dorongan tangan dari jauh, dapat membuat tubuhnya terlempar ke sana ke mari! Sambil mempermainan tubuh Hoan-lokai yang beterbangan pulang pergi di udara, dua orang itu sudah bercakap-cakap seenaknya!
“Heh manusia kerdil, melihat bahwa kau sudah mengenal namaku dan memiliki kepandaian yang tidak buruk, kau tentu bukan sembarang orang. Siapakah kau dan apakah nyawamu rangkap maka kau berani mencoba untuk main-main dengan aku?” Bu-tek Siu-lam bertanya, sikapnya masih memandang rendah dan mengejek.
“Hoh-hoh-huh-huh, manusia pesolek, Bu-tek Siu-lam. Kau boleh. jadi merupakan setan di barat dan ditakuti orang, akan tetapi jangan mengira bahwa aku Si Tua Bangka yang sudah terlalu tua takut kepadamu. Ha-ha-hah, alangkah lucunya kalau seorang tokoh muda hijau seperti Bu-tek Siu-lam mengira bisa membikin gentar Siauw-bin Lo-mo!” Kakek kecil itu tertawa terus, akan tetapi mulutnya tidak bergerak dan kini dorongannya membuat tubuh Hoan-lokai makin cepat dan kuat meluncur ke arah Bu-tek Siulam.
“He-he-hi-hi-hik! Kiranya Siauw-bin Lo-mo si Iblis Tua Bangka. Pantas, pantas sekali! Orangnya ternyata lebih buruk daripada namanya!” Bu-tek Siu-lam tidak menanti sampai tubuh Hoan-lokai menyambar dekat. Ia memapaki dengan dorongan jarak jauh sambil mengerahkan tenaga.
Dua tenaga sinkang raksasa bertemu di udara, menggencet tubuh Hoan-lokai dan.... tubuh kakek pengemis itu terhenti di udara, di tengah-tengah antara mereka seakan-akan tertahan oleh dua tenaga besar yang saling bertemu di udara! Kini setelah saling memperkenalkan diri dan tahu bahwa lawan masing-masing adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat, kedua orang ini tidak main-main lagi. Dengan berdiri tegak, tangan kanan mereka diulur ke depan dengan jari tangan terbuka darimana meluncur tenaga sakti yang tak tampak, yang “menahan” bahkan mendorong tubuh Hoan-lokai di tengah udara. Wajah mereka berkeringat, tekanan makin hebat dan keduanya tidak mau saling mengalah.
Celaka sekali adalah Hoan-lokai. Tadi ia diperlakukan seperti sebuah bola dilontarkan ke sana ke mari sehingga kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan kini, tertahan oleh gencetan dua tenaga dahsyat itu, ia merasa tubuhnya terjepit dan sukar bernapas. Makin lama makin hebat dan akhirnya ia mengeluarkan teriakan menyeramkan, tubuhnya lalu menjadi lemas dan dari hidung, mulut dan telinganya bercucuran darah! Hoan-lokai tewas dalam keadaan masih mengapung di tengah udara!
Melihat ini, kedua orang aneh itu menarik kembali tangannya dan tubuh Hoan-lokai terbanting berdebuk ke atas tanah. Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Iblis tua bangka kurus kering benar-benar mengagumkan!”
Siauw-bin Lo-mo tertawa juga. “Engkau hebat, akan tetapi belum tentu aku kalah. Bangkai ini tak menyenangkan, lebih baik disingkirkan saja!” Mendengar ucapan datuk mereka, orang-orang Thian-liong-pang maju hendak menyeret mayat Hoan-lokai, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo mencegah dengan gerakan tangan, lalu berkata. “Tak usah, tak usah, kenapa banyak repot untuk menyingkirkan bangkai ini?”
