Po Leng In menggunakan rambut sebagai senjata, namun dibandingkan dengan gerakan ini, Po Leng In bukan apa-apa. Dua gumpal rambut panjang ini menyambar seperti dua ekor naga, mengeluarkan bunyi me­ngerikan dan mendatangkan bau harum yang mencekik leher! Pemuda ini maklum bahwa terkena hantaman ujung rambut ini akibatnya hebat, apalagi kalau sampai terbelit. Karena itu, cepat ia sudah menggerakkan sepasang pensilnya, menggetarkan sepasang senjata itu dengan tenaga sin-kang.

“Plak-plak.... aiihhh....!” Siang-mou Sin-ni terkejut bukan main sampai me­ngeluarkan suara kaget ketika sepasang gumpalan rambutnya itu terpukul membalik. Getaran pensil itu tidak memung­kinkan rambutnya untuk melibat. Rasa kaget ini berbalik menjadi kemarahan. Kembali kepalanya bergerak dan kini dua gumpalan rambut bergabung menjadi satu dan menyambar ke depan, gerakannya seperti sebatang toya baja menghantam kepala Kiang Liong. Karena bergabung menjadi satu, maka tenaganya menjadi lipat dua kali. Menyusul serangan rambut ini, kedua tangan Siang-mou Sin-ni juga bergerak melakukan pukulan dengan jari-jari tangan terbuka. Hebatnya, dari kedua telapak tangan itu keluarlah bau yang amis sekali, amis busuk dan tampak telapak tangannya merah seperti menge­luarkan darah.

Kiang Liong yang tahu bahwa ia ber­hadapan dengan orang sakti, bekas musuh besar gurunya, tidak mau bersikap sem­brono. Ia sudah siap dan kini ia menggerakkan kedua pensilnya seperti orang mencorat-coret di udara, menuliskan huruf-huruf indah dengan gerakan indah pula. Dalam sekejap mata, sepasang pensilnya sudah membuat gerakan menyilang dan seperti menggunting rambut, Siang-mou Sin-ni terkejut dan menarik kembali rambutnya melanjutkan pukulan telapak tangan merah ke arah dada dan lambung pemuda itu. Namun gerakan corat-coret selanjutnya itu secara otomatis membuat sepasang pensil sudah maju menyambut pergelangan kedua tangan Siang-mou Sin­-ni dengan totokan-totokan pada jalan darah. Kalau pukulan dilanjutkan, sebe­lum telapak tangan menyentuh baju Kiang Liong, tentu saja ujung pena akan lebih dulu bertemu dengan pergelangan tangan menotok jalan darah. Gerakan ini dilakukan seperti orang menulis huruf sehingga tak tersangka dan membingung­kan lawan. Kembali Siang-mou Sin-ni berseru keras dan menarik kedua tangan­nya sambil menggeser kaki mundur se­langkah sehingga ia pun berhasil membe­baskan diri daripada totokan kedua pensil.

“Kiang Liong, kau masih tidak mau menyerah? Lihat siapa mereka ini!” Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu yang tadi mem­beri tanda kepada anak buahnya, menu­dingkan telunjuknya kepada dua orang gadis di sampingnya. Kiang Liong me­mandang dan matanya terbelalak, wajah­nya pucat karena dua orang gadis itu adalah Siang Kui dan Siang Hui, tampak lemas dan kakinya tangannya terbeleng­gu, memandang kepadanya dengan mata duka namun sedikit pun tidak takut.

“Liong-twako, maaf, kami tertangkap kembali.” kata Siang Kui, sedih melihat kekagetan dan kekecewaan yang memba­yang di mata Kiang Liong.

“Liong-twako, jangan hiraukan kami!” kata Siang Hui dengan suara lantang.

“Ha-ha-ha-ha, Kiang-kongcu. Dua orang cucu Ketua Beng-kauw ini sungguh gagah dan manis. Sayang kalau mereka mati. Menyerahlah, dan mereka akan ku­bebaskan!”

“Liong-twako, kami tidak takut mati teriak Siang Hui.

“Benar Twako, jangan hiraukan kami. Jangan menyerah, lawanlah dan kalau dapat larilah!” teriak pula Siang Kui.

Kiang Liong berdiri tegak ragu-ragu, wajahnya pucat. Melihat Bouw Lek Couwsu memalangkan tongkatnya, meng­ancam di atas kepala dua orang gadis itu, maklumlah ia bahwa sekali ia ber­gerak, dua orang gadis itu tentu akan tewas. Dan dia seorang diri belum tentu akan dapat mengalahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, apalagi dibantu banyak sekali pendeta jubah me­rah dan orang-orang Hsi-hsia. Baru Siang-mou Sin-ni seorang saja tadi ia sudah merasakan kelihaiannya. Kiang Liong seorang pemuda yang cerdik dan tenang, maka sebentar saja ia sudah dapat mengambil keputusan.

“Bouw Lek Couwsu, jangan seperti anak kecil! Bebaskan gadis-gadis itu dan adik mereka, kemudian kalau kau dan Siang-mou Sin-ni ada kepandaian, cobalah untuk mengalahkan dan membunuhku!” Sikapnya tenang, suaranya berpengaruh sehingga kembali Siang-mou Sin-ni me­ngeluarkan suara kagum.

“Seperti Suling Emas benar....! Begini­lah Suling Emas di waktu mudanya!”

Akan tetapi Bouw Lek Couwsu terta­wa bergelak. “Orang muda sombong! Gurumu sendiri Si Suling Emas belum tentu dapat menandingi pinceng, apalagi engkau muridnya! Kaulepaskan senjatamu dan menyerahlah, pinceng ingin bicara denganmu dan pinceng memerlukan ban­tuanmu. Pinceng berjanji akan membe­baskan dua orang gadis ini. Tentang anak laki-laki itu, dia adalah hak Siang-mou Sin-ni.”

“Bagaimana aku dapat percaya omong­anmu, Bouw Lek Couwsu?”

Pendeta jubah merah itu marah seka­li. “Kiang Liong, kau benar-benar me­mandang rendah kepada pinceng! Tak tahukah engkau dengan siapa kau bicara? Pinceng adalah ketua yang terhormat dari para pendeta jubah merah. Sebagai pendeta kepala, sekali pinceng mengeluarkan kata-kata, pasti tak ditarik kem­bali!”

Kiang Liong tersenyum mengejek. Ia sengaja hendak memanaskan hati pendeta ini. Makin panas hatinya, kelak ia akan makin malu untuk menarik kembali kata­-katanya. “Hemm, siapa tidak tahu bahwa engkau menjadikan jubah merah dan ke­pala gundul sebagai kedok belaka, Bouw Lek Couwsu? Engkau berpakaian pendeta akan tetapi tidak hidup sebagai pendeta, bagaimana aku bisa percaya omongan seorang pendeta palsu? Akan tetapi aku akan lebih percaya kalau engkau bicara sebagai pimpinan barisan Hsi-hsia yang terkenal jujur dan perkasa!” Suara Kiang Liong diucapkan nyaring dan lantang sekali sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ, termasuk orang-orang Hsi-hsia.

Diam-diam Bouw Lek Couwsu mengu­tuk di dalam hatinya. Ia merasa benar-benar dilucuti oleh pemuda ini. Sebagai seorang pimpinan suku bangsa Hsi-hsia yang mengharapkan kedudukan besar, tentu saja ia tidak akan berani menarik kembali kata-kata dan merendahkan diri dan martabat dalam pandangan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi di samping ini, ia pun amat membutuhkan bantuan Kiang Liong. Pemuda ini adalah putera pangeran di Kerajaan Sung yang sudah terkenal. Kalau ia dapat menarik pemuda ini men­jadi sekutu! Alangkah akan baiknya, akan memudahkan rencananya menyerbu Sung.

“Baiklah, aku berjanji sebagai pimpin­an Hsi-hsia untuk membebaskan dua orang gadis ini setelah kau melepaskan senjata dan menyerah.”

Kiang Liong tersenyum lalu meman­dang sepasang pensilnya.

“Twako, jangan menyerah!”

“Twako, mari kita berontak, lawan dan adu nyawa dengan mereka!”

Namun Kiang Liong menggelengkan kepala dan memandang dua orang gadis itu sambil berkata. “Kalian harus menu­rut kepadaku. Setelah dibebaskan, lekas turun gunung dan jangan hiraukan aku lagi!” Di dalam suara ini terkandung wibawa besar, dan sepasang mata itu menatap dengan begitu pasti sehingga dua orang gadis itu menunduk sambil terisak menangis.

Kiang Liong mendongak ke atas, me­lihat tiang bendera yang amat tinggi berdiri di situ. Bendera pasukan Hsi-hsia berkibar di puncak tiang. Ia lalu berkata.

“Biarlah sepasang pensilku kusimpan di atas sana!” Kedua tangannya bergerak, terdengar suara berdesing nyaring sekali dan dua sinar menyambar ke atas. Ke­tika semua orang memandang, ternyata dua buah pensil itu telah manancap ber­jajar di puncak tiang bendera! Semua orang terbelalak memandang penuh keha­ranan dan kekaguman. Bahkan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni sendiri menjadi kagum.

“Ha-ha-ha, engkau benar seorang mu­da gagah perkasa.” kata Bouw Lek Couwsu yang kemudian menoleh dan memberi perintah kepada anak buahnya. “Bebaskan dua orang nona ini dan jangan halangi mereka turun gunung!”

Belenggu kedua orang nona ini dile­paskan. Mereka sejenak meragu, meman­dang ke arah Kiang Liong dengan se­pasang mata basah, akan tetapi Kiang Liong menggerakkan mukanya dan ber­kata. “Pergilah, Ji-wi Siauw-moi dan berhati-hatilah.”

Dua orang nona itu sedih sekali. Tadi pun ketika mereka dipaksa oleh Kiang Liong setelah mereka ditolong, dipaksa pergi dan tidak diperbolehkan ikut pe­muda itu mencari Han Ki, mereka me­nangis kecewa. Sekarang tahulah mereka bahwa pemuda itu ternyata benar ketika menyuruh mereka melarikan diri. Musuh terlampau banyak dan sakti. Baru saja mereka tiba di lereng bukit, mereka itu bertemu dengan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni yang berlari cepat naik ke puncak sehingga tanpa dapat melaku­kan perlawanan berarti mereka telah ditangkap kembali! Dan sekarang karena mereka berdua, Kiang Liong menjadi ta­wanan tanpa dapat melawan. Tentu saja mereka berduka sekali. Kali ini mereka tidak berani membantah dan sambil me­nangis mereka pergi meninggalkan tem­pat itu, di dalam hati berjanji akan ce­pat-cepat mencari adik mendiang kakek mereka yang bertapa di puncak Tai-liang-san, minta pertolongannya kemudian kembali ke tempat ini untuk menolong Kiang Liong dan Han Ki. Kalau terlam­bat dan dua orang itu sudah terbunuh, mereka akan mengamuk dan mengadu nyawa.

Setelah dua orang gadis itu pergi, Bouw Lek Couwsu berkata.

“Orang muda, pinceng sudah berjanji membebaskan mereka dan sekarang me­reka sudah bebas. Engkau menjadi ta­wananku, dan pinceng juga tidak ber­maksud membunuhmu, kalau saja engkau tidak menolak tawaranku. Sebagai seorang tawanan, kau harus dibelenggu dan harap saja kau tidak melawan agar kami tidak perlu membunuhmu sebelum be­runding!“

Kiang Liong bukan seorang bodoh. Kalau sepasang pensilnya masih berada di kedua tangannya sekalipun, belum tentu akan dapat membebaskan diri dari dua orang sakti ini bersama seratus orang lebih anak buah mereka yang sudah me­ngurung tempat itu. Kini sepasang sen­jata sudah ia simpan di atas tiang ben­dera, dan ia sudah berjanji pula untuk menyerah. Seorang pendekar harus me­megang janjinya dan ia menyerah, ke­cuali tentu saja kalau ia akan dibunuh, ia akan melawan sedapat mungkin. Maka mendengar ucapan ini ia tersenyum dan menjawab.

“Silakan Bouw Lek Ciouwsu.” Ia me­masang kedua tangan dengan merangkap pergelangantangannya.

Seorang pendeta jubah merah murid Bouw Lek Couwsu tanpa diminta segera melompat maju. Ia sudah membawa se­buah rantai besi dan untuk menyenangkan hati gurunya ia segera mengikat kedua pergelangan tangan itu erat-erat kemu­dian mengaitkan ujungnya kepada mata rantai. Demikian kuatnya belenggu itu sehingga kedua tangan Kiang Liong se­dikit pun tak dapat bergerak. Dengan hati puas dan muka bangga pendeta jubah merah itu melangkah mundur dan memandang ke arah gurunya mengharap­kan pujian.

“Goblok kau! Goblok dan tolol!”

Pendeta jubah merah itu kaget se­tengah mati, takut mendongkol dan he­ran terbayang di mukanya.

“Tapi.... Suhu....“

“Kaukira belenggu itu dapat menahan kedua tangannya?” bentak Bouw Lek Ciouwsu.

Kiang Liong kagum akan kecer­dikan dan ketajaman mata pendeta ke­pala itu. Ia tersenyum dan tak perlu berpura-pura lagi. Sekali ia mengerahkan tenaga Kim-kong-kiat, terdengar suara keras dan rantai besi yang membelenggu­nya itu patah-patah! Kemudian ia me­nyodorkan kedua tangannya lagi kepada Bouw Lek Couwsu. Semua anak buah yang berada di situ mengeluarkan seruan kaget dan melongo. Seekor harimau se­kalipun tak mungkin dapat mematahkan belenggu seperti itu, dan pemuda ini mematahkannya sedemikian mudah.

“Biar kubelenggu dia untukmu!” ter­dengar Siang-mou Sin-ni berkata, sebagi­an jengkel menyaksikan kegagahan Kiang Liong dan juga sebagian benci karena mengingat bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas, musuh besar yang amat dibencinya karena Suling Emaslah yang mengenyahkan dia dari dunia kang-ouw (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Sambil berkata demikian, kepalanya bergerak dan segumpal rambutnya telah menyambar ke arah kedua tangan Kiang Liong, seperti seekor ular hidup rambut itu membelit-belit pergelangan tangan!

Kiang Liong dapat merasa betapa rambut yang membelit kedua lengannya itu mengandung tenaga yang luar biasa, terasa panas dan maklumlah ia bahwa wanita sakti yang terkenal karena ram­butnya ini sama sekali tak boleh dipan­dang ringan dan sekiranya ia berusaha melepaskan ikatan rambut, ia masih sangsi apakah dia akan berhasil. Maka ia diam saja dan bahkan memuji.

“Rambutmu memang amat hebat, Siang-mou Sin-ni!”

Untuk kedua kalinya anak buah yang berada di situ melongo. Mereka sudah dapat menduga bahwa tamu kehormatan pemimpin mereka itu tentulah seorang wanita sakti dan pandai mempergunakan rambut sebagai senjata. Akan tetapi kalau rambut itu bisa lebih kuat daripada rantai besi, benar-benar hal ini membuat mereka menjulurkan lidah saking heran!

Setelah kedua tangan Kiang Liong terbelenggu, tiba-tiba sekali Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan kanannya bergerak meng­hantam ke depan. Kiang Liong terkejut, karena ia sama sekali tidak menyangka akan diserang. Ia tak dapat menangkis maupun mengelak, hanya dapat mengerahkan tenaga, dan menerima pukulan itu.

“Bukkk....!” Lambungnya terkena pu­kulan. Tidak sakit rasanya akan tetapi hawa panas menjalar di seluruh tubuhnya dan terkumpul di lambung kembali, mendatangkan rasa gatal-gatal dan hidungnya mencium bau amis. Diam-diam ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan Siang-mou Sin-ni yang dilakukan secara curang itu adalah pukulan yang amat hebat, pukulan beracun yang ia sendiri tidak tahu akan bagaimana akibatnya.

Tentu saja Kiang Liong sebagai tokoh muda tidak mengenal pukulan ini. Selain ilmu menggunakan rambut yang amat hebat di waktu mudanya Siang-mou Sin­-ni menciptakan ilmu dahsyat mengerikan yang bernama Tok-hiat-hoat-lek. Dahulu ketika ia sering menghadapi Suling Emas (dalam cerita CINTA BERNODA DARAH), dia menggunakan Tok-hiat-hoat-lek pula, yaitu dengan cara menyemburkan darah dari dalam perutnya, langsung keluar dari mulut. Darah yang beracun ini amat berbahaya dan jlka mengenai kulit lawan, dapat membuat kulit dan daging lawan membusuk dan tidak ada obatnya! Akan tetapi makin tua, Siang-mou Sin-ni makin matang ilmunya dan kini ia dapat meng­gunakan Tok-hiat-hoat-lek menjadi pukul­an tangan terbuka. Darah beracun yang, dikumpulkannya itu dapat ia robah men­jadi hawa beracun yang jika mengenal lawan akan meracuni darah lawan itu. Tanpa diketahuinya, Kiang Liong telah terkena pukulan Tok-hiat-hoat-lek ini dan perlahan-lahan darah di tubuhnya mulai keracunan.

“Kim Bwe, jangan bunuh dia!” bentak Bouw Lek Couwsu sambil melompat maju menghadang. Keduanya saling pandang dan akhirnya Siang-mou Sin-ni tertawa.

“Hi-hi-hik, tidak bunuh juga tidak apa. Hatiku sudah puas dapat memukul­nya!”

Bouw Lek Couwsu menghampiri Kiang Liong yang kini kedua tangannya sudah terlepas dari ikatan rambut Siang-mou Sin-ni. “Kiang Liong Kongcu, maafkan sikap sahabatku ini yang dulu disakitkan hatinya oleh Gurumu, Percayalah, kami berniat baik dan ingin bersahabat dengan kau yang muda dan perkasa. Kalau kau berjanji takkan melawan dan manyerah baik-baik, pinceng tidak berani membe­lenggumu. Marilah, engkau kini menjadi tamuku yang terhormat.”

Kiang Liong hanya tersenyum dingin dan tanpa bicara ia mengikuti, pendeta ini naik ke puncak. Siang-mou Sin-ni tertawa ha-ha-hi-hi di belakang mereka dan para anak buah ikut pula naik kem­bali ke markas sambil membawa mereka yang terluka.

***

Dapat dibayangkan betapa berdebar tegang dan penuh haru rasa hati Suling Emas ketika ia berlutut bersama pang­lima-panglima lain menghadap Sang Ratu Yalina, ratu bangsa Khitan yang pada waktu itu amat kuat.

Begitu datang menghadap tadi dibawa oleh Loan Ti Ciangkun dan Hoa Ti Ciangkun, dalam keadaan menyamar se­bagai seorang kakek yang berjenggot panjang, Suling Emas memandang Yalina atau Lin Lin dengan jantung seakan-akan ditusuk. Bekas kekasihnya, juga adik angkatnya itu dalam pandangannya masih seperti dulu, dua puluh tahun yang lalu! Masih cantik jelita, masih kelihatan muda, hanya bedanya, kalau sepasang mata itu dahulu bersinar-sinar penuh kegembiraan, kelincahan dan kenakalan orang muda, kini pandang matanya su­ram. Kalau bibir yang masih merah mu­ngil ini dahulu tersenyum-senyum dan menghadapi dunia dengan seri gembira, kini tertarik seperti orang menderita tekanan batin hebat. Hanya sikapnya kini membayangkan keagungan dan kematang­an. Begitu pandang mata sayu itu dituju­kan ke arah mukanya dan sepasang alis yang kecil panjang menghitam itu ber­gerak membayangkan keheranan dan perhatian, Suling Emas cepat-cepat me­nundukkan mukanya dengan sikap amat menghormat.

Dengan jantung berdebar dan pikiran melamun jauh sehingga suara Loan Ti Ciangkun yang memberi laporan kepada ratunya hanya terdengar sebagian saja olehnya, Suling Emas berlutut sambil menundukkan kepala. Akhirnya ia men­dengar suara Lin Lin atau Ratu Yalina, suara yang selama puluhan tahun tak pernah ia lupakan, yang selalu terngiang di telinganya dalam mimpi.

