Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 4g

dorongan tangan dari jauh, dapat membuat tubuhnya ter­lempar ke sana ke mari! Sambil mem­permainan tubuh Hoan-lokai yang beterbangan pulang pergi di udara, dua orang itu sudah bercakap-cakap seenak­nya!

“Heh manusia kerdil, melihat bahwa kau sudah mengenal namaku dan me­miliki kepandaian yang tidak buruk, kau tentu bukan sembarang orang. Siapakah kau dan apakah nyawamu rangkap maka kau berani mencoba untuk main-main dengan aku?” Bu-tek Siu-lam bertanya, sikapnya masih memandang rendah dan mengejek.

“Hoh-hoh-huh-huh, manusia pesolek, Bu-tek Siu-lam. Kau boleh. jadi merupa­kan setan di barat dan ditakuti orang, akan tetapi jangan mengira bahwa aku Si Tua Bangka yang sudah terlalu tua takut kepadamu. Ha-ha-hah, alangkah lucunya kalau seorang tokoh muda hijau seperti Bu-tek Siu-lam mengira bisa membikin gentar Siauw-bin Lo-mo!” Kakek kecil itu tertawa terus, akan tetapi mulutnya tidak bergerak dan kini dorongannya membuat tubuh Hoan-lokai makin cepat dan kuat meluncur ke arah Bu-tek Siu­lam.

“He-he-hi-hi-hik! Kiranya Siauw-bin Lo-mo si Iblis Tua Bangka. Pantas, pan­tas sekali! Orangnya ternyata lebih buruk daripada namanya!” Bu-tek Siu-lam tidak menanti sampai tubuh Hoan-lokai me­nyambar dekat. Ia memapaki dengan dorongan jarak jauh sambil mengerahkan tenaga.

Dua tenaga sinkang raksasa bertemu di udara, menggencet tubuh Hoan-lokai dan.... tubuh kakek pengemis itu terhenti di udara, di tengah-tengah antara mereka seakan-akan tertahan oleh dua tenaga besar yang saling bertemu di udara! Kini setelah saling memperkenalkan diri dan tahu bahwa lawan masing-masing adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat, kedua orang ini tidak main-main lagi. Dengan berdiri tegak, tangan kanan me­reka diulur ke depan dengan jari tangan terbuka darimana meluncur tenaga sakti yang tak tampak, yang “menahan” bahkan mendorong tubuh Hoan-lokai di tengah udara. Wajah mereka berkeringat, tekan­an makin hebat dan keduanya tidak mau saling mengalah.

Celaka sekali adalah Hoan-lokai. Tadi ia diperlakukan seperti sebuah bola di­lontarkan ke sana ke mari sehingga ke­palanya pening, pandang matanya ber­kunang dan kini, tertahan oleh gencetan dua tenaga dahsyat itu, ia merasa tubuh­nya terjepit dan sukar bernapas. Makin lama makin hebat dan akhirnya ia me­ngeluarkan teriakan menyeramkan, tubuh­nya lalu menjadi lemas dan dari hidung, mulut dan telinganya bercucuran darah! Hoan-lokai tewas dalam keadaan masih mengapung di tengah udara!

Melihat ini, kedua orang aneh itu menarik kembali tangannya dan tubuh Hoan-lokai terbanting berdebuk ke atas tanah. Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Iblis tua bangka kurus kering benar-benar mengagumkan!”

Siauw-bin Lo-mo tertawa juga. “Eng­kau hebat, akan tetapi belum tentu aku kalah. Bangkai ini tak menyenangkan, lebih baik disingkirkan saja!” Mendengar ucapan datuk mereka, orang-orang Thian­-liong-pang maju hendak menyeret mayat Hoan-lokai, akan tetapi Siauw-bin Lo­-mo mencegah dengan gerakan tangan, lalu berkata. “Tak usah, tak usah, kenapa banyak repot untuk menyingkirkan bang­kai ini?”