Anak buah Thian-liong-pang mundur kembali dan memandang heran. Kakek kecil itu sambil mengeluarkan suara tertawa-tawa lalu meraba bumbung bambu di punggungnya, mengambil sebuah botol kecil dan membuka tutup botol, menuangkannya beberapa tetes cairan berwarna kuning ke atas mayat Hoan-lokai. Tampak asap mengebul dan bau sangit. Ketika semua orang memandang ke arah mayat itu, mereka membelalakkan mata saking kaget dan herannya. Bahkan Bu-tek Siu-lam sendiri bergidik. Mayat itu berikut pakaiannya mulai lenyap, melumer menjadi cairan berwarna kuning! Bukan main kakek ini, pikir Bu-tek Siu-lam. Racun cairan di dalam botol tadi benar-benar amat hebat. Dengan racun seperti itu saja, kakek ini sudah dapat menebus kekalahan ilmu silat dan merupakan lawan yang amat berbahaya dan harus diperhatikan.
Dalam waktu singkat saja lenyaplah mayat Hoan-lokai. Cairan kuning lenyap pula, masuk ke dalam tanah. Siauw-bin Lo-mo masih tertawa-tawa, kemudian menghadapi Bu-tek Siu-lam sambil berkata.
“Bagaimana, bocah tampan. Apakah kau masih belum mau mengakui kelihaian kakekmu?”
Bu-tek Siu-lam mengangguk-angguk. “Memang hebat! Patut kau menjadi iblis bangkotan dari selatan. Akan tetapi, tentang kedudukan bengcu, nanti dulu. Belum mau aku menyerahkannya kepadamu sebelum kau mengalahkan aku dan agaknya takkan mudah bagimu untuk mengalahkan guntingku ini, orang tua, biarpun kau mempunyai racun neraka itu!”
“Huah-hah-hah, bocah muda omongannya besar! Apakah hanya engkau saja yang menjadi sainganku? Ataukah masih ada yang lain? Kalau masih ada, lebih baik suruh mereka maju semua agar tidak kepalang tanggung aku turun tangan membuang keringat menghadapi mereka!” Ucapan kakek kecil ini membuat Bu-tek Siu-lam mendongkol. Wah, tua bangka ini benar-benar sombong bukan main, pikirnya, tentu memiliki ilmu simpanan yang ampuh.
Sebelum Bu-tek Siu-lam sempat menjawab, terdengar bunyi pekik seperti lolong serigala, terdengar dari utara. Lolong ini hebat bukan main, menggetarkan tanah dan pohon-pohon di puncak itu, dan bergema di sekeliling puncak. Belum lenyap gema suara melolong mengerikan ini, orangnya sudah muncul. Kakek yang muncul kali ini sama anehnya dengan dua orang pertama, akan tetapi lebih lucu lagi agaknya. Tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, kepalanya ditutupi sebuah topi yang tinggi, sepasang matanya hanya tampak dua lubang hitam yang amat dalam sehingga tak tampak biji matanya, tangan kanan memegang sebuah senjata yang aneh, berbentuk seperti pedang, ujungnya berkait dan bergigi seperti gergaji! Tangan kirinya memegang segulung tali kecil yang ujungnya mengikat sebuah pancing bermata kail pula! Benar-benar seorang aneh, akan tetapi pakaiannya tidak kalah mewah oleh pakaian Bu-tek Siu-lam. Berbareng dengan munculnya tokoh aneh ini, muncul pula serombongan orang tinggi besar yang galak sikapnya dan aneh pakaiannya. Kiranya mereka ini adalah orang-orang Khitan dan Mongol, orangorang dari utara. Melihat rombongan ini, mudah saja diduga siapa tokoh aneh itu.
“Heh-heh-hik-hik! Siapa lagi badut ini kalau bukan Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia)!” kata Bu-tek Siu-lam.
Mendengar ini, Siauw-bin Lo-mo memandang penuh perhatian dan amat tertarik, kemudian sambil tertawa-tawa ia pun berkata, “Aha, kiranya yang hadir adalah Pak-sin-ong yang terkenal! Bagus, tidak percuma kalau begini kedatanganku, bertemu dengan orang-orang yang bernama besar!”
