Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 7

Mutiara Hotam Bagian 7.

“Celaka....!” seru Song Goat dalam hatinya. Melihat wanita cantik itu meno­long Si Pemuda dan mengorbankan diri­ sendiri, timbul rasa simpatinya dan ia dapat menduga bahwa wanita itu kini terluka hebat sekali, sebaliknya Si Pe­muda itu sudah terobati sebagian besar dan masih ada harapan tertolong nyawanya.

Setelah kedua telapak tangannya ter­lepas dari kedua tangan wanita itu, Si Pemuda tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian ia membuka matanya. Melihat wanita itu telentang dengan tubuh meng­hitam dan di sekelilingnya rebah empat orang hwesio jubah merah yang sudah tewas semua, pemuda itu meloncat dan menubruk wanita cantik itu mengangkat kepalanya dan dipangkunya kepala itu.

“Leng In.... ah, Leng In....” pemuda itu berbisik, penuh perasaan terharu dan khawatir.

Po Leng In, wanita itu, membuka mata dan tersenyum, senyum yang mem­bayangkan maut, senyum yang amat menyedihkan, kedua lengannya bergerak seperti hendak merangkul leher, akan tetapi rebah kembali dengan lemas, bi­birnya bergerak.

“....aku puas.... dapat mengakhiri hidup dalam keadaan begini.... aku baha­gia.... dapat menolongmu, kekasihku.... “ Po Leng In masih berusaha menggerakkan tubuh, agaknya ingin sekali bicara banyak, akan tetapi ia menjadi lemas, tubuhnya tiba-tiba kejang dan kemudian lemas, tak bernyawa lagi.

“Leng In !” Pemuda itu mempererat pelukannya, membenamkan muka pada rambut yang hitam halus itu menahan sedu sedan yang naik ke tenggorok­annya. Melihat ini, Song Goat terharu.

Siapa pun pemuda itu, betapapun ia men­jadi sekutu murid Siang-mou Sin-ni, men­jadi kekasih wanita sesat itu dan terang juga seorang sesat, namun melihat pe­muda itu berduka dan terharu, ia ikut merasakan kedukaannya. Ia dapat merasa betapa perih hati ditinggali orang yang dicintanya. Dan ia pun merasa seolah­-olah ia dipaksa berpisah dari orang yang dicintanya, dari calon suaminya. Tak ter­tahankan lagi, ia pun terisak, namun ditahan-tahannya.

Tiba-tiba tubuh pemuda yang telan­jang bulat itu mencelat keluar dari guha. Terbuktilah kelihaian pemuda itu. Suara­nya menahan isak yang begitu lirih ternyata didengar pemuda itu dan gerakan pemuda itu meloncat bukan main ringan­nya, tahu-tahu sudah berada di depannya dengan sikap mengancam dan bengis, siap hendak menyerang. Akan tetapi agaknya pemuda itu kaget, heran, ragu dan jengah ketika melihat bahwa yang meng­intai adalah seorang gadis cantik bukan seorang hwesio jubah merah. Dan wajah yang tampan dan penuh keheranan dan kedukaan itu tiba-tiba menyeringai me­nahan sakit tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan di depan kaki Song Goat.

Keinginan pertama yang memenuhi hati Song Goat adalah cepat-cepat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi watak yang dibentuk ayahnya semenjak kecil, watak yang ingin menolong orang yang sedang menderita sakit, watak yang ingin melawan segala macam penyakit yang hendak merenggut nyawa orang siapa pun adanya orang itu, membuat ia menekan perasaannya, mem­perbesar nyalinya dan ia segera melon­cat ke dalam guha. Ia membungkuk dan memeriksa nadi serta dada Po Leng In, hanya untuk mendapat keyakinan bahwa wanita itu tak dapat ditolong lagi, sudah tewas akibat racun yang menerobos melalui telapak tangan pemuda itu. Hawa beracun itu menerobos memasuki tubuhnya karena wanita ini tadi mengerahkan semua tenaga untuk merobohkan empat orang hwesio jubah merah. Dengan sendirinya, tubuhnya menjadi lemah dan kosong, tidak ada daya tahan sehingga penyaluran hawa sakti dari pemuda itu menerobos dan membawa sebagian besar hawa beracun pindah ke dalam tubuhnya! Ketika Song Goat melirik ke arah empat orang hwesio jubah merah, tanpa memeriksa lagi ia sudah yakin bahwa mereka semua tewas dengan mata mendelik, mata terbuka lebar namun sama sekali tidak bergerak dan tidak ada cahayanya, mata orang-orang mati.

Ia menghela napas panjang. Tidak ada yang dapat ia kerjakan lagi di dalam guha yang menjadi kuburan lima orang itu, maka ia lalu menyambar tumpukan pakaian warna putih di dekat tumpukan pakaian warna merah, membawa pakaian itu keluar dan ia membungkuk lalu memeriksa detik nadi dan dada pemuda tampan itu. Benar seperti diduganya, pemuda ini tertolong dari pinggang ke atas sudah bebas hawa beracun, akan tetapi di bagian bawah tubuhnya masih menghitam. Kalau tidak cepat mendapat pertolongan yang tepat, nyawa pemuda ini pun masih terancam bahaya maut. Sebagai puteri tunggal Yok_ san_ jin, ia maklum bahwa hawa beracun yang me­racuni pemuda ini aneh dan jahat bukan main. Dan sudah menjadi watak ayahnya apabila menghadapi penyakit atau racun yang amat jahat, makin jahat makin ter­tariklah hatinya, makin besar semangat­nya untuk melawan dan mengalahkan penyakit atau racun itu! Ia lalu menge­nakan pakaian pemuda itu sedapatnya dengan perasaan jengah dan seberapa dapat tanpa melihat tubuh pemuda itu sehingga cara ia mengenakan pakaian itupun tidak karuan, seolah_ olah tubuh pemuda itu hanya ia bungkus saja dengan pakaian putih itu. Kemudian ia mengem­pit tubuh pemuda itu, dikempit bagian pinggangnya dan pergilah Song Goat me­ninggalkan guha yang mengerikan tadi.

Ia harus cepat ditolong, kalau tidak, menurut taksirannya, dalam waktu kurang dari tiga puluh enam jam tentu sukar ditolong pula. Dan ia membutuhkan banyak benda, air mendidih, beberapa daun obat. Mulailah Song Goat merayap dan berjalan perlahan menuruni lereng dari atas mencari_ cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat cahaya pe­nerangan dari sekelompok rumah_ rumah, tentu sebuah dusun. Dipercepatnya jalan­nya dan menjelang fajar ia sudah me­masuki sebuah dusun yang cukup besar. Ia mencari_ cari kemudian mengetuk pintu sebuah kedai makan di sudut dusun. Tak lama kemudian daun pintu dibuka dan seorang laki_ laki gemuk setengah tua muncul. Dia pemilik kedai dan selalu bangun pagi_ pagi untuk mempersiapkan kedainya. Kini ia memandang dengan heran melihat seorang gadis cantik jelita sepagi ini sudah datang berkunjung sam­bil mengempit tubuh seorang laki_ laki yang pingsan.

_ ....ehh...., Nona siapakah....? Mau apa....? Dan.... dia ini....?

_ Paman, aku seorang ahli pengobatan, sahabatku ini sakit keras. Hari ini ku­sewa kedaimu, atau setidaknya dapurmu.

_ Tapi.... tapi.... mana bisa....?

_ Tidak ada tapi, Paman. Demi nyawa orang ini, kau harus menolongku. Hanya sehari kusewa kedai dan dapurmu. Pula, adakah kedaimu dapat menghasilkan sebanyak ini dalam sehari? Song Goat mengeluarkan sebuah gelang emas dan melemparkannya ke atas meja. _ Kau terimalah gelang itu, untuk sewa kedai sehari.

Tukang kedai itu dengan bingung dan ragu-ragu memandang Song Goat, kemudian memandang wajah pemuda yang sakit, lalu melirik ke arah gelang emas di atas meja, kalamenjingnya naik turun. Sudah amat lama ia sebagai duda ter­gila_ gila kepada seorang janda muda di dusun itu akan tetapi belum juga berhasil memikatnya. Dengan gelang emas seindah itu agaknya... hemm, akan tetapi ia ha­rus hati_ hati.

_ Orang ini.... bagaimana kalau mati di tempatku?

_ Tidak, Paman. Ia akan hidup dan ini tergantung pertolonganmu juga. Lekas kau nyalakan perapian di dapur dan ada­kah Paman mempunyai sebuah ember besar yang cukup besar dimasuki orang ini?

_ Haaah?" Si Gendut itu terbelalak, heran akan tetapi mengangguk-angguk dan ia segera memasuki dapur diikuti Song Goat setelah merapatkan kembali daun pintu depan.

Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu memilih sebuah tempat masak air yang amat besar, dengan gantungan ka­wat yang kuat. Juga ia melihat bahwa tempat perapian cukup besar. Memang kedai itu adalah kedai makanan. Hatinya puas.

_ Paman, harap kautolong isi panci besar itu dengan air dan persiapkan pe­rapian. Aku hendak mencari beberapa daun obat di hutan, kata Song Goat sambil menurunkan dan merebahkan tu­buh pemuda itu di atas sebuah bangku panjang yang terdapat di ruangan belakang.

Pemuda itu mengeluh lalu membuka matanya, menoleh ke kanan kiri. Ketika melihat dirinya rebah di atas bangku dalam sebuah kamar yang tidak begitu bersih, ia terheran. Lebih_ lebih lagi ke­heranannya ketika ia melihat seorang gadis cantik bersanggul tinggi berdiri di dekatnya dan dengan gerakan dan tangan berkulit halus menahan dadanya, men­cegahnya untuk bangkit.

_ Kau keracunan hebat. Aku berusaha mengobatimu. Kau akan sembuh dan bebas dari bahaya maut kalau mentaati pesanku. Kalau kau membangkang kau akan mati. Kau rebah saja di sini, jangan turun dan banyak bergerak. Aku akan pergi mencari daun obat di hutan. Tak perlu bercerita apa-apa dengan Paman pemilik kedai yang sibuk di dapur. Sikap Song Goat kasar dan ketus. Makin ketus dan kasar sikapnya ketika melihat bahwa laki-laki muda ini benar-benar amat tampan dan sepasang matanya menge­luarkan sinar lembut tapi tajam menem­bus jantung. Terhadap seorang pemuda sesat sahabat dan kekasih murid Siang­-mou Sin_ ni, tak perlu ia bersikap halus pikirnya.

Pemuda itu kini sudah membuka mata lebar-lebar dan bibirnya tersenyum ketika dapat mengenal sikap kasar dan ketus yang dibuat-buat itu. Ia sudah terlampau, masak dalam pengalamannya untuk mengenal sifat wanita-wanita cantik seperti ini!

_ Ah, kiranya aku diselamatkan oleh seorang dewi dari kahyangan. Apakah engkau Kwan Im Pouwsat (Dewi Kasih Sayang), Nona?

Merah muka Song Goat. Selama hi­dupnya belum pernah Ia dirayu laki_ laki, apalagi kalau laki_ laki itu setampan dan segagah ini, dengan kata-kata merayu yang halus tapi menyenangkan hati. Akan tetapi kembali ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda sesat, maka ia memaksa diri cemberut dan pandang matanya galak. Bahkan ia tidak men­jawab hanya sibuk mempersiapkan sebuah bungkusan kuning dari saku dalam baju­nya, lalu menuang isi bungkusan yang berwarna merah ke dalam tekoan (tem­pat teh) itu. Kemudian, juga masih cem­berut tanpa bicara, ia menghampiri pe­muda itu dan dengan jari-jari tangannya ia memeriksa dan menekan jalan darah di di dekat mata kaki kanan.

Pemuda itu terus mengikuti semua gerakan gadis itu dengan senyum dan mata memandang kagum. _ Nona, kau hebat. Kalau bukan penjelmaan Kwan Im Pouwsat, entah siapa dan entah dewi dari kahyangan mana....

_ Kau diamlah. Simpan kelakarmu itu untuk orang_ orang segolonganmu! Aku Song Goat.... hemm, aku puteri Song Yok_ san_ jin. Engkau dalam keadaan se­tengah hidup setengah mati. Kalau kau mau kuobati, kau diam saja. Aku mau pergi mencari beberapa daun obat. Pada saat itu, Si Gendut pemilik kedai muncul dari dapur dan Song Goat segera berkata kepadanya, _ Paman, aku pergi sekarang mencari obat. Kaugodok obat bubuk ini dengan air setekoan penuh, dan sisakan setengah mangkok, kemudian suruh diminum sampai habis. Setelah berkata demikian dengan sikap marah tanpa me­noleh lagi sedikit pun kepada pemuda itu, Song Goat berkelebat dan bayangannya lenyap menerobos lubang jendela. Pemilik kedai memandang melongo sampai lama, tercengang keheranan, juga pandang matanya membayangkan rasa ketakutan. Ketika ia memandang pemuda yang sakit itu, ia makin heran karena pemuda itu tersenyum lebar, agaknya sama sekali tidak heran melihat betapa gadis cantik tadi _ terbang begitu saja keluar jendela seperti seekor burung!

_ Kau kenapa, Paman Gedut? pemuda itu menegurnya sambil tertawa.

_ Kau tanya kenapa, orang muda? Tidakkah kau melihat semua keanehan ini? Gadis cantik itu datang di waktu fajar mengempit tubuhmu, lalu menyewa kedaiku dengan bayaran tinggi, kini ia menghilang begitu saja melalui jendela. Biar disambar geledek aku kalau hal ini bukan aneh namanya! Mimpikah aku? Atau... setan... eh, bidadarikah dia? Dan kau, orang muda, kau benar_ benar sakit­ kah?

Pemuda itu tertawa dan memang amat mengherankan seorang yang kata­nya sakit terancam maut bisa tertawa dan bersikap setenang itu. _ Paman, dia itu tadi seorang bidadari. Lebih baik aku dan Paman mentaati semua perintahnya agar mendapat berkahnya!

Pemilik kedai itu menjulurkan lidahnya, menggeleng_ geleng kepala kemudian bergegas memasuki dapur membawa te­koan berisi obat untuk dimasaknya se­suai dengan perintah Si Dewi tadi. Se­telah Si Gendut itu pergi, pemuda itu lalu bangkit, duduk bersila dan meramkan mata, mengumpulkan hawa murni di tu­buh untuk menekan racun yang masih mengotori separuh tubuhnya agar jangan menjalar makin luas. Ia tentu saja pernah mendengar akan nama Song Yok ­san_ jin si ahli obat, dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek ahli obat itu mempunyai seorang puteri yang demikian cantik jelita, lebih_ lebih lagi tak pernah menyangka bahwa ia akan tertolong oleh seorang gadis cantik lain yang jauh bedanya dengan Po Leng In. Teringat akan Po Leng In, ia menarik napas panjang. Patut dikasihani wanita itu. Memang harus diakui bahwa Po Leng In bukan wanita baik_ baik dan sudah terlalu banyak dosanya. Akan tetapi ia harus berani mengakui pula bahwa Po Leng In amat baik kepadanya dan ia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada murid Siang_ mou Sin_ ni itu! Ter­ingat akan itu semua, ia tidak dapat mengosongkan pikirannya maka cepat-­cepat ia menggunakan kekuatan batin untuk mengusir bayangan-bayangan itu.

Setelah kamar belakang ini diterangi sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela, barulah Song Goat mun­cul dengan cara seperti tadi, yaitu melompat masuk melalui lubang jendela. Wajahnya yang cantik itu kemerahan karena sepagi itu sudah bekerja keras dan berlari-lari, tangannya menggenggam beberapa daun obat dan lehernya ber­keringat. Melihat pemuda itu duduk ber­sila dan bersamadhi dengan cara yang bersih, ia terheran. Sudah ia ketahui bahwa pemuda itu amat lihai akan tetapi cara bersiulian (bersamadhi) seperti itu benar_ benar di luar dugaan­nya. Pemuda itu pun membuka mata dan melihat Song Goat ia lalu berkata.

_ Nona, terus terang saja, apakah kau anggap keadaanku masih ada harapan?

Song Goat menggerakkan kedua pun­daknya, Gerakan yang lucu bagi scorang gadis muda dan cantik seperti dia, ge­rakan yang ia tiru dari ayahnya. Lucu akan tetapi manis! _ Entahlah, akan ku­coba menyembuhkannya, kalau dapat. Sayangnya, aku tidak tahu pasti racun apa yang menyerangmu. Setelah minum obat bubuk yang kutinggalkan tadi, bagaimana rasanya dalam perutmu?

_ Tidak terasa apa-apa. hanya dingin.

_ Tidak ada rasa gatal-gatal di sekitar pusar?

_ Tidak.

_ Aneh, kalau terkena pukulan beracun biasanya obat bubukku tadi tentu akan menimbulkan rasa gatal. Hemm, mudah-­mudahan saja usahaku menolongmu ber­hasil.

_ Nona Song, mengapa begini keras benar kau berusaha untuk menolongku?

Gadis itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan Si Gadis menjadi marah. _ Huh, apalagi kalau bu­kan karena kebetulan aku puteri ayahku seorang ahli obat? Sudah menjadi ke­wajiban kami untuk berusaha menyembuhkan siapa saja. Ia berhenti dan cepat menyambung, _ Tentu saja kalau si sakit suka diobati!