Anak buah Thian-liong-pang mundur kembali dan memandang heran. Kakek kecil itu sambil mengeluarkan suara ter­tawa-tawa lalu meraba bumbung bambu di punggungnya, mengambil sebuah botol kecil dan membuka tutup botol, menu­angkannya beberapa tetes cairan ber­warna kuning ke atas mayat Hoan-lokai. Tampak asap mengebul dan bau sangit. Ketika semua orang memandang ke arah mayat itu, mereka membelalakkan mata saking kaget dan herannya. Bahkan Bu-tek Siu-lam sendiri bergidik. Mayat itu berikut pakaiannya mulai lenyap, me­lumer menjadi cairan berwarna kuning! Bukan main kakek ini, pikir Bu-tek Siu-lam. Racun cairan di dalam botol tadi benar-benar amat hebat. Dengan racun seperti itu saja, kakek ini sudah dapat menebus kekalahan ilmu silat dan me­rupakan lawan yang amat berbahaya dan harus diperhatikan.

Dalam waktu singkat saja lenyaplah mayat Hoan-lokai. Cairan kuning lenyap pula, masuk ke dalam tanah. Siauw-bin Lo-mo masih tertawa-tawa, kemudian menghadapi Bu-tek Siu-lam sambil ber­kata.

“Bagaimana, bocah tampan. Apakah kau masih belum mau mengakui kelihaian kakekmu?”

Bu-tek Siu-lam mengangguk-angguk. “Memang hebat! Patut kau menjadi iblis bangkotan dari selatan. Akan tetapi, tentang kedudukan bengcu, nanti dulu. Belum mau aku menyerahkannya kepada­mu sebelum kau mengalahkan aku dan agaknya takkan mudah bagimu untuk mengalahkan guntingku ini, orang tua, biarpun kau mempunyai racun neraka itu!”

“Huah-hah-hah, bocah muda omongan­nya besar! Apakah hanya engkau saja yang menjadi sainganku? Ataukah masih ada yang lain? Kalau masih ada, lebih baik suruh mereka maju semua agar tidak kepalang tanggung aku turun ta­ngan membuang keringat menghadapi mereka!” Ucapan kakek kecil ini mem­buat Bu-tek Siu-lam mendongkol. Wah, tua bangka ini benar-benar sombong bu­kan main, pikirnya, tentu memiliki ilmu simpanan yang ampuh.

Sebelum Bu-tek Siu-lam sempat men­jawab, terdengar bunyi pekik seperti lolong serigala, terdengar dari utara. Lolong ini hebat bukan main, menggetar­kan tanah dan pohon-pohon di puncak itu, dan bergema di sekeliling puncak. Belum lenyap gema suara melolong me­ngerikan ini, orangnya sudah muncul. Kakek yang muncul kali ini sama aneh­nya dengan dua orang pertama, akan tetapi lebih lucu lagi agaknya. Tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, kepalanya ditutupi sebuah topi yang tinggi, sepasang matanya hanya tampak dua lubang hitam yang amat dalam sehingga tak tampak biji matanya, tangan kanan memegang sebuah senjata yang aneh, berbentuk seperti pedang, ujungnya ber­kait dan bergigi seperti gergaji! Tangan kirinya memegang segulung tali kecil yang ujungnya mengikat sebuah pancing bermata kail pula! Benar-benar seorang aneh, akan tetapi pakaiannya tidak kalah mewah oleh pakaian Bu-tek Siu-lam. Berbareng dengan munculnya tokoh aneh ini, muncul pula serombongan orang tinggi besar yang galak sikapnya dan aneh pakaiannya. Kiranya mereka ini adalah orang-orang Khitan dan Mongol, orang­orang dari utara. Melihat rombongan ini, mudah saja diduga siapa tokoh aneh itu.

“Heh-heh-hik-hik! Siapa lagi badut ini kalau bukan Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia)!” kata Bu-tek Siu-lam.

Mendengar ini, Siauw-bin Lo-mo me­mandang penuh perhatian dan amat ter­tarik, kemudian sambil tertawa-tawa ia pun berkata, “Aha, kiranya yang hadir adalah Pak-sin-ong yang terkenal! Bagus, tidak percuma kalau begini kedatanganku, bertemu dengan orang-orang yang ber­nama besar!”

Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang cerdik. Tadi, sungguhpun hanya mengukur kekuatan sinkang masing-masing, ia telah mencoba kelihaian Siauw-bin Lo-mo dan maklum bahwa betapapun lihai kakek kecil itu, ia sanggup menandinginya. Kini muncul lagi seorang saingan yang nama­nya sudah terkenal sekali, maka ia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu dan ingin mencobanya sebelum bertanding memperebutkan kedudukan bengcu. Sam­bil tersenyum mengejek ia lalu meng­hadapi Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong dan berkata.