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang cerdik. Tadi, sungguhpun hanya mengukur kekuatan sinkang masing-masing, ia telah mencoba kelihaian Siauw-bin Lo-mo dan maklum bahwa betapapun lihai kakek kecil itu, ia sanggup menandinginya. Kini muncul lagi seorang saingan yang namanya sudah terkenal sekali, maka ia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu dan ingin mencobanya sebelum bertanding memperebutkan kedudukan bengcu. Sambil tersenyum mengejek ia lalu menghadapi Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong dan berkata.
“Pak-sin-ong terkenal sebagai seorang algojo, maka ke mana-mana membawa gergaji. Agaknya tali itu untuk mengikat korban selain untuk mancing, dan gergaji itu jelas untuk menggorok leher. Hi-hi-hik! Senjatamu lucu sekali, Pak-sin-ong akan tetapi aku sangsi apakah cukup kuat menandingi gunting dan jarum benangku!” Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam sudah mencabut guntingnya yang dipegang di tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang jarum besar dengan gulungan benangnya!
Pak-sin-ong mengerutkan keningnya. Dia memang aneh dan lucu pakaiannya, akan tetapi sikapnya sama sekali tidak ramah apalagi lucu. Ia seorang yang sikapnya angkuh. Tadi begitu muncul dan menghadapi teguran-teguran Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia hanya berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, dada dibusungkan dan kepala dikedikkan, muka agak berdongak memandang kedua orang itu dengan sikap angkuh sekali. Hal ini tidak aneh karena di dunia utara, ia mengangkat diri sendiri menjadi raja, bahkan diperlakukan sebagai raja oleh anak buahnya, yaitu segolongan bangsa Khitan dan Mongol. Kini mendengar ucapan Bu-tek Siu-lam yang tidak hanya amat menghina akan tetapi juga terang-terangan menantangnya itu, mukanya seketika menjadi merah sekali dan dari dua lubang matanya menyambar sinar berapi. Mulut yang seperti tengkorak hidup itu agak tersenyum mengejek, kemudian terdengar suaranya,
“Bu-tek Siu-lam, sudah lama kudengar namamu. Ternyata memang kau pesolek, genit, sombong dan menjemukan. Nah, rasakan kelihaian Pak-sin-ong!” Begitu kata-katanya berhenti, sinar putih yang menyilaukan mata sudah menyambar ke depan. Itulah senjata gergajinya yang sudah ia gerakkan membacok dengan gerakan menarik ke arah perut Bu-tek Siu-lam. Kecepatan gerak dan angin yang didatangkan oleh serangan ini cukup dahsyat dan agaknya kalau perut orang kena disambar gigi-gigi gergaji dengan kekuatan sehebat itu, tentu akan terbelah dan isi perutnya akan cerai-berai!
“Traanggg....!” Pak-sin-ong terhuyung mundur tiga langkah, juga Bu-tek Siulam terdorong ke belakang ketika senjata gergaji itu bertemu dengan gunting besar di tangan Si Tokoh Genit. Mereka memandang kagum dan muka mereka berubah sedikit. Pertemuan kedua senjata ini cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa lawan tak boleh dipandang ringan.
“Siuuuuutttt....!” Kini sinar yang kecil panjang menyambar dari tangan kiri Pak-sin-ong, sinar ini melengkung dan melayang ke atas, lalu dari atas menyambar ke arah kepala Bu-tek Siu-lam.
“Cringgg....!” Sinar kecil putih itu terpental kembali ketika tertumbuk oleh sinar kecil kuning yang meluncur dari tangan kanan Bu-tek Siu-lam. Ternyata tali yang ujungnya terdapat sebuah pancing itu tertangkis oleh jarum besar yang diikat benang. Kembali kedua orang ini mendapat kenyataan bahwa lawan masing-masing selain memiliki tenaga yang kuat, juga sama-sama ahli dalam menggunakan senjata rahasia bertali itu.
Melihat betapa dua orang yang sudah bergebrak dua kali itu kini saling pandang dan kelihatan ragu-ragu, Siauw-bin Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal tanpa menggerakkan mulutnya. Melihat ini, Pak-sin-ong diam-diam meremang bulu tengkuknya. Benar-benar kakek kecil itu menyeramkan sekali, pikirnya.