Pemuda itu tersenyum. Gadis ini se­benarnya halus dan baik budi, akan te­tapi entah mengapa terhadap dia ber­pura_ pura galak. _ Kalau begitu, biarlah kubantu usahamu dengan keterangan yang mungkin berguna bagimu. Luka yang me­racuni tubuhku adalah luka dalam akibat pukulan Tok_ hiat Hoat_ lek dari Siang­ mou Sin_ ni. Lambungku kena pukul Siang­-mou Sin_ ni.

Song Goat tercengang. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Mengapa pemuda ini yang jelas adalah sahabat dan kekasih murid Siang_ mou Sin_ ni, terluka hebat karena pukulan iblis betina itu? Teringatlah ia kini betapa pemuda ini diserang oleh empat orang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!

_ Hemmm, mengapa kau dipukul Siang­-mou Sin_ ni?

_ Mengapa? Karena aku musuhnya.

_ Musuh....? Song Goat terheran. Ini sama sekali tidak pernah disangkanya. _ Engkau musuh Siang-mou Sin-ni?

Pemuda itu tersenyum lalu membung­kukkan tubuhnya yang masih duduk ber­sila. _ Nona Song, maaf, seharusnya eng­kau mengenal siapa yang kautolong ini. Aku she Kiang bernama Liong. Aku tadi­nya berusaha menolong cucu_ cucu Beng­-kauw yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu dan Siang_ mou Sin_ ni, akan te­tapi aku dicurangi mereka dan terkena pukulan Tok_ hiat Hoat_ lek.

_ Hemmm...., Song Goat masih ragu-ragu. _ Kalau kau musuh mereka, kenapa kau dan murid iblis betina itu ....

_ Ah, kau maksudkan Po Leng In?

Kiang Liong mengerutkan keningnya. Dia memang murid Siang-mou Sin-ni akan tetapi dia telah menolongku, menyela­matkan nyawaku, bahkan.... ia telah me­ngorbankan nyawanya untukku. Dia seorang gadis yang patut dikasihani. Nona Song, aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu yang berusaha mengobatiku, akan tetapi pukulan Siang-mou Sin-ni hebat sekali, apakah kiranya masih dapat diobati?

Agak lega hati Song Goat mendengar keterangan Kiang Liong. Ternyata ia tidak menolong orang jahat bahkan me­nolong bekas lawan kaum sesat. Juga kini ia tahu bahwa Po Leng In mencinta pemuda ini dan mengorbankan nyawa, mengkhianati guru sendiri. Ah, Po Leng In lebih bahagia daripada aku, pikirnya duka. orang sesat macam dia saja mem­punyai kekasih yang patut dicinta dan dibela dengan pengorbanan nyawa!

“Akan kucoba dan agaknya sebagian besar tergantung daripada sinkang di tubuhmu sendiri. Obat-obatku ini harus dicampur dengan air panas dan kau harus merendam diri dalam air panas itu, lebih panas lebih baik kiranya. Akan tetapi, kalau sifat sinkangmu berlawanan, mung­kin akan berbahaya. Bolehkah aku me­mgetahui, siapa gurumu agar aku dapat mengira-ngira tentang hawa sakti di tubuhmu?”

“Kalau bukan engkau yang tanya, Nona, aku segan mengaku. Akan tetapi karena kau penolongku dan keterangan ini mungkin berguna, ketahuilah bahwa Suhu adalah Kim-siauw-eng....”

“Suling Emas....?” Song Goat memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia memandang pakaian yang membungkus tubuh Kiang Liong. “Dan kau.... jadi kau adalah.... Kiang-kongcu yang terkenal itu?”

Kini wajah Kiang Liong yang menjadi merah, “Ah, kau berlebihan, Nona. Nona, ayahmu Song-cianpwe barulah nama yang terkenal. Aku Kiang Liong hanya seorang yang.... pada saat ini menggantungkan nyawa kepadamu.”

Mau tak mau Song Goat tersenyum. Jantungnya berdebar aneh. Kiranya pemuda yang disangkanya pemuda sesat, adalah Kiang-kongcu yang menjadi buah bibir dunia persilatan, murid tunggal pendekar sakti Suling Emas! Bukan hanya dunia persilatan yang membicarakan sepak terjang pemuda perkasa ini, juga gadis-gadis banyak yang menyebut-menyebut namanya dengan wajah berseri-seri dan senyum dikulum.

“Kalau begitu aku boleh dua kali menarik napas lega.”

Kiang Liong adalah seorang pemuda yang wataknya romantis. Pandai sekali ia bergaul dengan wanita! Agaknya watak ini ia dapatkan dari Ibunya! Kini melihat betapa nona penolongnya sudah tidak ke­lihatan galak dan ketus, ia tersenyum dan mendapatkan kembali kelincahannya.

“Wah, penarikan napas lega seorang gadis sehebat engkau tentu ada alasannya yang amat kuat. Bolehkah aku menge­tahui alasannya, Nona Song?”

Kini gadis itupun tersenyum. Ber­hadapan dengan Kiang Liong yang pandai bicara dan jenaka, timbul pula kegem­biraannya. “Tentu saja boleh, memang bukan hal yang perlu dirahasiakan. Per­tama, dengan kepandaianmu tentu saja engkau akan dapat mengatasi cara pe­ngobatan ini dan tentu hawa beracun yang mengeram di tubuhmu dapat diusir dalam waktu singkat. Ke dua, aku tidak perlu khawatir lagi karena ternyata kau bukan seorang pemuda sesat seperti yang tadinya kusangka.”

“Aduh, hal yang pertama itu membuat aku menjadi besar kepala karena kaupuji-puji, akan tetapi hal kedua membuat aku amat tidak enak hati, Nona. Kenapa kau mengira aku seorang sesat?”

Merah wajah Song Goat teringat akan keadaan pemuda ini dan Po Leng In yang berhadapan dalam keadaan telanjang bulat. “Karena karena.... kau dan wani­ta murid Siang-mou Sin-ni itu....“

Kiang Liong menepuk kepalanya. “Be­nar juga! Tentu saja kau akan mengang­gap begitu. Memang Leng In yang beru­saha menyembuhkan aku secara itu. Dia adalah murid Siang-mou Sin-ni dan aku terluka oleh pukulan gurunya, maka ia berusaha menyembuhkan aku dengan cara gurunya pula.”

Pada saat itu, Si Gendut, pemilik kedai muncul dan seperti lagak seorang perajurit ia berkata, “Perapian dan air sudah siap!”

Song Goat mengangguk dan ketika Si Gendut itu pergi lagi, ia berkata kepada Kiang Liong. “Kiang-kongcu, maafkan aku. Cara pengobatan Ayahku mengharuskan engkau berendam di air sepanas-panasnya dicampur daun-daun obat ini. Silakan kau masuk dulu ke dapur membuka.... membuka pakaian dan merendamkan diri di daiam air di atas perapian. Nanti aku menyusulmu setelah kau siap. Suruh saja Paman Gendut itu memberi kabar kepadaku.”

Setelah Kiang Liong keluar dari kamar itu pergi ke dapur. Song Goat lalu memasukkan daun-daun obat ke dalam tekoan (cerek teh). Dari situ ia dapat mendengar suara Kiang Liong yang halus dan tenang diseling seruan heran pemilik kedai. Song Goat tersenyum geli. Tentu saja bagi pemilik kedai yang belum me­lihat cara pengobatan seperti ini, apa yang akan mereka lakukan ini amat me­ngejutkan dan mengherankan. Akan tetapi ia yakin betul bahwa hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Kiang Liong daripada pengaruh hawa beracun yang mengotori darah itu. Menurut ajar­an ayahnya, semua pukulan yang mengan­dung hawa beracun dan selalu menjadi sumber kelihaian kaum sesat, jika pukulan itu meracuni darah, maka tentu di­dasari hawa pukulan yang bersifat dingin. Tok-hiat Hoat-lek, pukulan Siang-mou Sin­-ni yang melukai Kiang Liong ini pun seperti dinyatakan namanya, meracuni darah dan betapa pun hebatnya, jelas didasari pukulan dingin karena hanya hawa dingin saja yang dapat meracuni darah.

Terdengar langkah kaki berat dan pemilik kedai sudah muncul pula di pin­tu, matanya malotot lebar dan wajahnya merah sekali, “Siocia (Nona), apakah yang akan Nona lakukan? Mau.... mau.... rebus dia....?”

“Kau diam dan jangan mencampuri urusan kami.” Song Goat menegur kesal. Percuma saja menerangkan orang yang sama sekali tidak mengerti, “Apakah Kongcu (Tuan Muda) sudah siap?”

“Sudah.... sudah...., dan api sudah saya nyalakan.” Si Gendut itu menggerakkan pundak menyatakan rasa ngerinya. Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu mem­bawa tekoan memasuki dapur diikuti oleh Si Gendut yang mengeluarkan suara se­perti ayam biang memanggil anaknya dengan bibirnya yang tebal memberengut.

Kiang Liong sudah duduk bersila di dalam tahang penuh air itu, tergantung di atas perapian yang mulai menyala apinya. Air dalam tahang hampir penuh, meredam pemuda tubuh pemuda yang duduk bersila itu sampai atas pinggang. Untuk menjaga agar gadis penolongnya tidak merasa jengah, ia sengaja duduk membelakangi meja, menghadap ke jen­dela dapur. Topi pelajar masih menutupi kepalanya, akan tetapi bagian tubuh lain semua telanjang bulat. Tubuh bagian atas tampak berkulit putih bersih dan berisi otot-otot kekar.

“Kiang-kongcu, kalau terlalu panas harap katakan agar aku dapat mengecil­kan apinya atau memadamkan sama se­kali.” kata gadis itu sambil mengisi tekoan dengan air dan menaruhnya pula di atas api.

Kiang Liong hanya mengangguk dan berkata lirih, “Sama sekali tidak panas, boleh kaubesarkan apinya.”

Dengan tongkat pengorek api, Song Goat membuka-buka arang dan kayu di perapian dan makin besarlah nyala api. Tak lama kemudian tekoan yang isinya daun obat dan sedikit air itu mendidih, maka dituangkanlah isi tekoan ke dalam tahang air. Api makin membesar dan hawa di dapur mulai panas, air di dalam tahang pun makin lama makin mendekati mendidih.

Makin lama sepasang mata tukang kedai makin melebar pula, kemudian ia tak dapat menahan perasaannya lagi dan berseru, “Nona, sungguh mati! Kalau Nona hendak merebus daging manusia, saya tidak mau ikut campur! Saya bu­kan tukang masak orang, bukan pembu­nuh!” Ia hampir berteriak-teriak saking tegang dan ngerinya.

Air di tahang sudah mulai mendidih, uap mengepul dan seluruh tubuh Kiang Liong dan dengan hati penuh ketegangan dan kegirangan Song Goat melihat betapa air di tahang itu sudah mulai berubah warnanya, tidak sebening tadi. Maka ia menjadi gemas sekali melihat sikap Si Gendut itu dan mendengar teriakannya.

“Diam dan keluarlah dari dapur ini! Kalau tidak, kaupun akan kurebus hidup-hidup!”

Muka Si Gendut menjadi pucat, matanya terbelalak dan bagaikan seekor anjing digebuk ia lalu berlari keluar dari dapur itu, kedua tangan memegangi kepalanya! Song Goat tersenyum geli lalu berkata halus dari belakang punggung Kiang Liong,

“Kiang-kongcu, agaknya berhasil usaha kita....”

Kian Liong mengangguk, “Syukurlah, dan makin besar terima kasihku kepadamu, Nona Song”

“Tak perlu berterima kasih kepadaku, Kongcu. Lebih tepat kau berterima kasih kepada gurumu yang telah menurunkan ilmu yang hebat kepadamu sehingga sin­kangmu begini kuat menahan panasnya air mendidih. Apakah tidak terlalu panas?”

“Tidak, boleh kau tambah apinya agar lebih panas. Bukankah kau bilang tadi lebih panas lebih baik?”

“Betul, makin panas makin cepat hawa beracun dibersihkan.”

“Kalau begitu, lekas besarkan apinya, Nona tidak enak terlalu lama begini dianggap babi rebus oleh tukang kedai!”

Song Goat tersenyum dan dari bela­kang ia memandang kagum. Bukan main! Dia sendiri biarpun akan dapat bertahan dalam air mendidih, namun harus ia ke­rahkan seluruh lwee-kangnya, mengguna­kan hawa sin-kang di tubuh melawan panas dan untuk ini tentu saja ia tidak sanggup untuk bicara. Akan tetapi pemu­da ini tidak hanya menyuruh besarkan api, malah masih dapat enak-enak bicara dan berkelakar! Pemuda hebat!

Sementara itu, pemilik kedai yang gendut dan merasa amat gelisah itu tak dapat menahan hatinya lagi dan bahkan tidak berani berada di dalamkedainya. Ia keluar dan sebentar saja banyak ke­nalan dan langganannya datang bertanya. Saking tak dapat menahan kegelisahan­nya, ia menceritakan kejadian aneh di dalam dapur kedainya dan ramailah me­reka bercakap-cakap dan berbisik-bisik di luar kedai. Ibu-ibu yang mendengar bah­wa ada orang merebus daging manusia, menjadi pucat dan berlarilah mereka ketakutan mencari anak-anak masing-masing, melarang mereka bermain di luar rumah dan menyembunyikan mereka ke dalam kamar. Setan pemakan daging manusia tentu lebih suka akan anak-anak yang dagingnya masih lunak!

“Tentu dia perempuan siluman rase!” bisik seorang kakek sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh keyakinan.

“Tapi.... Kongcu itu menurut saja di­rebus.” kata Si Gendut pemilik kedai.

“Uuuhh, kau tahu apa? Siluman rase tentu saja pandai ilmu hitam. Sekali senyum dan sekali kerling, laki-laki akan terpikat dan disuruh apapun juga takkan membantah.” kata pula Si Kakek yang tahu segala.

“Memang dia cantik sekali, cantik jelita dan muda dan.... galak.”

“Wah, tak salah lagi. Tentu siluman rase, pandai memikat hati pria, suka makan daging manusia. Ihhh....!” kata Si Kakek.

“Ihhh....!” kata yang lain.

“Celaka, dia harus dibinasakan. Mari kita serbu, jangan sampai dia lolos dan merebus anak-anak kita!” seru seorang laki-laki tinggi besar yang ingat akan dua orang anaknya yang gemuk-gemuk.

“Betul, hayo serbu!”

“Cari senjata!”

“Panggil Losuhu di kelenteng, minta jimat!”

Ramailah kini para penduduk dusun itu dan sebentar saja mereka semua, termasuk seorang hwesio tua kurus ber­pakaian butut, berdiri di depan kedai dengan segala macam senjata di tangan. Ada yang membawa golok penyembelih babi, ada yang membawa palang pintu, cangkul, linggis dan sebagainya. Bahkan beberapa orang wanita yang cukup pem­berani, karena mendengar bahwa setan itu setan betina, ikut pula datang mem­bawa pisau dapur atau besi pengorek api!

Mereka bersemangat untuk menangkap siluman, akan tetapi juga ngeri dan takut karena mendengar penuturan tukang ke­dai betapa siluman rase itu pandai ter­bang menghilang! Dipimpin oleh tukang kedai yang diikuti kakek yang mengenal siluman dan hwesio yang dianggap suci serta ditakuti siluman, rombongan pen­duduk dusun ini memasuki kedai ber­indap-indap dan tak berani mengeluarkan suara. Bahkan yang nyalinya kecil dan memilih tempat di ujung belakang hampir tak berani bernapas.

Di luar pintu dapur, hwesio tua sudah mulai kemak-kemik membaca mantera dan doa pengusir setan. Mendengar suara ini semua orang meremang bulu tengkuk­nya, termasuk Si Kakek yang mengenal siluman. Kakek ini melirik ke belakang dan melihat betapa semua mata dituju­kan kepadanya, ia menahan napas dan menerobos maju ke pintu sambil mem­bentak.

“Siluman jahat! Kami sudah mengenal­mu, kau siluman rase, hayo menyerah kalau tak ingin kami bunuh!” Akan tetapi sambil maju ia menarik lengan Si Hwesio karena kakek ini mempunyai keyakinan bahwa selama ia berdampingan dengan pendeta suci, siluman itu tidak akan mampu mengganggunya. Mereka kini masuk ke dalam dapur dan.... semua mata melongo karena di dalam dapur itu tidak tampak seorang pun manusia!

“Eh, mana dia....?” tanya suara me­ragu. Si Tukang Kedai melihat bahaya dalam suara ini, bahaya bahwa semua orang nanti akan mengira dia membo­hong. Maka ia lalu lari ke jendela, me­mandang keluar, kemudian kembali meng­hampiri tahang isi air yang masih mendidih!

“Lihat....!” Suaranya gemetar, telun­juknya menggigil menuding ke arah air di dalam tahang. “Lihat air ini....!”

Semua orang memandang. Air itu kehitaman dan mendidih, akan tetapi tidak ada daging manusia seperti yang tadi diceritakan Si Gendut tukang kedai. Betapapun juga, bukti bahwa benar ada tahang air direbus dengan airnya meng­hitam, membuat mereka masih percaya bahwa di dalam dapur ini tadi ada si­luman rase.

“Tentu ia menghilang, membawa kor­bannya yang sudah matang untuk dima­kan dalam gulai” kata Si Tukang Kedai.