“Pak-sin-ong terkenal sebagai seorang algojo, maka ke mana-mana membawa gergaji. Agaknya tali itu untuk mengikat korban selain untuk mancing, dan gergaji itu jelas untuk menggorok leher. Hi-hi­-hik! Senjatamu lucu sekali, Pak-sin-ong akan tetapi aku sangsi apakah cukup kuat menandingi gunting dan jarum be­nangku!” Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam sudah mencabut guntingnya yang dipegang di tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang jarum besar dengan gulungan benangnya!

Pak-sin-ong mengerutkan keningnya. Dia memang aneh dan lucu pakaiannya, akan tetapi sikapnya sama sekali tidak ramah apalagi lucu. Ia seorang yang sikapnya angkuh. Tadi begitu muncul dan menghadapi teguran-teguran Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia hanya ber­diri dengan kedua kaki terbuka lebar, dada dibusungkan dan kepala dikedikkan, muka agak berdongak memandang kedua orang itu dengan sikap angkuh sekali. Hal ini tidak aneh karena di dunia utara, ia mengangkat diri sendiri menjadi raja, bahkan diperlakukan sebagai raja oleh anak buahnya, yaitu segolongan bangsa Khitan dan Mongol. Kini mendengar ucapan Bu-tek Siu-lam yang tidak hanya amat menghina akan tetapi juga terang-terangan menantangnya itu, mukanya seketika menjadi merah sekali dan dari dua lubang matanya menyambar sinar berapi. Mulut yang seperti tengkorak hidup itu agak tersenyum mengejek, kemudian terdengar suaranya,

“Bu-tek Siu-lam, sudah lama kudengar namamu. Ternyata memang kau pesolek, genit, sombong dan menjemukan. Nah, rasakan kelihaian Pak-sin-ong!” Begitu kata-katanya berhenti, sinar putih yang menyilaukan mata sudah menyambar ke depan. Itulah senjata gergajinya yang sudah ia gerakkan membacok dengan gerakan menarik ke arah perut Bu-tek Siu-lam. Kecepatan gerak dan angin yang didatangkan oleh serangan ini cukup dahsyat dan agaknya kalau perut orang kena disambar gigi-gigi gergaji dengan kekuatan sehebat itu, tentu akan ter­belah dan isi perutnya akan cerai-berai!

“Traanggg....!” Pak-sin-ong terhuyung mundur tiga langkah, juga Bu-tek Siu­lam terdorong ke belakang ketika senjata gergaji itu bertemu dengan gunting besar di tangan Si Tokoh Genit. Mereka me­mandang kagum dan muka mereka ber­ubah sedikit. Pertemuan kedua senjata ini cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa lawan tak boleh dipandang ringan.

“Siuuuuutttt....!” Kini sinar yang kecil panjang menyambar dari tangan kiri Pak-sin-ong, sinar ini melengkung dan me­layang ke atas, lalu dari atas menyambar ke arah kepala Bu-tek Siu-lam.

“Cringgg....!” Sinar kecil putih itu terpental kembali ketika tertumbuk oleh sinar kecil kuning yang meluncur dari tangan kanan Bu-tek Siu-lam. Ternyata tali yang ujungnya terdapat sebuah pan­cing itu tertangkis oleh jarum besar yang diikat benang. Kembali kedua orang ini mendapat kenyataan bahwa lawan ma­sing-masing selain memiliki tenaga yang kuat, juga sama-sama ahli dalam meng­gunakan senjata rahasia bertali itu.

Melihat betapa dua orang yang sudah bergebrak dua kali itu kini saling pan­dang dan kelihatan ragu-ragu, Siauw-bin Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal tanpa menggerakkan mulutnya. Melihat ini, Pak-sin-ong diam-diam meremang bulu tengkuknya. Benar-benar kakek kecil itu menyeramkan sekali, pikirnya.

“Huah-ha-ha-ha, belum juga lecet kulitnya, kenapa sudah ragu-ragu dan takut-takut? Setelah kita datang, hayo kita putuskan siapa diantara kita bertiga yang patut menjadi Bengcu, ha-ha-ha!” Kakek kecil itu kini sudah melangkah maju di antara kedua orang calon lawan­nya, memasang kuda-kuda dan siap untuk menerjang. Dua orang lawannya yang maklum bahwa kakek kecil ini biarpun bertangan kosong namun amat berbahaya, sudah siap menanti serangan untuk men­jaga diri.