“Huah-ha-ha-ha, belum juga lecet kulitnya, kenapa sudah ragu-ragu dan takut-takut? Setelah kita datang, hayo kita putuskan siapa diantara kita bertiga yang patut menjadi Bengcu, ha-ha-ha!” Kakek kecil itu kini sudah melangkah maju di antara kedua orang calon lawannya, memasang kuda-kuda dan siap untuk menerjang. Dua orang lawannya yang maklum bahwa kakek kecil ini biarpun bertangan kosong namun amat berbahaya, sudah siap menanti serangan untuk menjaga diri.
Pada saat itu, datang angin besar bersuitan yang membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu tergoncang hebat. Seakan-akan datang angin , taufan mengamuk dan di antara angin besar ini terdengar jelas langkah kaki seorang manusia yang terdengar berat seperti langkah kaki gajah! Tiga orang itu saling pandang dan karena mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi serta maklum akan datangnya seorang yang lihai, maka mereka menunda gerakan saling serang, menanti penuh kewaspadaan. Tak lama kemudian benar saja, orang yang mendatangkan angin taufan dahsyat itu muncul dengan langkah lebar. Dia seorang tinggi besar berkepala gundul, berpakaian seperti hwesio, mukanya seperti seekor monyet besar, nampaknya kuat sekali, mukanya yang menyeramkan selalu tersenyum, matanya liar, dan kedua tangannya membawa sepasang gembreng, yaitu sepasang alat tetabuhan yang saling dipukulkan berbunyi nyaring dan berisik.
“Tak salah lagi, engkau tentulah Thai-lek Kauw-ong!” seru Bu-tek Siu-lam sambil memandang penuh perhatian.
“Ha-ha, bagaimana kau bisa tahu bahwa dia adalah Si Raja Monyet?” tanya Siauw-bin Lo-mo, juga memandang penuh perhatian karena nama besar Thai-lek Kauw-ong sudah menjulang tinggi di dunia kang-ouw.
“Hi-hik! Lihat saja mukanya, tiada ubahnya seekor monyet. Ini tentu datuk monyet-monyet, dan jelas tenaganya besar sekali. Pantas dijuluki Thai-lek Kauw-ong!”
“Bagus, kebetulan sekali!” kata Pak-sin-ong yang biarpun di dalam hatinya terkejut menyaksikan kedatangan orang yang mendatangkan angin ribut, namun di luarnya ia tetap bersikap angkuh dan memandang rendah. “Sekarang sudah lengkap, empat tokoh besar yang dicalonkan menjadi Bengcu. Kita menanti apalagi? Mari mengeluarkan kepandaian menentukan siapa yang lebih unggul!”
Mendengar ini, Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Bu-tek Siu-lam sudah meloncat mundur tiga langkah sambil mencabut gunting dan jarum benangnya, sedangkan Pak-sin-ong sudah mencabut gergaji dan pancingnya, adapun Siauw-bin Lo-mo juga meloncat mundur memasang kuda-kuda, kedua tangannya dekat dengan dompet-dompet yang berbaris di pinggang. Namun raksasa gundul yang baru datang, setelah berganti-ganti memandang tiga orang aneh di depannya, menggeleng kepalanya yang besar, mulutnya tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar, akan tetapi sampai lama baru keluar suara dari mulutnya.
“Tidak bertempur!”
Kakek gundul ini memang benar Thai-lek Kauw-ong. Ia tidak mempunyai pengikut sungguhpun banyak kaum sesat di Pantai Timur menjagainya karena kakek ini muncul dari pulau-pulau di laut timur. Akan tetapi kakek ini memang tidak mau mempunyai anak buah, juga tidak ingin menjadi bengcu. Ia hanya tertarik mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong dan yang lain-lain, dan ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka untuk diajak mengadu ilmu. Thai-lek Kauw-ong ini bukan orang jahat, juga bukan orang baik-baik, karena ia tidak peduli lagi tentang kebaikan maupun kejahatan. Ia hidup sesuka hatinya sendiri, tidak mengenal hukum-hukum dan bertindak seenak hatinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Karena ini, banyak ia melakukan hal-hal yang bagi umum dianggap amat kejam dan jahat, juga tidak jarang ia melakukan hal yang menurut anggapan umum amat baik. Padahal ia melakukan semua itu sama sekali tidak berdasarkan baik atau jahat, hanya menurut perasaan dan sesuka hatinya saja. Kalau hatinya lagi mengkal, tiada hujan tiada angin bisa saja ia turun tangan secara kejam melebihi iblis membunuh-bunuhi orangorang yang sama sekali tidak salah. Kalau hatinya lagi senang, biar orang bersikap keterlaluan kepadanya, ia akan tertawasaja. Ia seorang aneh, dan tidak pandai bicara.