“Omitohud....! Memang ada hawa bu­suk ditinggalkan di kamar ini...., pinceng harus membuat sembahyangan malam ini, harap saudara sekalian sudi mengumpul­kan perbekalan dan keperluan sembah­yang....“ kata Si Hwesio. Terdengar se­mua orang mengeluarkan keluhan perlahan karena ucapan hwesio ini berarti bahwa mereka harus mengeluarkan se­bagian milik mereka yang tidak banyak, menambah beban hidup mereka yang sudah berat. Akan tetapi mereka tidak berani membantah pada saat itu karena ketika mereka mencium-cium dengan hidung, memang tercium bau yang tidak enak, tanda bahwa ucapan hwesio itu benar. Dan keluarlah mereka perlahan-lahan, termasuk dia yang cepat-cepat menyelinap pergi agar tidak ketahuan rahasianya bahwa saking takutnya, ia sampai menjadi mulas secara mendadak dan tak tertahankan lagi mencret di dalam celana. Dialah pencipta bau si­luman!

***

Siang-mou Sin-ni berhasil melarikan diri ketika orang-orang Beng-kauw me­nyerbu markas Bouw Lek Couwsu di Kao-likung-san. Wanita ini memang licik dan cerdik. Dengan meminjam tangan Bouw Lek Couwsu dan orang Hsi-hsia, ia ber­hasil membinasakan Ketua Beng-kauw dan juga Kam Bu Sin bersama isterinya dan banyak tokoh Beng-kauw lainnya. Kemudian, melihat keadaan bahaya, mana ia mau bersetia kawan kepada Bouw Lek Couwsu si hwesio tua itu? Apalagi ia ingin sekali membawa lari Han Ki untuk menyempurnakan ilmunya yang baru, menyedot hawa murni dan darah boca ini. Maka tanpa mempedulikan nasib sahabatnya itu, ia mendahului lari sambil memondong tubuh Han Ki, melarikan diri melalui belakang gunung.

Sebagai seorang yang berpengalaman,ia maklum bahwa Kauw Bian Cinjin dan orang-orang Beng-kauw lainnya tentu akan mencarinya dalam usaha mereka merampas kembali Han Ki cucu Ketua Beng-kauw, maka ia tidak mau terhenti dan terus melakukan perjalanan melalui Sungai Yang-ce-kiang dan sampai di kaki Gunung Ta-liang-san ia mendarat lalu membawa anak itu ke Puncak Ta-liang-san di mana ia membuat pondok bambu dalam sebuah hutan penuh bunga. Tempat ini sunyi dan indah, membuat ia merasa aman. Tak mungkin ada orang Beng-kauw yang akan menduga bahwa dia bersembu­nyi di Puncak Ta-liang-san. Kalau ia sudah menyempurnakan Ilmu Hun-beng-to-hoat dengan mengorbankan nyawa Han Ki baru ia akan turun gunung dan hendak ia lihat siapa orangnya yang akan mampu melawannya lagi!

Han Ki biarpun masih kecil maklum akan bahaya maut yang mengancam diri­nya. Akan tetapi anak ini tidak pernah menangis dan selalu membangkang tidak sudi menurut perintah Siang-mou Sin­-ni. Disuruh makan ia tidak mau, diajak bicara ia memaki-maki dan setiap kali ia dibebaskan dari totokan, ia lalu menga­muk dan berusaha melawan mati-matian!

Siang-mou Sin-ni adalah seorang yang

semenjak muda berkecimpung dalam dunia persilatan. Menyaksikan sikap anak kecil ini, ia merasa amat kagum di da­lam hatinya. Kagum akan ketabahan yang luar biasa, akan kekerasan hati dan akan daya tahan anak ini. Akan tetapi di sam­ping rasa kagumnya, ia pun merasa jeng­kel.

“Kau makanlah, apa kau ingin mati kelaparan?” bentaknya sambil menyodor­kan makanan yang sudah ia campur obat karena selama beberapa pekan dalam perjalanan, tubuh anak ini menjadi agak kurus.

“Tidak sudi! Kaumakanlah sendiri, iblis betina tak tahu malu!” Han Ki men­jawab sambil memandang dengan mata melotot.

Sesudah begitu, mau tak mau, terpak­sa Siang-mou Sin-ni memaksa anak itu menelan makanan dengan menotok leher membuat Han Ki kehilangan tenaga se­hingga mudah saja mulutnya dibuka dan makanan dijejalkan masuk melalui ke­rongkongannya. Anak ini hanya bisa me­mandang penuh kemarahan.

Pagi hari itu Siang-mou Sin-ni tampak gembira di dalam pondok. Han Ki rebah miring di atas dipan. Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela pondok yang terbuka lebar. Pagi yang cerah, akan tetapi bukan ini yang membuat wajah Siang-mou Sin-ni berseri. Ia gem­bira melihat Han Ki sekarang tampak sehat dan segar dan pagi ini ia mengam­bil keputusan untuk memulai dengan I­-kin-hoan-jwe, menyedot darah dan sum­sum Han Ki untuk penyempurnaan ilmu­nya yang mujijat, yaitu Ilmu Hun-beng­-to-hoat!

Sambil bersenandung kecil seperti seorang dara remaja yang bahagia, iblis betina ini mempersiapkan jarumnya yang panjang, kemudian dengan sinar mata penuh nafsu binatang, ia mulai menang­galkan pakaian Han Ki. Tubuh anak ini sungguh mengagumkan, kulitnya putih bersih dan di bawah kulit, penuh daging yang gempal dan padat. Warna kemerah­an membuktikan akan kesehatan yang amat baik sehingga Siang-mou Sin-ni menjadi ngilar dibuatnya. Biarpun mata­nya melotot penuh perlawanan, namun Han Ki yang ditotok itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu menge­luarkan suara. Ada juga rasa takut dan ngeri menyerang hati anak ini, namun sungguh luar biasa, anak ini dapat meng­atasinya dan sama sekali tidak tampak sinar takut di wajahnya!

Han Ki rebah telentang. Matanya bersinar-sinar penuh api menatap wajah wanita itu. Kembali Siang-mou Sin-ni menjadi amat kagum. Anak ini memang hebat bukan main, memiliki ketabahan yang luar biasa. Teringatlah ia akan ayah anak ini, Kam Bu Sin, yang juga amat tabah dan betapapun dahulu ia pernah menyiksanya, Kam Bu Sin sama sekali tidak pernah mau menyerah tidak mau menurutkan keinginannya. Bahkan ia dahulu menggantungkan tubuh Kam Bu Sin di dahan pohon, membiarkan tubuhnya dikeroyok dan digigiti semut, namun tetap saja laki-laki gagah ini tidak mau menyerah (baca ceritaCINTA BERNODA DARAH) sehingga akhirnya ia terpaksa menggunakan obat bius dan perangsang yang merampas ingatan Kam Bu Sin. Dan sekarang, anak ini memperlihatkan keta­bahan dan sikap pantang menyerah yang hebatnya melebihi ayahnya!”

Teringat akan ayah anak ini, makin menggelora nafsu iblis di tubuh Siang­-mou Sin-ni. Pandang matanya yang penuh nafsu itu menjadi haus dan perlahan ia membalikkan tubuh Han Ki menelungkup di atas dipan. Jari-jari tangan kirinya yang panjang-panjang meraba punggung di bawah tengkuk, kemudian tangan kanan­nya menusukkan jarum panjang ke dalam punggung Han Ki.

Han Ki yang tak dapat bergerak itu dapat merasa nyeri dan perih di pung­gungnya, namun ketika ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tenaganya tak dapat disalurkan. Anak ini lalu meramkan mata dan mengumpulkan semua semangat, berusaha mengerahkan tenaga yang berkumpul di dalam pusarnya. Ia meraba betapa di dalam pusarnya terjadi perten­tangan antara panas dan dingin yang amat hebat, demikian hebatnya rasa nyeri dalam pusar, kadang-kadang seperti terbakar dan kadang-kadang seperti membeku sehingga ia tidak merasakan lagi tusukan pada punggungnya.

Siang-mou Sin-ni sudah duduk ber­sila di dekat Han Ki. Jarum sudah ia tusukkan sampai menembus tulang pung­gung. Wajahnya berkilat saking girang dan dikuasai nafsu. Ia lalu menahan na­pas dan menekan gelora nafsunya, me­nenteramkan hati dan mengendorkan semua tenaga. Dalam melakukan I-kin-hoan-jwe ini ia harus “mengosongkan” diri dan karena inilah maka ia sengaja menjejalkan obat yang sifatnya panas yang sesuai dengan keadaan dirinya se­waktu kosong sehingga tidak ada bahaya terhadap tubuhnya bagian dalam yang kosong dan tidak terlindung hawa sakti. Darah dan sum-sum yang akan disedotnya itulah yang akan menjadi “bahan bakar” bagi penyempurnaan ilmunya Hun-beng­-to-hoat yang sedang dilatihnya, dan kalau ia berhasil, ia akan mampu melawan orang sakti manapun juga di dunia ini!

Setelah keadaan dirinya sudah kosong benar, Siang-mou Sin-ni lalu menunduk­kan tubuhnya ke depan, mulutnya meng­gigit ujung jarum yang menancap di punggung Han Ki lalu menghisap!

Hawa di dalam pusar Han Ki bergu­lung-gulung antara hawa panas dan di­ngin. Hawa panas luar biasa adalah aki­bat obat-obat Siang-mou Sin-ni yang di jejalkan kepadanya, sedangkan hawa dingin adalah akibat obat minuman Bouw Lek Couwsu yang diminumnya di dalam kamar Bouw Lek Couwsu. Sejak kecil anak ini memang sudah digembleng ayah bundanya dan telah memiliki dasar penggunaan hawa sakti di dalam tubuh. Biar­pun ia belum dapat memelihara dan menghimpun hawa sakti, namun ia tahu bagaimana cara menghimpunnya. Kini merasa betapa pusarnya bergerak-gerak dan di dalamnya bergulung-gulung hawa yang amat kuat, anak ini tidak mempe­dulikan lagi punggungnya dan tidak mem­pedulikan apa yang akan terjadi kepada­nya, melainkan mencurahkan seluruh perhatiannya ke pusar dan berusaha me­ngerahkan tenaga untuk menguasai hawa yang bergulung-gulung itu.

Bagaikan seorang penghisap madat, Siang-mou Sin-ni menghisap jarum panjang itu. Terasa segar dan manis darah yang memasuki mulutnya. Ia menyedot makin kuat dan.... jeritan ngeri keluar dari dadanya, wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak. Ia begitu kaget tanpa disadari lagi ia sudah menarik mukanya ke belakang sehingga jarum yang digigit pada ujungnya itu ikut ter­arik, keluar dari punggung Han Ki.

Anak itu sendiri tiba-tiba dapat ber­gerak meloncat bangun, mukanya merah seperti dibakar, akan tetapi tubuh bagian bawah menggigil kedinginan. Seperti seorang yang mabok Han Ki memandang ke depan, melihat betapa Siang-mou Sin­-ni duduk bersila dengan mata meram, muka pucat, tubuh bergoyang-goyang dan napas terengah-engah. Ketika melihat jarum panjang menggeletak di atas dipan, depan kaki Siang-mou Sin-ni yang bersila. Han Ki menjadi kalap. Ia menyambar jarum panjang itu lalu dengan gerakan penuh kebencian ia menusukkan jarum itu ke dada Siang-mou Sin-ni.

“Blessss....!” Jarum panjang itu am­blas menembus dada langsung menusuk dan menembus jantung!

Siang-mou Sin-ni terbelalak kaget mengeluarkan jerit melengking tinggi, tangan kirinya bergerak menghantam ke arah dada Han Ki.

“Krakk....!” Tubuh anak itu terpental jauh, terbanting dalam keadaan pingsan dan beberapa tulang iganya patah-patah!

Namun Siang-mou Sin-ni sekarang sudah berkelojotan. Betapapun sakti dan kuatnya, namun jarum panjang yang menembus jantungnya itu membuat ia tidak dapat menahan lagi. Dari lehernya keluar jeritan-jeritan melengking mengerikan, ia terguling dari atas dipan, berkelejotan, menjambak-jambak rambutnya, kemudian menggeliat-geliat dan akhirnya dia tek bergerak lagi. Siang-mou Sin-ni yang dahulu terkenal sebagai seorang di entara Enam Iblis, tewas di tangan seorang anak kecil berusia sebelas tahun!

Apakah yang telah terjadi? Ternyata ketika Siang-mou Sin-ni melakukan penyedotan, bukan hanya darah dan sum-sum yang disedotnya, melainkan juga hawa yang bergelombang di tubuh anak itu. Dan hawa itu bukan hanya hawa pa­nas yang amat dibutuhkan Siang-mou Sin-ni, melainkan bercampur dengan hawa dingin yang amat kuat. Hal ini sama sekali tidak diduga oleh Siang-mou Sin-ni yang sedang dimabok nafsu sehingga ia yang sedang dalam keadaan kosong, itu sekaligus terpukul hebat oleh hawa dingin yang menyerang dalam tubuhnya. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, reaksi per­tama dari tubuhnya tentu saja serentak bangkit dengan pengerahan sin-kang dan menolak atau melawan hawa dingin ini. Dan inilah kekeliruannya yang dilakukan dalam keadaan tak sadar. Kalau ia tidak melawan ia hanya akan luka ringan oleh hawa dingin ini yang biarpun kuat, namun tidak ada pendorongnya, mengingat Han Ki belum pandai menggunakan hawa ini dan dalam keadaan tertotok pula. Akan tetapi begitu ia melawan, ia yang tadi dalam keadaan kosong terpukul oleh pengerahan tenaganya sendiri membuat ia pening dan hampir pingsan. Bukan itu saja akibatnya, bahkan pengerahan hawa saktinya itu melalui jarum menjalar kedalam tubuh Han Ki dan seakan-akan merupakan bantuan yang tak disangka­-sangka oleh anak ini. Han Ki sedang berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai peperangan hawa di dalam pusar. Kini, tiba-tiba hawa panas mema­suki tubuhnya dan tenaga ini amat kuat sehingga mendadak menerobos jalan darahnya, melenyapkan pengaruh totokan dan membuatnya dapat bergerak lagi.

Akan tetapi, pengaruh dua hawa yang berlainan tadi masih membuat ia pening dan seperti mabok. Betapapun juga, ka­rena dia masih kanak-kanak dan berdarah bersih, ia lebih dulu sadar daripada Siang-mou Sin-ni dan anak kecil ini ber­hasil membunuh musuh besarnya dengan jarum Si Iblis Betina itu sendiri! Namun karena Siang-mou Sin-ni lihai luar biasa, biarpun sudah tertembus jarum jantung­nya, pukulan jari-jari tangannya masih mampu mematahkan beberapa tulang iga anak itu.

Sunyi di dalam pondok itu. Hawa pagi yang sejuk menerobos masuk diantar angin yang menggerakkan ujung atap daun di atas jendela yang terbuka. Suara burung berkicau di antara dahan-dahan pohon yang tadinya riang gembira, kini seolah-olah menjadi tangis duka, agaknya menangisi kelakuan manusia yang saling menyakiti dan saling membunuh tanpa sebab yang penting. Sinar matahari pagi yang tadinya menerobos masuk, melalui jendela menjadi agak suram mengurangi seri wajah bumi yang tadinya cerah.

Akan tetapi, lengking maut yang tadi keluar dari kerongkongan Siang-mou Sin­-ni dalam kemarahan, kesakitan dan per­gulatan melawan maut, agaknya bukan tidak ada yang mendengar sama sekali. Kecuali burung-burung dan binatang-bina­tang hutan yang mendengarnya, juga ter­dengar oleh seorang kakek tua renta yang berjalan perlahan di dalam hutan. Kini kakek tua renta yang berpakaian serba putih bersih dan sederhana, berjenggot dan berambut panjang juga sudah putih semua dan halus seperti sutera, masih kelihatan berjalan, melangkah se­enaknya. Akan tetapi yang hebat, biarpun ia kelihatan melangkah biasa, tubuhnya berkelebat laksana burung terbang saja dalam waktu singkat telah memasuki pondok yang sunyi itu.

Sejenak kakek itu berdiri memandang mayat Siang-mou Sin-ni dan tubuh Han Ki yang keduanya menggeletak tak ber­gerak. Kemudian kakek ini menarik napas panjang, berdongak dan mengelus jenggot putihnya sambil berbisik halus.

“Aahhhhh.... yang pintar maupun yang bodoh, yang kaya atau yang miskin, yang menang maupun yang kalah, akan berakhir dalam keadaan yang sama. Mati! Kehidupan apakah yang takkan disusul kematian? Semua orang tahu akan saat terakhir baginya yang pasti datang menjemputnya, akan tetapi.... mengapa selagi hidup banyak tingkah, tidak mengisi de­ngan hal yang berguna, baik, bagi orang lain maupun bagi diri sendiri? Manusia....!” Kakek tua renta itu maju, mem­bungkuk dan mengangkat tubuh Han Ki, memeriksanya sebentar lalu memondong­nya keluar dari pondok. Ia masih me­langkah biasa, namun kini lebih cepat lagi daripada tadi, pergi menghilang ke dalam rimba. Dilihat dari belakang, tampak sebuah alat musik yang-kim butut tergantung di punggungnya.