“Kami amat berterima kasih kepada Cianpwe dan kami setuju akan usul ke­dua panglima kami untuk mengangkat Cianpwe sebagai pengawal dalam istana. Betapapun juga, hati kami takkan puas kalau belum menguji kepandalan Cian­pwe.”

Di dalam hatinya Suling Emas merasa geli dan kagum. Biarpun sudah menjadi ratu selama puluhan tahun, ratu besar yang disanjung dan disembah orang-orang Khitan, namun Lin Lin masih belum kehilangan hormatnya terhadap tokoh kang­-ouw sehingga dia yang dianggap seorang tokoh besar di dunia kang-ouw disebut cianpwe! Ia hanya menunduk dan menja­wab, merobah suaranya dibesarkan.

“Silakan apa yang akan Paduka laku­kan, hamba hanya menurut.”

“Lihat serangan!” Tiba-tiba ratu itu berseru keras dan tangan kanannya me­nyambar ke arah dada Suling Emas.

Suling Emas kaget bukan main. Ia mengenal pukulan ini karena pukulan ini memiliki dasar ilmu silat Beng-kauw. Teringatlah ia betapa Yalina ini mewarisi ilmu ciptaan mendiang Pat-jiu Sian-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw, yaitu Ilmu Cap-sa Sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sak­ti) yang dirahasiakan, namun secara kebetulan terjatuh ke tangan Lin Lin (baca CINTA BERNODA DARAH). Tentu saja dengan Hong-In Bun-hoat ia akan dapat memu­nahkan pukulan dahsyat ini, akan tetapi kalau ia pergunakan Hong-in Bun-hoat, sudah pasti Lin Lin akan mengenalnya. Karena inilah maka ia sengaja mengerah­kan sin-kang di pundaknya, lalu mengelak setelah pukulan itu menyentuh dadanya. Dengan gerakan ini, pukulan ke dada itu menyeleweng dan menghantam pundaknya sehingga tubuhnya mencelat sampai em­pat meter akan tetapi ia jatuh dalam keadaan masih berlutut seperti tadi.

“Aiihhh....! Hampir aku kesalahan tangan membunuhmu!” teriak Yalina dan memberi isyarat supaya Suling Emas maju lagi. Dari tempat ia berlutut, Su­ling Emas mengerahkan gin-kang dan.... dalam keadaan masih berlutut itu tubuh­nya melayang dan kembali di tempat tadi, sama sekali tidak merobah kedu­dukan tubuhnya. Semua orang yang hadir melongo dan mengeluarkan seruan kaget. Itulah ilmu sihir, pikirnya. Bahkan Yalina sendiri terkejut. Hebat Ilmu orang ini, pikirnya. Dengan gin-kang seperti itu, dia sendiri takkan mungkin menandinginya. Juga pukulannya tadi hebat sekali, biar pun hanya mengenai pundak namun kalau seorang di antara panglima tingginya terkena hantaman itu sedikitnya tentu akan pingsan. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa, hanya mencelat dan tidak terluka.

“Ah, maafkan percobaan kami, Cian­pwe. Ternyata Cianpwe sakti seperti di­ceritakan kedua panglimaku. Siapakah nama julukan Cianpwe?”

“Hamba tidak ingat lagi nama ham­ba, orang hanya menyebut hamba Bu Beng Lojin (Kakek Tak Bernama).”

Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Bu Beng Lojin, apakah engkau tidak mempu­nyai saudara muda atau keponakan atau putera?”

Hati Suling Emas berdebar. Ternyata pandang mata tajam dari Yalina dapat mengenal persamaan muka penyamaran­nya. Cepat ia menggelengkan kepala. ”Hamba hidup sebatang kara di dunia ini. Apakah maksud pertanyaan Paduka?”

Ratu Yalina menarik napas panjang. “Tidak apa-apa, hanya kau mengingatkan aku akan seseorang....“ Ia berhenti terme­nung sejenak, wajahnya terliputi kedukaan, kemudian menyambung. “Mulai se­karang kau kuangkat menjadi pengawal dalam Istana. Keselamatan kami seke­luarga kuserahkan ke dalam penjagaan­mu.”

Suling Emas menunduk, hatinya ter­haru. “Terima kasih atas segala kebaikan dan kurnia Paduka”

Demikianlah, mulai saat itu Suling Emas menjadi kepala pengawal dan ting­gal pula di lingkungan istana. Dia diberi pakaian yang sesuai dengan pangkatnya.

Seperangkat pakaian yang indah dan ga­gah, dengan hiasan sulaman-sulaman benang emas dan di dadanya tersulam gambar sebagai tanda bahwa pangkatnya adalah panglima pengawal. Kepalanya memakai topi bundar berhias bulu kuning, hiasan bulu bagi panglima yang tinggi.

Dalam beberapa hari setelah ber­tugas sebagai panglima pengawal, Suling Emas mendapatkan hal-hal yang mengharukan hatinya. Ia diperkenalkan de­ngan Pangeran Mahkota Talibu yang ma­sih muda belia dan amat tampan, bersikap halus sabar dan tidak sombong, pandai bergaul dengan rakyatnya sehingga timbul rasa suka di hati Suling Emas, apalagi mengingat bahwa putera angkat Ratu Yalina ini adalah putera Panglima Ka­yabu, bekas sahabatnya yang gagah per­kasa. Ia bertemu pula dengan Panglima Kayabu yang tidak mengenalnya dan ternyata bahwa Panglima Tinggi Kayabu ini masih tampak muda dan gagah se­perti dulu, juga sikapnya amat ramah terhadap bawahannya, namun penuh di­siplin keras. Pantas saja bangsa Khitan menjadi makin kuat berkat sikap Pang­lima Kayabu ini.

Terutama sekali keadaan Ratu Yalina, seringkali membuat Suling Emas hampir tidak kuat menahan hatinya. Hanya di waktu bersidang saja ratu ini nampak agung dan berwibawa. Akan tetapi kerap kali Suling Emas melihat ratu ini duduk termenung seorang diri di dalam ruangan dalam istana dan tidak jarang tampak matanya merah bekas menangis! Kalau sudah melihat keadaan ratu itu demikian, jantung Suling Emas serasa ditusuk-tusuk dan kalbunya menjerit-jerit menyebut nama Lin Lin kekasihnya. Akan tetapi, ia merasa heran mengapa ratu ini bertekad memanggilnya? Setelah beberapa hari berada di situ, ia tidak melihat sesuatu yang mengancam keadaan di Khitan. Pemerintahannya berjalan baik, keadaan ratu itu dicinta dan dihormati bangsanya, dan para panglima juga setia. Rahasia apakah yang diderita Lin Lin? Rahasia apakah yang membuat Lin Lin berduka seperti itu?

Beberapa hari kemudian, di dalam persidangan terbuka, datanglah seorang Perwira Khitan yang membawa laporan hebat, yaitu tentang diserbunya Nan­-cao oleh bangsa Hsi-hsia dan tentang kematian Ketua Beng-kauw dan banyak tokoh-tokohnya termasuk Kam Bu Sin dan isterinya.

Mendengar ini, Ratu Yalina menge­luarkan teriakan aneh, wajahnya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan hanya karena ingat bahwa ia seorang ratu saja yang mencegah dia roboh ping­san di atas kursinya. Cepat-cepat ia memberi isyarat membubarkan persidang­an lalu memasuki ruangan dalam istana. Begitu berada seorang diri, Ratu Yalina menjatuhkan diri di atas kursi dan me­nangis tersedu-sedu!

Sibuklah para dayang dan pelayan, sibuk menghibur namun mereka dibentak oleh Ratu itu yang terus menangis tanpa mau pindah dari atas kursinya. Ia me­nolak pelayanan para dayang, tidak mau makan, bahkan sampai malam tiba, Sang Ratu masih menangis di atas kursinya. Berkali-kali ia mengeluh dan membisik­kan nama Kam Bu Sin, kakak angkatnya yang baginya seperti kakak kandungnya sendiri

Tentu saja berita tentang malapetaka yang menimpa para pimpinan Beng-kauw ini juga membuat Suling Emas terkejut marah, dan berduka sekali. Kedukaannya tidak kalah besar dengan kedukaan Ratu Yalina karena Kam Bu Sin adalah adik tirinya, seayah lain ibu dan Suling Emas adalah sahabat baik semua pimpinan Beng-kauw. Akan tetapi dasar dia se­orang pendekar sakti yang sudah matang jiwanya dan kuat batinnya oleh gembleng­an pahit getir hidup, ia menerima berita ini dengan sikap tenang. Sekarang ia harus pergi dari Khitan, pikirnya. Ia harus pergi ke Nan-cao menyelidiki ke­adaan Beng-kauw yang tertimpa mala­petaka. Tiada gunanya ia berlama di Khitan karena ternyata bahwa Khitan tidak terancam bahaya apa-apa, keadaan Yalina juga sehat. Akan tetapi tak mung­kin ia pergi begitu saja. Malam ini ia harus bertemu dengan Yalina, memper­kenalkan diri dan berpamit. Ia harus bertemu secara rahasia agar jangan ada yang tahu akan hubungan mereka.

Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja mudah bagi Suling Emas untuk memasuki semua ruangan istana dengan dalih memeriksa keamanan. Akhirnya ia sampai di luar pekarangan di mana Ya­lina menangis. Ruangan itu amat indah, juga diterangi lampu penerangan seperti di siang hari saja. Ia mengintai dari balik tirai tebal.

Tampak oleh Suling Emas betapa Ratu Yalina masih menangis, duduk di atas kursi dan menyandarkan kepala di atas lengan yang diletakkan di atas meja. Mukanya pucat sekali dan air mata bercucuran tiada hentinya di sepanjang pipinya. Seorang pelayan muda yang mem­bawa tempat hidangan berdiri di bela­kangnya dengan bingung. Baru saja hi­dangan yang sengaja ia bawa datang dan membawanya kepada Sang Ratu, ditolak dengan bentakan marah. Dari belakang datang seorang dayanglain membawa teng (lampu), mereka berdua saling mem­beri tanda dengan mata dan gerakan tangan, kemudian Si Pembawa hidangan mundur. Dengan menggerakkan pundak dan menghela napas panjang, kedua orang dayang itu lalu meninggalkan ruangan. Sunyi di ruangan itu, yang terdengar hanya isak tangis Sang Ratu Yalina.

Suling, Emas belum berani memper­lihatkan diri karena ia khawatir kalau-kalau para dayang akan melihatnya dan hal ini akan membikin malu Sang Ratu. Maka sambil menahan gelora keharuan hatinya, ia meninggalkan ruangan itu dan mengambil keputusan untuk menemui Yalina malam nanti di kamarnya untuk memperkenalkan diri dan berpamitan.

Sambil menanti saat yang baik, Suling Emas lalu menemui perwira yang me­laporkan tentang malapetaka yang me­nimpa Beng-kauw itu. Perwira itu adalah seorang di antara petugas-petugas Khitan yang bekerja sebagai mata-mata atau penyelidik keadaan di luar Khitan. Memang Panglima Kayabu amat cerdik. Biarpun pada waktu itu Khitan tidak punya musuh, namun ia selalu menyebar mata-mata baik ke Negara Sung, ke Nan­-cao dan lain-lain tempat untuk mengeta­hui keadaan dan perubahan negara-negara lain itu.

Perwira ini menceritakan kepada Su­ling Emas dengan jelas akan penyerbuan bangsa Hsi-hsia ke Nan-cao.

“Bangsa Hsi-hsia secara tiba-tiba me­nyerbu ke selatan, akan tetapi berhasil dihalau pergi oleh tentara Nan-cao yang kuat. Akan tetapi, pimpinan Hsi-hsia yang terdiri dari pendeta-pendeta Tibet berjubah merah, dikepalai oleh pendeta kaki satu yang amat sakti dan kabarnya juga seorang wanita rambut panjang, menyerang Beng-kauw. Menurut keterangan yang hamba peroleh, Ketua Beng-kauw berikut pembantu-pembantunya terbunuh oleh pendeta kaki satu dan wanita ram­but panjang itu.”

“Dan bagaimana dengan anak, mantu dan cucu-cucu Ketua Beng-kauw? Aku pernah singgah di sana dan mereka itu bersikap baik sekali kepadaku.” tanya Suling Emas.

“Menurut kabar, juga puteri dan me­nantu Ketua Beng-kauw tewas, dan anak­-anak mereka terculik....”

“Aihhh...!” Suling Emas menjadi marah sekali. Kalau mungkin, saat itu juga ia ingin terbang ke Nan-cao.

Sementara itu, Ratu Yalina sudah memasuki kamarnya. Ia masih menangis, duduk di atas kursi dalam kamarnya ketika sebuah tangan dengan halus me­nyentuh pundaknya.

“Ibu, jangan terlalu berduka....”

Suara Pangeran Talibu yang meng­hibur ibunya ini membuat tangis Ratu Yalina menjadi-jadi. Karena Ratu ini teringat akan masa dahulu, ketika ia masih menjadi Kam Lin Lin, semenjak kecil bermain-main dengan Kam Bu Sin kakak angkatnya. Teringat pula ia akan pengalamannya melakukan perantauan dengan Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng kedua orang saudara angkatnya, sampai bertemu dengan Suling Emas. Makin jauh pula ia melamun, teringat akan Suling Emas kekasihnya, ayah dari Pangeran Talibu ini yang sekarang menjadi anak angkatnya. Padahal dialah sendiri yang melahirkan anak ini.

“Ah, anakku....!” Ia membalik dan merangkul Talibu sambil menangis. Pangeran Talibu sungguhpun tahu bahwa Ratu ini hanya ibu angkatnya karena ia diangkat anak ketika berusia lima tahun, namun rasa kasih sayangnya kepada ibu angkat ini amat besar.

“Ibu, perbuatan orang-orang Hsi-hsia itu memang biadab. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Paman Kam Bu Sin yang menjadi kakak angkat ibu, namun aku sudah dapat membayangkan kebaikannya dan betapa besar ibu me­nyayangnya. Memang kematiannya me­nyedihkan, Ibu. Akan tetapi hal ini kira­nya tidak cukup untuk disedihkan. Biar­lah aku bersama Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun pergi menyelidik ke Nan-cao dan mencari pembunuh Paman Bu Sin, menangkapnya dan menyeretnya ke depan kaki Ibu!”

Mau tak mau di antara air matanya Ratu Yalina tersenyum. “Ah, Puteraku, engkau belum tahu tingginya langit da­lamnya lautan! Di dunia kang-ouw banyak terdapat orang-orang sakti, Puteraku. Dalam ukuranmu, mungkin kedua orang Ciangkun kita itu sudah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, akan tetapi di dunia kang-ouw masih banyak sekali yang jauh melampaui mereka. Baru Bu Beng Lojin pengawal baru kita itu saja sudah jauh lebih lihai daripada mereka. Kau tahu Anakku, ilmu kepandaian Ketua Beng-kauw amat hebat, juga kepandaian pamanmu Bu Sin cukup tinggi terutama sekali Bibi Liu Hwee puteri Ketua Beng­-kauw. Mereka adalah orang-orang yang lihai dan sukar dicari tandingnya, namun mereka tewas di tangan pendeta Tibet kaki satu dan teman-temannya. Kalau mereka saja terbunuh, apakah yang akan dapat kaulakukan, biarpun kau dibantu oleh Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun?”

“Biarpun begitu, aku tidak takut, Ibu. Ah, betul juga! Pengawal tua itu amat lihai, biarlah dia bersamaku pergi ke Nan-cao!” Wajah Pangeran Talibu tampak penuh semangat.

Ratu Yalina menggeleng-geleng ke­palanya. “Kita belum tahu benar siapa dia, Nak. Orang-orang yang membasmi pimpinan Beng-kauw adalah orang sakti. Hanya satu-satunya orang di dunia ini yang akan mampu membalaskan kematian para pimpinan Beng-kauw dan Paman serta Bibimu.”

Pangeran Talibu membelalakkan mata­nya yang lebar dan bersinar tajam. “Si­apakah dia, Ibu?”

“....Suling Emas....”

“Ohh....!” Pangeran ini tentu saja su­dah tahu bahwa ibunya mengerahkan para panglima untuk mencari dan memanggil Suling Emas dan ia tahu pula bahwa Suling Emas adalah kakak angkat ibunya, juga kakak tiri Kam Bu Sin. “Begitu saktikah Paman Suling Emas? Mengapa sampai sekarang dia belum datang, Ibu?”

Panas rasa kedua mata Ratu Yalina dan hanya dengan kekerasan hatinya saja ia dapat menahan turunnya air mata. Mendengar Talibu menyebut Paman ke­pada Suling Emas, hatinya mengerti. “Dia Ayahmu! Dia Ayah kandungmu!” Akan tetapi mulutnya hanya berkata lirih,

“Mudah-mudahan usaha para panglima mencarinya akan berhasil dan dia suka datang ke sini, Talibu. Sekarang Ibumu hendak tidur.” Dengan gerakan lemas Ratu itu lalu menghampiri pembaringan­nya menjatuhkan diri di atas pembaring­an, memeluk guling dan membanjirlah air matanya membasahi bantal.

Sejenak Pangeran Talibu berdiri be­ngong, kemudian menarik napas panjang dan hatinya ikut sedih sekali menyaksi­kan kedukaan ibunya. “Ibu, perkenankanlah aku malam ini tidur di sini menemani Ibu.”

Dengan suara serak dan hati terharu, juga senang mendengar puteranya yang jelas memperlihatkan kasih sayang ke­padanya, ia menjawab. “Baiklah, Talibu.”

Pangeran itu lalu menghampiri sebuah dipan di sudut kamar yang luas itu, me­rebahkan diri dan berkali-kali menarik napas panjang. Ratu Yalina dalam duka­nya terisak-isak tak dapat tidur, dan Pangeran Talibu juga gelisah sukar sekali pulas. Namun menjelang tengah malam, akhirnya mereka pulas juga.

Ibu dan anak itu tidak tahu bahwa semua percakapan mereka sejak tadi didengar oleh orang yang menjadi bahan percakapan mereka. Suling Emas telah berdiri di balik jendela mendengarkan dengan hati terharu. Ia juga merasa gi­rang mendapat kenyataan betapa Pange­ran Talibu, sungguhpun hanya putera angkat Ratu Yalina, namun ternyata amat mencinta ibunya. Anak itu me­warisi watak baik ayahnya, Panglima Kayabu, pikirnya.

Setelah ibu dan anak itu tidur pulas yang dapat diketahuinya dari pernapasan mereka yang halus teratur, Suling Emas lalu membuka jendela dan melompat ke dalam kamar peraduan. Sebagai seorang pengawal kepala, tentu saja para pelayan yang tadi melihatnya di bagian pedalam­an istana tidak ada yang menaruh curiga. Bukankah kepala pengawal dalam me­mang tugasnya menjaga keselamatan keluarga ratu? Karena itulah maka Suling Emas dapat mengintai dan kini melompat ke dalam tanpa ada yang tahu atau menduga.

Kini ia berdiri di tengah kamar. Hati­nya tidak berdebar lagi. Ia merasa seolah-olah berada di dalam kamarnya sendiri. Seolah-olah sudah selayaknya ia berada di dalam kamar di mana Lin Lin tidur nyenyak. Pula, kamar ini tidaklah asing baginya. Ketika Lin Lin mula-mula men­jadi ratu dua puluh tahun yang lalu, ia berdiam di kamar ini selama sebulan. Berdiam di kamar ini bersama Lin Lin, menikmati jalinan cinta kasih mereka, seperti sepasang mempelai berbulan ma­du! Maka kini ia merasa wajar berada di sini. Hanya adanya Pangeran Talibu yang tidur di sudut kamar, di atas dipan, rebah miring menghadapi dinding, mem­buat ia merasa canggung. Betapapun pemuda itu putera angkat Yalina, namun dengan dia bukan apa-apa. Namun, keberangkatannya ke Nan-cao berhubung dengan malapetaka yang menimpa Beng-kauw tak dapat diundur lagi. Besok pagi-pagi ia harus sudah berangkat dan malam inilah saat dan kesempatan terakhir baginya untuk bertemu dan memperkenal­kan diri kepada Lin Lin.