Mendengar ucapan kakek gundul itu, tiga orang aneh lainnya menjadi heran sekali. “Apakah kau tidak ingin menjadi Bengcu?” tanya Bu-tek Siu-lam yang suka bicara.
“Tidak ada Bengcu” jawab Si Kakek Gundul singkat.
“Huah-ha-ha-ha! Ucapan Kauw-ong benar-benar mengherankan sekali. Bukankah kita berempat ini datang di sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih pantas menjadi Bengcu di antara kita? Kalau tidak bertempur, mana bisa ada ketentuan?”
“Tidak bertempur. Dulu Thian-te Liok-kwi menjagoi, apa salahnya kini Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tak Terlawan)?”
Ucapan itu singkat namun jelas maksudnya. Agaknya Thai-lek Kauw-ong ini hendak menyatakan bahwa seperti dulu di jaman Thian-te Liok-kwi, juga tidak ditentukan siapa menjadi bengcu dan keenam orang iblis itu menjagoi di dunia hitam dan menjadi sandaran kaum sesat. Sekarang, apa salahnya kalau mereka berempat pun tidak saling bersaing dan hidup sebagai Empat Iblis Tak Terlawan menjagoi dunia hitam?
Namun tiga orang aneh yang mendengar usulnya ini mengerutkan kening, tidak setuju. Hal itu adalah karena mereka, bertiga ini semua mempunyai anak buah atau golongan yang mendukung mereka. Bu-tek Siu-lam sudah dianggap sebagai locianpwe atau raja oleh para pengemis golongan hitam dan tentu saja jagoan ini ingin terangkat lebih lagi, menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat. Demikian pula Pak-sin-ong yang sudah menganggap dirinya sebagai raja kecil sebagian orang-orang Khitan dan Mongol. Ia selalu rindu untuk merampas kedudukan raja di Khitan dan Mongol, maka tentu saja ingin sekali ia merampas kedudukan bengcu. Kalau ia menjadi bengcu, berarti ia menjadi raja sekalian kaum sesat dan dengan mengandalkan bantuan kaum sesat di dunia persilatan teritu akan lebih mudah baginya untuk merampas kekuasaan di Kerajaan Khitan. Orang ke tiga, Siauw-bin Lo-mo juga mempunyai pendukung, yaitu Thian-liong-pang dan semua bajak serta perampok di daerah selatan. Sudah lama ia menjadi musuh besar dari Beng-kauw maka kini ia ingin sekali menjadi bengcu untuk mengerahkan tenaga menyerbu dan mengalahkan Beng-kauw serta merampas Kerajaan Nan-cao yang kecil namun makmur dan jaya. Inilah sebabnya mengapa tiga orang aneh itu tidak setuju akan usul Thai-lek Kauw-ong yang tak banyak bicara.
“Pemilihan Bengcu harus diadakan!” seru Bu-tek Siu-lam.
“Setelah jauh-jauh datang ke sini, untuk apa kalau tidak menjadi Bengcu?” kata pula Pak-sin-ong penasaran.
“Terpilih menjadi Bengcu atau tidak, harus diputuskan dalam adu kepandaian!” Siauw-bin Lo-mo juga berkata.
“Bodoh!” Thai-lek Kauw-ong membentak. “Kita menjadi sahabat, saling bantu. Kalau mau bertanding, ayolah! Yang jatuh paling dulu menjadi adik termuda, yang menang menjadi kakak tertua. Mari main-main!” Setelah berkata demikian, kakek gundul ini mengadukan gembrengnya sehingga terdengar bunyi “brenggg!” yang nyaring sekali menulikan telinga.