Kakek ini bukanlah manusia biasa. Jarang sekali ada manusia dapat bertemu dengan kakek ini. Dia bukan lain adalah Bu Kek Siansu! Kakek sakti dan dianggap manusia dewa oleh dunia persilatan, yang saking tuanya tidak ada lagi yang dapat menaksir berapa usianya. Kalau Tuhan menghendaki, maka pagi hari itu Han Ki dapat tertolong oleh kakek sakti ini, seperti ayahnya pada belasan tahun yang lalu juga ditolong Bu Kek Siansu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Hanya bedanya, kalau mendiang Kam Bu Sin hanya menerima sedikit petunjuk dari kakek ini yang membuat dia menjadi seorahg pendekar, adalah Kam Han Ki dibawa terus oleh Bu Kek Siansu dan sampai belasan tahun tidak seorang pun manusia tahu ke mana anak ini dibawa pergi. Maka dalam cerita ini, kita tidak akan berjumpa kembali dengan Kam Han Ki yang kelak akan muncul di dalam cerita lain.

Beberapa pekan kemudian, mayat Siang-mou Sin-ni ditemukan beberapa orang tukang kayu yang kebetulan sampal di puncak Tai-liang-san, dan mereka itu segera mengubur mayat yang tinggal tulang-tulang itu. Siang-mou Sin-ni le­nyap dari dunia persilatan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya dan di mana tempat kuburnya!

***

Kota Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai, terletak di se­belah barat kota raja Kerajaan Sung. Selain menjadi kota indah yang banyak dikunjungi pelancong dan pelajar dari daerah-daerah yang ingin memperdalam ilmu kesusasteraan di kota ini, juga Lok­yang ramai dikunjungi pedagang. Bahkan di kota ini banyak terdapat pengunjung dari utara, yaitu bangsa-bangsa Khitan, Mongol, dan lain-lain yang datang untuk berdagang kulit dan bulu dan berbelanja kebutuhan-kebutuhan hidup yang tak dapat mereka temukan di utara. Ada pula yang datang untuk mengunjungi kota basar ini yang namanya sudah terkenal sampai ke pedalaman di utara. Tentu saja bangsa Khitan yang paling banyak datang bsrkunjung, karena memang pada waktu itu, Kerajaan Sung bersahabat dengan Kerajaan Khltan

Akan tetapi pada pagi hari itu, pen­duduk kota Lok-yang dibikin kagum oleh sepasang orang muda yang berpakaian serba indah gemerlapan, menunggang dua ekor kuda yang besar dan diberi pakaian indah pula, dikawal oleh dua losin tentara Khitan, Si Pemuda berusia sembilan belas tahun, amat tampan dan gagah, alisnya tebal hitam, pandang matanya tajam berkilat, senyumnya manis akan tetapi penuh wibawa, pakaiannya seperti seorang panglima muda dengan pedang panjang berukir indah tergantung di ping­gang. Topinya dihias naga emas berkliau­an dan anehnya, di pinggang pemuda ini terselip sebatang suling! Adapun dara remaja yang menunggang kuda di sebelahnya amatlah menarik perhatian orang saking cantik jelitanya. Wajahnya khas orang Khitan, dengan sepasang mata lebar, senyum terbuka dan anting-anting­nya besar, manis bukan main. Pinggang­nya ramping, tubuhnya padat berisi dan dari cara ia menunggang kuda, jelas tampak bahwa gadis ini pun bukan orang sembarangan serta memiliki ketangkasan yang mengagumkan.

Semua orang yang melihat sepasang orang muda ini bertanya-tanya dan men­duga bahwa dua orang muda itu tentulah bangsawan-bangsawan tinggi di Kerajaan Khitan. Dugaan mereka itu memang ti­dak keliru, akan tetapi jarang di antara mereka dapat mengenal bahwa Si Pemu­da itu bukan lain adalah Putera Mahkota Kerajaan Khitan, yaitu Pangeran Talibu. Adapun dara remaja berusia tujuh belas tahun yang amat cantik jelita itu adalah Puteri Mimi. Puteri dari Panglima Kayabu yang sudah dikenal sebagai adik kandung Sang Pangeran oleh seluruh rakyat Khitan. Semua orang Khitan tahu bahwa Putera Mahkota itu sesungguhnya adalah putera kandung Panglima Kayabu, atau kakak kandung Sang Puteri itu, yang semenjak berusia lima tahun diangkat putera oleh Sang Ratu. Akan tetapi se­menjak beberapa pekan yang lalu Pange­ran Talibu sendiri tidak mempunyai anggapan demikian. Ia telah mengetahui rahasia dirinya dan dengan hati girang kini ia memandang wajah Puteri Mimi yang cantik jelita, dengan pandang mata yang lain daripada biasanya. Sikapnya lebih mesra dan sungguhpun hal ini amat mengherankan hati Mimi, namun puteri itu pun menjadi gembira karena sesung­guhnya ia amat mencinta kakak kandung­nya yang menjadi pangeran mahkota ini.

Talibu meninggalkan Khitan beberapa, hari setelah Suling Emas pergi. Keingin­annya untuk pergi ke selatan dan men­cari adik kembarnya tak dapat ditahan lagi oleh Ratu Yalina dan akhirnya be­rangkatlah pangeran ini bersama Mimi yang berkeras hendak ikut, dikawal oleh dua losin tentara pengawal pilihan. Ratu Yalina membolehkan puteranya pergi karena selain ia tahu akan kelihaian puteranya yang tentu dapat menjaga diri,­juga karena kerajaannya bersahabat dengan Kerajaan Sung sehingga kiranya tidak ada bahaya mengancam keselamat­an puteranya. Selain itu, Mimi sendiri juga seorang puteri yang memiliki kepan­daian tinggi, ditambah dengan dua losin pengawal pilihan. Biarpun perjalanan Pangeran itu tidak resmi, akan tetapi di sepanjang jalan, mereka dielu-elukan oleh penduduk dan pembesar setempat yang mengenal mereka.

Pagi hari itu, rombongan Pangeran Talibu tiba di kota Lok-yang. Pangeran itu bersama Puteri Mimi menahan kuda di depan sebuah losmen yang sudah di­pesan lebih dulu oleh kusir pasukan pe­ngawal. Beberapa orang pengawal mem­bantu dua orang muda bangsawan itu menahan kuda mereka yang besar-besar. Dengan wajah gembira Talibu melompat turun. Matanya yang berpemandangan tajam itu melihat empat orang laki-laki berpakaian pengemis yang berteduh di ba­wah sebuah rumah butut di pinggir losmen. Seperti juga terdapat di lain-lain kota, di Lok-yang terdapat banyak rumah-rumah kecil butut di samping rumah-rumah besar dan megah, seperti rumah kecil dan busuk ini di sebelah kanan losmen yang besar. Talibu maklum bahwa empat orang pengemis itu bicara tentang dia. Mata mereka semua dituju­kan kepadanya, bahkan seorang di antara mereka yang berjenggot menudingkan te­lunjuknya secara terang-terangan kepada­nya. Talibu tersenyum ramah kepada mereka. Biarpun ia seorang Pangeran Khitan, namun ia banyak tahu akan kehidup­an kang-ouw di selatan ini. Ibunya ba­nyak bercerita tentang orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh di selatan yang akan ia temui di antara rombongan pengemis kotor, pendeta dan pelajar. Melihat ge­rak-gerik empat orang pengemis itu, Talibu dapat menduga bahwa mereka bukanlah pengemis-pengemis biasa. Akan tetapi ia heran melihat betapa pandang mata mereka itu mengeluarkan sinar kebencian atau kemarahan. Ketika se­nyumnya tidak dibalas, ia lalu tak meng­acuhkan mereka, apalagi pada saat itu, Mimi sudah melompat turun pula dari atas kuda. Sambil bercakap-cakap dan tersenyum-senyum kedua orang muda bangsawan ini memasuki losmen, disambut oleh pemilik losmen dan anak buahnya.

Pembesar di Lok-yang ketika men­dengar akan kunjungan Putera Mahkota Khitan, menjadi kaget dan sibuk sekali, serta-merta mengirim undangan makan malam. Akan tetapi Talibu menolak de­ngan halus, mengirim pesan bahwa dia dan Puterl Mimi melakukan kunjungan tidak resmi, hanya ingin melancong dan karenanya minta supaya diperlakukan sebagai pelancong biasa, bukan sebagai tamu. Biarpun merasa tidak enak hati dan takut kalau-kalau terdengar oleh Kaisar dan mendapat teguran, namun para pembesar itu tidak dapat berbuat apa-apa, hanya diam-diam memperingat­kan semua penduduk dan pedagang agar bersikap ramah dan hormat kepada tamu agung ini.

Penyambutan penduduk dan pembesar Lok-yang ini membuat Talibu menjadi jengkelsekali. Ia ingin bebas, ignin merantau seperti burung di udara dalam usahanya mencari adik kembarnya. Ia ingin mencari adiknya dan menghadapi pengalaman-pengalaman tegang seperti yang sering ia dengar dari penuturan ibunya. Akan tetapi penyambutan dan sikap penduduk yang selalu membungkuk­bungkuk dan menghormatinya secara berlebih-lebihan itu membuat ia merasa tidak leluasa dan tidak enak. Malam itu juga ia memanggil komandan pengawal­nya dan memberi perintah.

“Mulai saat ini, aku tidak mau dika­wal lagi. Aku akan melakukan perjalanan seorang diri dan besok pagi kalian harus mengawal Sang Puteri kembali ke Khi­tan.”

Tentu saja komandan. pengawal itu kaget sekali. “Akan tetapi Pangeran....“

“Tidak ada tapi! Ini perintahku, me­ngerti? Mau membantah?”

Komandan itu tentu saja tidak berani membantah, mengangguk-angguk lalu di­perkenankan keluar untuk membubarkan pengawalan mulai saat itu juga. Talibu sama sekali tidak tahu bahwa perintah­nya ini diam-diam terdengar oleh Puteri Mimi dari balik jendela ketika puteri ini hendak mengunjungi kamarnya. Puteri Mimi yang mendengar perintah ini ter­kejut, cepat kembali ke kamarnya dan termenung. Akan tetapi puteri yang re­maja dan lincah ini lalu tersenyum dan mengangguk-angguk seorang diri, sudah mengambil keputusan sendiri.

Malam hari itu juga Talibu sudah me­lepaskan pakaian pangerannya, mengena­kan pakaian biasa, menyamar sebagai seorang pelajar dan lolos dari dalam losmen, menggunakan Ilmu kepandaiannya melompat keluar dari jendela dan pergl melalui genteng rumah. Pada keesokan harinya, para pengawal tidak saja kehi­langan Sang Pangeran, bahkan dengan kaget mereka tidak lagi melihat adanya Puteri Mimi yang sudah lenyap pula dari dalam kamarnya. Ketika memeriksa ke seluruh kota, sama sekali tidak ada jejak Sang Puteri. Tentu saja para pengawal menjadi bingung dan gelisah, akan tetapi mereka tak dapat berbuat lain kecuali berusaha mencari. Komandan pengawal sudah cepat menyuruh dua orang anak buahnya kembali ke Khitan menyampai­kan laporan tentang hilangnya Puteri Mimi dan tentang perintah Sang Pangeran yang melarang mereka mengawal karena Sang Pangeran berkenan melaku­kan perjalanan seorang diri

Talibu adalah seorang pemuda yang amat berani dan ilmu kepandaian­nya bukanlemah. Ia menerima gembleng­an langsung dari ibunya sendiri, yaitu Ratu Yalina yang di waktu mudanya mewarisi ilmu kesaktian yang amat rahasia, sim­panan tokoh pendiri Beng-kauw yaitu ilmu silat yang hanya terdiri dari tiga belas jurus, bernama Cap-sha Sin-kun (Kepalan Sakti Tiga Belas Jurus). Biarpun hanya tiga belas jurus, akan tetapi kalau Ratu Yalina yang mainkan, kiranya to­koh-tokoh kang-ouw jarang yang akan dapat menandinginya. Talibu tentu saja tidak sematang dan sekuat ibunya, namun dengan ilmu ini ia pun menjadi orang muda paling lihai di seluruh kerajaan ibunya. Dengan bekal ilmu kepandaian­nya, kini pemuda bangsawan yang meru­pakan orang paling penting sesudah ratu ini sekarang melakukan perjalanan se­orang diri, diam-diam meninggalkan los­men, lolos dengan pakaian seorang pe­lajar.

Ketika tubuhnya berkelebat keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, karena ia bermaksud pergi ke kota raja yang berada di sebelah timur Lok-yang, ia melihat berkelebatnya bayangan be­berapa sosok tubuh di sebelah belakang­nya. Talibu boleh jadi gagah perkasa, namun ia kurang pengalaman dan tidak mengenal keadaan dunia kang-ouw. Maka ia tidak menaruh curiga dan dengan la­pang ia melanjutkan perjalanan keluar dari kota Lok-yang. Malam itu amat indah dengan bulan bersinar penuh tanpa gangguan awan. Ia kini tidak lari lagi melainkan berlenggang seenaknya melalui jalan yang sunyi di tepi sawah ladang. Suara banyak katak membentuk perpa­duan musik yang indah dan amat menarik hatinya. Sambil tersenyum-senyum Pange­ran ini berjalan, pertama kali selama hidupnya merasa sebagai seorang yang benar-benar bebas, tidak terikat oleh segala macam peraturan, tidak terganggu oleh hadirnya para pengawal. Ia pada saat itu merasa benar-benar sebagai seorang pendekar muda perantau seperti yang sering ia dengar didongengkan ibu­nya. Sambil tersenyum ia meraba gagang pedangnya.

“Berhenti....!“ Bentakan ini membuat Talibu menahan kaki dan memasang kuda-kuda. Ia dapat mencium bahaya, apalagi ketika ia mengenal empat orang berpakaian pengemis yang pagi hari tadi memandangnya dengan pandang mata penuh kemarahan ketika ia turun dari atas kudanya, di depan losmen. Kini empat orang pengemis yang berpakaian tambal-tambalan namun bersih ini berdi­ri menghadapinya dengan sikap mengan­cam!

Namun Talibu memiliki keberanian yang luar biasa. Tidak percuma ia men­jadi putera Ratu Yalina yang di waktu mudanya merupakan seorang wanita se­perti naga betina yang tak pernah me­ngenal takut! Ia bersikap tenang, namun sedikit pun tidak merasa takut. Bahkan bibirnya yang merah itu tersenyum keti­ka ia bertanya.

“Kalian ini siapakah? Apakah golongan orang gagah dari kai-pang? Dan apa kehendak kalian malam-malam meng­ganggu perjalanan orang?”

“Menyerahlah menjadi tawanan kami dan kami takkan menggunakan kekeras­an.” kata seorang di antara empat pe­ngemis ini, yang berjenggot panjang.

“Eh-eh, apakah kalian tidak salah mengenal orang? Aku adalah seorang pelajar yang melakukan perantauan, sama sekali tidak pernah mempunyai permu­suhan dengan orang lain, apalagi dengan golongan kai-pang. Mengapa tanpa sebab kalian hendak menawan aku?”

“Harap kau tidak banyak membantah. Kami tahu bahwa kau adalah Pangeran Mahkota dari Khitan.” kata Si Jenggot Panjang.

Talibu membusungkan dadanya. “Kalau sudah tahu aku Pangeran Mahkota Khi­tan, mengapa menggangguku? Kerajaan Khitan bersahabat dengan negara ini dan tak tahukah kalian bahwa jika kalian menggangguku maka hal ini bukan hanya membikin marah Negara Khitan, bahkan juga negara kalian sendiri? Apakah kalian ini pengkhianat-pengkhianat kerajaan yang memusuhi kerajaan?” Sebagai Pu­tera Mahkota Khitan, tentu saja Talibu maklum akan keadaan kedua kerajaan itu. Ucapannya yang tepat dan bengis membuat empat orang pengemis itu ber­ubah. Akan tetapi kelirulah kalau Talibu mengira bahwa ucapannya akan mengundur­kan mereka. Tidak sama sekali, mereka itu malah maju mengurung dan Si Jeng­got berkata.

“Kami hanya menjalankan perintah. Harap Sang Pangeran suka menyerah saja!”

“Hemm, penjahat-penjahat rendah. Kalian kira aku Talibu takut menghadapi empat ekor tikus seperti kalian?”

Empat orang pengemis ini menubruk maju, akan tetapi mereka disambut ten­dangan dan pukulan tangan yang mem­buat mereka roboh terguling-guling. Me­reka adalah orang-orang yang berkepandaian akan tetapi begitu Talibu meng­gerakkan kaki tangannya, mereka sudah roboh jatuh bangun. Hal ini adalah ka­rena empat orang pengemis baju bersih ini sama sekali tidak menduga bahwa seorang pangeran bangsa Khitan yang mereka anggap sebagai bangsa kasar, akan dapat bergerak sebagai seorang ahli silat pilihan! Mereka menjadi marah dan kini mereka sudah mencabut keluar sen­jata mereka, yaitu tongkat berbentuk ular yang berwarna hitam. Senjata ini menandakan bahwa mereka ini adalah tokoh-tokoh perkumpulan pengemis Hek-coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam).

“Bagus, kalian hendak mencoba ke­lihaianku. Majulah!” Pangeran Talibu mencabut pedangnya dan tampak sinar gemerlapan ketika pedang pusaka yang panjang itu tertimpa sinar bulan purna­ma. Pedang itu mengeluarkan cahaya ke­merahan. Itu bukanlah pedang biasa, melainkan sebuah pedang pusaka dari Kerajaan Khitan!