Suling Emas lalu menanggalkan pe­nyamarannya. Mula-mula ia membuka kumis dan jenggot palsu yang menyembunyikan mukanya. Hatinya lega ketika melirik ke arah Pangeran Talibu yang masih tidur nyenyak. Setelah menanggal­kan jenggot palsu, ia lalu menanggalkan jubah panglima dan di sebelah dalamnya ia memakai pakaiannya sendiri yang se­derhana. Bahan penyamarannya itu ia lemparkan di sudut, kemudian ia melang­kah maju menghampiri pembaringan Ratu Yalina. Dari balik kelambu sutera tipis itu tampaklah tubuh yang masih langsing padat itu, berselimut sampai pinggang, tidurnya miring memeluk guling meng­hadap ke dinding.

“Lin-moi....!” Ia memanggil dengan suara gemetar dan dari luar kelambu tangannya bergerak, menggunakan angin dorongan tangannya yang amat kuat se­hingga tanpa menyentuh tubuh Ratu Yalina, ia dapat membuat tubuh itu ber­guncang keras.

Ratu Yalina, biarpun seorang ratu, adalah seorang ahli silat yang berkepan­daian tinggi. Sebagaimana lazimnya se­orang ahli silat, dalam keadaan bagai­mana pun urat syarafnya selalu siap sedia menghadapi segala macam ancam­an. Oleh karena itu, biarpun seorang ahli silat sedang tidur nyenyak, apabila ter­sentuh atau terguncang sedikit saja tentu akan bangun dan seketika sadar dan siap membela diri. Ketika Yalina terguncang oleh angin dorongan tangan Suling Emas, segera tubuhnya mencelat keluar dari pembaringan dan berdiri di depan Suling Emas. Tangannya sudah siap mengirim pukulan ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak, mulutnya setengah terbuka, napasnya serasa terhenti dan kedua kakinya meng­gigil.

“....Song-koko (Kanda Song)....?” bisiknya meragu, tak percaya akan pan­dangan matanya sendiri.

“Lin-moi, sudah lama sekali....”

“Song-ko....!” Yalina menjerit dan menubruk, kedua tangannya merangkul leher Suling Emas dan mukanya merapat di dada laki-laki itu sambil menangis terisak-isak. “Song-koko.... ah, Song-koko....!”

Suling Emas menunduk, membenamkan mukanya di dalam rambut yang halus harum itu, kedua matanya basah air mata, kedua tangannya memeluk. Sampai lama mereka berdua dalam keadaan seperti ini, tiada kata-kata keluar dari mulut mereka, namun getaran perasaan mereka mewakili seribu bahasa. Tiba-tiba Yalina merenggutkan dirinya ter­lepas, lalu melangkah mundur dua tindak, memandang dengan pipi dan mata basah. Bibirnya berbisik-bisik, matanya dikejap-kejapkan.

“Ah...., tak mungkin.... ini tentu hanya mimpi.... hanya mimpi....!” Ia tersedu dan.... “plakkk!” ditamparnya pipinya sendiri dengan maksud agar ia sadar dari mimpi. Pipinya terasa panas dan kedua lengan Suling Emas yang memeluknya terasa hidup, bukan mimpi.

“Ahhh.... Song-koko.... kau benar-benar datang....?” Jeritnya kemudian dan ta­ngisnya makin menjadi-jadi. Demikian ketat ia memeluk Suling Emas, rapat-rapat ia menempelkan muka ke dada orang yang dicintainya itu seakan-akan tak hendak melepaskan kembali.

Suling Emas amat terharu, namun sebagai seorang sakti yang sudah dapat menguasai perasaannya, ia hanya meram­kan mata dan merasa betapa dadanya basah. Air mata yang membasahi dada dan terasa dingin itu seolah-olah air embun yang menyiram akar jantungnya yang telah lama melayu dan mengering. Ia meramkan kedua mata, merasa baha­gianya dapat memeluk wanita ini. Na­mun, dalam keadaan demikian, telinganya masih dapat menangkap gerakan di se­belah belakangnya, kemudian malah ia tahu ketika tiba-tiba ada sambaran angin pukulan menghantam punggungnya dengan keras. Ia tidak bergerak, hanya menge­rahkan sinkang menjaga punggung.

“Desss....!”

“Auuuhhh....!” Pangeran Talibu me­loncat ke belakang, memegangi tangan kanannya yang terasa sakit setelah me­mukul punggung orang yang memeluk ibunya itu.

Ratu Yalina terkejut dan cepat mele­paskan diri dari pelukan. Suling Emas dengan tenang membalikkan tubuh meng­hadap Pangeran Talibu. Biarpun tangan­nya terasa sakit dan maklum bahwa orang ini amat sakti, namun pemuda ini tidak takut dan dengan kemarahan meluap ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dinding, siap untuk me­nerjang. Pedang itu berkelebat cepat dibarengi bentakannya. “Keparat berani kau....!” Sinar pedang itu meluncur dan menusuk ke arah dada Suling Emas yang sekali tidak bergerak, hanya tersenyum.

“Plakk.... traanggg....!” Pedang itu ter­pental dari tangan Talibu ketika Yalina maju dan menepuk lengannya.

“Ibu....?” Pemuda itu berseru, heran, bingung dan marah.

“Jangan, Talibu. Tenanglah, dengarlah baik-baik. Dia inilah yang bernama Suling Emas!”

Pangeran Talibu melongo. Semenjak kecil sudah didengarnya nama Suling Emas ini, nama yang dikagumi dan dipuji-puji oleh ibunya, oleh Panglima Kayabu dan semua panglima tua di Khitan. Ia tahu bahwa selain Suling Emas ini se­orang pendekar sakti juga masih kakak angkat ibunya. Kini kemarahannya lenyap, terganti rasa malu dan canggung sung­guhpun masih ada perasaan heran mengapa pamannya itu menemui ibunya pada tengah malam, di dalam kamar pula dan mereka tadi berpelukan begitu mesra!

Talibu segera menjura dengan penuh hormat dan berkata, “Paman, mohon maaf atas kekurangajaranku, karena saya tidak tahu....“

“Paman apa? Talibu, kini tiba saatnya Ibumu membuka semua rahasia. Dia ini adalah.... A... Ayahmu....!”

“Ibu!”

“Lin-moi....!”

Entah siapa lebih kaget antara Pange­ran Talibu dan Suling Emas mendengar ucapan ini, wajah Suling Emas sampai menjadi pucat sekali dan kedua kakinya menggigil, kepalanya pening. Pangeran Talibu memandang ibunya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya dan khawatir kalau-kalau saking sedihnya ibunya menjadi berubah ingatan!

Melihat keadaan dua orang yang di­cintanya itu, Ratu Yalina tersenyum di­antara air matanya, kemudian melangkah maju memegang tangan Suling Emas dan Talibu sambil berkata, “Sebagai Ratu, tak boleh rakyatku mengerahui rahasia ini, akan tetapi sebagai Ibu, kalian dua orang yang paling kucinta di dunia ini harus mengetahuinya. Marilah, Song-koko dan kau Talibu, mari kita duduk dan dengarlah ceritaku.”

Seperti dalam mimpi, Suling Emas dan Talibu menurut saja digandeng Ya­lina menuju meja di tengah ruangan itu. Ketika melihat jenggot palsu dan baju bertumpuk di sudut, Yalina tertawa. “Ah, kiranya engkau yang menyamar sebagai Bu Beng Lojin. Pantas saja aku merasa seperti mengenalmu dan begitu bertemu, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Koko, kenapa kau begini kejam meng­godaku, tidak langsung menemuiku yang sudah dua puluh tahun mengharap-harap­mu?”

Suling Emas menjatuhkan diri di atas kursi sambil menarik napas panjang. Pa­ngeran Talibu memandang wajah Suling Emas dengan bermacam perasaan menga­duk hatinya. Tentu saja pemuda ini men­jadi bingung setengah mati. Selama ini yang ia ketahui adalah bahwa dia adalah putera kandung Panglima Besar Kayabu yang pada usia lima tahun diangkat pu­tera oleh Sang Ratu. Dan kini dari Ratu Yalina sendiri ia mendengar bahwa dia adalah putera Suling Emas! Bagaimana ini?

“Lin-moi, semenjak.... pertemuan antara kita dua puluh tahun yang lalu, dengan terpaksa sekali dan dengan hati luka aku terpaksa meninggalkan Khitan, mening­galkan engkau yang sudah menjadi Ratu. Tak mungkin aku mencemarkan dan me­rusak namamu di mata rakyatmu hanya demi kesenangan hatiku sendiri. Aku rela berkorban dan selama dua puluh tahun menderita sakit batin yang amat hebat. Akan tetapi, mengapa kau sekarang me­ngatakan bahwa Pangeran ini adalah puteraku? Apa artinya semua ini?”

“Betul sekali ucapan Paman Suling Emas, Ibu. Bukankah aku putera tunggal Pangeran Kayabu yang Ibu angkat se­bagai putera?”

Ratu Yalina kembali memegang ta­ngan kedua orang itu di atas meja se­akan-akan ia mencari kekuatan dari me­reka untuk bercerita, “Anakku, kau bukan anak angkatku, engkau adalah anak kan­dungku sendiri. Akulah yang mengandung­mu dan melahirkanmu, Talibu. Dan Ayah­mu adalah dia inilah!” Ia berhenti seben­tar, merasa betapa dua pasang mata di depannya itu memandang seakan hendak menembus jantungnya dan betapa dua tangan yang dipegangnya itu gemetar.

“Bu Song Koko, ketahuilah bahwa se­peninggalmu, baru aku ketahui bahwa aku mengandung! Tentu saja aku menjadi bi­ngung sekali. Untung ada Kayabu yang setia dan berbudi mulia. Dialah yang menolongku, menjaga teguh agar rahasia­ku tidak diketahui siapa pun di sini. Bahkan ketika aku melahirkan, yang tahu hanyalah seorang bidan dan Kayabu sen­diri. Tidak hanya itu, sebelumnya Kayabu lalu memilih seorang gadis untuk dikawin, karena menurut rencananya, anak yang akan kulahirkan itu akan diaku sebagai anak isterinya. Sampai di sini ia ber­henti dan dari kedua mata Pangeran Talibu bertitik air mata, sedangkan ta­ngan pemuda itu kini menggenggam ta­ngan ibunya dengan erat. Sedu-sedan naik dari dada Yalina, dan Suling Emas men­dengarkan dengan muka pucat dan mata bersinar-sinar. Ketika dia menoleh ke­pada Talibu, pandang matanya mesra dan penuh kasih.

Setelah gelora perasaan harunya me­reda, Yalina melanjutkan, “Rencana Ka­yabu berjalan baik. Aku melahirkan, dan engkau, Talibu, begitu lahir terus secara diam-diam dibawa oleh Kayabu, dan diumumkan bahhwa isterinya melahirkan engkau. Baru setelah engkau berusia lima tahun, kuangkat menjadi puteraku. Aku ibu kandungmu, dan dia inilah Ayahmu yang sejati.”

Talibu tak dapat menahan perasaan­nya lagi. Ia bangkit berdiri dari tempat duduknya lalu memeluk ibunya. Ibu...., Ibu....!” Mereka bertangisan, kemudian pemuda itu berlutut di depan Suling Emas sambil berkata dengan suara meng­getar, “Ayah....!”

Dua titik air mata menetes di atas pipi pendekar sakti itu ketika ia meme­luk puteranya dan mengangkat bangun. “Terima kasih kepada Thian bahwa aku dikaruniai seorang putera seperti engkau, Talibu. Engkau tampan dan gagah, sung­guh aku merasa bangga sekali!”

Akan tetapi tiba-tiba Yalina mena­ngis tersedu-sedu, tangis yang amat se­dih. Suling Emas dan Talibu menjadi terkejut dan heran. Mengapa Yalina ber­duka? Padahal bukankah pertemuan an­tara ibu, anak, dan ayah ini suatu pe­ristiwa yang amat menggembirakan? Kalau Yalina menangis terharu, hal itu tidak mengherankan, akan tetapi tangis­nya amat menyedihkan.

“Lin-moi, ke mana perginya kegagah­anmu dan ketabahanmu? Bukankah hal menggirangkan sekali pertemuan diantara kita bertiga ini?”

Ibu...., kenapa Ibu begini berduka?”

Ratu Yalina mengangkat muka, me­nahan isaknya lalu berkata, “Song-ko, anakku Talibu, ada hal yang selama kau terlahir menjadi derita batin hebat bagi­ku. Ketika engkau terlahir, Talibu, lahir pula seorang Adikmu. Engkau adalah anak kembar....”

“Ibu....!” Talibu terkejut dan menang­kap tangan ibunya. Suling Emas hanya memandang seperti orang dalam mimpi.

“Adik kembarmu itu kemudian oleh Panglima Kayabu diserahkan kepada Ne­nek bidan untuk dipelihara baik-baik dan dirahasiakan dari orang lain, sementara engkau sendiri dibawa pergi Panglima, Kayabu. Akan tetapi.... ah.... pada keesok­an paginya, Nenek bidan itu kedapatan mati di dalam taman istana!”

“'Ahhh....!” Kini Suling Emas yang ber­seru.

“Dan anak itu.... Adikku itu, bagai­mana, Ibu?”

“Itulah yang menyusahkan hatiku, Adikmu itu telah lenyap tak meninggal­kan jejak sama sekali. Tentu saja aku dan Kayabu tidak berani ribut-ribut ten­tang hilangnya anak itu karena takut rahasiaku akan terbongkar. Bu Song Koko, inilah sebabnya mengapa selama ini aku berusaha keras untuk mencari dan memanggilmu ke sini. Tak kuat aku menanggung rahasia ini lebih lama lagi. Kalau aku teringat akan anak perempuan kita itu, tak dapat menahan kesedihan hatiku.... dan kini.... mendengar akan malapetaka yang menimpa Kanda Bu Sin.... ah....!” Kembali Ratu Yalina me­nangis sedih.

Dua orang laki-laki itu, ayah dan anak, saling pandang dan hanya bengong tak dapat bicara. Hati mereka tidak karuan rasanya. Pukulan hebat menghan­tam batin mereka mendengar semua ke­nyataan yang sama sekali tak pernah mereka duga.

Tiba-tiba Suling Emas menampar pahanya sendiri. “Ah! Dia.... tentu dia.... tak salah lagi....!”

Yalina mengangkat muka memandang, “Apa maksudmu, Song-ko?”

Suling Emas memegang kedua pundak Ratu Yalina, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar. “Lin-moi, aku telah ber­temu dengan anak perempuan kita! Dia seorang gadis jelita, serupa benar dengan engkau, ilmu kepandaiannya amat lihai. Julukannya Mutiara Hitam dan namanya.... kalau tak salah Kwi Lan. Dia menjadi murid Sian Eng!”

Yalina meloncat bangun, matanya terbelalak. “Ah...., betul juga! Mayat Nenek bidan itu mengalami pukulan yang hebat. Kiranya Enci Sian Eng yang membunuhnya dan membawanya pergi anakku! Akan tetapi, mengapa ia tidak menjumpai aku? Mengapa ia berbuat begitu aneh?”

“Hemm, kau tahu keadaan Sian Eng, Lin-moi....!” Mereka termenung, teringat akan keadaan Kam Sian Eng yang men­jadi gila.

“Song-ko, ceritakan keadaan gadis itu, anak kita itu kalau kau tak salah sangka. Di mana kau bertemu dengannya? Bagai­mana dia?”

“Benar, ceritakan, Ayah. Aku ingin sekali mendengar tentang Adikku....“ kata pula Pangeran Talibu dengan suara ter­sendat karena terharu. Mengingat bahwa ia mempunyai adik kembar, sesuatu yang amat mesra dan aneh bergejolak di dalam hatinya.

Maka berceritalah Suling Emas ten­tang pertemuannya beberapa kali dengan Kwi Lan. Ketika ia menceritakan sikap Kwi Lan yang marah-marah, yang me­negurnya mengapa meninggalkan Ratu Khitan, kemudian betapa Kwi Lan yang marah-marah itu menyatakan sebagai anak Ratu Khitan.

Mendengar penuturan ini, Ratu Yalina kembali menangis saking terharu dan girang hatinya karena mendapat kenyata­an bahwa anaknya yang lenyap sejak baru lahir itu ternyata masih hidup dan menjadi murid encinya.

“Dia cantik dan gagah, ilmu silatnya ganas dan dahsyat lagi aneh, tentu saja karena dia murid Sian Eng yang mewarisi semua kitab mendiang Ibuku dan mempelajarinya secara ngawur dalam keadaan sakit ingatan. Kwi Lan amat galak dan jujur, berani tak mengenal takut, persis seperti.... seperti Ibunya!” Suling Emas teringat akan ini tertawa dan Yalina dalam tangisnya juga ikut tertawa.

Melihat betapa ayah dan ibunya saling berpandangan mesra, mengingat pula bahwa selama dua puluh tahun mereka tak saling jumpa, Pangeran Talibu yang sudah menjelang dewasa dan yang hati­nya masih terguncang menghadapi ke­nyatan luar biasa tentang dirinya, lalu berkata,

“Harap Ayah dan Ibu maafkan aku...., aku.... aku masih bingung dan pusing akan kenyataan yang hebat dan membahagia­kan hati ini.... aku ingin mengaso.” Tanpa menanti jawaban pemuda ini segera lari keluar dari kamar ibunya sambil menutup­kan daun pintu. Pemuda ini sesungguhnya tidak pergi ke kamarnya, melainkan men­jaga di ruangan luar untuk melarang siapa saja, juga pelayan-pelayan ibunya, andaikata malam itu ada yang memasuki kamar ibunya!

Sampai lama Suling Emas dan Yalina saling pandang, kemudian seperti ditarik oleh besi semberani, keduanya saling peluk. Semua kerinduan hati, semua rasa cinta kasih yang selama ini ditahan-tahan dan dipendam, kini tercurahkan. Sampai pagi mereka tidak tidur, berbisik-bisik mesra dan menceritakan pengalaman masing-masing.

Akhirnya, ketika malam terlewat menjelang pagi, Suling Emas berkemas dan berkata, “Sekarang juga aku akan berangkat, Lin-moi. Betapapun juga, malapetaka yang menimpa Beng-kauw tak mungkin kudiamkan begitu saja.”

“Engkau benar, Koko. Akan tetapi.... betapa aku akan kehilangan dan kesepian lagi.... ah, betapa inginku selamanya ting­gal di sampingmu tak pernah berpisah lagi. Agaknya aku rela meninggalkan kedudukanku sebagai Ratu....”

“Lin-moi, tidak mungkin begitu, belum tiba waktunya. Engkau harus ingat akan nasib bangsamu dan kulihat putera kita Talibu amat cakap menjadi calon raja. Apabila ia sudah cukup masak dan kau angkat menjadi penggantimu memimpin bangsanya, barulah tepat rasanya kalau engkau ingin menghabiskan masa hidup di sampingku. Aku pun sudah bosan meng­hadapi segala macam urusan dunia ramai dan setelah putera kita menjadi raja, marilah ikut bersamaku ke puncak gu­nung berdua dan menghabiskan sisa hidup di sana. Akan tetapi sekarang kita ber­dua masih menghadapi tugas berat. Engkau menuntun Talibu memimpin rakyat­mu, dan aku akan pergi ke Nan-cao se­kalian mencari puteri kita, Kwi Lan atau Mutiara Hitam.”

Mendengar kalimat terakhir ini, ber­serilah wajah Ratu Yalina. “Mutiara Hi­tam.... alangkah seremnya julukan Anak­ku...., Song-ko, jahatkah dia?”

“Kurasa tidak jahat, hanya aneh se­perti Gurunya.”

Tak lama kemudian berangkatlah Su­ling Emas, berangkat dengan diam-diam meninggalkan istana Khitan, diantar oleh peluk cium penuh kasih sayang Ratu Yalina dan pandang mata berlinang air mata sampai bayangannya lenyap di balik kesuraman fajar. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, mudah saja bagi Suling Emas untuk pergi tanpa diketahui se­orang pun penjaga.

Pada keesokan harinya, Panglima Talibu memberi tahu para panglima bah­wa kepala pengawal Bu Beng Lojin se­malam berpamit dan pergi. Karena se­mua panglima mengenal Bu Beng Lojin sebagai seorang yang aneh, mereka tidak menjadi heran, hanya kagum karena kepergian kakek itu seperti iblis saja, tak terlihat oleh seorang pun penjaga. Di antara para panglima tentu saja hanya Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun yang tahu bahwa kakek aneh itu sebetul­nya adalah Suling Emas, kakak angkat Sang Ratu.