Tiga rombongan pengikut yang tadinya sudah muncul, menjadi terkejut, menutupi telinga dan cepat-cepat mereka itu lenyap menyembunyikan diri dan mundur. Hanya beberapa orang yang menjadi pimpinan mereka saja berani menonton pertemuan empat orang aneh itu dari tempat yang agak jauh dan aman.
Tiga orang aneh itu segera bergerak dan karena mereka bertiga masih ingin sekali menjadi bengcu sesuai dengan cita-cita mereka semula dan menentang usul Thai-lek Kauw-ong yang dikeluarkan melalui ucapan singkat, otomatis mereka bertiga menujukan serangan mereka kepada Thai-lek Kauw-ong seorang! Padahal menurut kemauan Raja Monyet ini, mereka berempat bertanding tanpa pilih kawan atau lawan untuk melihat siapa di antara mereka yang paling kuat untuk dipilih dan ditentukan jago pertama sebagai kakak tertua, ke dua, ke tiga dan ke empat. Kini melihat betapa tiga orang itu menyerbu kepadanya seorang, kakek gundul ini mengeluarkan pekik dahsyat seperti jerit seekor kera marah!
Gergaji di tangan Pak-sin-ong yang menyambar cepat ke arah perutnya yang gendut itu ia elakkan dengan melesat ke kanan, kemudian sebelum gunting Bu-tek Siu-lam yang juga menggunting ke arah lehernya itu tiba, ia sudah mendahului menggerakkan sepasang gembrengnya menggencet ke arah gunting itu dengan kekuatan dahsyat, sedangkan pada saat itu juga, kaki kirinya menendang dengan gerakan tiba-tiba dan tidak terduga-duga ke arah Siauw-bin Lo-mo yang menerjang maju dan menyerangnya dengan totokan jari telunjuk kanan. Karena kaki Thai-lek Kauw-ong tentu saja jauh lebih panjang daripada lengan Siauw-bin Lo-mo, maka kakek gundul ini hendak sekaligus memunahkan totokan dan balas menyerang dengan tendangannya yang mendatangkan angin bersiutan itu! Sekaligus kakek gundul ini telah melayani serangan tiga orang lawannya!
Bu-tek Siu-Iam terkejut. Biarpun ia lihai dan guntingnya merupakan senjata yang kuat, namun melihat betapa sepasang gembreng itu mengancam hendak menjepit, ia merasa khawatir juga dan cepat-cepat menarik kembali serangan guntingnya, akan tetapi melihat betapa cepatnya gerakan sepasang gembreng, ia lalu menggerakkan tangan kanannya. “Wiirr....!” Jarum besar yang diikat benang di tangan kanannya menyambar ke tenggorokan Kauw-ong. “Tranggg....!” Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak membiarkan tenggorokannya ditusuk jarum, maka terpaksa menangkis dengan gembreng kirinya dan usahanya menjepit gunting menjadi gagal.
Siauw-bin Lo-mo kaget bukan main. Angin yang menyambar keluar dan tendangan kakek gundul itu dahsyat sekali dan tahulah ia bahwa Si Gundul itu tidak percuma mempunyai julukan Thai-lek yang menyatakan betapa tenaganya amat besar. Cepat ia miringkan tubuh mengelak.
Dalam segebrakan itu saja, dari keadaan diserang, Thai-lek Kauw-ong mampu merobah keadaan menyerang dan ini membuktikan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi dan agaknya kalau dibandingkan dengan tiga orang itu masing-masing, kakek gundul ini masih menang setingkat. Namun tentu saja tiga orang aneh yang sudah biasa dengan kemenangan-kemenangan, tidak suka melihat kenyataan ini dan sekarang mereka bertiga sudah siap-siap lagi untuk menerjang Thai-lek Kauw-ong!