Begitu empat orang pengeroyoknya menyerbu, Talibu menggerakkan pedang­nya membabat. Sinar merah menyilaukan mata dan angin sambaran pedang mem­buat dua orang pengemis cepat menarik kembali tongkatnya. Akan tetapi dua pengemis yang sudah terlanjur menyerang tak dapat menghindarkan bentrokan sen­jata.

“Trang.... trang....!”

Dua orang pengemis ini mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur, tongkat mereka tinggal sepotong karena tengahnya terbabat buntung oleh pedang bersinar merah! Marahlah mereka dan segera mereka mengurung dari empat penjuru, kini menjaga agar tongkat me­reka tidak bentrok lagi dengan pedang Si Pangeran. Biarpun tongkat mereka tinggal sepotong, namun dua orang pengemis itu masih lihai gerakannya.

Talibu mewarisi ilmu dari ibunya sen­diri, karena ilmunya hebat. Sayang sekali bahwa pemuda ini kurang pengalaman. Kalau ia sudah matang ilmunya, agaknya dalam sepuluh gebrakan saja ia akan mampu merobohkan empat orang lawan­nya tanpa pedang. Sesungguhnya, ilmunya tangan kosong Cap-sha Sin-kun merupa­kan ilmu yang jarang bandingnya, akan tetapi pemuda yang belum berpengalaman ini merasa ngeri untuk menghadapi pengeroyokan empat lawan bersenjata de­ngan tangan kosong. Justeru karena ia berpedang, maka ia malah tidak dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat.

Betapapun juga, karena dasar ilmu silatnya memang lebih tinggi, tenaga sin­kangnya lebih kuat dan ditambah pedang­nya adalah benda pusaka yang ampuh, tidak sampai empat puluh jurus kemu­dian, empat orang pengemis itu sudah roboh terluka semua. Akan tetapi Pange­ran itu bukanlah seorang kejam. Hal ini terbukti bahwa empat orang pengemis itu hanya terluka goresan pedang di pundak, lengan atau paha saja. Tentu saja kalau ia mau, luka di pundak bisa menjadi pemenggalan leher, luka di lengan bisa menjadi tusukan di dada, dan luka di paha bisa menjadi babatan di pinggang.

Sambil melintangkan pedang di depan dadanya, Pangeran yang perkasa itu membentak. “Sekarang mengakulah, siapa pimpinan kalian yang menyuruh kalian mencoba untuk menangkap aku?”

“Kami tidak berani mengaku!” kata seorang di antara mereka dan seterusnya mereka membungkam tidak berani bicara lagi hanya mengeluh karena kesakitan.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu dari tempat gelap muncullah sesosok bayangan. Ketika Tali­bu memandang, ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar bertubuh ramping padat, rambutnya panjang dan ketawanya seperti wanita bahkan kemudian orang itu lalu menya­nyi-nyanyi dengan suara kecil merdu! Orang ini bukan lain adalah Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi Talibu tidak mengenal orang aneh ini maka ia lalu bertanya dengan hormat karena munculnya orang aneh ini menimbulkan dugaan bahwa dia tentu bukan orang sembarangan.

“Maaf, siapakah Tuan dan mengapa datang ke tempat ini menjumpai saya?”

“Ha-ha-hi-hi-hik! Pemuda tampan, Pangeran Mahkota Khitan. Aku disebut Bu-tek Siu-lam dan Pangeran menjadi tamu agung. Harap saja kau suka ikut bersamaku. Maafkan sikap jembel-jembel yang tidak sopan ini, dan saya persilakan Pangeran menjadi tamu kami secara terhormat.”

Talibu biarpun belum banyak penga­laman, namun dapat mengenal orang pandai. Menurut ibunya, orang-orang sakti amat banyak di dunia kang-ouw dan sikap mereka memang aneh-aneh. Orang ini sukar ditaksir, laki-laki atau wanita. Pakaiannya aneh dan jelas adalah pakaian pria, namun lagaknya amat genit, bicara­nya seperti wanita dan suara serta keta­wanya jelas suara wanita! Maka ia lalu menjura dengan hormat dan menjawab.

“Saya memang Pangeran Mahkota Khitan, akan tetapi pada saat ini saya sedang merantau sebagai orang biasa. Saya tidak mempunyai hubungan dengan Tuan, maka harap Tuan jangan meng­ganggu dan maafkan penolakanku.”

“Hi-hik! Kalau para pembesar yang mengundang boleh saja Paduka menolak, akan tetapi Bu-tek Siu-Lam adalah seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, dan dalam hal ini undangan bukan hanya datang dari saya pribadi, melainkan juga dari Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Kami perlu memperundingkan sesuatu yang amat penting dengan Pa­duka. Apakah Paduka tidak memandang mata kepada kami?”

Talibu seorang pemuda cerdik. Men­dengar bahwa orang aneh ini sekutu pim­pinan bangsa Hsi-hsia, ia terkejut sekali. Dan pada saat itu ia pun sudah melihat munculnya puluhan orang di sekitar tem­pat itu, sebagian besar hwesio-hwesio berjubah merah. Teringatlah ia akan ce­rita tentang penumpasan Beng-kauw dan ia maklum bahwa melawan pun akan sia-sia belaka. Maka ia lalu menjawab.

“Undangan resmi dari bangsa Hsi-­hsia untuk Pangeran Mahkota bangsa Khitan tentu saja tak dapat saya tolak. Saya pun tidak percaya bahwa bangsa Hsi-hsia yang gagah akan menyalahguna­kan undangan ini. Marilah, Tuan, saya menerima undangan terhormat itu.”

Kembali Bu-tek Siu-lam tertawa ter­kekeh, kemudian dengan lagak genit ia mempersilakan Pangeran itu berjalan di sampingnya. Pergilah mereka ke barat dan mendaki sebuah bukit. Menjelang pagi barulah mereka tiba di puncak bukit dan ternyata di situ terdapat bangunan­-bangunan darurat dari bambu yang di­jadikan tempat persembunyian Bouw Lek Couwsu dan anak buahnya.

Pangeran Talibu disambut dengan penuh kehormatan oleh Bouw Lek Couw­su dan murid-muridnya. Hwesio tinggi besar berkaki buntung ini menjura penuh hormat sambil menyambut di depan pin­tu.

“Selamat datang, Pangeran Mahkota Talibu dari Khitan! Kunjungan Paduka Pangeran ini merupakan sebuah kehor­matan besar sekali dan membuktikan bahwa bangsa Khitan adalah bangsa yang besar dan mempunyai keinginan baik terhadap bangsa Hsi-hsia. Juga membuk­tikan kesetiaan orang gagah Bu-tek Siu-lam terhadap kami, ha-ha-ha!”

Pangeran Talibu balas memberi hor­mat dan berkata, suaranya tenang dan sikapnya agung. “Sudah lama kami mendengar akan bangkitnya bangsa Hsi-hsia yang dimulai dari Tibet dan kami merasa kagum bahwa bangsa yang kecil itu da­pat bangkit menjadi bangsa yang kuat. Akan tetapi saya tidak melihat hubungan sesuatu yang dapat menjadi alasan bagi Losuhu untuk mengundang saya menjadi tamu pimpinan bangsa Hsi-hsia.”

Sebagai putera kandung seorang pang­lima besar, tentu saja Pangeran Talibu ini pandai pula dalam hal siasat, dan diplomasi. Di dalam kata-katanya ia memuji-muji bangsa Hsi-hsia, akan tetapi di lain pihak ia pun membanting dan menganggap bangsa Hsi-hsia sebuah bang­sa yang kecil dan tidak ada hubungannya dengan Khitan yang besar!

“Ha-ha-ha! Pangeran Talibu dari Khi­tan benar tinggi hati! Justeru pertemuan antara kita inilah yang menjadi jembatan penyambung hubungan itu. Pangeran Talibu, silakan duduk dan mari kita berun­ding seperti dua pihak pimpinan bangsa yang besar dan yang memiliki kepenting­an bersama.”

Talibu mengikuti Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam memasuki ruangan besar dan duduk menghadapi meja yang bulat telur dan panjang. Pelayan-pelayan wanita muda dan cantik segera datang membawa arak hangat dan hidangan. Para pelayan ini amat menghormati Bouw Lek Couwsu dan keadaan di situ tiada ubahnya dengan ruangan istana raja. Diam-diaLm Talibu merasa heran mengapa pendeta ini bermata demikian genit penuh nafsu dan mengapa pula seorang pendeta, biarpun dia pemimpin suku bangsa Hsi-hsia, mempunyai pela­yan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi sebagai seorang tamu yang tahu akan tata susila dan peraturan istana, ia diam saja, me­lirik pun tidak untuk menyembunyikan perasaan herannya. Namun diam-diam ia merasa bahwa ia berada di dalam ke­adaan bahaya, maka ia bersikap hati-hati.

Setelah mereka makan minum, di­temani Bu-tek Siu-lam yang menjadi makin geenit sikapnya terhadap dirinya, Talibu tak sabar lagi lalu bertanya,

“Losuhu, kalau saya tidak keliru men­duga, Losuhu ini tentulah Bouw Lek Couwsu, pimpinan para hwesio Tibet yang menggerakkan orang-orang Hsi-hsia, yang terkenal sampai ke Khitan.”

“Pandang mata Pangeran Talibu amat tajam dan dugaan itu tepat sekali. Pin­ceng adalah Bouw Lek Couwsu yang merasa tidak tega menyaksikan kemiskin­an bangsa Hsi-hsia, maka sengaja me­mimpin mereka untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka.”

Pangeran Talibu mengangguk-angguk. “Setelah saya memenuhi undangan Losuhu yang disampaikan oleh Bu-tek Siu-lam ini, harap Lo-suhu suka memberi penje­lasan, apakah yang akan Losuhu bicara­kan dengan saya.”

“Ha-ha-ha! Pangeran Mahkota Khitan sungguh gagah dan bicara seperti laki-laki.” Pendeta ini memberi isyarat dan semua pelayan lalu mengundurkan diri, meninggalkan mereka bertiga di dalam ruangan itu. Setelah mengisi cawan arak tamunya dan mempersilakan minum, Bouw Lek Couwsu berkata.

“Pangeran Talibu, memang tepat. Urusan harus diutamakan, kesenangan baru nanti menyusul, kita rayakan. Terus terang saja, kami mengundang Paduka Pangeran dengan maksud untuk mengikat tali persahabatan dan membicarakan urusan antara bangsa kita dalam menghadapi Kerajaan Sung.”

Talibu cukup cerdik. Segera ia dapat menduga sedalamnya apa yang terkandung di hati pendeta dengan senyum yang me­mikat dan pandang matanya yang tajam itu. Ia sudah mendengar akan serbuan Hsi-hsia ke Beng-kauw, sudah mendengar pula bahwa sejak lama bangsa Hsi-hsia mulai dengan gangguan-gangguan di tapal batas sebelah barat Kerajaan Sung. Jelas bahwa bangsa ini tidak mempunyai maksud baik terhadap Sung dan sekarang pendeta ini bicara tentang persahabatan. Tentu saja tidak bisa lain daripada maksud mengulurkan tangan, mengajak bersekutu dengan bangsa Khitan untuk memusuhi Sung! Padahal pada waktu itu, Kerajaan Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung dan betapa pun bangsanya banyak yang tidak suka kepada Kerajaan Sung, namun ibunya sebagai Ratu Khitan selalu men­cegah bangsanya bermusuhan dengan Kerajaan Sung. Ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat menerima persekutuan dengan Hsi-hsia, apalagi atas nama bang­sanya. Namun sebaliknya, biarpun ia dianggap tamu agung, namun ia telah berada di sarang Hsi-hsia, sehingga pe­nolakannya akan membahayakan kese­lamatannya.

“Membicarakan urusan kepentingan bangsa bukanlah soal remeh, Couwsu. Sungguhpun saya Putera Mahkota Khitan, namun saya tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan urusan pemerintahan. Apalagi pada saat ini saya hanya seba­gai seorang pelancong bagaimana saya dapat merundingkan urusan besar ini? Setidaknya haruslah seorang utusan khu­sus dari Sang Ratu di Khitan.”

“Hi-hi-hik! Pangeran Mahkota Khitan yang tampan gagah kenapa seperti se­orang gadis kemalu-maluan saja? Menga­pa harus bersembunyi di bawah jubah Sang Ratu? Mengecewakan betul!” kata Bu-tek Siu-lam sambil terkekeh.

Talibu bangkit berdiri, jari tangan kanan meraba gagang pedang, sikapnya menantang. “Apakah ini sebuah penghina­an?”

Bu-tek Siu-lam terkekeh makin geli dan Bouw Lek Couwsu segera bangkit lalu melerai. “Ah, Paduka Pangeran mengapa belum dapat mengenal watak Bu-tek Siu-lam? Sahabatku ini sama se­kali tidak menghina, akan tetapi suka bicara secara terus terang dan sejujur­nya. Apa yang dikatakan memang tidaklah terlalu salah. Paduka adalah seorang Pangeran Mahkota, demi untuk kebaikan bangsa tentu saja berhak mengambil keputusan. Secara kebetulan kita bertemu di Lok-yang, bukankah ini sudah menjadi kehendak Thian bahwa di antara kedua bangsa kita memang sudah ditakdirkan menjadi sekutu?”

Pangeran Talibu duduk kembali dan menarik napas panjang. “Hemm, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang mencinta bangsanya, tentu saja saya selalu siap bicara tentang kebaikan bangsaku. Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar dapat kuper­timbangkan apakah aku berhak memutus­kan atau tidak.”

Bouw Lek Couwsu tertawa lega dan tidak mempedulikan Bu-tek Siu-lam yang tertawa ha-ha-hi-hi. “Bagus, memang ini­lah sikap yang pinceng harapkan dari Paduka sebagai Pangeran Mahkota calon raja besar bangsa Khitan. Bangsa Hsi-hsia dan bangsa Khitan adalah dua bang­sa yang besar gagah perkasa, mempunyai kepentingan yang sama dan musuh yang sama pula, yaitu Kerajaan Sung yang selalu menganggap kami sebagai bangsa biadab. Kami bangsa biadab? Huh, bangsa Han yang lemah itu harus dihajar. Ke­rajaan Sung harus dirampas dan kami bangsa Hsi-hsia ingin membagi keuntung­annya dengan bangsa Khitan. Dalam ke­adaan bangsa Sung lemah sekarang ini, kalau Khitan bergerak dari utara dan Hsi-hsia menyerbu dari barat, menakluk­kan Sung sama mudahnya dengan membalik telapak tangan saja. Kami meng­ulurkan tangan kepada bangsa Khitan untuk bekerja sama dan menjadi bangsa besar bersama yang memiliki wilayah kekuasaan sampai ke tepi laut timur dan selatan!

“Agaknya Couwsu lupa bahwa biarpun Kaisarnya lemah, Sung masih mempunyai banyak panglima yang pandai dan pasu­kan-pasukan yang kuat.”

“Ha-ha-ha! Hal ini sudah pinceng seli­diki, akan tetapi jangan Paduka khawatir. Pinceng telah mempunyai hubungan de­ngan banyak pejabat dan panglima di kota raja Kerajaan Sung. Mereka akan mengadakan pergerakan dari dalam dan membantu kita pada saat kita bergerak menyerbu. Juga banyak sekali orang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi anak buah Bu-tek Ngo-sian siap membantu kita.”

“Bu-tek Ngo-sian? Siapakah mereka?” Pangeran Talibu banyak mendengar dari ibunya tentang orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan pernah mendengar dari ibunya tentang Thian-te Liok-koai yang sudah dihancurkan oleh Suling Emas, ayah kandungnya itu, dan orang-orang gagah lainnya. Akan tetapi belum pernah ia mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian ini.

“He-heh-heh, tidak heran kalau Pa­duka Pangeran yang tampan dan gagah belum mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian! Aku Bu-tek Siu-lam adalah orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Seluruh kai-pang menjadi anak buahku dan mereka merupakan pasukan-pasukan yang amat kuat. Orang ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong, raja monyet raksasa itu. Ke tiga adalah Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang tentu Paduka sudah kenal karena banyak orang Khitan menjadi anak buahnya pula di samping orang-orang Mongol. Ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo yang menguasai semua perampok dan bajak, sedangkan ke lima adalah Sian-toanio, iblis betina yang aneh dan memi­liki kepandaian mengerikan.”

“Apa yang dituturkan Bu-tek Siu-lam tentu sudah jelas betapa kuatnya kedu­dukan kita, Pangeran Talibu. Karena itu, pinceng harap Paduka tidak ragu-ragu lagi untuk membuat persekutuan dengan kami.”

“Bouw Lek Couwsu, aku hanya se­orang Pangeran dan urusan amat penting ini tidak mungkin dapat kuputuskan sen­diri. Apakah yang harus kulakukan se­karang?”

“Paduka menjadi tamu agung kami dan harap Paduka suka menulis surat tentang persekutuan ini kepada Sang Ratu di Khitan, membujuk agar Ratu Khitan menyetujuinya.”

“Kalau Ibuku menolak....?”