***

Ruangan itu lebar dan indah. Dinding­nya terhias lukisan-lukisan yang amat indah dan kuno. Mereka duduk meng­hadapi sebuah meja bundar yang lebar masing-masing duduk di atas sebuah bangku berukir naga. Kiang Liong tampak tenang, sungguhpun diam-diam ia mencari akal untuk dapat meloloskan diri. Kalau ia tidak ingat akan Kam Han Ki, tadi setelah Siang Kui dan Siang Hui dibebaskan, tentu ia sudah memberontak dan lari pula. Akan tetapi dia sudah meng­ambil keputusan untuk menolong Kam Han Ki.

Di sebelah depannya, terhalang meja itu, duduk Bouw Lek Couwsu dan Siang­-mou Sin-ni. Bouw Lek Couwsu juga nam­pak tenang namun sepasang matanya bersinar gembira, mulutnya tersenyum-senyum. Wajahnya yang masih tampan membayangkan kecerdikan. Adapun Siang-mou Sin-ni yang duduk di sampingnya, memandang Kiang Liong dengan bibir tersenyum dan matanya kadang-kadang memandang kagum akan ketampanan dan kemudaan pemuda itu akan tetapi juga kadang-kadang dengan penuh kebencian kalau ia teringat bahwa pemuda ini ada­lah murid Suling Emas musuh bebuyutan yang dibencinya.

“Kiang-kongcu, kami telah mendengar bahwa kau adalah putera pangeran, ber­arti engkau adalah seorang pemuda bang­sawan tinggi. Juga engkau adalah murid Suling Emas, berarti kepandaianmu juga amat lihai. Karena kedua kenyataan itu­lah maka pinceng tidak mau bermusuhan denganmu dan rela membebaskan dua orang gadis tawanan, Kiang-kongcu, se­bagai seorang pemuda bangsawan, apakah engkau tidak bercita-cita untuk memiliki kedudukan yang paling tinggi?”

Kiang Liong memandang tajam penuh selidik. “Apa maksudmu?” tanyanya te­nang.

“Heh-heh-heh, Kiang-kongcu yang cer­dik pandai masa belum dapat menduga maksud pinceng? Kerajaan Sung adalah amat buruk pemerintahannya dan amat lemah, hal ini sudah jelas dan Kongcu tentu mengetahuinya. Terhadap kekuasaan Khitan dan Nan-cao yang kecil saja tidak mampu melawan.”

“Bukan tidak mampu melawan, me­lainkan karena kedua kerajaan itu adalah kerajaan sahabat,” Kiang Liong memban­tah sungguhpun diam-diam di hatinya ia membenarkan omongan pendeta itu.

“Ha-ha-ha! Mana bisa bersahabat de­ngan orang-orang Khitan dan dengan Nan-cao yang kecil dan mengganggu? Kerajaan Sung seringkali dipaksa mem­bayar upeti kepada Kerajaan Khitan, hal itu jelas menandakan bahwa Sung hanya dapat menghadapi lawan dengan sogokan.

Dan untuk memperoleh harta benda so­gokan itu tentu saja caranya memeras rakyatnya. Kiang-kongcu, hal itu sudah pinceng ketahui jelas berdasarkan penye­lidikan bertahun-tahun, tak perlu Kongcu menyangkal pula.”

“Andaikata benar pendapatmu bahwa Kerajaan Sung lemah, habis apakah yang kauhendaki?” Pertanyaan Kiang Liong masih tenang, padahal di dalam hatinya ia berdebar keras. Inilah merupakan inti daripada tugasnya diutus Kaisar, menye­lidiki keadaan tentara Hsi-hsia dan se­karang ia bahkan berhadapan muka de­ngan pemimpin Hsi-hsia, bicara tentang politik Hsi-hsia terhadap Sung!

“Pinceng harap Kiang-kongcu bijak­sana dan dapat memilih mana yang me­nguntungkan bagimu. Pinceng menawar­kan kerja sama denganmu, kita gempur bersama Kerajaan Sung! Pinceng bergerak dari luar dan engkau bergerak dari da­lam!”

Kiang Liong mengangguk-angguk. Dari ucapan ini saja ia tahu bahwa Bouw Lek Couwsu belum mengadakan hubungan dengan pengkhianat-pengkhianat di da­lam kerajaan dan hatinya menjadi lega. Hal ini merupakan salah satu hal yang ia selidiki. Dengan suara tenang ia ber­tanya,

“Dan balas jasaku....?”

“Ha-ha-ha-ha! Engkau benar-benar se­orang yang cerdik, Kiang-kongcu! Benar, urusan besar ini harus dirundingkan masak-masak. Bagaimana kalau engkau menjadi Raja Kerajaan Sung, Kiang-kongcu?”

Sikap Kiang Liong masih tenang, na­mun jantungnya seperti meloncat ke atas saking kagetnya mendengar janji yang amat muluk ini. Sampai beberapa lama ia tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Bouw Lek Couwsu dengan mata terbelalak. Melihat sikap pemuda ini, Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, apakah balas jasa itu ku­rang besar, Kongcu?”

Kiang Liong dapat menentramkan hatinya lagi dan ia tersenyum lebar.

“Cukup hebat dan muluk, Couwsu. Se­orang muda dan bodoh seperti aku, mana bisa menjadi Raja? Harap kau jangan main-main.”

“Mengapa tidak? Raja Sung yang se­karang ini bisa apakah? Engkau jauh lebih pandai lebih gagah dan lebih cakap menjadi Raja. Pinceng tidak main-main, Kiang-kongcu. Kalau kau suka membantu dari dalam dan gerakan kita berhasil me­nundukkan Kerajaan Sung, engkaulah yang akan menjadi pengganti Raja Sung. Bagai­mana?”

Kiang Liong mengangguk-angguk. “Hemm, memang muluk dan enak sekali kalau hanya dibicarakan begini saja. Akan tetapi, apakah engkau tahu sampai di mana hebatnya kekuatan Kerajaan Sung, Bouw Lek Couwsu? Apakah yang kau andalkan untuk dapat menaklukkan Sung?” Dengan cerdik sekali, berkedok kesangsi­annya akan hasil persekutuan itu, ia ingin mengetahui rahasia kekuatan barisan Hsi-hsia!

Kembali pendeta itu tertawa bergelak dan mengangkat cawan araknya. “Mari kita minum dulu dan bersiaplah untuk bergembira mendengar keteranganku yang membesarkan hati, Kongcu!”

Kiang-kongcu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum mengangkat cawan dan minum araknya. Bahkan Siang-mou Sin-ni agaknya gembira juga melihat pemuda itu suka menjadi sekutu mereka. Kalau pemuda ini menjadi sekutu, tentu saja ia tidak menganggapnya sebagai musuh dan memang sejak tadi ia me­mandang kagum, membayangkan betapa akan senang hatinya kalau ia dapat “bersahabat” dengan pemuda tampan dan gagah ini. Selama ini, ia hanya dapat bermesra dengan pemuda-pemuda lemah seperti kucing kalau dibanding dengan pemuda ini yang seperti singa!

“Kiang-kongcu, jangan kaukira bahwa pinceng tidak tahu akan keadaan dan kekuatan Kerajaan Sung. Sudah bertahun-tahun pinceng melakukan penyelidikan. Raja Sung yang gila kesenangan dan ke­senian itu hanya mengerahkan sebagian besar tentaranya di perbatasan utara, menjaga penyerbuan bangsa-bangsa di utara yang sejak dahulu mengancam Sung. Sebagian pula untuk menjaga perbatasan di selatan, sedangkan sebagian kecil ter­sebar di pantai timur menjaga kerusuhan yang ditimbulkan bajak laut. Akan tetapi bagian barat hanya dijaga oleh pasukan-pasukan kecil karena daerah pegunungan yang sambung-menyambung sukar diada­kan penjagaan kecuali dengan pasukan besar. Pula Raja Sung tidak menganggap akan datang ancaman dari barat. Inilah keuntungan kita, Kongcu. Jika pinceng menyerbu dari barat, dibagi menjadi tiga empat barisan besar menyerbu, tentu dengan mudah akan dapat kami hancur­kan penjagaan di perbatasan itu dan kami akan terus menyerbu Kerajaan Sung dari tiga jurusan, terbesar dari barat, yang lainnya dari utara dan selat­an kami kepung kota raja. Sementara itu, engkau bergerak dari dalam dengan pasukan yang dapat kaukumpulkan. De­ngan begini, apa susahnya menjatuhkan Kaisar boneka itu? Ha-ha!”

Diam-diam Kiang Liong terkejut se­kali. Hebat rencana pimpinan Hsi-hsia ini. Ia sudah mendapat keterangan dari para penyelidik bahwa barisan Hsi-hsia tidak kurang dari seratus ribu orang banyaknya. Dan memang tepat apa yang dikatakan Bouw Lek Couwsu. Keadaan penjagaan Kerajaan Sung memang seperti yang diutarakannya tadi. Kalau siasat itu dipergunakan oleh pimpinan Hsi-hsia ini, agaknya akan besar bahaya kehancuran mengancam Kerajaan Sung! Dan ia harus mencegahnya. Satu-satunya jalan untuk mencegahnya, ia harus dapat mening­galkan tempat ini, kembali ke kerajaan dan melaporkannya kepada Kaisar agar dapat diatur siasat untuk menghadapi bala tentara Hsi-hsia. ia harus berlaku cerdik dan tiada cara lain kecuali mene­rima usul persekutuan Bouw Lek Couwsu!

“Hebat! Rencana yang kauatur itu benar-benar mengagumkan, Couwsu. Ka­lau siasat itu dijalankan, apalagi ada bantuan yang kuat dari dalam, akan mu­dahlah merebut singgasana!” Ia sengaja memasang muka berseri-seri dan sepa­sang matanya berkilat penuh harapan.

“Akan tetapi.... bagianku dalam rencana ini amat berbahaya! Kalau ketahuan ren­canaku, tentu akan ditangkap sebagai pengkhianat dan dihukum mati! Akan sepadankah balas jasa untukku? Apakah engkau kelak tidak akan melanggar jan­jimu tadi?”

Bouw Lek Couwsu menenggak araknya lalu tertawa. “Ha-ha-ha pinceng Bouw Lek Couwsu adalah pemimpin besar bangsa Hsi-hsia, juga ketua para pendeta jubah merah. Tak nanti akan menarik kembali janji. Kalau berhasil usaha kita, pasti engkau yang akan menduduki sing­gasana Kerajaan Sung! Pinceng tidak ingin menjadi raja di Kerajaan Sung. Cukup bagi pinceng asal Kongcu pun mengenal budi membagi keuntungan dan menghadiahkan setengah wilayah keraja­an bagian barat kepada bangsa Hsi-hsia, bukankah ini adil?”

Bukan main gemasnya hati Kiang Liong kepada pendeta yang licik ini, akan tetapi wajahnya tidak berubah, tetap gembira penuh harapan. “Aku me­nerima usulmu, Bouw Lek Couwsu, dan aku akan berusaha menghubungi para panglima pasukan yang merasa tidak puas dengan Kaisar. Percayalah, banyak di antara para panglima adalah sahabat baik Ayahku, Pangeran Kiang.”

“Ha-ha-ha, mari kita minum arak untuk persekutuan kita ini!”

Mereka bertiga kembali minum arak dan pada saat itu, seorang pelayan wani­ta datang berlari-lari dan berlutut di depan Siang-mou Sin-ni sambil berkata gugup.

“Mohon maaf kalau hamba menggang­gu. Akan tetapi hamba melaporkan bah­wa bocah yang ditawan itu tahu-tahu sudah berada di dalam kamar Paduka dalam keadaan pingsan, sedangkan penja­ganya kedapatan tewas di kamar ta­hanan.”

Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking panjang dan pelayan yang melapor itu sudah mencelat beberapa meter dan roboh pingsan karena diten­dang, sedang tubuh Siang-mou Sin-ni sendiri sudah mencelat seperti terbang meninggalkan ruangan itu menuju ke kamarnya! Seorang pelayan pria lalu mengangkat pelayan wanita yang pingsan itu, membawanya ke ruangan belakang.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kiang Liong mendengar laporan tadi. Tak salah lagi, pikirnya, bocah yang dimak­sudkan itu tentulah Han Ki. Pantas ia tidak berhasil menemukan anak itu, kira­nya pingsan di kamar Siang-mou Sin-ni!

“Bouw Lek Couwsu.” katanya menahan getaran hati dan suaranya tetap tenang, “Setelah kita menjadi sekutu dan orang sendiri, apakah engkau tidak mau me­mandang mukaku membebaskan Kam Han Ki itu? Betapapun juga, Kam Bu Sin adalah Paman guruku sehingga amat tidak enak bagiku kalau anak itu tidak kubawa pulang. Tentu akan mencurigakan orang dan menduga bahwa aku berbaik denganmu.”

Bouw Lek Couwsu mengangguk-angguk dan bangkit berdiri. “Masuk akal pula omonganmu ini. Akan tetapi karena anak itu merupakan tawanan Sin-ni, sebaiknya aku membujuknya. Harap Kongcu menunggu di sini.” Setelah berkata demi­kian, Bouw Lek Couwsu lalu meninggal­kannya, masuk menyusul Siang-mou Sin-ni dengan langkah lebar.

Kiang Liong terhenyak di atas bangkunya seperti patung. Ketika ia me­lirik, ternyata bangunan itu terkurung ratusan orang Hsi-hsia yang agaknya diam-diam telah menerima perintah un­tuk menjaga dan mencegah dia melari­kan diri! Ia menghela napas dengan pe­rasaan tegang. Berhasilkan bujukan Bouw Lek Couwsu? Kalau berhasil dan dia boleh membawa Han Ki, alangkah untungnya! Tentang persekutuan dan janji­nya kepada Bouw Lek Couwsu, janji itu hanya ia adakan bukan sekali-kali untuk semata-mata menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk menye­lamatkan Kerajaan Sung. Karena andaika­ta ia berkeras menolak sampai tewas di situ, bukankah rencana Bouw Lek Couwsu tadi akan dijalankan tanpa sepengetahuan Kerajaan Sung sehingga terjadi malapetaka hebat?

Tiba-tiba ia menyeringai dan menahan napas. Rasa yang amat nyeri menusuk perutnya, rasa nyeri yang hampir tak tertahankan. Ia mengumpulkan hawa mur­ni di tubuhnya, mengerahkan sin-kangnya diarahkan ke perut sambil menarik napas panjang. Rasa nyeri lenyap seketika, namun hatinya menjadi gelisah. Tahulah ia bahwa ia telah terluka oleh pukulan Siang-mou Sin-ni tadi, luka yang aneh karena entah di bagian mana. Rasanya di perut, akan tetapi begitu dilawan sin-kang rasa nyeri itu hilang. Ia tidak tahu bahwa pukulan tadi adalah pukulan yang meracuni darahnya dan tentu saja yang pertama-tama terasa adalah bagian yang tadi terpukul.

Tak lama kemudian dari ruangan da­lam muncul keluar Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Jantung Kiang Liong serasa berhenti berdetik ketika melihat Siang-mo Sin-ni mendukung se­orang anak laki-laki. Ia tidak mengenal Han Ki karena ketika ia mengunjungi pamannya dahulu Han Ki masih seorang bayi. Akan tetapi ia dapat menduga bahwa anak berusia sebelas tahun itu tentulah Han Ki. Anak itu sudah sadar akan tetapi melihat keadaannya yang tak dapat bergerak dan lemas, Kiang Liong maklum anak itu tentu tertotok. Menu­rutkan kata hatinya, ingin ia meloncat dan merampas bocah itu untuk kemudian dibawa lari. Akan tetapi, pikirannya yang cerdik melarang ia melakukan hal itu. Kalau ia lakukan berarti ia mencari mati dan Han Ki juga takkan tertolong. Yang lebih hebat lagi, Kerajaan Sung akan ter­ancam bencana hebat! Biarpun hatinya seperti ditusuk ia tetap bersikap tenang dan ketika mereka berdua sudah datang dekat, ia bertanya.

“Bagaimanakah, Couwsu dan Sin-ni, apakah persekutuan kita cukup berharga untuk Ji-wi (Kalian) mengampuni anak itu dan memberikannya kepadaku?”

Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu memben­tak keras, “Kiang Liong! Apakah hatimu palsu dan kau tidak menghargai perjan­jian kita?” Sikap kakek ini jelas mencu­rigai dan menentang. Kiang Liong terke­jut. Ia harus berhati-hati. Kakek gundul ini amat cerdik.

“Eh, apa alasannya engkau menyangka seperti itu, Couwsu?”

“Kalau engkau memang jujur, menga­pa kau ingin benar menolong anak ini? Sepatutnya sebagai tanda persahabatan engkau merelakan anak ini kepada Sin­-ni. Urusan kita amatlah besar. Urusan anak ini tidak ada artinya. Apa artinya nyawa seorang bocah seperti ini? Nah, jawablah bagaimana pikiranmu? Kalau kau mementingkan anak ini, berarti kau tidak sungguh-sungguh hendak bersekutu dengan kami!”

Kiang Liong terkejut dalam hatinya. Tak disangkanya kakek gundul ini se­demikian cerdik. Ia memutar otak men­cari siasat, namun tidak melihat jalan lain kecuali berpura-pura tidak mengerti dan mengalah.

“Aku hanya ingin menolong karena dia putera Paman guruku, akan tetapi sama sekali bukan berarti aku melupakan per­sekutuan kita. Habis, bagaimanakah kehendakmu dengan anak ini, Couwsu? Beritahulah dan aku tentu saja akan menerima usulmu asalkan demi kebaikan kita bersama, terutama sekali tentu saja, demi berhasilnya usaha besar kita.” Sengaja Kiang Liong menekankan usaha besar karena ia maklum bahwa kepala gundul ini amat membutuhkan bantuannya untuk menghimpun tenaga yang akan bergerak dari dalam kota raja.

“Hi-hi-hik, alasanmu dibuat-buat, Kiang-kongcu. Kalau memang benar kau begitu mementingkan persekutuan di antara kita mengapa kau hendak meram­pas anak ini dari tanganku? Susah payah anak ini kupelihara, kubebaskan dari ke­matiannya di rumahnya, kemudian kubikin gemuk sehat untuk keperluanku yang amat penting, menyempurnakan ilmu yang sedang kulatih. Kalau aku berkeras tidak mau menyerahkan anak ini kepa­damu, kau mau apa, Kiang-kongcu? Apa­kah kau akan membatalkan persekutuan kita hanya karena anak ini?”

Dapat dibayangkan betapa bingung dan gelisah rasa hati Kiang Liong. Ia menghadapi jalan buntu. Membatalkan persekutuan berarti kematian baginya dan membahayakan Kerajaan Sung, kalau tidak mana mungkin ia membiarkan anak itu dijadikan korban secara mengerikan? Dari Po Leng In ia sudah mendengar betapa iblis betina ini hendak melakukan I-kin-hoan-jwe, untuk kesempurnaan ilmu­nya Hun-beng Toh-wat, dan untuk keper­luan inilah Han Ki ditawan. Ia sendiri belum tahu secara jelas bagaimana orang melakukan I-kin-hoan-jwe mengambil sumsum dan darah putih dalam urat, akan tetapi dapat membayangkan bahwa hal itu tentu mengerikan dan kejam se­kali.

“Jadi engkau akan membunuhnya. Siang-mou Sin-ni?”

Melihat keraguan pemuda itu Bouw Lek Couwsu lalu memandang tajam. Pen­deta ini adalah seorang yang cerdik. Ka­lau tidak, tentu saja ia tidak menjadi pemimpin bangsa Hsi-hsia. Ia melihat betapa Siang-mou Sin-ni dan pemuda itu saling berhadapan saling siap untuk ber­tanding. Hal ini tidak ia inginkan karena ia benar-benar mengharapkan bantuan pemuda ini yang telah terpikat karena dijanjikan kedudukan raja. Maka cepat-cepat ia melangkah maju dan berkata.