“Hemm, kalian seperti bajingan-bajingan kecil hendak mengeroyok? Boleh!” Biarpun ia tidak pandai bicara, namun kata-kata singkat yang keluar dari mulut kakek gundul itu cukup menusuk perasaan. Tiga orang tokoh besar itu tentu saja menjadi malu sekali dan biarpun di dalam hati mereka itu diam-diam bermaksud mengeroyok kakek gundul yang kosen ini, namun di luarnya mereka tak sudi mengakuinya. Tuduhan yang tepat mengenai hati ini membuat mereka tiba-tiba meloncat mundur ke belakang dengan muka merah.
“Siapa mengeroyokmu? Sombong! Lihat kelihaian Pak-sin-ong!” seru Pak-sin-ong atau Ji-cam Khoa-ong. Gerakannya amatlah cepat dan karena tokoh ini lebih mengandalkan tenaga dalam, maka gerakannya tidak mengeluarkan suara. Dengan kecepatan seperti kilat menyambar, sinar putih dari tangan kirinya sudah meluncur cepat dan itulah pancing bertali yang menyambar ke arah muka Thai-lek Kauw-ong. Kakek gundul ini cepat mengelak karena ia belum mengenal senjata ini, akan tetapi pancing itu dapat mengikutinya ke mana pun ia mengelak dan tetap mengancam mukanya. Sambil mendengus marah Thai-lek Kauw-ong menggerakkan gembreng kanannya menangkis. Terdengar suara “cringgg!” keras sekali dan pancing itu menyambar kembali, bahkan menyerang Pak-sin-ong sendiri! Pak-sin-ong kaget dan cepat menggentak tali di tangan kirinya sehingga pancing itu berputaran di udara kemudian meluncur lagi ke arah Thai-lek Kauw-ong. Ketika kakek gundul ini menghindar ke kiri sambil mengibaskan gembreng kanan, Pak-sin-ong sudah menerjang maju dan menyerang dengan gergajinya yang menusuk terus mengait ke arah perut dan lambung kiri lawan!
Sama sekali bukan serangan ringan yang dilakukan Pak-sin-ong ini karena selain gergajinya bergerak amat cepat serta mengandung tenaga dalam yang dahsyat, juga gerakan gergaji ini melengkung membentuk setengah lingkaran yang merupakan pintu penutup bagi jalan keluar lawan! Thai-lek Kauw-ong berseru memuji dan juga kaget, maka ia cepat menghantamkan gembrengnya yang kiri untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Brenggg....!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika gembreng itu berhasil menangkis gergaji. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget dan terpaksa meloncat cepat ke belakang untuk mematahkan tenaga tangkisan yang sedemikian kuatnya sehingga kalau ia mempertahankan kuda-kudanya, tentu ia akan terhuyung-huyung! Pada saat itu, Bu-tek Siu-lam meloncat maju menerjang Raja Monyet itu sambil berseru keras.
“Klik-klik!” Guntingnya yang besar berbunyi dua kali dan dengan amat cepatnya Thai-lek Kauw-ong menghindar sehingga guntingan itu tidak mengenai sasaran, sungguhpun hanya sedikit selisihnya dari leher dan pundaknya. Karena melihat majunya tokoh banci ini, Pak-sin-ong cepat mundur menjauhi karena ia tidak sudi jika dianggap mengeroyok. Namun dalam hatinya ia merasa lega karena ia sudah tertolong dari keadaan kehilangan muka. Betapapun juga harus diakui bahwa Si Raja Monyet itu benar-benar lihai sekali.
“Klik.... brenggg!” kembali seperti keadaan Pak-sin-ong tadi, gunting di tangan Bu-tek Siu-lam kena ditangkis sehingga api berpijar dan disusul suara gembreng itu berbunyi susul-menyusul nyaring sekali. Wajah Bu-tek Siu-lam sampai menjadi pucat. Ia dapat menangkis dan mengelak sambaran dan gencatan senjata lawan, namun ia tak dapat mencegah suara yang nyaring hebat itu menerjang memasuki kedua telinganya. Hal ini benar-benar amat mengacaukan perasaan dan ketenangannya sehingga ia segera terdesak hebat!