Pada saat itu, datang angin besar bersuitan yang membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu tergoncang hebat. Seakan-akan datang angin , taufan me­ngamuk dan di antara angin besar ini terdengar jelas langkah kaki seorang manusia yang terdengar berat seperti langkah kaki gajah! Tiga orang itu saling pandang dan karena mereka semua ada­lah orang-orang yang berilmu tinggi serta maklum akan datangnya seorang yang lihai, maka mereka menunda gerakan saling serang, menanti penuh kewaspada­an. Tak lama kemudian benar saja, orang yang mendatangkan angin taufan dahsyat itu muncul dengan langkah lebar. Dia seorang tinggi besar berkepala gundul, berpakaian seperti hwesio, mukanya se­perti seekor monyet besar, nampaknya kuat sekali, mukanya yang menyeramkan selalu tersenyum, matanya liar, dan kedua tangannya membawa sepasang gembreng, yaitu sepasang alat tetabuhan yang saling dipukulkan berbunyi nyaring dan berisik.

“Tak salah lagi, engkau tentulah Thai­-lek Kauw-ong!” seru Bu-tek Siu-lam sam­bil memandang penuh perhatian.

“Ha-ha, bagaimana kau bisa tahu bahwa dia adalah Si Raja Monyet?” ta­nya Siauw-bin Lo-mo, juga memandang penuh perhatian karena nama besar Thai-lek Kauw-ong sudah menjulang tinggi di dunia kang-ouw.

“Hi-hik! Lihat saja mukanya, tiada ubahnya seekor monyet. Ini tentu datuk monyet-monyet, dan jelas tenaganya besar sekali. Pantas dijuluki Thai-lek Kauw-ong!”

“Bagus, kebetulan sekali!” kata Pak-sin-ong yang biarpun di dalam hatinya terkejut menyaksikan kedatangan orang yang mendatangkan angin ribut, namun di luarnya ia tetap bersikap angkuh dan memandang rendah. “Sekarang sudah lengkap, empat tokoh besar yang dicalon­kan menjadi Bengcu. Kita menanti apa­lagi? Mari mengeluarkan kepandaian me­nentukan siapa yang lebih unggul!”

Mendengar ini, Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Bu-tek Siu-lam sudah meloncat mundur tiga langkah sambil mencabut gunting dan jarum benangnya, sedangkan Pak-sin-ong sudah mencabut gergaji dan pancingnya, adapun Siauw-bin Lo-mo juga meloncat mundur memasang kuda-kuda, kedua ta­ngannya dekat dengan dompet-dompet yang berbaris di pinggang. Namun rak­sasa gundul yang baru datang, setelah berganti-ganti memandang tiga orang aneh di depannya, menggeleng kepalanya yang besar, mulutnya tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar, akan tetapi sam­pai lama baru keluar suara dari mulut­nya.

“Tidak bertempur!”

Kakek gundul ini memang benar Thai-lek Kauw-ong. Ia tidak mempunyai pe­ngikut sungguhpun banyak kaum sesat di Pantai Timur menjagainya karena kakek ini muncul dari pulau-pulau di laut ti­mur. Akan tetapi kakek ini memang tidak mau mempunyai anak buah, juga tidak ingin menjadi bengcu. Ia hanya ter­tarik mendengar nama besar Bu-tek Siu­-lam, Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong dan yang lain-lain, dan ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka untuk di­ajak mengadu ilmu. Thai-lek Kauw-ong ini bukan orang jahat, juga bukan orang baik-baik, karena ia tidak peduli lagi tentang kebaikan maupun kejahatan. Ia hidup sesuka hatinya sendiri, tidak me­ngenal hukum-hukum dan bertindak se­enak hatinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Karena ini, banyak ia me­lakukan hal-hal yang bagi umum dianggap amat kejam dan jahat, juga tidak jarang ia melakukan hal yang menurut anggapan umum amat baik. Padahal ia melakukan semua itu sama sekali tidak berdasarkan baik atau jahat, hanya menurut perasaan dan sesuka hatinya saja. Kalau hatinya lagi mengkal, tiada hujan tiada angin bisa saja ia turun tangan secara kejam melebihi iblis membunuh-bunuhi orang­orang yang sama sekali tidak salah. Ka­lau hatinya lagi senang, biar orang ber­sikap keterlaluan kepadanya, ia akan ter­tawasaja. Ia seorang aneh, dan tidak pandai bicara.