“Antara orang sendiri tak perlu ribut-ribut, kalau memang kita semua berik­tikad baik.” ia memandang Siang-mou Sin-ni penuh arti kemudian melanjutkan. “Kiang-kongcu, pinceng telah bicara pan­jang lebar dengan Sin-ni. Memang Sin-ni membutuhkan anak ini untuk menyempurnakan ilmunya, akan tetapi pinceng yang menanggung bahwa anak ini tidak akan dibunuhnya. Biarlah kita sama lihat. Kalau kelak engkau dapat memegang janjimu dan mengerahkan tenaga bantuan dari dalam kota raja, pinceng berjanji akan menyerahkan anak ini dalam keada­an hidup kepadamu!”

Diam-diam Kiang Liong menyumpahi pendeta yang amat licik ini di dalam hatinya. Ia mengerti bahwa Han Ki di­jadikan “barang tanggungan” untuk meng­uji kesetiaannya dalam persekutuan itu. Tidak ada pilihan lain. Kalau kelak pasu­kan Hsi-hsia menyerbu, Kerajaan Sung akan mengatur penjebakan yang meng­hancurkan barisan musuh dan dia sendiri akan mengumpulkan tenaga, bahkan guru­nya sendiri tentu akan membantunya untuk menangkap Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak terlam­bat akan menolong Han Ki. Akan tetapi awaslah kalian, kutuknya dalam hati, kalau anak ini kalian bunuh, jangan harap kalian dapat terlepas dari hukumanku!”

Ia mengangkat kedua bahunya dan duduk kembali. “Apa boleh buat, kalau kau tidak percaya penuh kepadaku, boleh saja anak ini kautahan, Bouw Lek Couwsu. Betapapun juga, urusan besar itu tentu saja jauh lebih penting.”

“Bagus! Mari kita minum arak untuk saling pengertian yang baik ini!” Kembali mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya.

Siang-mou Sin-ni tersenyum, lalu cekikikan. “Hi-hi-hik! Siapa tahu hati manusia? Memang aku tidak akan mem­bunuh anak ini, akan tetapi aku harus mengambil sedikit darahnya, sedikit-se­dikit tiap hari dan kuganti dengan obat agar darahnya pulih. Sekarang pun akan kubuktikan caranya agar hati Kiang-kongcu tidak ragu-ragu lagi!”

Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni meletakkan tubuh Han Ki di atas meja bundar yang besar itu. Anak itu telentang di atas meja, matanya yang lebar memandang Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu penuh kebencian. Ke­tika melirik ke arah Kiang Liong, dia hanya memandang sekilas karena tidak mengenal siapa pemuda itu yang agaknya tidak sepenuh hati hendak menolongnya.

Kiang Liong kagum bukan main dan hatinya diliputi keharuan. Bocah itu amat tampan, dan sedikit pun tidak tampak sinar takut dalam sepasang matanya yang bening, dan lebar. Biarpun ia tidak dapat bergerak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata, namun jelas pandang matanya menyinarkan kebencian dan sakit hati terhadap Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang telah membasmi keluarganya. Anak yang luar biasa dan mengagumkan, pikirnya.

Sementara itu, Siang-mou Sin-ni sudah mengeluarkan sebatang jarum emas yang panjangnya kurang lebih dua dim dan di sepanjang batang jarum itu berlubang. Dengan jarum di tangan kanan sambil tersenyum dan mengerling ke arah Kiang Liong, ia menghampiri bocah yang telentang di atas meja itu.

Terjadi perang di dalam hati Kiang Liong. Kalau mengingat akan tugasnya sebagai penyelidik, teringat akan kewa­jiban sebagai seorang yang setia dan mencinta pemerintahannya, ia harus membiarkan Siang-mou Sin-ni melanjut­kan apa yang hendak dilakukan kepada Han Ki. Akan tetapi kalau menurutkan perasaan dan wataknya sebagai seorang pendekar gagah, tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia dapat menduga kini apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni. Jarum emas itu akan ditusukkan di bagian tubuh yang tidak membahayakan nyawa anak itu, sampai mengenai dan menembus tulang, kemudian dari lubang jarum akan disedot sumsum dari dalam tulang anak itu!

Bouw Lek Couwsu menyeringai lebar dan Siang-mou Sin-ni tersenyum manis.­ Matanya berkilat-kilat penuh nafsu, keti­ka tersenyum bibirnya tampak merah seperti berlepotan darah dalam pandang­an Kiang Liong, gigi yang berderet rapi dan putih itu seakan-akan bercaling.

“Hanya sedikit darah dan sumsum untukku, tidak akan mematikan anak ini!” katanya sambil membalikkan tubuh anak itu menelungkup di atas meja. Sekali tangan kirinya bergerak, ia sudah merobek baju atas dan tampaklah punggung Han Ki yang putih dan sehat.

Kini wajah Siang-mou Sin-ni tampak buas oleh nafsu yang menggelora. Tangan­nya agak menggigil dan setelah jari-jari tangan kirinya meraba-raba punggung atas bawah tengkuk, tangan kanannya yang memegang jarum emas bergerak perlahan menemplekan ujung jarum ke kulit punggung anak itu, siap untuk me­nusuk!

Meledaklah rasa penasaran dan kema­rahan di hati Kiang Liong. Tanpa dapat terkendalikan lagi, tubuhnya berkelebat ke depan dan mulutnya membentak, “Iblis betina, lepaskan dia!” Hebat bukan main gerakan Kiang Liong ini karena saking marahnya ia langsung menerjang Siang-mou Sin-ni dengan Ilmu Silat Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Pengacau Lautan) yang sifatnya paling dahsyat di antara ilmu silat yang ia pelajari dari Suling Emas. Karena terjangannya ini tidak tersangka-sangka, biarpun Siang-mou Sin-ni amat lihai na­mun sebagian besar perhatiannya tertuju kepada Han Ki dan nafsunya sedang me­lonjak-lonjak, maka ia kurang cepat menghindar. Memang benar ia dapat meloncat ke samping, namun hawa pu­kulan Kiang Liong tetap saja mengenai bahu kanannya sehingga bahu kanan itu terasa lumpuh dan jarum emasnya ter­lempar!

“Keparat!” Siang-mou Sin-ni mengum­pat, rambutnya kini sudah bergerak me­nyambar ke pinggang Kiang Liong. Na­mun pemuda itu dengan sigapnya meng­hindar dan dengan cepat tangan kirinya meraih ke arah meja hendak menyambar tubuh Han Ki.

“Perlahan dulu, orang muda!” Suara ini keluar dari mulut Bouw Lek Couwsu dan sinar yang amat kuat menangkis ke arah lengan tangan Kiang Liong yang meraih tubuh Han Ki. Untung Kiang Liong maklum akan bahaya dan cepat menarik kembali lengannya. Kalau tidak tentu lengannya akan patah bertemu dengan tongkat yang berat dan digerak­kan tenaga hebat pula.

Dari arah kanan menyambar hawa pukulan yang dingin. Kiang Liong cepat miringkan tubuh dan menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan te­naga sin-kang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit sekali sehingga be­gitu lengannya terbentur lengan Siang­-mou Sin-ni yang memukul dari kanan, ia terpental ke belakang. Kiang Liong ter­huyung-huyung dan sambaran tongkat Bouw Lek Couwsu tak dapat ia elakkan dan jalan satu-satunya hanya menangkis dengan telapak tangan.

“Plakk!!” Tongkat terpental akan te­tapi Kiang Liong merasa betapa kenye­rian dari perutnya naik ke dada, terus ke tenggorokannya dan ia menyemburkan darah dari mulutnya. Tahulah ia bahwa ia terluka hebat, maka tanpa pedulikan apa-apa lagi ia lalu duduk bersila di atas lantai, mengatur pernapasan dan menge­rahkan hawa murni melawan luka dan racun yang mengamuk di perut.

Siang-mou Sin-ni terkekeh dan sudah menggerakkan tangan untuk memberi pukulan terakhir. Tangannya penuh deng­an hawa beracun dari Ilmu Tok-hiat-hoat-lek dan sekali mengenai kepala Kiang Liong yang dijadikan sasaran, tak dapat dihindarkan lagi pemuda itu tentu akan menggeletak tak bernyawa lagi. Ketika tangan Siang-mou Sin-ni menyam­bar, Kiang Liong sedang siulian (sama­dhi) untuk mengerahkan hawa murni di tubuhnya.

“Plakk!” Tangan yang halus namun keji dari Siang-mou Sin-ni bertemu de­ngan ujung tongkat Bouw Lek Couwsu. Wanita itu membelalakkan matanya dan memandang marah. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu berkedip kepadanya, kemudi­an mendekatinya dan berbisik-bisik di dekat telinga Siang-mou Sin-ni.

“Ia terluka oleh pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek yang tadi.” bisiknya. “Berapa lamakah ia akan dapat bertahan untuh hidup?”

Siang-mou Sin-ni yang belum dapat menangkap maksud pendeta itu menjawab ragu.

“Dia lihai dan kuat, tentu dapat ber­tahan sampai tiga bulan. Namun darah­nya sudah keracunan dan ia tidak dapat tertolong lagi.”

“Bagus.” bisik pendeta itu. “Kita tak perlu membunuhnya. Kita lanjutkan ren­cana, biarkan dia kembali dan menyusun kekuatan di kota raja membantu kita dengan janji kalau dia tidak melanggar janji, selain anak ini kelak kita kembali­kan, juga kaujanjikan obat penawar pu­kulanmu Tok-hiat-hoat-lek! Dengan tanggungan nyawa anak ini dan nyawanya sendiri, agaknya tidak ada jalan lain baginya untuk mengkhianati kita.”

Siang-mou Sin-ni tersenyum dan meng­angguk-angguk. “Tok-hiat-hoat-lek ilmuku itu akibatnya luar biasa. Di dunia ini tidak akan ada yang dapat mengobatinya kecuali aku sendiri. Ilmu yang baru ini belum dikenal orang, biar Suling Emas sendiri tak mungkin dapat menyembuhkan muridnya, hi-hik!” Ia lalu mengambil jarum emas yang tadi terlempar di atas lantai, kemudian menghampiri Han Ki yang masih tertelungkup di atas meja.

Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk di luar, suara so­rak-sorai gemuruh disusul suara jerit-jerit mengerikan, suara senjata-senjata berte­mu dan banyak sekali orang bertempur. Pintu kamar itu terpentang lebar dari sebelah luar dan dua orang Hsi-hsia ber­teriak, “Barisan Beng-kauw menyerbu....!” Mendadak mereka roboh terjungkal dan di punggung mereka menancap dua buah hui-to (golok terbang)!

“Tar-tar-tar....!” Suara meledak-ledak ini adalah suara lecutan cambuk yang berada di tangan seorang kakek bertopi lebar. Ke mana pun cambuknya menyam­bar, di situ tentu ada beberapa orang musuh terjungkal tewas. Di sampingnya tampak seorang laki-laki gagah berusia lima puluh lima tahun yang mengamuk pula dengan sebatang pedang berhawa dingin dan bersinar kuning terang. Masih ada lagi seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang bermata tajam yang mengamuk dengan tangan kosong, akan tetapi setiap pukulan atau tendangan kakinya tentu merobohkan seorang lawan. Di samping tiga orang kakek luar biasa ini tampak Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang gadis yang telah dibebaskan, mengamuk pula dengan pe­dang mereka. Selain mereka, ratusan orang anggauta Beng-kauw sedang menyerbu dan melakukan penyembelihan terhadap orang-orang Hsi-hsia dengan hati penuh kemarahan karena penyerbuan ini adalah pembalasan dendam mereka terhadap para pendeta jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia.

Kakek bertopi lebar bersenjata cam­buk yang luar biasa lihainya itu bukan lain adalah Kauw Bian Cinjin. Usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan dia­lah satu-satunya tokoh Beng-kauw yang lolos dari kematian. Kauw Bian Cinjin adalah sute (adik seperguruan) Ketua Beng-kauw yang tewas, akan tetapi da­lam hal kepandaian, kakek ini melebihi suhengnya. Sudah bertahun-tahun ia mengundurkan diri dari Beng-kauw dan bertapa di puncak Ta-liang-san.

Pada beberapa hari yang lalu, selagi Kauw Bian Cinjin bercakap-cakap dengan dua orang kakek yang menjadi tamunya, datang seorang anggauta Beng-kauw yang sambil menangis melaporkan tentang malapetaka yang menimpa Beng-kauw. Tentu saja Kauw Bian Cinjin menjadi marah sekali. Dua orang kakek yang menjadi tamunya itu juga menawarkan tenaga bantuan mereka. Mereka ini bu­kan orang-orang sembarangan. Yang ber­senjata pedang dan bertubuh gagah ada­lah ketua penghuni Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan, bernama Lie Bok Liong.

PembacaCINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat akan nama ini, nama seorang pemuda yang mencinta Lin Lin atau Puteri Yalina akan tetapi tidak terbalas sehingga ia mengasingkan diri dan tetap tinggal membujang sampai tua sambil memperdalam ilmu silatnya. Adapun ka­kek kedua yang kurus berjenggot panjang dan amat lihai kaki tangannya itu adalah seorang sahabat baiknya yang tinggal di Ang-san-kok, bernama Ong Toan Liong.

Demikianlah, dengan disertai bantuan dua orang sahabat yang menjadi tamu­nya, Kauw Bian Cinjin bergegas turun gunung, mengumpulkan para anggauta Beng-kauw sejumlah empat lima ratus orang kemudian mengadakan penyerbuan ke Lembah Nu-kiang di Kao-likung-san. Kebetulan sekali di lereng gunung itu Kauw Bian Cinjin berjumpa dengan Siang Kui dan Siang Hui yang malam itu dibe­baskan karena pertolongan Kiang Liong. Dengan cepat dan singkat dua orang gadis ini menceritakan pengalamannya, tentang Kiang Liong dan tentang adiknya yang masih tertawan. Penyerbuan dilan­jutkan dengan cepat dan begitu tiba di markas Bouw Lek Couwsu, terjadilah pe­rang yang hebat dan berat sebelah.

Biarpun para hwesio jubah merah rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun jumlah orang-orang Beng-kauw yang menyerbu terlalu banyak. Apalagi di sebelah depan dipimpin oleh tiga orang kakek yang demikian lihai, terutama sekali yang bercaping dan bersenjata cambuk, amat mengerikan. Dengan cepat dan mudahnya, Kauw Bian Cinjin yang diikuti oleh Lie Bok Liong, Ong Toan Liong, dan kedua orang gadis cucunya itu menyerbu terus sampai ke bangunan ter­besar yang menjadi tempat kediaman Bouw Lek Couwsu.

Lecutan cambuk Kauw Bian Cinjin menghancurkan pintu kamar Bouw Lek Couwsu dan mereka menyerbu ke dalam. Akan tetapi kamar itu kosong! Tidak tampak Bouw Lek Couwsu maupun.Siang­-mou Sin-ni, juga tidak tampak. Kiang Liong maupun Kam Han Ki. Kedua orang gadis yang pernah menjadi tawanan di tempat ini segera menjadi penunjuk ja­lan, menggeledah dan mencari di seluruh bangunan yang berada di situ, namun sia­-sia saja. Dua orang musuh besar yang menjadi biang keladi penghancuran Beng-kauw, dua orang tawanan yang hendak mereka tolong, tak tampak ba­yangannya. Mereka mengamuk dan membunuh semua pelayan dan orang-orang Hsi-hsia. Ketika mereka keluar lagi, ter­nyata perang kecil itu sudah selesai. Di mana-mana bertumpuk mayat orang-orang Hsi-hsia dan ada juga beberapa korban orang-orang Beng-kauw, tetapi ketika diperiksa, hanya terdapat tujuh orang mayat pendeta jubah merah. Ternyata bahwa semua orang Hsi-hsia yang ber­tugas di situ, sejumlah kurang lebih se­ratus orang tewas. Akan tetapi para hwesio jubah merah agaknya sebagian besar melarikan diri dan sudah terang bahwa Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni juga melarikan diri. Yang menyu­sahkan hati Kauw Bian Cinjin terutama sekali Siang Kui dan Siang Hui adalah lenyapnya Kiang Liong dan Kam Han Ki. Ke manakah perginya dua orang tawanan itu?

Ketika tadi mendengar laporan ten­tang penyerbuan orang-orang Beng-kauw dan melihat sekelebatan bahwa jumlah penyerbu jauh lebih besar, Siang-mou Sin-ni sudah menyambar tubuh Han Ki dan lari secepat terbang melalui bela­kang bangunan, turun gunung melalui jurusan lain. Dia seorang cerdik, tidak mau kehilangan Han Ki dan tidak mau pula mempertaruhkan nyawanya mengha­dapi penyerbuan orang-orang Beng-kauw yang kini jauh lebih kuat.

Bouw Lek Couwsu juga bukan seorang bodoh. Ia memang menerjang keluar dan merobohkan beberapa orang penyerbu, akan tetapi melihat dari jauh akan ke­lihaian tiga orang kakek yang mengamuk dan melihat pula betapa banyaknya orang-orang Beng-kauw yang menyerbu, diam-diam ia memberi tanda rahasia kepada para muridnya untuk melarikan diri. Sebagai perisai, mereka meninggalkan orang-orang Hsi-hsia yang memang bodoh akan tetapi penuh keberanian itu. Bouw Lek Couwsu teringat akan Kiang Liong yang tadi masih duduk bersila di dalam kamarnya. Hatinya bimbang. Pe­muda itu sudah mengetahui rahasia per­gerakannya. Bagaimana kalau mengkhia­natinya? Di samping kebimbangan ini, ia pun merasa betapa, pentingnya bantuan pemuda itu. Akan tetapi ketika ia me­masuki kamarnya Kiang Liong sudah tidak ada lagi di situ! Ia yakin benar pihak musuh belum ada yang menyerbu kamarnya! Siang-mou Sin-ni memang sudah pergi membawa lari Han Ki, akan tetapi tadi Kiang Liong masih duduk ber­sila di situ. Ke manakah perginya pemu­da itu?

Karena keadaan sudah amat mendesak dan melihat betapa murid-muridnya sudah tersebar melarikan diri, Bouw Lek Couw­su juga berkelebat pergi turun gunung dari sebelah belakang.

Kini setelah perang selesai, tinggallah Kauw Bian Cinjin berulangkali menghela napas panjang. Alangkah menyesal hati­nya bahwa ia terpaksa harus membunuh begitu banyak manusia, padahal selama bertahun-tahun ia hidup aman di perta­paan. Namun, betapa mungkin ia tinggal diam saja mendengar pimpinan Beng­-kauw terbasmi? Di sampingnya, Siang Kui dan Siang Hui menangis karena dua orang ini mengkhawatirkan nasib adik mereka Kam Han Ki. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka turun dari gunung itu dengan hati gelisah. Ke­menangan mereka itu tidak memuaskan hati karena yang hendak mereka tolong terutama Han Ki lenyap dilarikan musuh.

***

Kamar itu amat terang dan hawanya bersih sejuk karena jendela dan pintunya terbuka lebar menerima masuknya hawa dan sinar matahari pagi. Hawa pegunung­an amat sejuk memasuki ruangan.

Yu Siang Ki yang rebah telentang di atas dipan mengeluh perlahan, lalu mengerang kesakitan. Tujuh belas bagian tubuhnya telah ditusuk jarum emas dan perak oleh kakek kurus yang melarikan­nya dari dalam kerangkeng, dan baru saja jarum-jarum itu dicabut kembali.

“Aduhh....” Ia menggerak-gerakkan pelupuk mata dan kaki tangannya yang lemas.

“Siang Ki, syukur kau telah terto­long....”

Siang Ki membuka matanya dan pan­dang matanya bertemu dengan wajah ayu, wajah Kwi Lan! Gadis ini dengan senyum lebar dan wajah berseri saking girangnya melihat Siang Ki tertolong nyawanya, memegang sebuah cangkir, lalu mendekatinya.

“Siang Ki, kauminumlah obat ini.”

“Kwi Lan....! Bagaimana kita bisa berada di sini....? Bukankah kita berdua tertawan....?” Saking herannya Siang Ki memegang tangan Kwi Lan, menahannya meminumkan obat.