“Breng.... brenggg....!” Hampir saja ujung baju depan Bu-tek Siu-lam kena terjepit masih untung ia dapat membuang diri ke belakang dan kini dari tangan kanannya menyambar sinar kecil kuning pada saat ia membuang diri ke belakang ini.
“Hehh....!” Thai-lek Kauw-ong terkejut sekali, tidak mengira bahwa tokoh banci itu dalam keadaan terdesak dan membuang diri ke belakang dapat mengirim serangan dengan senjata rahasia yang demikian berbahaya. Terpaksa ia mengibaskan gembrengnya sambil loncat ke belakang. Jarum itu terpukul menyeleweng oleh angin yang menyambar dari gembreng yang dikibaskan dengan tenaga besar. Akan tetapi di lain pihak, Bu-tek Siu-lam juga terkejut dan mengeluarkan keringat dingin. Kalau ia tidak berlaku cepat, jangankan sampai terkena himpitan sepasang gembreng itu, baru terjepit ujung bajunya saja berarti ia sudah mendapat malu. Maka berbareng dengan elakan Thai-lek Kauw-ong ke belakang, ia pun melangkah mundur sambil memasang kuda-kuda dengan sikap waspada.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw-bin Lo-mo untuk memperlihatkan ilmunya dan menguji kepandaian Si Raja Monyet. “Huah-hah-hah, Kauw-ong, kauterimalah senjataku!” bentaknya dan ketika tangannya bergerak, sebuah benda hitam menyambar, bukan ke arah tubuh Kauw-ong, melainkan ke depan kakinya. Melihat ini, Thai-lek Kauw-ong, mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah mencelat ke atas tinggi sekali, agaknya ia ketakutan. Bu-tek Siu-lam dan Pak-sin-ong terheran mengapa orang kosen itu takut menghadapi senjata rahasia yang dilemparkan ke depan kaki, sedetik kemudian mereka tahu sebabnya ketika benda itu menyentuh tanah dan meledak keras mengeluarkan api berpijar ke sekelilingnya. Andaikata Thai-lek Kauw-ong tadi tidak meloncat tinggi ke atas, tentu akan kena sambaran api yang muncrat-muncrat dari ledakan itu!
Thai-lek Kauw-ong marah. Dari atas udara tubuhnya memyambar turun ke arah Siauw-bin Lo-mo, sepasang gembrengnya menyambar karena ia lontarkan ke bawah! Hebat bukan main sepasang gembreng ini. Bukan hanya dapat dipergunakan sebagai senjata, malah kini dipergunakan sebagai senjata lontar yang ampuh. Dua benda itu kini seperti dua buah piring terbang menyambar tubuh Siauw-bin Lo-mo, yang sebuah menyambar leher, yang sebuah lagi menyambar perut! Namun biar Siauw-bin Lo-mo bertangan kosong dan bertubuh kecil, kegesitannya ternyata tidak kalah oleh yang lain-lain, bahkan mungkin melebihi. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dan hanya tampak bayangan berkelebat menyelinap di antara dua benda yang menyambarnya. Sepasang gembreng itu berputaran terus kembali ke arah Thai-lek Kauw-ong yang sudah turun ke atas tanah. Raksasa gundul ini menyambut sepasang gembrengnya dengan mudah.
Empat orang sakti itu kini saling berhadapan, atau lebih tepat lagi, Thai-lek Kauw-ong dengan sepasang gemrengan siap menghadapi tiga orang itu. Karena dalam gebrakan-gebrakan perorangan tadi dapat terlihat bahwa betapa pun juga tingkat ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang paling hebat, maka kini timbul kecenderungan hati tiga yang lain untuk mengeroyok dan menundukkan lebih dulu lawan yang paling kuat ini. Thai-lek Kauw-ong tersenyum mengejek kedua gembreng siap di tangan dan ia gembira sekali bahwa hari ini ia menghadapi tiga orang lawan yang akan merupakan makanan yang keras baginya! Inilah baru kesempatan mengadu ilmu yang memuaskan hatinya!
No comments:
Post a Comment