“Ha-ha-ha, tidak mungkin menolak melihat kemungkinan besar bagi Kerajaan Khitan terutama selama Paduka menjadi tamu agung kami....“

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar dan tak lama kemudian, seorang kakek kurus tua yang tertawa-tawa gembira melangkah masuk sambil menggiring lima orang gadis muda yang cantik-cantik. Begitu tiba di ruang­an itu, Si Kakek tua mendorong mereka ke depan. Lima orang gadis cantik itu jatuh berlutut dan menundukkan muka menahan tangis. Mereka kelihatan bi­ngung, sedih dan ketakutan. Namun harus diakui hahwa kedua orang gadis itu amat cantik jelita.

“Bouw Lek Couwsu, aku datang untuk menebus kesalahanku dan membayar hu­tang kepadamu!” kakek itu berkata sambil berdiri tanpa memberi hormat. “Aku tidak berhasil menangkap kembali Mutia­ra Hitam, akan tetapi sebagai gantinya, lima orang gadis paling cantik yang ku­temui di sepanjang perjalanan ke sini, kuhadiahkan kepadamu. Eh, Siu-lam si genit, kau sudah berada di sini? Bagus! Dan kudengar tadi kalian menjamu Pa­ngeran Mahkota Khitan. Dia inikah orangnya? Ha-ha-ha, bagus, bagus! Wah, kebetulan sekali kalau begini. Untung aku membawa lima orang gadis cantik, Couwsu, kau menjamu tamu agung tanpa suguhan wanita cantik, sungguh kurang ramah!”

Melihat kedatangan Siauw-bin Lo­-mo, hati Bouw Lek Couwsu girang.

Memang ia membutuhkan sekali tenaga bantuan Bu-tek Ngo-sian, apalagi setelah ia kehilangan bantuan Siang-mou Sin-ni yang entah ke mana perginyaitu. Ia tertawa bergelak.

“Bagus, terima kasih, Siauw-bin Lo­mo. Pangeran Talibu, Paduka sebagai tamu kehormatan, silakan memilih di antara lima orang dara ini. Hayo kalian bangkit berdiri dan layani Pangeran Ta­libu!” perintahnya kepada lima orang gadis yang masih berlutut.

Karena sudah mengalami siksaan apa­bila tidak menurut perintah Siauw-bin Lo-mo, lima orang gadis itu seperti ke­hilangan semangat untuk melawan lagi. Kini mendengar perintah pendeta tinggi besar yang kelihatan lebih galak daripada Siauw-bin Lo-mo yang menculik mereka, mereka makin takut dan cepat mereka bangkit berdiri. Wajah mereka yang can­tik itu menjadi agak terang ketika me­reka melihat siapa yang harus mereka layani. Kalau disuruh melayani seorang pemuda demikian tampan dan gagahnya, apalagi yang disebut Pangeran, kiranya tanpa dipaksa mereka akan sungkan, untuk menolak! Terutama sekali melihat bahwa ada kemungkinan mereka tidak terpilih oleh Si Pangeran sehingga harus melayani Siauw-bin Lo-mo atau Si Pen­deta yang biarpun tampan akan tetapi sudah tua dan berkaki buntung, atau juga laki-laki tinggi yang memiliki wajah tampan akan tetapi aneh dengan dandan­an seperti orang gila, kini lima orang gadis itu seperti berlumba menghampiri Pangeran Talibu hendak merebut perhatiannya.

Talibu hampir tak dapat mengendali­kan kemarahan hatinya. Ketika ia tadi mendengar Bu-tek Siu-lam memperkenal­kan Pak-sin-ong sebagai seorang di an­tara lima orang sakti yang membantu Bouw Lek Couwsu, ia sudah marah seka­li. Tokoh jahat Pak-sin-ong itu adalah musuh besar ibunya, merupakan seorang pengkhianat Khitan, mana mungkin Khi­tan dapat bekerja sama dengannya? Akan tetapi ia masih dapat menahan perasaannya. Kini lima orang gadis itu berdiri dan menghampirinya dengan langkah le­mas dan pandang mata penuh harap, bibir kepucatan dipaksa senyum. Ia mera­sa seolah-olah sebagai seekor kucing yang tertangkap, kini musuh-musuhnya melepas lima ekor anjing untuk mener­kam dan mengeroyoknya! Ia memandang dan hatinya dipenuhi rasa iba. Lima orang gadis cantik itu sama sekali tidak menimbulkan benci di hatinya. Sebalik­nya, mereka itu bukan lima ekor anjing ganas, melainkan lima ekor kelinci yang ketakutan dan hampir mati karena sedih. Pandang mata mereka membuat hatinya merasa tertusuk. Mereka pun menjadi korban kebiadaban orang-orang yang me­musuhinya ini. Tak dapat pula ia mena­han kemarahannya, dan ia segera bangkit berdiri, menggerakkan tangannya dengan halus sambil berkata.

“Nona berlima saya bebaskan, silakan keluar dari sini dan pergi kembali ke rumah masing-masing.”

Lima orang gadis itu kelihatan bi­ngung, saling pandang, meragu dan seper­ti tidak percaya kepada telinga mereka sendiri. Mereka melirik ke arah Siauw­-bin Lo-mo yang masih duduk sambil ter­tawa. Melihat ini serentak timbul harap­an mereka bahwa mereka benar-benar dibebaskan seperti yang dikatakan pemu­da tampan itu. Otomatis mereka men­jatuhkan diri berlutut menghadap Talibu, mengangguk-anggukkan kepala lalu bang­kit dan tergesa-gesa mereka berjalan menuju pintu.

Mendadak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu-tek Siu-lam sudah me­loncat melalui lima orang gadis itu, ber­diri di tengah pintu mengembangkan kedua lengannya yang panjang sambil tertara-tawa.

“Hi-hi-hik, Nona-nona manis mau ke mana? Kalau Pangeran Talibu tidak suka kepada kalian, masih ada aku dan yang lain-lain yang membutuhkan hiburan dan pelayanan kalian. Ha-ha, mari kembali dan duduk minum arak, temani kami Nona-nona cantik! Aku memilih yang dua ini!” Sekali rangkul, ia telah menangkap dan memondong dua orang gadis, sambil tertawa-tawa ia menciumi muka mereka bergantian. Dua orang gadis yang usianya kurang lebih enam belas tahun itu men­jadi pucat wajahnya dan tubuhnya meng­gigil ketakutan. Tiga yang lain juga menggigil dan dengan kaki lemas mereka digiring kembali ke meja oleh Bu-tek Siu-lam.

“Tahan!” Talibu membentak dengan suara marah sekali. Muak hatinya me­nyaksikan perbuatan Bu-tek Siu-lam dan hatinya penuh iba kepada lima orang gadis itu. “Bouw Lek Couwsu, engkau sudah menyerahkan gadis-gadis itu untuk melayaniku dan aku berhak melakukan apa saja terhadap mereka. Setelah ku­bebaskan dia, kenapa dihalangi? Apakah aku tidak dipandang sebelah mata di sini?”

“Eh-eh, orang muda! Aku yang mem­bawa datang anak-anak ini, dan hanya akulah yang berhak membebaskan mereka. Kenapa kau lancang hendak mem­bebaskan mereka? Kau berani meman­dang rendah Siauw-bin Lo-mo?” Kakek kurus itu sudah bangkit berdiri sambil tertawa-tawa mengejek.

Talibu marah sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan Siauw-bin Lo-mo, sebaliknya ia menghadapi Bouw Lek Couwsu dan berkata lagi suaranya keras dan marah. “Bouw Lek Couwsu, engkau­lah tuan rumah di sini, maka aku tidak sudi melayani yang lain. Kau mau membebaskan lima orang wanita ini ataukah tidak?”

Bouw Lek Couwsu tertawa dan sekali tangannya meraih, tiga orang wanita muda yang lain sudah ia tarik keras-keras ke arahnya. Tiga orang gadis itu menjerit lirih dan ketika dua tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, seorang telah jatuh di atas pangkuannya, yang dua orang lagi ia peluk pinggang mereka dan ia dudukkan di kanan kirinya!

“Pangeran Talibu, sebagai seorang tamu agung, engkau tak tahu sopan me­nolak hidanganku untuk menikmati wa­nita-wanita ini. Sebagai seorang tawanan, engkau sombong dan berani menjual la­gak. Ha-ha-ha, apa kaukira pinceng tidak tahu isi hatimu? Engkau pura-pura ber­sikap baik dan bersahabat, padahal di dalam hatimu engkau benci kepada kami. Ujian dengan dara-dara ini membuka rahasiamu. Coba katakan, maukah engkau menulis surat kepada ibumu Ratu Khi­tan? Engkau belum memperlihatkan jasa sedikitpun juga, sudah hendak bersikap sebagai raja di sini. Ha-ha-ha! Coba jawab, maukah engkau menulis surat itu sekarang juga?”

“Hi-hi-hik, Bouw Lek Couwsu seperti anak-anak saja. Tentu saja dia tidak mau! Ketika tadi aku menyebut nama Pak-sin-ong, apakah Couwsu tidak me­lihat perubahan mukanya? Sudah kuduga, Pangeran cilik ini takkan menurut kalau tidak dipaksa.” kata Bu-tek Siu-lam sam­bil membelai-belai tubuh dua orang dara yang dirangkulnya secara tak tahu malu.

“Couwsu, serahkan saja bocah ini ke­padaku. Mau dia mati? Atau setengah mati? Atau menangkapnya saja? Tanggung dalam berapa jurus ia akan bertekuk lutut di depanmu.” kata pula Siauw-bin Lo-mo yang rupa-rupanya amat bernafsu untuk mencari muka terhadap pimpinan bangsa Hsi-hsia ini dan untuk menebus kesalahannya telah bentrok dengan para hwesio jubah merah.

Bouw Lek Couwsu hanya tersenyum lebar, matanya memandang tajam ke arah wajah Pangeran Talibu. Melihat betapa Talibu memandang Bu-tek Siu­lam yang membelai-belai dan meremas-remas tubuh dua orang gadis yang meng­gigil pucat dengan pandang mata penuh kebencian, tiba-tiba ia mendorong tiga orang gadis yang dirangkulnya sambil membentak, “Hayo kalian bertiga buka pakaian!”

Tiga orang gadis itu terkejut lalu menjatuhkan diri berlutut. Seorang di antara mereka berkata dengan suara gemetar, “Ampunkan kami.... ampunkan kami....“ sedangkan yang dua orang lain­nya menangis.

“ Masih belum memenuhi perintah?” Bouw Lek Couwsu membentak lalu me­ngerling ke arah Talibu yang memandang ke arah tiga orang wanita itu dengan wajah berubah merah, kemudian ia ter­tawa, kedua lengannya yang besar ber­bulu menyambar ke depan, sepuluh jari tangannya mencengkeram dan merenggut. Terdengar suara “brett, brett, brett....!” di antara jerit lirih dan seluruh pakaian tiga orang gadis itu robek semua sehing­ga dalam sekejap mata mereka bertiga telah telanjang bulat. Mereka hanya da­pat menangis dan berlutut, berusaha menutupi dada dengan kedua lengan.

Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak, memandang wajah Talibu yang menjadi pucat, kemudian dengan sengaja ia me­raih dan merenggut tubuh tiga orang gadis yang sudah tak berpakaian lagi itu ke arahnya, dipangku dan dirangkul se­perti tadi! Bu-tek Siu-lam tertawa ha-ha-hi-hi, dan terdengar pula suara pakai­an cabik-cabik diseling jerit tangis dua orang gadis dalam pelukannya yang da­lam waktu beberapa detik sudah telan­jang pula seperti teman-teman senasib mereka.

“Ha-ha-ha, bagaimana Pangeran Tali­bu? Maukah kau sekarang juga menulis surat itu? Kalau kau mau, biarlah pin­ceng mengalah dan rela memberikan tiga dara jelita ini kepadamu!” Bouw Lek Couwsu berkata penuh ejekan.

Pangeran Talibu maklum bahwa dia diuji secara hebat. Bouw Lek Couwsu sengaja melakukan semua itu untuk mengujinya, untuk melihat apakah dia dapat diajak bersekutu dan apakah dia dapat dipercaya. Akan tetapi darahnya bergolak mendidih saking marahnya. Ia maklum juga bahwa apa pun yang ter­jadi, sampai mati tak mungkin ia mau bersekutu dengan manusia-manusia ma­cam ini, dan bahwa ibunya pun tak mungkin sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia untuk memusuhi Kerajaan Sung. Maka dengan kemarahan meluap ia lalu mencabut pedangnya dan membentak nyaring.

“Jahanam berkedok pendeta! Siapa sudi mendengar omonganmu? Orang-orang macam kalian patut dibasmi!” Ia menyer­bu ke depan untuk menyerang Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi tiba-tiba sebuah lengan kurus menyelonong dari samping, menyambar ke arah pergelangan tangan­nya yang memegang pedang. Sambaran tangan itu cepat sekali dan mendatang­kan angin pukulan yang kuat. Talibu kaget, cepat menarik kembali pedangnya dan melompat ke samping sambil mem­balikkan tubuhnya. Kiranya Siauw-bin Lo­mo sudah berdiri di depannya, tertawa­-tawa dan berkata.

“Couwsu, apakah kau ingin dia mam­pus?”

“Jangan, cukup asal kautangkap dia Lo-mo.”

“Kaulihat aku menangkap tikus ini!” Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan tubuhnya menubruk maju. Pangeran Talibu tidak gentar biarpun ia dapat menduga akan kelihaian lawannya. Pedangnya berkele­bat, memapaki datangnya tubuh lawan dengan tusukan kilat. Namun tubuh lawan yang kurus kering itu tiba-tiba meliuk ke kanan dan tangan yang berkuku panjang menyambar tangan kanannya, Talibu ka­get dan cepat menarik pedang memutar pergelangan tangannya sehingga pedang­nya berkelebat ke kanan menyambar leher Siauw-bin Lo-mo. Kakek ini tertawa menyembunyikan kekagetannya dan menundukkan kepala miringkan tubuh membiarkan pedang lewat di dekat leher. Diam-diam ia harus mengakui kelihaian Pangeran Khitan ini dan karena ia mak­lum bahwa Ratu Khitan memiliki kepan­daian tinggi, apalagi setelah menyaksikan gerakan Talibu, kakek ini tidak berani main-main lagi.

Kini tubuh Siauw-bin Lo-mo bergerak cepat dan aneh. Suara ketawanya tak pernah berhenti sehingga Talibu menjadi bingung. Ia melihat tubuh kakek itu berubah menjadi bayangan yang berkelebat­an, seolah-olah ia dikeroyok empat lima orang lawan yang kesemuanya tertawa terkekeh-kekeh. Namun ia tidak menjadi gentar, bahkan segera memutar pedangnya, menyambarkan pedang ke arah bayangan yang berkelebatan. Pedangnya mengeluarkan suara berdesingan dan berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung menyilaukan mata.

Lima orang gadis yang tak berpakaian lagi itu kini agak terbebas dari siksaan karena Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam menonton pertandingan sehingga untuk sementara seperti melupakan mereka. Mereka tak berani berkutik, bahkan ikut pula menonton dengan jantung berdebar-debar, mengharap kemenangan bagi Si Pemuda Tampan yang mereka tahu bertanding karena membela mereka.

Namun Siauw-bin Lo-mo adalah seorang lawan yang jauh terlalu lihai bagi Talibu yang belum berpengalaman. Memang harus diakui bahwa ilmu pedang Talibu amat cepat dan tangkas dan bahwa jarang dapat ditemui seorang pemuda, apalagi pemuda Khitan, sepandai dia mainkan pedang. Namun menghadapi Siauw-bin Lo-mo, ia hanya mampu bertahan selama dua puluh jurus saja. Ketika sebuah bacokannya dapat terelakkan lawan tiba-tiba pada saat pedangnya kembali menusuk bayangan yang berada di depannya, bayangan itu lenyap dan dari sebelah kanannya, bayangan yang lain telah berhasil mengetuk pergelangan tangan kanannya. Tangannya seketika menjadi lumpuh saking nyerinya dan pedangnya terlepas, jatuh berkerontangan di atas lantai. Talibu cepat membuang diri bergulingan di lantai menjauhi lawan.

Lima orang gadis itu seperti diko­mando saja menjerit. Jeritan ini mence­lakakan mereka karena seolah-olah me­nyadarkan Bouw Lek Couwsu dan Bu­-tek Siu-lam bahwa mereka berdua tadi melupakan korban-korban mereka. Kini mereka sambil tertawa-tawa membelai dan menciumi mereka sehingga lima orang gadis itu kembali merintih-rintih penuh kengerian.

Mendengar jeritan dan rintihan me­reka, semangat Talibu bangkit kembali. Ia lupa akan urusan lain. Satu-satunya yang memenuhi perasaannya hanya ber­usaha membasmi orang-orang jahat ini dan membebaskan lima orang gadis yang bernasib malang dan terancam mala petaka itu. Ia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju de­ngan tangan kosong. Mula-mula kaki tangan Talibu bergerak lambat sambil maju karena tadi ia menggulingkan tubuh sampai jauh. Dengan geseran-geseran kaki lambat ia maju menghampiri Siauw­bin Lo-mo yang tertawa terkekeh-kekeh. Gerakan pemuda itu aneh sekali dan belum pernah ia melihat gerakan macam ini. Siauw-bin Lo-mo yang dengan mudah dapat menangkap pemuda ini ketika tadi mainkan pedang, tentu saja sekarang memandang rendah, apalagi gerakan pemuda itu sama sekali tidak memba­yangkan kelihaian dan garis pertahanan­nya lemah sekali. Ia yakin dalam se­gebrakan akan dapat merobohkan dan menangkap pemuda ini.