Mendengar ucapan kakek gundul itu, tiga orang aneh lainnya menjadi heran sekali. “Apakah kau tidak ingin menjadi Bengcu?” tanya Bu-tek Siu-lam yang suka bicara.

“Tidak ada Bengcu” jawab Si Kakek Gundul singkat.

“Huah-ha-ha-ha! Ucapan Kauw-ong benar-benar mengherankan sekali. Bukan­kah kita berempat ini datang di sini untuk menentukan siapa yang lebih ung­gul dan lebih pantas menjadi Bengcu di antara kita? Kalau tidak bertempur, mana bisa ada ketentuan?”

“Tidak bertempur. Dulu Thian-te Liok-kwi menjagoi, apa salahnya kini Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tak Terlawan)?”

Ucapan itu singkat namun jelas mak­sudnya. Agaknya Thai-lek Kauw-ong ini hendak menyatakan bahwa seperti dulu di jaman Thian-te Liok-kwi, juga tidak di­tentukan siapa menjadi bengcu dan ke­enam orang iblis itu menjagoi di dunia hitam dan menjadi sandaran kaum sesat. Sekarang, apa salahnya kalau mereka berempat pun tidak saling bersaing dan hidup sebagai Empat Iblis Tak Terlawan menjagoi dunia hitam?

Namun tiga orang aneh yang mende­ngar usulnya ini mengerutkan kening, tidak setuju. Hal itu adalah karena me­reka, bertiga ini semua mempunyai anak buah atau golongan yang mendukung mereka. Bu-tek Siu-lam sudah dianggap sebagai locianpwe atau raja oleh para pengemis golongan hitam dan tentu saja jagoan ini ingin terangkat lebih lagi, menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat. Demikian pula Pak-sin-ong yang sudah menganggap dirinya sebagai raja kecil sebagian orang-orang Khitan dan Mongol. Ia selalu rindu untuk me­rampas kedudukan raja di Khitan dan Mongol, maka tentu saja ingin sekali ia merampas kedudukan bengcu. Kalau ia menjadi bengcu, berarti ia menjadi raja sekalian kaum sesat dan dengan mengan­dalkan bantuan kaum sesat di dunia per­silatan teritu akan lebih mudah baginya untuk merampas kekuasaan di Kerajaan Khitan. Orang ke tiga, Siauw-bin Lo-mo juga mempunyai pendukung, yaitu Thian-liong-pang dan semua bajak serta perampok di daerah selatan. Sudah lama ia menjadi musuh besar dari Beng-kauw maka kini ia ingin sekali menjadi bengcu untuk mengerahkan tenaga menyerbu dan mengalahkan Beng-kauw serta merampas Kerajaan Nan-cao yang kecil namun makmur dan jaya. Inilah sebabnya me­ngapa tiga orang aneh itu tidak setuju akan usul Thai-lek Kauw-ong yang tak banyak bicara.

“Pemilihan Bengcu harus diadakan!” seru Bu-tek Siu-lam.

“Setelah jauh-jauh datang ke sini, untuk apa kalau tidak menjadi Bengcu?” kata pula Pak-sin-ong penasaran.

“Terpilih menjadi Bengcu atau tidak, harus diputuskan dalam adu kepandaian!” Siauw-bin Lo-mo juga berkata.

“Bodoh!” Thai-lek Kauw-ong memben­tak. “Kita menjadi sahabat, saling bantu. Kalau mau bertanding, ayolah! Yang jatuh paling dulu menjadi adik termuda, yang menang menjadi kakak tertua. Mari main-main!” Setelah berkata demikian, kakek gundul ini mengadukan gembreng­nya sehingga terdengar bunyi “brenggg!” yang nyaring sekali menulikan telinga.

Tiga rombongan pengikut yang tadinya sudah muncul, menjadi terkejut, menutupi telinga dan cepat-cepat mereka itu le­nyap menyembunyikan diri dan mundur. Hanya beberapa orang yang menjadi pim­pinan mereka saja berani menonton per­temuan empat orang aneh itu dari tem­pat yang agak jauh dan aman.