Kwi Lan tertawa. “Tiga hari tiga malam kau pingsan terus, kusangka mati! Kauminum dulu ini baru bicara.” Tanpa menanti jawaban ia membawa cangkir itu ke bibir Siang Ki yang terpaksa memi­num obat yang pahit dan harum itu.

“Kwi Lan, bagaimana....?”

“Hush, kau tertolong Song Yok san-­jin (Orang Gunung Ahli Obat she Song), dan puterinya, Enci Goat yang cantik manis!” Berkata demikian, Kwi Lan menudingkan telunjuknya ke sebelah kiri dipan.

Siang Ki cepat menoleh. Barulah tampak olehnya seorang kakek kurus berjenggot jarang sedang memeriksa se­suatu dalam dua tabung kaca dan se­orang gadis yang cantik manis bergelung tinggi berada di depan kakek itu.

“Hemmm, tak salah dugaanku. Racun Peluru Bintang itu adalah racun jamur laut yang terdapat di selatan. Ah, sung­guh keji orang-orang Thian-liong-pang. Tentu mendapat racun ini dari datuk mereka, Siauw-bin Lo-mo. Biarpun racun ini ganas, namun pemunahnya tidak su­kar. Jalan darahnya telah kututup, racun tidak menjalar. Goat-ji (Anak Goat), kauambillah batu penghisap dan bubukan biji delima putih.”

Setelah gadis cantik itu pergi untuk melakukan perintah ayahnya, kakek itu membalikkan tubuhnya dan membuang darah dalam kedua tabung itu keluar pintu lalu menaruh tabung ke dalam jambangan air yang berada di sudut. Barulah ia menghampiri dipan dan berta­nya ramah.

“Siauw-pangcu (Ketua) sudah sadar?

Syukurlah....“

Siang Ki cepat melompat turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlu­tut di depan kakek itu sambil berkata. “Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah penyelamat nyawa kami berdua orang muda, harap jangan bersungkan kepada saya. Terimalah hormat dan terima kasih saya Yu Siang Ki.”

Kakek itu tertawa sambil berdongak ke atas, mengelus jenggotnya yang ja­rang.

“Ha-ha-ha! Pangcu muda dari Khong-sim Kai-pang benar-benar tidak menge­cewakan menjadi putera sahabatku Yu Kang Tianglo! Jangan banyak sungkan, kita di antara orang sendiri. Bangkitlah!” Sambil berkata demikian kakek itu mengangkat bangun Yu Siang Ki dan pemuda ini mendapat kenyataan betapa di balik telapak tangan yang halus itu tersembunyi tenaga yang amat kuat se­hingga ia menjadi amat kagum dan se­gera bangkit berdiri.

“Locianpwe mengenal mendiang Ayah saya sebagai sahabat, sungguh merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi saya.” katanya, akan tetapi tiba-tiba Siang Ki memejamkan kedua mata karena kepalanya terasa pening.

“Siauw-pangcu harap rebahan dulu karena racun masih belum lenyap dari tubuhmu.” kata ahli pengobatan itu. Tan­pa diperintah kedua kalinya, juga karena Kwi Lan memegang dan mendorong pundaknya, pemuda itu kembali merebahkan diri telentang di atas dipan.

Gadis cantik berambut hitam pan­jang yang disanggul tinggi itu muncul dengan langkah kakinya yang ringan, membawa obat dan batu penghisap yang tadi diminta ayahnya. Kakek itu meneri­ma obat dari tangan puterinya, kemudian berkata kepada Kwi Lan dan puterinya itu, “Kalian keluarlah dulu dari kamar ini karena aku akan menyedot hawa beracun dari luka-lukanya.”

Song Goat, gadis cantik itu menggan­deng lengan Kwi Lan dan ditariknya gadis itu keluar. Kwi Lan menurut saja karena memang ia ingin bicara dengan gadis ini yang mempunyai jarum-jarum hijau persis senjata rahasianya. Setelah dua orang gadis itu keluar, Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin itu lalu meng­gulung kedua lengan jubahnya, kemudian mulai menanggalkan pakaian Yu Siang Ki. Luka-luka karena senjata rahasia Peluru Bintang dari tokoh-tokoh Thian-liong-pang itu tampak kebiruan, bahkan ada yang sudah menghitam. Dengan tangan kanannya, kakek itu memegang batu penghisap, sebuah batu yang berwarna putih dan banyak lubang-lubang kecil, seperti batu bintang yang terdapat di dasar laut, kemudian tangan kirinya de­ngan jari-jari yang panjang halus itu memijit di sekitar luka sambil menekan batu itu pada lukanya.

Yu Siang Ki meringis kesakitan akan tetapi pemuda ini lalu menggigit bibir menahan rasa nyeri sehingga tidak sedi­kit pun keluhan keluar dari mulutnya. Hanya keringat yang besar-besar berkum­pul di dahinya. Tak lama kemudian batu yang berwarna putih itu menjadi hijau lalu hitam! Kakek itu menunda pekerja­annya menghisap hawa beracun lalu me­masukkan batu yang menghitam itu ke dalam air yang sudah dicampuri obat. Seketika warna hitam itu luntur, batu menjadi putih kembali akan tetapi airnya yang berubah agak kehitaman seperti dimasuki tinta bak! Lalu penghisapan itu dilakukan lagi pada semua luka sampai luka-luka itu kelihatan merah. Usaha pembersihan hawa beracun ini amat nye­ri, perih dan seperti ditusuk-tusuk rasa­nya, dan baru selesai setelah satu jam lebih. Barulah kakek itu membantu Siang Ki mengenakan pakaiannya kembali.

“Aman sudah. Tinggal minum obat ini dan dalam beberapa hari lagi Siauw-pangcu akan pulih kembali kesehatannya seperti biasa.”

Kakek itu lalu menuangkan obat bu­buk delima putih, ditaburkan pada luka dan terasalah oleh Siang Ki betapa keperihan dan kenyerian pada luka-lukanya lenyap seketika, terganti oleh rasa dingin dan menyenangkan. Tanpa disadarinya, ia sudah memejamkan mata menarik napas lega dan pulas seketika! Kakek itu ter­senyum, lalu mencuci kedua tangannya dan duduk di atas bangku dekat pemba­ringan.

Sementara itu, setelah berada di luar pondok kecil itu, Kwi Lan segera me­nangkap tangan Song Goat dan berkata.

“Cici yang baik, hampir mati aku menahan sabar untuk mendengar semua keteranganmu. Hayo lekas ceritakan, pertama-tama, mengapa kau mengguna­kan jarum-jarum hijauku untuk membu­nuhi para hwesio itu, kemudian menggu­nakan juga ketika kau menolong kami? Dari mana kau mendapatkan jarum-jarum hijau itu?”

Song Goat tersenyum dan dua buah lekuk kecil muncul di sepasang pipinya dekat mulut sehingga ia tampak manis sekali. “Adik yang baik, bukankah engkau yang berjuluk Mutiara Hitam? Kenapa kau tak dapat menebak sendiri? Hi-hik!”

“Eh, eh, jangan jual mahal, Enci yang baik. Lekas ceritakan, kalau tidak....“

“Hemm, anak ganas, kalau tidak ku­ceritakan kepadamu apakah kau akan memaksaku dengan pedangmu yang li­hai?” Song Goat yang ternyata pandai berkelakar itu menggoda, sepasang mata­nya disipitkan ketika mengerling.

“Aihhh! Kalau tidak mau, kucubit pipimu yang, manis ini!” Kwi Lan tertawa dan mengancam dengan jari-jari tangan­nya yang kecil.

“Aduh, ampun.... kau anak ganas!” Song Goat tertawa, menutupi kedua pipi­nya. “Mari kita duduk di sana dan kau­dengarkan ceritaku.”

Dua orang gadis remaja yang cantik jelita itu lalu duduk di atas batu-batu besar tidak jauh dari pondok itu. Song Goat mengeluarkan dua buah kantong dari saku bajunya. “Kaulihat ini, yang sekantong terisi jarum-jarum biasa, dan kantong kedua terisi jarum-jarum hijau beracun. Jangan kira bahwa aku mencuri jarum-jarummu, Adik Kwi Lan. Kau ten­tu mengerti bahwa Ayahku adalah se­orang yang ahli dalam hal segala macam racun, dan agaknya secara kebetulan saja jarum-jarum kita menggunakan racun hijau yang sama. Akan tetapi ada perbe­daannya di antara kita.”

“Apa bedanya?”

“Kau selalu menggunakan jarum hijau beracun, akan tetapi aku hanya meng­gunakan jarum biasa tanpa racun, kecuali kalau harus merobohkan orang jahat yang patut dibunuh.”

“Seperti yang kaulakukan kepada hwesio-hwesio dalam kuil itu? Kau mau bilang bahwa pendeta-pendeta itu adalah orang-orang jahat?” Kwi Lan mengejek.

“Lebih jahat daripada penjahat biasa, Adik manis! Penjahat biasa memang pen­jahat, akan tetapi penjahat-penjahat keji itu berkedok di balik Agama Buddha yang suci, benar-benar menjemukan sekali! Apa kau belum dapat menduga bahwa mereka itu adalah sekutu orang-orang Thian-liong-pang dan perampok-perampok di bawah pengaruh Siauw-bin Lo-mo? Apakah kau tidak tahu bahwa kedatangan orang-orang Thian-liong-pang yang menginap di rumah mereka itu mengorbankan belasan orang gadis baik-baik yang mereka tangkap untuk disuguhkan kepada orang-orang Thian-liong-pang? Kebetulan Ayah dan aku tahu akan hal ini, maka kami turun tangan membunuh mereka membebaskan gadis-gadis itu. Para tamu, orang-orang Thian-liong-pang itu, segera bubar me­larikan diri. Karena sepak terjangmu bersama.... eh, Pangcu itu, Ayah meng­ajak aku diam-diam mengikuti karena khawatir kalau-kalau kalian terjebak oleh orang-orang Thian-liong-pang yang lihai dan curang. Dugaan Ayah ternyata ter­bukti. Kami tak dapat segera turun tangan karena tidaklah mudah membebas­kan kalian dari tangan dua belas orang tokoh Thian-liong-pang itu, apalagi sete­lah ternyata mereka itu berkumpul de­ngan Siauw-bin Lo-mo si iblis tua....”

Tiba-tiba Kwi Lan meloncat bangun, diikuti Song Goat yang pendengarannya masih kalah tajam oleh Mutiara Hitam. Dua orang gadis ini membalikkan tubuh sambil mencabut pedang dan di depannya telah berdiri seorang kakek yang ter­tawa-tawa, kakek kurus yang bukan lain adalah Siauw-bin Lo-mo!

“Ha-ha-ha-ha, bocah manis, ini aku Si Iblis Tua sudah datang. Jadi engkaukah yang telah berani main-main dan men­culik tawananku? Ha-ha-ha, bagus sekali.

Bouw Lek Couwsu tentu akan senang ha­tinya mendapat tambahan hadiah seorang dara lagi secantik engkau. Mari, kalian ikut bersamaku!” Sambil berkata demi­kian, Siauw-bin Lo-mo menerjang maju, dua lengannya bergerak aneh hendak mencengkeram dua orang gadis itu.

“Siauw-bin Lo-mo iblis tua! Rasakan pembalasanku!” Kwi Lan sudah berseru keras dan marah sekali, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya berubah menjadi sinar hijau bergulung panjang membabat kedua lengan kakek itu.

“Aiihhh....!” Siauw-bin Lo-mo menge­luarkan seruan panjang saking kagetnya dan cepat menarik kembali kedua lengan­nya. Ia tadi terlalu memandang rendah kepada dua orang gadis itu, apalagi Kwi Lan yang pernah tertawan oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang, anak buahnya. Tak disangkanya gadis ini dapat menyam­butnya sehebat itu dan ia maklum bahwa gadis remaja yang galak ini ternyata benar-benar lihai dan hebat ilmu pedang­nya, sesuai dengan kegalakannya ketika memaki-maki di dalam kerangkeng. Baru sekarang ia mengerti mengapa orang-orangnya menawan gadis ini di dalam kerangkeng dan menjaganya ketat, kira­nya gadis ini benar-benar amat berba­haya.

Song Goat juga membantu Kwi Lan menggerakkan pedangnya. Biarpun gadis puteri ahli obat ini tidak seganas dan sehebat Kwi Lan ilmu pedangnya, namun juga termasuk seorang muda yang ber­ilmu tinggi.

“Ha-ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu bernasib baik! Ha-ha, kiranya selama hidup dalam petualangannya de­ngan wanita, belum pernah ia mendapat­kan dua orang gadis cantik yang begini lihai!” Biarpun maklum bahwa dua orang gadis lawannya bukan lawan lunak, na­mun Siauw-bin Lo-mo sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan tentu saja tidak menjadi gentar. Sehabis tertawa lebar, ia lalu menerjang maju dengan kedua tangan kosong menghadapi dua orang lawannya yang bersenjata pedang. Dan Kwi Lan mengeluarkan seruan tertahan. Hebat memang kakek kurus ini!

Gerakannya demikian aneh dan ringan sehingga setiap kali pedangnya hendak mengenai sasaran, bagian tubuh kakek itu seperti terdorong lebih dulu dan selalu dapat mengelak, bahkan beberapa kali gagang pedangnya hampir kena dirampas! Saking marahnya, Kwi Lan lalu berseru nyaring dan pedangnya kini mainkan ilmu pedang yang tiada keduanya dalam soal keanehan di dunia ini. Siauw-bin Lo-mo yang memandang rendah ilmu pedang Song Goat karena segera mengenal ilmu pedang gadis ini yang bersumber pada ilmu pedang Kun-lun-pai, kini terbelalak heran menghadapi ilmu pedang yang di­mainkan Kwi Lan. Dalam gerakan ilmu pedang ini ia mengenal jurus-jurus cam­puran yang mirip ilmu pedang dari Hoa­-san-pai, tusukan-tusukan jalan darah se­perti ilmu silat Siauw-lim, pengerahan tenaga berdasarkan ilmu dari Go-bi-san! Repot juga untuk sementara kakek ini menghadapi ilmu pedang Kwi Lan. Akan tetapi oleh karena tingkatnya memang jauh lebih tinggi dan ia sudah memiliki pengalaman banyak dalam pertempuran, segera ia dapat menyesuaikan diri dan kini ia malah berhasil mengirim tendang­an ke arah tangan Song Goat yang me­megang pedang. Pedang gadis itu terle­pas dan ia sendiri terhuyung.

“Ha-ha-ha!” Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa-tawa melesat dari depan Kwi Lan ke dekat Song Goat untuk meroboh­kan gadis ini, akan tetapi tiba-tiba ia terdorong oleh hawa pukulan dari bela­kang yang membuatnya terhuyung-huyung dan berseru heran dan kaget.

Sebagai seorang ahli, Siauw-bin Lo­mo mengerti betapa hebatnya hawa pu­kulan itu, maka cepat ia menggulingkan dirinya sambil mengerahkan hawa sakti dan akibat pukulan jarak jauh itu dapat dipunahkan. Ia selamat dari bahaya akan tetapi mengalami malu karena ternyata ia hampir celaka dalam tangan seorang gadis remaja, hanya karena pukulan jarak jauh tangan kiri Kwi Lan. Ia tidak tahu bahwa gadis itu disamping ilmu pedang­nya yang luar biasa, juga menguasai ilmu pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).

Song Goat yang tidak terluka, men­dapat kesempatan untuk mengambil pe­dangnya kembali dan kini ia sudah maju lagi membantu Kwi Lan yang sudah me­nerjang kakek lihai itu. Namun kini Siauw-bin Lo-mo sudah bersikap hati-hati sekali dan gerakan yang aneh dari kedua lengannya membuat Kwi Lan dan Song Goat menjadi pening! Lebih celaka lagi, dua orang gadis itu melihat betapa kini bermunculan dua belas orang yang bukan lain adalah Thai-lek-kwi Ma Kiu Ketua Thian-liong-pang bersama sebelas orang adik seperguruannya! Akan tetapi Cap-ji-liong ini hanya berdiri di pinggir menonton, tidak berani bergerak meng­ganggu datuk mereka yang yang sedang mempermainkan dua orang gadis remaja itu!

Pada saat itu, dari dalam pondok melompat keluar Yok-sanjin Song Hai si ahliobat. Ia sudah memegang sebatang pedangnya dan melihat betapa Kwi Lan dan Song Goat terdesak hebat dan mengenal kakek kurus itu, ia berseru.

“Siauw-bin Lo-mo, tidak malu engkau melawan anak-anak?”

Siauw-bin Lo-mo menoleh dan terta­wa. “Ha-ha-ha, kiranya tukang obat Song yang berada di sini. Ah, kiranya gadis ini anakmu? Ha-ha, majulah kau sekalian, dikeroyok tiga pun aku tidak takut!”

Akan tetapi, dua belas orang Cap­-ji-liong sudah maju pula menghadang kakek ahli obat itu yang segera me­ngurungnya dengan senjata di tangan. Melihat ini, Song Hai segera memasang kuda-kuda dan bersikap waspada karena dapat menduga bahwa dua belas orang tokoh Thian-liong-pang ini tentulah bukan orang-orang lemah.

“Ha-ha-ha-ha! Song Hai tukang obat, sebelum main-main dengan aku, kaurasa­kanlah dulu kelihaian anak buahku!” Ucapan Siauw-bin Lo-mo ini merupakan perintah bagi Cap-ji-liong dan lenyaplah keraguan mereka. Segera mereka mener­jang maju secara teratur, mengurung kakek tukang obat itu dengan barisan yang terkenal kuat.

Kwi Lan menggigit bibir dan menge­luarkan semua kepandaiannya. Betapapun juga kakek itu terlampau kuat untuknya. Biarpun ia dibantu Song Goat yang juga lihai ilmu pedangnya, namun tetap saja dua orang gadis ini terdesak hebat dan akhirnya terhuyung oleh bayangan kedua tangan Siauw-bin Lo-mo yang seolah­-olah berubah menjadi puluhan banyaknya. Song Goat yang lebih dulu merasa pening dan sebuah tamparan membuat ia ter­huyung ke belakang kembali terlepas dari tangan. Tamparan yang mengenai pundak kanan itu membuat tangan kanannya serasa lumpuh!

Kwi Lan berseru marah dan menusuk pinggang lawan yang sedang miring tu­buhnya. Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan berjungkir balik, kemudian menyambut pukulan tangan kiri Kwi Lan dengan tang­kisan tangan kanan.

“Plakk....!” Siauw-bin Lo-mo terhuyung mundur, akan tetapi Kwi Lan harus ber­jungkir balik beberapa kali untuk men­cegah terguling. Ketika gadis ini sudah berdiri lagi, ia diserang secara bertubi-tubi di antara suara ketawa lawannya. Ia berusaha untuk membalas, namun karena sudah terdesak dan kalah dulu, ia tidak mendapat kesempatan dan hanya dapat mengelak dan menggerakkan pedang membabat tangan yang hendak menangkap dan menotoknya.

Pada saat Kwi Lan terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang tidak hanya mengejutkan hati Siauw-bin Lo-mo, akan tetapi juga amat mengagetkan Song Hai dan dua belas orang pengeroyoknya. Lengking yang menggetarkan jantung dan menulikan telinga itu seketika membuat mereka se­mua menghentikan pertandingan dan Kwi Lan menjadi girang sekali ketika menoleh ke arah datangnya suara melengking yang tentu saja ia kenal baik ini.

Bagaikan bayangan setan, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita bertubuh ramping berpakaian serba putih dan mukanya dikerudungi sutera jarang seperti rajut berwarna hitam. Kam Sian Eng guru Kwi Lan!

“Siauw-bin Lo-mo, kau berani menye­rang muridku, berarti engkau tidak me­mandang mata kepadaku!”

Siauw-bin Lo-mo mengenal wanita ini dan tertawa, akan tetapi suara ketawa­nya canggung karena hatinya merasa tidak enak. “Eh.... Sian-toanio (Nyonya Sian), jadi gadis yang ganas dan lihai ini muridmu? Pantas begitu hebat. Aku tidak tahu bahwa dia muridmu, Sian-toanio karena dia pun tidak mengatakan apa­-apa kepadaku.”