Makin dekat, gerakan Talibu makin cepat dan kini gerakannya luar biasa sekali karena kakinya bergerak membawa tubuhnya maju sambil berputaran! Siauw-bin Lo-mo yang tadi terkekeh, kini mulai menyangsikan kewarasan otak Pangeran Mahkota Khitan ini. Mana ada ilmu silat berputar-putar seperti itu? Menghadapi pengeroyokan banyak orang sambil me­mainkan pedang, memang ada gerakan memutar-mutar tubuh ini, akan tetapi kalau hanya berhadapan dengan seorang lawan, apalagi bertangan kosong, apa gunanya berputaran? Yang pasti membuat kepala menjadi pening sendiri! Ia makin memandang rendah dan setelah tubuh yang berputaran itu datang dekat, ia ce­pat menerjang maju dan dalam sekali gerak ia telah menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, disusul cengkeraman untuk menangkap! Hebat bukan main serangan ini dan agaknya sukarlah bagi seorang muda seperti Talibu untuk dapat menghindarkan diri.

Akan tetapi, hal yang amat aneh terjadi. Semua totokan Siauw-bin Lo-mo meleset, juga cengkeramannya, bah­kan dari dalam putaran itu datang me­nyambar pukulan tangan kanan Talibu yang mengenai dadanya, membuat tubuh Siauw-bin Lo-mo terguling roboh!

Lima orang gadis itu sejenak melupa­kan kesengsaraan tubuh mereka yang dipermainkan Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam ketika melihat bahwa pemu­da pujaan dan penolong mereka dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Akan te­tapi alangkah kecewa hati mereka ketika melihat kakek itu meloncat bangun lagi sambil berseru marah, namun mulutnya masih terkekeh ketawa. Kembali mereka berlima harus menderita di bawah peng­hinaan jari-jari tangan yang kurang ajar.

Siauw-bin Lo-mo kini berhati-hati sekali. Kembali ia teringat bahwa Ratu Khitan memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Maka ia dapat menduga bahwa ilmu silat tangan kosong Pangeran ini lihai bukan main, malah jauh lebih lihai daripada ilmu pedangnya. Tanpa pedang pemuda ini malah merupakan lawan yang lebih tangguh! Dugaannya memang tepat. Setelah kehilangan pedangnya, tanpa ia sadari sendiri, Talibu menjadi lebih berbahaya. Ia kini mainkan Ilmu Cap-sha­ sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang biarpun belum dapat ia mainkan dengan sempurna, namun kesaktian ilmu ini ternyata dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Ketika berputaran tadi, Talibu telah mainkan jurus dari Cap-sha-sin-kun yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Menyambarkan Kilat). Dalam berputaran, semua geraknya mengandung daya ta­han yang kokoh kuat, dengan gerakan yang selalu dapat mengelak setiap pukul­an dan serangan lawan. Tidak menghe­rankan apabila totokan-totokan dan ceng­keraman tangan Siauw-bin Lo-mo meleset semua. Kemudian, sesuai dengan nama jurus itu, dari dalam pusaran tubuh yang seperti gasing itu menyambar pukulan kilat yang tak tersangka-sangka muncul­nya sehingga seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo sampai kena dirobohkan.

Karena Siauw-bin Lo-mo bersikap hati-hati dan terutama sekali karena latihan Talibu belum masak benar, maka kini setelah Siauw-bin Lo-mo maju lagi, jurus Soan-hong-ci-tian yang dipergunakan Talibu tidak berhasil. Ketika Talibu me­lancarkan beberapa pukulan, tangannya hampir saja dapat ditangkap lawan. Mu­lailah pemuda ini terdesak. Tubuhnya masih berputaran, namun kini gerakannya berputar itu sambil mundur untuk menghindarkan pukulan-pukulan Siauw-bin Lo-mo yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang sehingga membobolkan daya pertahanan jurusnya yang ampuh. Ia maklum bahwa sekali kena pukul, ia tentu akan roboh.

Siauw-bin Lo-mo mulai tertawa-tawa lagi melihat pemuda lawannya mundur-mundur dan ia terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang kuat untuk meng­hancurkan jurus pertahanan lawan dan mencari lowongan merobohkan Pangeran itu. Talibu sudah mulai lelah dan pening. Jurus Soan-hong-ci-tian sesungguhnya tidak boleh dimainkan terlalu lama ka­rena hal ini akan melelahkan diri sendiri. Biasanya, dimainkan sebentar saja sudah dapat merobohkan lawan. Akan tetapi kali ini tidak ada hasilnya. Kakek kurus itu makin mendesak dan pada saat per­putaran tubuh Talibu berkurang kecepatannya, sambil tertawa-tawa Siauw­-bin Lo-mo mencengkeram kedua pundak Talibu!

Pangeran Khitan itu menggigit bibir, membiarkan pundaknya dicengkeram jari-jari kurus yang kuat seperti baja, akan tetapi cepat sekali kedua kakinya ber­gerak menendang bergantian, pertama ke arah anggauta rahasia lawan kemudian disusul tendangan ke lutut kanan.

“Aihhhh....!” Siauw-bin Lo-mo sampai berseru keras saking kagetnya. Kembali ia hampir menjadi korban kelihaian ilmu silat aneh dari Pangeran ini. Tendangan pertama dapat ia elakkan sehingga hanya menyerempet paha kirinya, akan tetapi tendangan susulan biarpun ia elakkan masih mengenai tulang kering kakinya, membuat ia mengaduh dan meloncat mundur terpincang-pincang!

“Hi-hi-hik, Lo-mo dapat dipermainkan anak kecil. Sungguh lucu!” Bu-tek Siu-lam tertawa mengejek.

Mulut Siauw-bin Lo-mo masih tertawa ha-ha-he-he, akan tetapi pandang mata­nya yang ditujukan ke arah Talibu me­nyinarkan pandangan maut. “Kaulihat saja, Siu-lam, kaulihat kuhancurkan Pangeran cilik ini. Ditambah seorang engkau lagi, aku tetap akan dapat menghancurkannya!”

Melihat sinar mata dari mata kakek itu, Bouw Lek Couwsu cepat berkata. “Ingat, Lo-mo. Aku tidak menghendaki dia mati!”

Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Tentu ia ingat akan hal itu. Kini ia me­langkah maju, perlahan-lahan seperti seekor singa menghampiri calon mangsa­nya. Talibu yang merasa betapa kedua pundaknya berdenyut-denyut dan mem­buat kedua lengannya hampir lumpuh menahan nyeri, sudah siap menanti pe­nyerbuannya. Ia maklum bahwa dia bu­kanlah lawan kakek kurus itu dan bahwa ia harus nekat dan melawan mati-matian untuk mempertaruhkan namanya sebagai putera Ratu Khitan yang terkenal. Apa­lagi setelah teringat bahwa dia adalah putera kandung Ratu Khitan dan pende­kar sakti Suling Emas, keangkuhannya timbul dan ia akan melawan terus sam­pai titik darah terakhir! Maka begitu lawannya sudah dekat, Talibu menggigit gigi menghilangkan semua rasa nyeri dan melompat maju, menerjang dengan ketangkasannya yang mengagumkan.

Kini Talibu menekuk sebelah lututnya, tangan kiri dikepal menghantam pusar, tangan kanan menghantam disusul ceng­keraman ke arah anggauta rahasia lawan. Serangan hebat ini tak mungkin dielakkan lagi, karena pada saat itu tubuh Siauw-bin Lo-mo sudah meloncat maju. Kakek itu tidak gentar melihat serangan aneh ini. Ia cepat menggerakkan tangannya, menangkis tangan kanan Talibu dan me­nangkap pergelangan tangan kiri lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kedua tangan pemuda itu ter­buka jari-jarinya dan memapaki tangkis­annya dengan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan ke arah telapak tangannya yang hendak menangkap. Inilah hebat dan berbahaya! Kakek itu secara tergesa-gesa merobah gerakannya, mem­batalkan niatnya menangkis dan menang­kap, akan tetapi agaknya pemuda itu pun sudah menduga akan hal ini, atau me­mang jurus ilmu silatnya ini sudah diatur sedemikian rupa sehingga semua perhi­tungannya tidak meleset. Kiranya totok­an-totokan itu pun tidak dilanjutkan, di tengah jalan membalik dan menotok ke­dua lutut Siauw-bin Lo-mo. Untuk ke­perluan inilah agaknya maka pemuda itu memasang kuda-kuda sambil berlutut sebelah kaki!

“Haya....!” Siauw-bin Lo-mo berteriak kaget. Ia dapat menyelamatkan kaki kanannya akan tetapi kaki kirinya tetap saja kena ditotok lututnya sehingga lumpuh seketika. Baiknya ia amat lihai se­hingga dengan sebelah kaki ia dapat meloncat mundur sampai tiga meter jauhnya. Di dalam hati ia harus meng­akui bahwa selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu jurus-jurus ilmu silat yang amat luar biasa. Tiga kali pemuda itu menggunakan jurus-jurus itu, dan tiga kali pula ia “termakan.” Kalau pemuda ini lebih mahir dan menyempurnakan ilmu itu selama lima sampai sepuluh tahun saja, tentu ia akan terpukul roboh. Kekagetannya mendatangkan kemarahan yang berkobar.

Talibu yang melihat bahwa jurusnya berhasil melukai kaki kiri lawan, menjadi besar hati dan menyerbu dengan hati girang. Dengan sebelah kaki tertotok lumpuh, kelihaian Siauw-bin Lo-mo tidak banyak berkurang. Inilah kesalahan Talibu yang mengira bahwa lawannya sudah tak berdaya lalu maju menyerbu dengan ter­jangan ganas, tidak lagi menggunakan jurus-jurus Cap-sha-sin-kun yang sama sekali belum dikenal lawan. Kini ia me­nerjang dengan pukulan-pukulan keras susul-menyusul. Akan tetapi tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo tertawa, tubuhnya me­rendah dan sebelum Talibu dapat men­cegahnya, sebuah tamparan mengenai

“Plakk....! Aduuuuuhhh....!” Tubuh Talibu terguling, lambungnya sakit sekali rasanya, seakan-akan isi perutnya diba­kar. Ia berusaha meloncat bangun akan tetapi kembali tangan Siauw-bin Lo-mo menampar yang tepat mengenai sebelah kanan lehernya. Seketika pandang mata­nya berkunang-kunang, kepalanya pening, kemudian pandang matanya menjadi me­rah gelap. Telinganya masih dapat me­nangkap suara Bouw Lek Couwsu.

“Lo-mo, jangan bunuh dia....!”

“ Jangan khawatir, Couwsu!” jawab Siauw-bin Lo-mo yang kembali menam­par, kali ini mengenai tengkuk Talibu. Pangeran ini masih mendengar suara ketawa lawannya yang amat menusuk perasaan sebelum tamparan itu datang dan dunia menjadi hitam di sekelilingnya.

***

Kota raja Kerajaan Sung kelihatan aman tenteram. Para pedagang dan pe­lancong dari luar kota memenuhi kota raja. Rumah-rumah para pembesar dan bangsawan selalu kelihatan gembira dan megah. Pesta-pesta diramaikan berma­cam kesenian silih berganti diadakan di halaman gedung-gedung yang luas. Di setiap taman bunga yang terawat indah selalu dihias arca-arca batu dengan ukir-ukiran yang amat indah dan semua ru­angan tamu dalam gedung-gedung itu penuh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan hias melukiskan sajak-sajak indah. Banyak pemuda-pemuda dengan pakaian pelajar berjalan hilir-mudik memenuhi jalan-jalan raya. Pendeknya sepintas lalu melihat keadaan kota raja ini orang akan men­dapat kesan bahwa penduduknya menik­mati hidup aman tenteram dan bersuka ria, berlumba dalam keindahan dan ke­majuan seni budaya.

Memang demikianlah yang dikehendaki Kaisar. Pada waktu itu, Kaisar Kerajaan Sung lebih mengutamakan kesenangan untuk diri pribadi dan untuk semua rakyatnya, lebih condong untuk memajukan kebudayaan, sedapat mungkin menjauhi perang karena Kaisar pribadi tidak suka akan kekerasan. Memang niatnya baik sekali, akan tetapi sayangnya Sang Kai­sar lupa bahwa untuk menjamin semua keamanan dan ketenteraman ini amatlah diperlukan penjagaan dan untuk menjamin penjagaan yang dapat diandalkan mutlak diperlukan bala tentara yang kuat! Apa­lagi kalau diingat bahwa Kerajaan Sung dikelilingi bangsa lain yang selalu meng­incar untuk mencaploknya.

Para bangsawan yang kaya raya itu seakan berlumba mengadakan pesta ter­buka di mana siapa saja boleh datang menikmati hidangan dan menonton per­tunjukan kesenian. Mereka berlumba me­lakukan derma dan perbuatan baik, kare­na Kaisar menganjurkan perbuatan amal dan kebaikan. Hanya mereka sendirilah yang tahu bahwa amal ini bukan keluar dari lubuk hati sendiri, melainkan merupakan siasat untuk membedaki muka mereka yang hitam, oleh korupsi agar menjadi putih bersih. Dan memang siasat seperti ini banyak berhasil. Bukan saja atasan dan Kaisar senang dengan keder­mawanan mereka, juga rakyat kecil yang diberi kesempatan ikut berpesta dan makan serta menonton gratis itu banyak yang merasa bersyukur atas kedermawan­an pembesar-pembesar dan bangsawan­-bangsawan kota raja. Bahkan pandang mata orang-orang kang-ouw yang biasa­nya tajam dapat pula dikelabuhi karena terlampau sering mereka ini minum arak wangi dan hidangan-hidangan lezat.

Pagi hari itu, pagi hari yang cerah, sebuah pesta diadakan di sebuah taman bunga gedung Pangeran Kiang. Gedung besar dengan taman bunga yang luas dan indah ini adalah sebuah di antara ge­dung-gedung besar yang paling terkenal di kota raja. Siapakah yang tidak menge­nal keluarga Kiang ini? Bukan Pangeran Kiang yang kaya raya ini yang banyak dikenal orang, melainkan puteranya, yaitu Kiang-kongcu (Tuan Muda Kiang), sebutan untuk Kiang Liong. Semua orang menge­nal Kiang-kongcu. Orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengenalnya karena se­pak terjangnya yang gagah dan lihai, apalagi karena dia adalah murid pendekar sakti Suling Emas! Penjahat-penjahat mengenalnya karena takut. Penjilat-penji­lat mengenalnya karena tangannya selalu terbuka. Pemuda-pemuda mengenalnya karena ia ramah dan pandai bergaul. Bahkan wanita-wanita mengenalnya kare­na ketampanannya dan sifatnya yang romantis sehingga banyak yang jatuh hati kepadanya!

Dan pagi hari itu, pesta meriah di­adakan di taman bunga rumah keluarga Pangeran Kiang ini! Untuk keperluan apa? Kiang-kongcu tidak tampak berada di rumah. Juga Pangeran Kiang dan iste­rinya yang sudah berusia lanjut dan tidak bernafsu lagi untuk main pesta-pestaan, tidak hadir. Sebagai wakil tuan rumah adalah seorang pemuda yang pakaiannya mewah dan indah dan memang pesta ini diadakan untuk menyambut kedatangan­nya di gedung itu. Dia bernama Suma Kiat dan kepada para tamu ia diperke­nalkan oleh Pangeran Kiang sebagai anak keponakan Nyonya Kiang yang baru da­tang berkunjung setelah berpisah belasan tahun. Padahal sesungguhnya baru per­tama kali itu selama hidupnya pemuda ini muncul dan mengaku sebagai putera tunggal mendiang Suma Hoan, kakak dari Nyonya Kiang. Muncul begitu saja, akan tetapi isterinya, yaitu Nyonya Kiang, tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang mengaku bernama Suma Kiat ini benar-benar putera mendiang kakaknya, karena mempunyai persamaan wajah yang tidak dapat diragukan lagi.

“Engkau benar, keponakanku...., engkau tentu putera mendiang Kakakku...., ah, melihatmu seperti melihat dia dahulu....!” Demikianlah Suma Ceng, isteri Pangeran Kiang, merangkul dan menangis. Dan demikianlah, pesta meriah di taman bunga diadakan untuk menghormat ke­datangan pemuda ini dan untuk memperkenalkannya kepada semua orang. Seperti biasanya, jika ada kesempatan baik se­perti ini, banyak pula para anggauta kai­-pang (perkumpulan pengemis) yang datang dan mereka duduk berkelompok menyen­diri, menikmati hidangan lezat dan arak wangi. Banyak di antara para tokoh kai­-pang ini adalah kenalan baik Kiang-kong­cu karena mereka ini sesungguhnya bu­kanlah orang-orang jembel biasa, melain­kan ahli-ahli silat yang berkeliaran di dunia kang-ouw sebagai pengemis. Bahkan dalam pesta di kebun kembang Pangeran Kiang ini, banyak orang-orang aneh sa­habat Kiang-kongcu muncul sehingga tidak mengherankan apabila tempat pesta itu didatangi orang-orang yang tidak se­mestinya ikut berpesta, yaitu beberapa orang hwesio gundul dan tosu-tosu per­tapa! Semua orang aneh ini datang hanya karena pesta diadakan di kebun Kiang-kongcu.