Tiga orang aneh itu segera bergerak dan karena mereka bertiga masih ingin sekali menjadi bengcu sesuai dengan cita-cita mereka semula dan menentang usul Thai-lek Kauw-ong yang dikeluarkan melalui ucapan singkat, otomatis mereka bertiga menujukan serangan mereka ke­pada Thai-lek Kauw-ong seorang! Pada­hal menurut kemauan Raja Monyet ini, mereka berempat bertanding tanpa pilih kawan atau lawan untuk melihat siapa di antara mereka yang paling kuat untuk dipilih dan ditentukan jago pertama sebagai kakak tertua, ke dua, ke tiga dan ke empat. Kini melihat betapa tiga orang itu menyerbu kepadanya seorang, kakek gundul ini mengeluarkan pekik dahsyat seperti jerit seekor kera marah!

Gergaji di tangan Pak-sin-ong yang menyambar cepat ke arah perutnya yang gendut itu ia elakkan dengan melesat ke kanan, kemudian sebelum gunting Bu-tek Siu-lam yang juga menggunting ke arah lehernya itu tiba, ia sudah men­dahului menggerakkan sepasang gembreng­nya menggencet ke arah gunting itu dengan kekuatan dahsyat, sedangkan pada saat itu juga, kaki kirinya menendang dengan gerakan tiba-tiba dan tidak ter­duga-duga ke arah Siauw-bin Lo-mo yang menerjang maju dan menyerangnya de­ngan totokan jari telunjuk kanan. Karena kaki Thai-lek Kauw-ong tentu saja jauh lebih panjang daripada lengan Siauw-bin Lo-mo, maka kakek gundul ini hendak sekaligus memunahkan totokan dan balas menyerang dengan tendangannya yang mendatangkan angin bersiutan itu! Se­kaligus kakek gundul ini telah melayani serangan tiga orang lawannya!

Bu-tek Siu-Iam terkejut. Biarpun ia lihai dan guntingnya merupakan senjata yang kuat, namun melihat betapa sepa­sang gembreng itu mengancam hendak menjepit, ia merasa khawatir juga dan cepat-cepat menarik kembali serangan guntingnya, akan tetapi melihat betapa cepatnya gerakan sepasang gembreng, ia lalu menggerakkan tangan kanannya. “Wiirr....!” Jarum besar yang diikat be­nang di tangan kanannya menyambar ke tenggorokan Kauw-ong. “Tranggg....!” Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak membiarkan tenggorokannya ditusuk jarum, maka terpaksa menangkis dengan gem­breng kirinya dan usahanya menjepit gunting menjadi gagal.

Siauw-bin Lo-mo kaget bukan main. Angin yang menyambar keluar dan ten­dangan kakek gundul itu dahsyat sekali dan tahulah ia bahwa Si Gundul itu tidak percuma mempunyai julukan Thai-lek yang menyatakan betapa tenaganya amat besar. Cepat ia miringkan tubuh meng­elak.

Dalam segebrakan itu saja, dari ke­adaan diserang, Thai-lek Kauw-ong mam­pu merobah keadaan menyerang dan ini membuktikan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi dan agaknya kalau dibandingkan dengan tiga orang itu masing-masing, kakek gundul ini masih menang setingkat. Namun tentu saja tiga orang aneh yang sudah biasa dengan kemenangan-keme­nangan, tidak suka melihat kenyataan ini dan sekarang mereka bertiga sudah siap-siap lagi untuk menerjang Thai-lek Kauw-ong!

“Hemm, kalian seperti bajingan-ba­jingan kecil hendak mengeroyok? Boleh!” Biarpun ia tidak pandai bicara, namun kata-kata singkat yang keluar dari mulut kakek gundul itu cukup menusuk perasa­an. Tiga orang tokoh besar itu tentu saja menjadi malu sekali dan biarpun di da­lam hati mereka itu diam-diam bermak­sud mengeroyok kakek gundul yang kosen ini, namun di luarnya mereka tak sudi mengakuinya. Tuduhan yang tepat mengenai hati ini membuat mereka tiba-tiba meloncat mundur ke belakang dengan muka merah.