“Sekarang kau tahu Siauw-bin Lo-mo, apakah kau masih akan melanjutkan pertempuran?” tanya Kam Sian Eng, suaranya kaku.

“Ha-ha-ha, tentu saja aku tidak mau mengganggu keponakan sendiri! Bouw Lek Couwsu akan cukup puas kalau aku membawa nona puteri tukang obat ini. Hayo engkau ikut bersamaku!” Sambil berkata demikian, tubuh kakek kurus ini melesat ke depan, ke arah Song Goat untuk menyambar tubuh gadis ini yang tentu saja sama sekali bukan lawan Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan kakek itu harus menarik kembali kedua tangannya karena Kwi Lan telah membabat ke arah kedua tangan yang hendak menerkam Song Goat itu. Kini gadis ini dengan pe­dang di tangan berdiri menghadang di depan Song Goat, sikapnya menantang, matanya mendelik marah.

“Ha-ha-ha-ha, keponakanku yang baik, apakah kau hendak menantang aku? Sian-toanio apakah begini kau mengajar mu­ridmu?”

“Kwi Lan! Mundur kau! Mau apa kau mencampuri urusan orang lain? Sejak kapan kau begini usil dan lancang?” Kam Sian Eng membentak, suaranya dingin seperti suara dari lubang kubur membuat Cap-ji-liong yang terkenal gagah sekalipun menggigil dan merasa seram.

“Bibi, aku tidak suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Enci Goat ini dan ayahnya, Song-locianpwe, telah menyelamatkan nyawaku ketika aku menjadi tawanan tua bangka iblis ini!” Ia menuding ke arah Siauw-bin Lo-mo. “Ba­gaimana mungkin aku sekarang membiar­kan iblis tua ini mencelakai Enci Goat?”

Kam Sian Eng adalah seorang yang memiliki watak aneh sekali karena me­mang jiwanya sakit, ingatannya terganggu oleh peristiwa hebat di waktu mudanya. Ia tidak mengenal budi, tidak mengenal apa itu baik atau jahat, namun terhadap diri Kwi Lan ada perasaan kasih sayang di hatinya. Maka melihat sikap dan men­dengar pembelaan Kwi Lan, ia menarik napas panjang dan menoleh kepada Siauw-bin Lo-mo, berkata singkat.

“Lo-mo, pergilah. Tidak ada urusan apa-apa lagi di sini. Setahun kemudian kelak kita bertemu kembali.”

Siauw-bin Lo-mo tertawa masam. Ia menjadi serba salah. Ia tidak takut ke­pada Kam Sian Eng, akan tetapi juga tidak menghendaki nama Bu-tek Ngo-sian menjadi pecah hanya karena urusan seorang gadis! Selain itu, juga otaknya yang cerdik bekerja cepat. Kalau terjadi pertempuran karena ia kukuh, pihaknya tentu rugi. Dia sendiri melawan Sian-toanio ini masih merupakan keadaan setengah-setengah, belum tentu siapa yang akan menang atau kalah. Akan tetapi, dua belas orang Cap-ji-liong itu kalau harus menghadapi kakek tukang obat Song bersama puterinya dan Si Mu­tiara Hitam, agaknya akan terancam bahaya kehancuran. Maka ia lalu tertawa dan agar jangan terlalu kehilangan muka ia berkata.

“Ha-ha-ha-ha! Melihat muka Sian-toanio yang menjadi saudaraku sendiri, tentu saja aku tidak akan meributkan soal seorang gadis! Hanya sayang sekali, saudaraku yang menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, ternyata harus tunduk kepada muridnya. Ha-ha-ha! Hayo, kita pergi!” Ia berseru kepada Cap-ji-liong yang tanpa banyak cakap tidak berani membantah dan segera mengikuti datuk mereka pergi dari dalam hutan.

Biarpun perangainya aneh dan otaknya tidak waras, namun Kam Sian Eng adalah seorang wanita yang memiliki watak angkuh dan tinggi hati. Oleh karena itu, ejekan yang keluar dari mulut Siauw-bin Lo-mo tadi sedikit banyak telah me­racuni hatinya, membuat keningnya berkerut dan sepasang matanya mengeluar­kan sinar dingin menakutkan. Melihat betapa sepasang mata Sian Eng memandangnya seperti itu, tahulah Kwi Lan bahwa gurunya atau bibinya ini sedang marah sekali. Maka ia menjadi khawatir dan bersikap waspada.

Pada saat itu, nampak bayangan ber­kelebat keluar dari pondok. Ternyata dia adalah Yu Siang Ki yang sudah sembuh, hanya belum pulih tenaganya. Namun karena tadi ia terbangun dari tidurnya dan mendengar suara melengking nyaring, ia segera mengerahkan tenaga, menyam­bar tongkat dan setelah tubuhnya tidak begitu lemah lagi, kini ia meloncat ke­luar, siap membantu Song Hai dan pu­terinya, terutama sekali Kwi Lan jika ada bahaya mengancam. Ketika ia meli­hat mereka itu berhadapan dengan se­orang wanita yang memakai kerudung, yang sikapnya aneh, yang matanya me­nyinarkan keseraman yang mengerikan, ia meloncat dan sudah berada di samping Kwi Lan. Gerakannya tidaklah sekuat biasa, namun pemuda ini tidak kehilangan kelincahannya.

“Siapa jembel ini?” Suara Kam Sian Eng dingin sekali, membuat Siang Ki meremang bulu tengkuknya, dan sinar mata yang menyambar ke arah mukanya seperti tangan dingin menyentuh leher. Ia bergidik.

Song Hai atau Yok-san-jin yang se­menjak tadi memandang kepada Kam Sian Eng dengan penuh rasa kagum dan heran, segera melangkah maju dan men­jura sebagai penghormatan, lalu berkata, “Kouw-nio, orang muda ini bukan lain adalah kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis) dari Khong-sim Kai-pang, pu­tera mendiang Yu Kang Tianglo yang gagah perkasa.”

Sian Eng melirik ke arah kakek ber­jenggot itu. Hatinya senang mendengar dirinya disebut kouwnio (nona). Tentu saja kakek itu merasa tepat menyebut nona kepada wanita berkerudung ini ka­rena ia jauh lebih tua dan memang Sian Eng kelihatan masih muda, baik dipandang pada wajah di balik kerudung itu maupun bentuk tubuh yang langsing pa­dat. Akan tetapi kalau hati Sian Eng merasa senang dengan sebutan kouwnio, ia mengerutkan kening mendengar bahwa pemuda ini adalah Ketua Khong-sim Kai-pang, putera Yu Kang Tianglo yang me­rupakan seorang di antara lawan golong­an sesat yang dipimpin Bu-tek Ngo-sian. Dia tentu saja tidak mau memusuhi orang-orang seperti Suling Emas, akan tetapi ia sama sekali tidak ada hubungan dengan Yu Kang Tianglo ataupun putera­nya. Maka kalau ia hendak mengumpul­kan jasa untuk mengalahkan empat orang yang lain dari Bu-tek Ngo-sian, ia boleh mulai dengan putera Yu Kang Tianglo yang menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang ini.

“Hemm, jembel muda ini Ketua Khong-sim Kai-pang? Begini muda men­jadi pangcu? Hendak kulihat sampai di mana kemampuannya!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangan kanan Kam Sian Eng bergerak, secepat kilat tangan itu sudah menampar dengan jari tangan terbuka ke arah dada Yu Siang Ki!

“Bibi....!” Kwi Lan menjerit, mengenal pukulan itu yang bukan lain adalah Siang-tok-ciang! Di tangan gurunya, Siang-tok-ciang ini hebat bukan main karena ketika berlatih, kalau dia dengan pengerahan tenaga seluruhnya hanya mampu memukul pohon menjadi layu daun-daunnya, adalah gurunya ini sekali pukul membuat pohon itu mati seketika karena hangus sebelah dalamnya!

Yu Siang Ki bukanlah seorang muda yang bodoh. Dia cukup waspada dan tahu betapa hebat dan berbahayanya pukulan itu yang meniupkan hawa panas dan bau yang wangi. Cepat ia mengelak dengan jalan melempar tubuhnya ke belakang. Betapa pun cepat gerakannya mengelak ini, namun hawa pukulan dari tangan Kam Sian Eng tetap saja menyerempet pundaknya, membuat tubuh pemuda itu bergulingan akan tetapi ia terbebas dari­pada bahaya maut.

Bibir Kam Sian Eng tersenyum dan makin gelisah hati Kwi Lan. Ia tentu saja mengenal senyum gurunya ini, senyum maut karena senyum ini berarti bahwa gurunya merasa tersinggung dan marah sekali melihat betapa pukulannya dapat dielakkan. Ia melangkah maju dan kem­bali tangannya bergerak hendak memukul dengan Siang-tok-ciang yang lebih hebat. “Bibi, jangan....!”

Akan tetapi pukulan sudah dilancarkan dan terpaksa Kwi Lan berkelebat maju sambil mengangkat tangannya menangkis. “Plakk!!” dan tubuh gadis itu bergulingan sampai lima meter jauhnya, di mana ia meloncat bangun, wajahnya agak pucat, akan tetapi tidak terluka. Sian Eng sejenak berdiri seperti patung meman­dang muridnya, sinar matanya makin dingin, senyumnya melebar.

“Bibi, kau tidak boleh membunuh Yu Siang Ki. Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dibunuh?”

“Dia....apamu?” tanya Sian Eng, sua­ranya penuh kemarahan yang ditahan-tahan.

“Dia sahabat baikku, Bibi. Banyak kualami suka duka, kualami bahaya maut di sampingnya, dia pernah menolongku dan....”

Sejak tadi Sian Eng memang sudah merasa kecewa dan marah kepada Kwi Lan, yaitu ketika ia diejek oleh Siauw-bin Lo-mo bahwa dia tunduk kepada muridnya. Kini kejengkelan hatinya itu makin menjadi-jadi seperti api disiram minyak oleh perbuatan Kwi Lan yang dengan nekat berani menangkis pukulan­nya dan menghalangi dia turun tangan terhadap Yu Siang Ki. Marah dan kecewa apalagi melihat betapa tukang obat dan gadisnya memandang dengan muka jelas berpihak kepada Kwi Lan. Watak Sian Eng memang aneh dan ganas, makin ditentang makin ganas dan kini kemarah­an hatinya membuat gilanya kumat dan ia tidak peduli atau tidak ingat lagi bahwa Kwi Lan adalah muridnya, juga keponakannya. Ia kini maju mendekati Kwi Lan dan membentak.

“Setan cilik! Berani kau menentang aku? Dua kali kau menghina Gurumu sendiri, tahukah kau apa hukumannya untuk itu?”

Kwi Lan menjatuhkan dirinya ber­lutut. Ia seorang pemberani, tidak takut mati dan tidak takut melawan siapapun juga. Akan tetapi tak mungkin ia mau melawan gurunya yang mendidiknya sejak ia masih kecil. Ia pun tahu bahwa sekali gurunya marah seperti ini, biarpun ia melawan juga tidak ada gunanya, lari pun percuma.

“Bibi, kebaikanmu tidak cukup kubalas dengan nyawa. Kalau kau menghendaki, aku bersedia menerima hukuman apapun juga, bahkan kematian tidak akan membikin aku menyesal. Silakan!”

Sian Eng tercengang. Dia berwatak aneh, keras dan ganas. Akan tetapi me­lihat betapa Kwi Lan menantang maut dengan sikap sedingin dan setenang ini, ia terkejut juga, terkejut dan kagum. Akan tetapi hanya untuk sesaat karena kemarahannya kembali memuncak.

“Kau sudah berani menangkis pukulan­ku, nah, kaucobalah tangkis ini!” Tangan kanannya bergerak menyambar ke arah kepala Kwi Lan yang menunduk.

“Wuuuutttt.... prakkkk....!” Hancur luluh tongkat di tangan Yu Siang Ki ketika ia pergunakan untuk menangkis tangan Siang Eng dalam usahanya meno­long Kwi Lan yang terancam bahaya maut. Ia sendiri terhuyung ke belakang. Akan tetapi pemuda ini sudah melompat maju lagi, membusungkan dada menan­tang kepada Sian Eng.

“Cianpwe, tidak semestinya membunuh Kwi Lan karena dia tidak berdosa. Kalau dia menolong saya dianggap salah oleh Cianpwe, maka kesalahannya adalah ka­rena saya dan saya bersedia menerima hukumannya, sekali-kali bukan Kwi Lan yang harus menanggung.”

Kam Sian Eng tercengang. Sama se­kali tidak pernah disangkanya bahwa pengemis muda ini begini nekat, berani menangkis pukulannya dan melindungi Kwi Lan. Ia makin marah, akan tetapi ke­heranannya melihat pembelaan pemuda itu kepada muridnya, membuat ia ragu-ragu untuk turun tangan dan sebaliknya ia membentak.

“Mengapa kau membela dia? Dia apa­mu?”

Yu Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng kepalanya. “Memang bukan apa-apa, Cianpwe. Akan tetapi saya siap untuk mempertaruhkan nyawa untuknya.”

Terdengar isak tertahan yang keluar dari kerongkongan Song Goat. Gadis ini ternyata telah menangis perlahan sambil menutupi mukanya. Ayahnya sudah ber­diri di sampingnya dan merangkul pundak puterinya, wajah kakek ini pun diliputi kedukaan.

“Hemm....! Kau.... kau mencinta Kwi Lan?”

Kwi Lan sendiri memandang dengan mata terbelalak. Semua orang meman­dang kepada Siang Ki dan keadaan di situ hening oleh ketegangan menanti jawaban Siang Ki yang ditanya secara terus terang oleh wanita berkerudung yang menyeramkan itu.

“Benar! Saya mencinta Kwi Lan dan siap mati untuknya!” jawab Siang Ki kemudian dengan suara tenang. Kembali Song Goat terisak, kini menangis ter­sedu-sedu dan meronta dari rangkulan ayahnya, terus melarikan, diri sambil me­nangis.

“Goat-ji (Anak Goat)....!” Song Hai kakek ahli obat itu lalu lari mengejar puterinya setelah ia memandang ke arah Yu Siang Ki dengan sinar mata mengandung penyesalan.

“Bibi, apakah Bibi masih berkeras hendak membunuh kami? Silakan!” Kwi Lan berkata, nada suaranya marah dan ia menantang dengan nekat sedangkan Yu Siang Ki memandang dengan sikap te­nang.

Kam Sian Eng ragu-ragu, “Hemm, kau mencinta Kwi Lan? Eh, Kwi Lan, apakah kau juga mencinta pemuda jembel ini?” Orang yang dicinta Kam Sian Eng dahulu adalah seorang putera pangeran, maka tentu saja ia memandang rendah kepada Yu Siang Ki yang biarpun tampan namun berpakaian jembel.

“Cinta....?” Kwi Lan menggeleng ke­pala. “Aku tidak tahu...., aku tidak men­cinta siapa-siapa, akan tetapi Siang Ki amat baik kepadaku dan pernah meno­longku. Yang sudah jelas, dia adalah sahabat baikku, Bibi.”

Sinar mata kemarahan di balik keru­dung itu berseri sebentar. Di sudut be­naknya, wanita aneh ini tentu saja tidak ingin mendengar Kwi Lan mencinta laki-laki lain karena sudah ia harapkan untuk menjadi isteri puteranya!

“Bagus, biarlah kuampunkan nyawa jembel muda ini. Akan tetapi kau harus segera menyusul Suhengmu.”

Biarpun sejak kecil sering cekcok dengan Suma Kiat putera tunggal guru­nya, akan tetapi karena sejak kecil men­jadi teman bermain, Kwi Lan gembira mendengar ini. “Di mana adanya Suma-suheng?”

“Di kota raja Kerajaan Sung. Kau le­kaslah menyusul ke sana. Awas kalau kau tidak berada di sana dalam waktu dua bulan.” Setelah berkata demikian tubuh wanita berkerudung ini berkelebat dan lenyap dari situ.

Kwi Lan dan Siang Kwi saling pan­dang. Baru saja mereka terlepas dari bahaya maut yang sudah mengancam hebat. Siang Ki yang tadinya amat te­gang, kini menarik napas panjang. “He­bat.... Gurumu hebat.... katanya dan te­rasalah kini oleh pemuda itu betapa tu­buhnya masih amat lemah, biarpun rasa nyeri sudah hilang.

“Ah, ke mana perginya Enci Goat tadi? Siang Ki, kau mengasolah di pon­dok, biar aku mengejar mereka!” Tanpa menanti jawaban Siang Ki, Kwi Lan lalu melompat jauh dan mengerahkan gin­kang dan berlari secepat larinya kijang memasuki hutan di mana tadi ia melihat Song Goat melarikan diri kemudian di­kejar ayahnya.

Jauh di dalam hutan, Kwi Lan men­dapatkan kakek Song itu berdiri seperti arca, mukanya pucat dan diliputi awan kedukaan, bahkan ada bintik-bintik air mata di kedua pipinya!

“Song-lopek! Ada apakah? Mana Enci Goat?”

Kakek itu tidak menjawab, hanya me­nudingkan telunjuk kanannya ke batang pohon di depannya. Kwi Lan memandang dan ternyata di pohon itu terdapat se­helai saputangan sutera putih yang ter­tusuk jarum keempat ujungnya dan sapu­tangan itu ada tulisannya, agaknya ditulis dengan ranting pohon dengan tinta getah pohon.

“Ayah, biarkan anak merantau melupakan duka. Sampai jumpa.”

“Eh, apa artinya semua ini, Lopek? Adakah ini saputangan Enci Goat? Tulis­annya?” tanya Kwi Lan yang masih be­lum mengerti.

Song Hai mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau aku mau, tentu saja aku akan dapat mengejarnya sampai tersusul. Akan tetapi apa gunanya? Sejak kecil dia berkeras hati. Dan dia tulis sampai jumpa, berarti kelak ia akan kembali kepada ayahnya....” Muka yang tua itu kelihatan berduka sekali. “Biarlah aku menunggu..., menunggu dan mengha­rap.... dan berdoa semoga Thian Yang Maha Adil akan memberi jalan kepada Anakku....“

“Akan tetapi.... mengapa Enci Goat melarikan diri? Mengapa kalian berduka?”

Tiba-tiba kakek itu membalikkan tu­buh memandangnya dengan tajam sam­bil bertanya, suaranya tegas, “Nona apa­kah.... maaf, apakah kau mencinta. Yu Siang Ki?”

Kwi Lan melongo dan wajahnya men­jadi merah. Untung ia teringat bahwa kakek ini telah menolong dia dan Siang Ki, kalau tidak, tentu pertanyaan itu akan dianggapnya kurang ajar. Ia hanya terheran mengapa kakek ini bertanya, demikian, lebih heran lagi karena baru saja gurunya pun bertanya demikian.

“Aku tidak tahu, Lopek. Aku suka kepadanya tentu saja karena dia seorang yang baik, dia seorang sahabatku. Akan tetapi cinta....? Ah, aku sendiri tidak tahu apakah itu cinta, kurasa aku tidak mencinta siapa-siapa.”

Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira dan ia memegang tangan Kwi Lan.

“Ah, alangkah lega dan girang hatiku, Nona. Tapi.... tapi.... ah, apa bedanya? Dia tetap saja mencintamu.”

“Kalau begitu mengapa, Lopek? Mengapa pernyataan cinta Siang Ki ke­padaku begini mendukakan hati Enci Goat dan kau?”

Kembali kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. “Dahu­lu, ayah pemuda itu adalah sahabat baik­ku. Yu Kang Tianglo pernah melihat Goat-ji di waktu anakku berusia satu tahun dan puteranya juga berusia satu tahun. Dan pada waktu itu, Yu Kang Tianglo mengikat jodoh antara kami, Goat-ji dan Siang Ki. Sudah bertahun­-tahun aku membawa anakku merantau, mencari tunangannya. Akhirnya kami mendengar bahwa Yu Siang Ki telah menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang. Ka­mi menyusul ke sana akan tetapi dia sudah pergi. Kami mengikuti jejaknya terus sampai dapat berjumpa, bahkan menolongnya. Akan tetapi tadi pemuda itu menyatakan bahwa dia mencintamu dan tentu saja kau mengerti betapa hancur dan malu rasa hati Goat-ji....”