“Siapa mengeroyokmu? Sombong! Li­hat kelihaian Pak-sin-ong!” seru Pak-sin-ong atau Ji-cam Khoa-ong. Gerakannya amatlah cepat dan karena tokoh ini lebih mengandalkan tenaga dalam, maka gerakannya tidak mengeluarkan suara. Dengan kecepatan seperti kilat menyam­bar, sinar putih dari tangan kirinya sudah meluncur cepat dan itulah pancing ber­tali yang menyambar ke arah muka Thai-lek Kauw-ong. Kakek gundul ini cepat mengelak karena ia belum mengenal sen­jata ini, akan tetapi pancing itu dapat mengikutinya ke mana pun ia mengelak dan tetap mengancam mukanya. Sambil mendengus marah Thai-lek Kauw-ong menggerakkan gembreng kanannya me­nangkis. Terdengar suara “cringgg!” ke­ras sekali dan pancing itu menyambar kembali, bahkan menyerang Pak-sin-ong sendiri! Pak-sin-ong kaget dan cepat menggentak tali di tangan kirinya sehingga pancing itu berputaran di udara kemudian meluncur lagi ke arah Thai-lek Kauw-ong. Ketika kakek gundul ini menghindar ke kiri sambil mengibaskan gembreng kanan, Pak-sin-ong sudah me­nerjang maju dan menyerang dengan gergajinya yang menusuk terus mengait ke arah perut dan lambung kiri lawan!

Sama sekali bukan serangan ringan yang dilakukan Pak-sin-ong ini karena selain gergajinya bergerak amat cepat serta mengandung tenaga dalam yang dahsyat, juga gerakan gergaji ini meleng­kung membentuk setengah lingkaran yang merupakan pintu penutup bagi jalan ke­luar lawan! Thai-lek Kauw-ong berseru memuji dan juga kaget, maka ia cepat menghantamkan gembrengnya yang kiri untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Brenggg....!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika gembreng itu berhasil menangkis gergaji. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget dan terpaksa meloncat cepat ke belakang untuk mematahkan tenaga tang­kisan yang sedemikian kuatnya sehingga kalau ia mempertahankan kuda-kudanya, tentu ia akan terhuyung-huyung! Pada saat itu, Bu-tek Siu-lam meloncat maju menerjang Raja Monyet itu sambil ber­seru keras.

“Klik-klik!” Guntingnya yang besar berbunyi dua kali dan dengan amat cepat­nya Thai-lek Kauw-ong menghindar sehingga guntingan itu tidak mengenai sasaran, sungguhpun hanya sedikit selisih­nya dari leher dan pundaknya. Karena melihat majunya tokoh banci ini, Pak-sin-ong cepat mundur menjauhi karena ia tidak sudi jika dianggap mengeroyok. Namun dalam hatinya ia merasa lega karena ia sudah tertolong dari keadaan kehilangan muka. Betapapun juga harus diakui bahwa Si Raja Monyet itu benar-benar lihai sekali.

“Klik.... brenggg!” kembali seperti ke­adaan Pak-sin-ong tadi, gunting di tangan Bu-tek Siu-lam kena ditangkis sehingga api berpijar dan disusul suara gembreng itu berbunyi susul-menyusul nyaring se­kali. Wajah Bu-tek Siu-lam sampai men­jadi pucat. Ia dapat menangkis dan me­ngelak sambaran dan gencatan senjata lawan, namun ia tak dapat mencegah suara yang nyaring hebat itu menerjang memasuki kedua telinganya. Hal ini benar-benar amat mengacaukan perasaan dan ketenangannya sehingga ia segera ter­desak hebat!

“Breng.... brenggg....!” Hampir saja ujung baju depan Bu-tek Siu-lam kena terjepit masih untung ia dapat membuang diri ke belakang dan kini dari tangan kanannya menyambar sinar kecil kuning pada saat ia membuang diri ke belakang ini.

“Hehh....!” Thai-lek Kauw-ong terkejut sekali, tidak mengira bahwa tokoh banci itu dalam keadaan terdesak dan mem­buang diri ke belakang dapat mengirim serangan dengan senjata rahasia yang demikian berbahaya. Terpaksa ia mengi­baskan gembrengnya sambil loncat ke belakang. Jarum itu terpukul menyele­weng oleh angin yang menyambar dari gembreng yang dikibaskan dengan tenaga besar. Akan tetapi di lain pihak, Bu-tek Siu-lam juga terkejut dan mengeluar­kan keringat dingin. Kalau ia tidak ber­laku cepat, jangankan sampai terkena himpitan sepasang gembreng itu, baru terjepit ujung bajunya saja berarti ia sudah mendapat malu. Maka berbareng dengan elakan Thai-lek Kauw-ong ke belakang, ia pun melangkah mundur sam­bil memasang kuda-kuda dengan sikap waspada.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw-bin Lo-mo untuk memperlihatkan ilmunya dan menguji kepandaian Si Raja Monyet. “Huah-hah-hah, Kauw-ong, kau­terimalah senjataku!” bentaknya dan ke­tika tangannya bergerak, sebuah benda hitam menyambar, bukan ke arah tubuh Kauw-ong, melainkan ke depan kakinya. Melihat ini, Thai-lek Kauw-ong, menge­luarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah mencelat ke atas tinggi sekali, agaknya ia ketakutan. Bu-tek Siu-lam dan Pak-sin-ong terheran mengapa orang kosen itu takut menghadapi senjata ra­hasia yang dilemparkan ke depan kaki, sedetik kemudian mereka tahu sebabnya ketika benda itu menyentuh tanah dan meledak keras mengeluarkan api berpijar ke sekelilingnya. Andaikata Thai-lek Kauw-ong tadi tidak meloncat tinggi ke atas, tentu akan kena sambaran api yang muncrat-muncrat dari ledakan itu!

Thai-lek Kauw-ong marah. Dari atas udara tubuhnya memyambar turun ke arah Siauw-bin Lo-mo, sepasang gembrengnya menyambar karena ia lontarkan ke bawah! Hebat bukan main sepasang gembreng ini. Bukan hanya dapat dipergunakan se­bagai senjata, malah kini dipergunakan sebagai senjata lontar yang ampuh. Dua benda itu kini seperti dua buah piring terbang menyambar tubuh Siauw-bin Lo-mo, yang sebuah menyambar leher, yang sebuah lagi menyambar perut! Namun biar Siauw-bin Lo-mo bertangan kosong dan bertubuh kecil, kegesitannya ternyata tidak kalah oleh yang lain-lain, bahkan mungkin melebihi. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dan hanya tampak bayangan berkelebat menyelinap di antara dua benda yang menyambarnya. Sepasang gembreng itu berputaran terus kembali ke arah Thai-lek Kauw-ong yang sudah turun ke atas tanah. Raksasa gundul ini menyam­but sepasang gembrengnya dengan mudah.

Empat orang sakti itu kini saling berhadapan, atau lebih tepat lagi, Thai-lek Kauw-ong dengan sepasang gemrengan siap menghadapi tiga orang itu. Karena dalam gebrakan-gebrakan per­orangan tadi dapat terlihat bahwa betapa pun juga tingkat ilmu kepandaian Thai­-lek Kauw-ong yang paling hebat, maka kini timbul kecenderungan hati tiga yang lain untuk mengeroyok dan menundukkan lebih dulu lawan yang paling kuat ini. Thai-lek Kauw-ong tersenyum mengejek kedua gembreng siap di tangan dan ia gembira sekali bahwa hari ini ia meng­hadapi tiga orang lawan yang akan me­rupakan makanan yang keras baginya! Inilah baru kesempatan mengadu ilmu yang memuaskan hatinya!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking ini selain nyaring memekakkan telinga, juga membuat jantung empat orang tokoh besar itu tergetar dan ini saja sudah menjadi tanda bahwa lengking itu dikeluarkan dengan pengerahan khikang yang tinggi. Tentu saja empat orang itu ter­kejut dan seketika menghentikan gerakan mereka yang tadi sudah siap bertanding. Ketika Thai-lek Kauw-ong memutar tu­buh dan tiga orang lainnya juga meman­dang, mereka melihat seorang wanita duduk di atas ranting pohon. Entah kapan wanita itu berada di situ. Kedatangannya yang tak diketahui empat orang itu saja sudah membuktikan ginkang yang luar biasa, apalagi wanita itu duduk di atas ranting yang kecil dan kiranya akan pa­tah kalau diduduki orang biasa. Akan tetapi wanita itu duduk dengan enak, membelakangi

No comments:

Post a Comment