“Ahhh....!” Kwi Lan berseru kaget. “Kasihan sekali Enci Goat! Kenapa Siang Ki begitu tidak tahu aturan dan tidak mengenal budi?”

Melihat gadis itu kelihatan marah-marah, Song Hai memegang tangannya. Jangan kaupersalahkan sahabatmu itu, Nona. Yu-pangcu sama sekali tidak tahu agaknya akan tali perjodohan yang diten­tukan mendiang ayahnya itu. Karena melihat sikapnya yang berbudi, kurasa kalau dia tahu tentu dia tidak akan me­lakukan hal yang begitu menyakitkan hati Goat-ji. Sudahlah, urusan ini tidak perlu dipersoalkan, soal jodoh berada di tangan Thian. Manusia tidak berkuasa memaksa­kan. Selamat berpisah, Nona.” Kakek itu membalikkan diri meninggalkan Kwi Lan. Akan tetapi baru saja berjalan beberapa langkah, ia membalik dan berkata.

“Ayah, tolong kausampaikan Gurumu. Kepadanya aku tadi tidak berani bicara karena khawatir menyinggungnya, akan tetapi mengingat engkau, Nona, maka wajib kuberitahukan agar kausampaikan kepada Gurumu. Agar dia cepat-cepat menghilangkan semua tenaga sin-kang, menghentikan latihan dan tidak menge­rahkan tenaga lagi agar nyawanya dapat tertolong.”

“Heee? Kenapa, Lopek?”

“Dia.... telah salah berlatih. Aku melihat cahaya maut di wajahnya, tanda bahwa hawa sakti yang terhimpun secara keliru di dalam tubuh meracuni darah dan merusak bagian dalam tubuhnya. Dan.... dan kau sendiri, Nona, karena kau masih muda dan kau kuat maka belum tampak tanda-tanda itu. Hanya meng­ingat keadaan Gurumu, bukan tidak mungkin engkau kelak akan terancam oleh bahaya yang sama. Maka lekas kau mencari guru yang sakti dan minta pe­tunjuknya. Dalam hal ini, aku sendiri tak dapat memberi petunjuk. Ilmu silatku belum setinggi itu.” Setelah berkata de­mikian, kakek itu membalikkan tubuh dan kali ini ia tidak menengok lagi sampai lenyap di balik pohon-pohon besar.

Kwi Lan tergesa-gesa kembali ke pondok. Ia melihat Yu Siang Ki telah berdiri di luar pondok, agaknya menanti­-nanti kedatangannya. Begitu melihat munculnya gadis itu, Siang Ki tersenyum gembira dan berkata, “Kwi Lan, kita harus cepat-cepat pergi dari sini, siapa tahu kalau-kalau iblis itu kembali lagi dan....”

Pemuda itu menghentikan kata-kata­nya karena melihat wajah gadis itu me­rah sekali dan sinar matanya seakan­-akan dua batang pedang ditodongkan ke ulu hatinya. “Eh.... eh...., ada apakah....?”

Kwi Lan berdiri di depan pemuda itu, tangan kiri bertolak pinggang, lengan kanan diulur ke depan dengan telunjuk ditudingkan hampir menyentuh hidung Yu Siang Ki, suaranya ketus ketika kata-katanya keluar menghambur dari bibir yang merah.

“Kau ini seorang yang sangat bo­ceng-li!”

“Hah....?” Siang Ki memandang be­ngong, benar-benar kaget, heran dan tidak mengerti mengapa tiada hujan tia­da angin gadis ini marah-marah seperti kilat menyambar-nyambar, mengatakan ia bo-ceng-li (tak tahu aturan)!

“Kau tidak setia, tidak mengenal budi, dan berhati kejam!” Kembali Kwi Lan menyerang dengan hardikannya tanpa mempedulikan keheranan dan kebingungan pemuda itu.

“Aahhh....?”

“Semenjak berusia setahun, kau telah ditunangkan dengan Enci Goat oleh men­diang Ayahmu!”

“Ehhh....?”

“Enci Goat dan Ayahnya bertahun-tahun mencarimu, setelah bertemu me­reka telah menyelamatkan nyawamu. Akan tetapi, apa yang kaulakukan kepa­danya? Di depan Enci Goat, kau secara bo-ceng-li sekali menyatakan bahwa kau mencintaku!”

“Ohhhh....?”

“Huh! Bisanya cuma ah-eh-oh! Laki­laki macam apa kau ini? Tidak setia, tidak mengenal budi, malah menghancur­kan hati Enci Goat yang begitu baik! Kalau tidak ingat engkau sahabatku, se­karang juga sudah kutusuk dadamu, ku­keluarkan hatimu!”

“Eeee-eeeh, nanti dulu Kwi Lan. Apa artinya semua ini? Tentang tunangan itu, dalam usia setahun, bagaimana pula ini? Sungguh aku tidak mengerti....”

“Benar kau tidak mengerti? Kau tidak tahu? Berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu akan ikatan jodoh antara kau dan Enci Goat? Bersumpahlah kalau kau berani menyangkal!”

“Sungguh mati aku tidak tahu seujung rambut pun. Kalau aku tahu dan me­nyangkal, biarlah aku disambar geledek!”

“Huh, enak saja laki-laki bersumpah. Di hari terang seperti ini, tiada hujan tiada angin, mana mungkin ada geledek?”

Siang Ki menahan senyum di hatinya yang perih. Ah, Kwi Lan, kau tidak tahu betapa miripnya kau dengan sinar kilat menyambar-nyambar ketika datang-datang marah tiada ujung pangkalnya, indah gemilang seperti kilat, namun amat berbahaya dan sambarannya kini sudah tera­sa nyeri jantungnya.

“Sungguh Kwi Lan. Mendiang Ayahku tidak pernah bicara sesuatu mengenai hal itu. Bagaimana kau bisa tahu akan per­tunanganku itu? Siapa yang memberitahu kepadamu?”

Melihat sinar mata pemuda itu, Kwi Lan percaya bahwa memang benar Siang Ki belum tahu akan tali perjodohan yang mengikatnya, maka dengan suara yang lebih sabar ia lalu menceritakan perte­muannya dengan Song Hai dan tentang cerita kakek itu.

“Karena mendiang Ayahmu sendiri yang menentukan ikatan jodoh, tentu saja sejak kecil Enci Goat sudah menganggap dirinya calon isterimu, demikian pula Song-lopek tidak memandang lain pemuda karena menganggap kau sebagai calon mantu.”

“Ah...., akan tetapi mengapa mereka tidak mau memberitahu kepadaku? Sung­guh mati, Kwi Lan. Andaikata aku tahu, betapapun hancur hatiku, kiranya aku tidak akan begitu keji untuk menyatakan cinta kasihku kepadamu di depan mereka. Aduh, Kwi Lan, aku menjadi bingung se­kali, aku menjadi malu kepada mereka. Katakanlah, Kwi Lan, engkau yang sudah tahu rahasia hatiku, engkau satu-satunya wanita yang pernah kucinta, apakah yang harus kulakukan sekarang?” Dengan lemas Siang Ki menjatuhkan diri, duduk di atas tanah dengan wajah muram.

Betapapun juga, di dalam hatinya Kwi Lan amat suka kepada pemuda yang ia tahu amat baik ini. Agaknya tidak akan sukar baginya untuk memperdalam rasa suka ini menjadi rasa cinta, kalau saja dia diberi waktu dan kesempatan. Akan tetapi pengertian bahwa pemuda ini ada­lah “hak milik” Song Goat, tentu saja menghapus semua bibit-bibit cinta dari hatinya. Ia merasa kasihan, lalu duduk pula di atas tanah, menyentuh lengan pemuda itu sambil berkata, suaranya halus.

“Siang Ki, ke mana perginya sifat gagahmu? Mungkinkah seorang pendekar muda seperti engkau, seorang Ketua Khong-sim Kai-pang, menjadi begini le­mah hanya oleh urusan yang menyangkut perasaanmu sendiri? Hayo usirlah semua kebingungan dan kedukaanmu. Lihat baik-baik, Siang Ki. Aku tidak mencintamu, aku tidak mungkin bisa cinta kepadamu, kecuali sebagai seorang adik. Seorang gagah seperti engkau sudah sepatutnya menjunjung tinggi nama Ayahmu dan memenuhi janji Ayahmu, juga harus kau jaga masa depan Enci Goat yang tentu saja selamanya tidak akan sudi menikah dengan orang lain karena sejak kecil sudah merasa menjadi jodohmu. Sekarang Enci Goat melarikan diri dalam keadaan duka dan merana. Kewajibanmulah untuk mencarinya dan menyambung kembali ikatan yang kauputus tanpa kauketahui.”

“Ke mana.... aku harus mencarinya?”

“Entahlah, aku sendiri akan pergi ke kota raja, memenuhi pesan Bibi Sian.”

“Aku sedang mencari Paman Suling Emas. Apakah kau tidak jadi pergi ke Khitan?”

“Tentu jadi nanti, setelah selesai urusanku memenuhi pesan Bibi Sian di kota raja.”

“Kalau begitu, kita dapat melakukan perjalanan bersama!”

Kwi Lan memandang pemuda itu de­ngan kening berkerut karena melihat seri gembira pada wajah itu. “Yu Siang Ki! Masih belum sadarkah engkau daripada lamunanmu yang kosong! Engkau adalah calon suami Enci Goat, jangan kauharap untuk aku.... aku....”

Siang Ki tersenyum duka dan meng­geleng kepala. “Betapa pun perih hatiku, aku harus membenarkan pendapatmu dan aku tidak akan bertindak bodoh menurutkan hati dan perasaan, Kwi Lan. Tidak, aku hanya ingin melakukan perjalanan bersamamu, pertama karena dengan de­mikian kita akan lebih kuat menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kedua, kalau sampai kita dapat berjumpa dengan.... Nona Goat, hanya engkaulah yang dapat menolongku untuk menerangkannya ten­tang.... eh, tentang kebodohanku. Kalau bukan kau yang.menjelaskannya, tentu ia tidak percaya kepadaku.”

Kwi Lan berpikir sebentar lalu meng­angguk. “Alasanmu memang kuat. Baik­lah, kita melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi, awas dan ingat, aku hanya seorang sahabat dan kita saling mencinta seperti kakak beradik.”

Kemudian Siang Ki menarik napas panjang melepaskan kedukaan hatinya.

“Sejak detik ini kau sudah kuanggap seorang gi-moi (adik angkat karena ikat­an budi).”

“Baiklah, kau menjadi gi-heng (kakak angkat). Mari kita berangkat, sedapat mungkin kita kejar Enci Goat.”

Tanpa menjawab Siang Ki lalu melon­cat bangun dan pergilah dua orang muda itu meninggalkan hutan.

***

Setelah menuliskan pesan pada sapu­tangan putih yang ia pasang di batang pohon, Song Goat terus melarikan diri sambil menangis. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Teringat ia betapa dengan susah payah ayahnya membawanya me­rantau sampai bertahun-tahun, dan beta­pa hatinya berdebar tegang penuh pera­saan puas dan gembira ketika akhirnya ia melihat pemuda yang dijodohkan dengan­nya, pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Bahagia terasa di hatinya ketika ia dan ayahnya, dengan jalan menempuh bahaya maut, berhasil merampas Siang Ki dari tangan orang-orang Thian-liong­pang kemudian bahkan mengobatinya dan menyelamatkan nyawa calon suaminya itu. Rasa malu dan jengah tertutup oleh sinar cinta kasih yang mekar di lubuk hatinya ketika ia melihat calon suaminya ini. Akan tetapi, alangkah besar kedu­kaan dan kekecewaan hatinya mendengar orang yang sejak kecil dijodohkan dengan dirinya itu di depannya, dan di depan ayahnya, secara terang-terangan mengaku cinta kepada, Kwi Lan! Ia merasa dikhianati merasa dicurangi dan hatinya sakit sekali. Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw meminangnya, namun semua ditolak ayahnya yang memegang teguh janjinya dengan mendiang Yu Kang Tianglo, sahabatnya. Dan lebih banyak lagi dia sendiri menangkap sinar kagum dan mesra penuh kasih dari pandang mata banyak pemuda-pemuda tampan, namun ia selalu tidak sudi melayani mereka oleh karena hatinya sudah penuh dengan keyakinan dan kesetiaan bahwa dia adalah jodoh putera Yu Kang Tiang­lo!

Song Goat berjalan terus tanpa tu­juan. Hatinya yang pedih membuat kaki­nya bergerak menempuh jalan-jalan yang paling sukar. Pandang matanya muram tertutup air mata dan wajahnya agak pucat. Setelah hari menjadi gelap, baru­lah ia terpaksa berhenti karena tak mungkin melanjutkan perjalanan yang amat sukar itu di malam gelap. Betapa pun nelangsa hatinya, Song Goat sama sekali tidak mempunyai niat untuk bunuh diri. Pendidikan ayahnya tentang kebatin­an sudah mendalam sehingga perbuatan ini merupakan pantangan besar baginya. Ayahnya sebagai ahli pengobatan berpen­dirian bahwa manusia harus menjaga diri harus memelihara tubuh dan memperta­hankan nyawa sekuatnya, menentang maut sedapat mungkin karena hal ini merupakan satu daripada kewajiban hi­dup. Bunuh diri merupakan perbuatan yang paling hina dan pengecut.

Tidak, dia tidak mau membunuh diri dan melanjutkan perjalanan dalam gelap melalui jurang-jurang berbatu-batu itu yang sama halnya dengan usaha bunuh diri. Rasa lapar di perutnya menambah kesengsaraannya, namun sambil menggigit bibir Song Goat menahan lapar lalu men­cari tempat di antara batu-batu besar yang merupakan dinding tinggi di sebelah kirinya, untuk tempat berlindung mele­watkan malam.

Tempat di lereng gunung ini amat sunyi. Tiada terdengar sesuatu, tiada terlihat sesuatu yang hidup. Hanya penuh batu-batu dan guha-guha batu. Mula-mula sebelum datang malam, tidak tampak sesuatu yang menandakan bahwa di se­kitar tempat itu ada manusia lain. Akan tetapi setelah cuaca menjadi gelap, dari tempat ia mengaso, Song Goat dapat melihat cahaya menyorot keluar dari guha-guha batu sejauh sepelepasan anak panah. Cahaya yang menyorot keluar di antara celah-celah batu itu bergerak-gerak, tanda bahwa itu adalah cahaya api yang menyala dan bergerak-gerak terhembus angin. Ia merasa, heran dan curiga. Siapakah orangnya menjadi peng­huni tempat yang sunyi dan liar ini? Keinginan tahu yang besar menyelubungi hatinya dan membuat ia bangkit dan per­lahan-lahan ia menunduk dan menyelinap di antara batu-batu besar menghampiri guha itu. Dari celah-celah batu di luar guha yang diterangi sinar api unggun itu ia mengintai dan.... otomatis tangan kiri Song Goat menutup mulutnya untuk men­cegah suara keluar dari mulut itu, mata­nya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking jengah. Ia tentu akan segera membuang muka dan mundur agar tidak melihat lagi pemandangan yang tidak sopan itu kalau saja pengertiannya tentang cara pengobatan tidak membuat ia sadar dan maklum bahwa dua orang di dalam guha itu tengah melakukan latihan untuk penyembuhan luka di dalam yang amat hebat. Dua orang sedang duduk bersila, saling berhadapan, kedua pasang tangan saling menempel pada telapakan, mata meram dari kepala mereka tampak uap mengebul ke atas. Yang membuat ia malu dan jengah adalah keadaan mereka yang telanjang bulat dan mereka itu adalah seorang pemuda tampan dan se­orang gadis cantik!

Song Goat banyak belajar ilmu peng­obatan dari ayahnya. Biarpun belum per­nah ayahnya melakukan cara pengobatan seaneh yang dilakukan dua orang di da­lam guha, namun gadis itu pernah men­dengar tentang pengobatan dengan cara menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh ke tubuh orang lain yang diobati. Ia bah­kan tahu pula cara menyalurkan ini da­pat pula ia membantu seorang yang ter­luka di bagian dalam tubuhnya dengan penyaluran tenaga melalui telapak ta­ngan. Akan tetapi dalam keadaan telan­jang bulat seperti itu! Benar-benar baru kali ini ia melihatnya! Tentu ini merupa­kan cara pengobatan kaum sesat pikir­nya. Karena ingin tahu, ia melawan perasaan malu dan jengah serta terus memandang keadaan dua orang muda yang ia anggap tidak tahu akan susila itu.

Setelah pandang matanya mulai ter­biasa dengan sinar api unggun yang ber­gerak-gerak itu, ia mengenal wanita cantik yang telanjang bulat itu. Kiranya wanita itu adalah gadis berpakaian merah yang memimpin para hwesio Tibet me­nyerang Siauw-bin Lo-mo, gadis yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni! Ah, pantas saja mereka melakukan cara pengobatan macam ini, pikirnya. Tidak salah lagi, pemuda tampan ini pun tentu seorang anggauta kaum sesat. Ber­pikir demikian, Song Goat menjadi muak dan hendak menyelinap pergi, akan tetapi ia urungkan niatnya ketika melihat ber­kelebatnya bayangan empat orang tinggi besar memasuki guha itu. Ia mengintai dan melihat bahwa empat orang ini ada­lah hwesio-hwesio berjubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu! Hemmm, kira­nya tempat ini menjadi tempat berkum­pul kaum sesat ini, pikirnya dengan hati berdebar. Kini tahulah ia bahwa ia ter­sesat ke sarang harimau, ke tempat musuh dan kalau sampai ia diketahui orang, tentu akan celaka. Baru murid Siang-mou Sin-ni saja sudah amat hebat dan tinggi tingkat kepandaiannya, tidak terlawan olehnya. Apalagi ditambah hwe­sio-hwesio itu dan pemuda tampan tak tahu malu ini! Dia harus cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya ini, ma­lam ini juga.

Akan tetapi, kembali Song Goat menahan gerakan kakinya yang sudah melangkah hendak pergi dan matanya terbelalak memandang ke dalam guha. Hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya terjadi. Empat orang hwesio jubah merah itu mencabut golok dan pedang masing-masing, lalu serempak menyerang pemuda yang masih duduk bersila tak bergerak sambil meramkan mata! Hampir saja Song Goat berseru kaget melihat gemerlapnya empat batang senjata tajam itu melayang ke arah Si Pemuda. Juga kini baru tampak oleh Song Goat bahwa tubuh pemuda tampan itu dari leher ke bawah berwarna kehitaman. Tadi ia tidak sampai hati memandang tubuh telanjang bulat itu, kini dalam sekilas pandang karena pemuda itu terancam bahaya, baru ia melihatnya dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah keracunan secara hebat sekali. Melihat betapa tubuh wanita itu putih bersih dan kemerahan membayangkan kesehatan, ia kini tahu bahwa Si Wanita itulah yang sedang menyalurkan hawa sakti untuk membantu dan mengobati Si Pemuda. Dan kini pemuda itu diserang hebat da­lam keadaan tidak berdaya sama sekali.

Song Goat melihat betapa wanita cantik murid Siang-mou Sin-ni itu mem­buka mata, terbelalak, lalu tangan ka­nannya yang tadinya menempel pada telapak tangan pemuda itu terlepas, dan secepat kilat tangan itu mendorong ke depan melalui atas kepala pemuda itu, empat kali berturut-turut mendorong ke arah empat orang hwesio jubah merah yang tidak memperhatikannya. Dari ta­ngan kanan itu meluncur hawa pukulan yang jelas tampak bersinar merah ke arah empat orang hwesio jubah merah dan.... empat orang hwesio itu menge­luarkan pekik mengerikan, senjata mere­ka terlepas dan mereka terjengkang ke belakang dengan mata terbelalak dan tewas seketika!

Akan tetapi tubuh wanita cantik itu sendiri tergetar hebat, tangan kirinya menggigil kemudian tubuhnya sendiri terjengkang, telentang, seluruh tubuhnya kini menjadi menghitam napasnya terengah-engah. Anehnya tubuh Si Pemuda yang tadinya menghitam itu kini menjadi putih bersih dari leher sampai ke ping­gang, dan warna kehitaman hanya tam­pak dari pinggang ke bawah.

No comments:

Post a Comment