Dan bukan hal yang aneh lagi kalau ada pula beberapa orang wanita cantik muncul dalam pesta! Bukan wanita-wa­nita cantik sembarangan, melainkan ahli­-ahli silat pula yang menjadi sahabat Kiang-kongcu. Dua orang enci adik Chi, dan tiga orang murid perguruan Ang-lian (Teratai Merah) yang amat terkenal di kota raja. Lima orang wanita ini ber­usia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, berpakaian ringkas, tampak gagah namun tidak melenyapkan kecantikan mereka. Semua sahabat wanita Kiang-kongcu sudah dapat dipastikan cantik­cantik! Tentu saja mereka berlima me­milih sebuah meja dan menjadi sekelom­pok, akan tetapi alangkah kecewa hati mereka ketika mendapat kenyataan bah­wa Kiang-kongcu tidak hadir! Sebetulnya mereka hendak mempergunakan kesem­patan ini untuk bertemu dan bercakap­-cakap dengan orang yang selama ini menjadi buah mimpi, ingin melepaskan rindu. Kekecewaan mereka hanya seben­tar karena sebagai pengganti Kiang-kong­cu, di situ terdapat Suma-kongcu atau Suma Kiat yang ternyata dalam hal ke­ramahan dan kepandaian bermanis muka dan memikat hati wanita tidak kalah lihai daripada Kiang-kongcu! Suma-kong­cu ini segera duduk di meja kelompok gadis-gadis ini dan terjadilah percakapan yang asyik dan gembira. Apalagi ketika lima orang gadis itu mendengar bahwa Kongcu ini juga seorang ahli silat yang pandai sekali. Ternganga mulut mereka menyaksikan ketika Suma Kiat meng­genggam cawan arak, mengerahkan sin­kang dan membuat arak di dalam cawan itu panas beruap dan mendidih! Biarpun wajah Suma Kiat tidak setampan Kiang-kongcu, namun harus diakui bahwa dia termasuk seorang pemuda yang berlagak dan tidak berwajah buruk.

Adapun delapan orang pengemis yang menduduki sekitar meja di sudut adalah para pengemis yang tergolong gagah perkasa. Pengemis golongan sesat tidak berniat mendekati Kiang-kongcu yang mereka anggap sebagai seorang musuh. Bukankah Kiang-kongcu murid Suling Emas yang menjadi musuh besar penge­mis golongan sesat? Delapan orang pe­ngemis yang kini berkumpul di situ ada­lah pengemis-pengemis golongan baju butut, bahkan di antara mereka terdapat seorang pengemis muda yang memegang sebuah topi butut berhias kembang. Pengemis muda belia yang tampan dan gagah. Dia ini bukan lain adalah Yu Siang Ki, atau Yu-pangcu (Ketua Yu) yang dihormati tu juh orang pengemis lainnya karena dikenal sebagai ketua baru perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Yu Siang Ki yang datang bersama Kwi Lan di kota raja segera berpisah dari dara yang dianggap sebagai adik angkatnya ini, kemudian ia menemui tokoh-tokoh pengemis di kota raja. Ketika mendengar bahwa Ketua Khong-skn Kai-pang ini berniat mencari Suling Emas, para tokoh pengemis segera berunding.

“Yu-pangcu, pendekar sakti Suling Emas adalah seorang sahabat dan semen­jak dahulu kami menghormat dan men­cintanya. Akan tetapi sayang sekali, tak seorang pun dapat mengatakan di mana dapat bertemu dengan pendekar itu. Dia datang dan pergi seperti dewa, tak per­nah meninggalkan jejak. Bahkan sudah bertahun-tahun tidak pernah orang me­lihatnya. Akan tetapi, yang sudah nyata di kota raja ini terdapat seorang murid­nya yang lihai.” kata Pek-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat Putih).

“Apakah Lo-kai maksudkan Kiang­-kongcu?”

“Ha-ha, nama besar Kiang-kongcu sudah terkenal sampai jauh.”

“Bukan hanya mengenal namanya, Lo­kai malah secara kebetulan sekali saya sudah mendapat kehormatan berjumpa dengan Kiang-kongcu.”

“Ah, begitukah? Kebetulan sekali. Kami mendengar bahwa di taman bunga Pangeran Kiang akan mengadakan pesta umum. Marilah Yu-pangcu ikut bersama kami hadir di pesta itu. Kalau ada jodoh bertemu Kiang-kongcu, agaknya dia akan dapat menerangkan di mana Pangcu da­pat bertemu dengan Suling Emas.”

Demikianlah, pagi hari itu, Yu Siang Ki hadir bersama tujuh orang tokoh pe­ngemis kota raja. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia tidak melihat Kiang Liong dan mendengar bahwa pesta itu sengaja diadakan oleh keluarga Pangeran Kiang untuk menyambut keda­tangan seorang keponakan mereka yang bersama Suma Kiat. Makin besar rasa kecewa dan ketidaksenangan hati Yu Siang Ki ketika ia menyaksikan lagak Suma-kongcu itu, yang duduk menjamu kelompok wanita-wanita cantik yang genit-genit dan mendemonstrasikan ke­pandaiannya, seperti main sulap membuat arak dalam cawan bergolak, melihat pemuda berpakaian indah itu petantang-petenteng dengan sombongnya ketika dipuji-puji tamu.

“Hemmm, dia amat sombong. Akan tetapi harus diakui bahwa lwee-kangnya hebat sekali.” bisik pengemis di sebelah kiri Siang Ki. Melihat kepandaiannya, ia memang pantas menjadi saudara misan Kiang-kongcu, akan tetapi melihat ke­sombongannya, sungguh jauh bedanya....”

Siang Ki mengangguk-angguk. “Kepan­daiannya hebat, dan mungkin kesombong­annya itu karena ia masih muda dan karena berhadapan dengan wanita-wa­nita.”

Pek-tung Lo-kai yang duduk di sebe­lah kanan Siang Ki, setelah melirik ke kanan kiri, berbisik. “Hemmm.... sungguh mengherankan sekali. Begini sedikit orang-orang gagah yang sepatutnya hadir mengingat bahwa semua orang gagah menjadi sahabat Kiang-kongcu, sebaliknya banyak hadir orang-orang tergolong busuk dan banyak pembesar-pembesar penjilat dan perwira-perwira penting. Heran se­kali, orang macam apakah Suma Kong­cu ini?”

“Lo-kai, bukan urusan kita, tidak per­lu kita ambil pusing. Kalau sampai nanti Kiang-kongcu tidak muncul, sebaiknya kita mohon diri dan meninggalkan tempat ini saja.” Berkata demikian Siang Ki mengangkat cawan arak dan hendak di­minumnya.

Akan tetapi dia menunda niatnya minum arak ketika pada saat itu terdengar suara nyaring suara Kwi Lan! Gadis itu berseru dengan nyaring.

“Suheng....! Mengapa kau berada di sini....?”

Hanya sebentar Siang Ki menunda minumnya. Ia tersenyum, menenggak araknya dan berbisik kepada Pek-tung Lo-kai di sebelah kanannya. “Wah, tentu akan terjadi keributan....“

Bagaimanakah tahu-tahu Kwi Lan Si Mutiara Hitam muncul di tempat pesta ini? Telah kita ketahui bahwa dara per­kasa ini melakukan perjalanan bersama Yu Siang Ki setelah pemuda Ketua Khong-sim Kai-pang ini berjanji akan menganggapnya sebagai seorang adik angkat. Biarpun sikap Kwi Lan tidak berubah dan masih gembira dan jenaka seperti biasa, namun sikap Siang Ki ter­hadapnya sudah berubah. Pemuda ini menekan hatinya dan memaksa perasaan­nya untuk memandang gadis ini sebagai adik angkat, namun ia tak pernah ber­hasil sehingga sepanjang perjalanan Siang Ki nampak murung dan berduka. Akhir­nya mereka tiba di kota raja dan di sini mereka berpisah. Siang Ki hendak menemui tokoh-tokoh pengemis untuk mencari keterangan tentang Suling Emas, sedangkan Kwi Lan mencari keterangan tentang Suma Kiat seperti yang dipesan­kan gurunya. Diam-diam ia menjadi jeng­kel sekali. Di dalam kota besar seperti ini, di mana terdapat puluhan orang, bagaimana ia dapat menemukan seorang Suma Kiat?

Selagi ia termenung di sore hari itu, duduk di bangku dalam ruangan depan kamarnya, ia mendengar suara ke­tawa cekikikan dan dua orang, gadis yang berpakaian ringkas berwajah cantik mema­suki ruangan itu dari depan. Melihat cara mereka berpakaian, pedang yang tergan­tung di pinggang, dan langkah kaki me­reka yang ringan, Kwi Lan dapat mendu­ga bahwa mereka adalah dua orang gadis ahli silat. Ia tertarik dan dari sudut matanya ia mengerling. Hatinya sudah tidak senang melihat sikap kedua orang gadis itu yang genit, akan tetapi karena mereka itu tidak ada hubungan dengan dirinya, ia pun diam saja dan hanya memperhatikan ucapan-ucapan mereka ketika mereka lewat di ruangan itu me­nuju ke kamar sebelah belakang.

“Wah.... sayang sekali kalau dia tidak ada, Cici. Kalau dia tidak ada, untuk apa kita datang menghadiri pesta itu?” kata yang bertubuh ramping dengan sanggul rambut tinggi sambil menghela napas kecewa.

“Ihh, yang kaupikirkan dia saja, Moi­-moi! Jangan khawatir, biarpun dia tidak ada, namun ada penggantinya. Aku men­dengar bahwa keponakan Pangeran Kiang itu pun lihai dan tampan, hi-hik!”

“Hemm, aku sangsi apakah ada yang lebih hebat daripada dia. Siapakah nama­nya, Cici?”

“Entah, hanya aku mendengar bahwa dia disebut Suma-kongcu begitu....“

Suara percakapan mereka lenyap di balik pintu kamar mereka di sebelah belakang. Akan tetapi Kwi Lan sudah mendengar cukup banyak. Nama Suma­-kongcu membangkitkan perhatiannya. Bukan tidak boleh jadi bahwa Suma-kongcu yang dibicarakan dua orang gadis genit ini, adalah Suma Kiat, suhengnya yang sedang ia cari-cari. Demikianlah, pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang gadis itu pergi meninggalkan losmen, diam-diam ia membayangi me­reka. Mula-mula ia meragu ketika dua orang gadis itu memasuki pekarangan gedung besar Pangeran Kiang. Akan tetapi ketika melihat bahwa di dalam ta­man di sebelah kiri rumah gedung itu terdapat banyak tamu bermacam-macam, bahkan ada yang berpakaian pengemis, setelah meragu sampai sejam lebih di luar, akhirnya ia berjalan masuk pula.

“Suheng....! Mengapa kau berada di sini....?” tegurnya ketika ia melihat Suma Kiat duduk menghadapi lima orang wanita cantik, dan di antaranya adalah gadis-gadis yang ia lihat di losmen. Ada rasa girang terkandung dalam seruan Kwi Lan karena hatinya lega bahwa akhirnya ia dapat menemukan suhengnya seperti yang diperintahkan gurunya.

Seruan yang nyaring ini membuat banyak tamu menoleh dan memandang. Kecuali Yu Siang Ki, tak seorang pun di antara tamu itu mengenal gadis jelita yang bersikap lincah ini. Suma Kiat juga menengok dan ia meloncat bangun, menghampiri dan memegang tangan Kwi Lan.

“Aha, Sumoi....! Alangkah girang hati­ku melihatmu! Betapa rinduku kepadamu selama ini....!” Suma Kiat yang meme­gang tangan gadis itu menarik dan ia hendak memeluk Kwi Lan dengan pan­dang mata penuh nafsu.

“Suheng, kau menjadi makin gila!” bentak Kwi Lan sambil merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan pemuda itu, mulutnya cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Ketika Suma Kiat yang masih tertawa ha-ha-he-he itu hendak memegang tangannya lagi, Kwi Lan menampar tangan pemuda itu dalam tangkisan yang dilakukan dengan keras. Suma Kiat terkejut, tangannya terasa sakit dan agaknya ia baru tahu bahwa sumoinya marah benar-benar.

“Eh.... eh...., Sumoi...., mengapa marah? Tidak bolehkah aku melepas rinduku ke­padamu? Sudah amat lama kita tidak saling berjumpa....”

“Bodoh! Tak malukah engkau?” bentak Kwi Lan, mukanya kini menjadi merah ketika melihat betapa semua orang memandang ke arah mereka sambil terse­nyum-senyum dan menahan ketawa.

Suma Kiat tersenyum masam, sadar akan keadaan ini. Tadinya ia dipengaruhi rasa gembira melihat sumoinya yang me­mang amat dirindukannya ini. Ketika ia masih tinggal bersama Kwi Lan di istana bawah tanah, ia tidak merasakan sesuatu terhadap sumoinya kecuali ingin menggo­danya dan ia suka sekali melihat sumoinya ini marah-marah. Setelah berpisah jauh dan lama, barulah ia merasa betapa tersiksa hatinya, betapa rindunya terhadap Kwi Lan, dan baru ia sadar betapa besar rasa cintanya terhadap gadis itu. Kini, melihat munculnya Kwi Lan secara tiba-tiba dalam pesta, ia menjadi demikian girang sehingga tidak ingat bahwa sikap­nya itu ditonton oleh semua tamu. Ia kini sadar lalu cepat berkata.

“Ah, maaf, Sumoi. Silakan duduk. Mari duduklah di sini dan ceritakan se­mua pengalamanmu. Oya, biarlah kuper­kenalkan kau kepada para tamu.” Tanpa mempedulikan sikap Kwi Lan yang mem­protes, pemuda ini memandang ke semua penjuru dan berkata dengan suara lan­tang.

“Para tamu yang terhormat! Perke­nankanlah saya memperkenalkan Sumoiku yang cantik jelita dan perkasa ini, Kam Kwi Lan!” Dan sambil tersenyum-senyum ia membalas para tamu yang terpaksa menunda percakapan, makan dan minum untuk berdiri dan menjura kepada mere­ka. Dengan tersipu-sipu Kwi Lan terpak­sa pula mengangkat kedua tangan ke dada membalas penghormatan mereka, kemudian karena takut kalau-kalau su­hengnya yang otak-otakan ini melakukan hal-hal lain yang memalukan, ia cepat-cepat duduk di bangku menghadapi meja berhadapan dengan lima orang wanita yang memandangnya dengan mata terbe­lalak dan mulut jelas membayangkan iri hati dan kebencian.

Suma Kiat sebaliknya gembira sekali. Setelah Kwi Lan duduk, ia bertepuk ta­ngan memanggil pelayan, berseru. “Lekas, hidangan terlezat dan arak terbaik untuk Kam-siocia!” Bahkan para pelayan diam­-diam mencibirkan bibirnya melihat sikap congkak melebihi pemilik rumah sendiri. Kiang-kongcu saja tidak pernah bersikap seperti itu. Diam-diam mereka membenci tamu ini, pemuda yang tinggi hati dan kasar.

Namun Suma Kiat yang pada saat itu merasa menjadi peran utama karena pesta itu diadakan untuk menghormatinya, apalagi kini melihat sumoinya da­tang, tidak tahu akan ketidaksenangan mereka ini. Sambil tersenyum-senyum ia duduk di sebelah kanan Kwi Lan, kemudian berkata.

“Oya, belum kuperkenalkan. Sumoi, dua orang nona ini adalah Chi Ci-moi (Enci Adik she Chi), dan tiga orang Nona ini adalah murid-murid kepala dari per­guruan Ang-lian Bu-koan. Mereka ini merupakan harimau-harimau betina kota raja, kepandaian mereka amat lihai.”

Senang hati lima orang gadis itu mendengar pujian ini. Mereka mengangkat kedua tangan dan menghormat Kwi Lan. Akan tetapi Kwi Lan bersikap dingin, bahkan terdengar berkata ketus.

“Sudah, kalian beriima pergilah!”

Suma Kiat melongo dan lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Seorang di antara Chi Ci-moi itu, yang tertua, kini menjadi merah mukanya dan bertanya, suaranya ketus. “Apa makaud­mu....?”

“Maksudku sudah cukup jelas. Meng­gelindinglah kalian beriima pergi dari sini, aku hendak bicara berdua lengan Suhengku!”

Lima orang wanita itu tak dapat me­nahan kemarahan hati mereka. Dengan muka merah padam mereka melotot kepada Kwi Lan dan seorang di antara murid kepala Ang-lian Bu-koan memben­tak. “Orang tidak boleh menghina kami begini saja!”

Kwi Lan yang sejak tadi memang sudah gemas karena sikap suhengnya, kini pun marah. “Aku suruh kalian pergi, kalian anggap menghina? Hemmm, kalau menghina, kalian ini perempuan-perem­puan genit dan cabul tak tahu malu mau apa? Pergilah!” Berkata demikian Kwi Lan menggerakkan kakinya dan meja di depannya terbang ke arah lima orang gadis itu!

Kedua Chi Ci-moi dan tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan bukanlah gadis-gadis sembarangan. Diserang begini biarpun tak secara tersangka-sangka dan dari jarak dekat, mereka masih sempat berjungkir balik ke belakang, kemudian secara berbareng mereka menggerakkan lengan ke depan menahan meja yang menyambar. Mereka terhindar dari han­taman meja, namun tak dapat menghin­darkan diri dari serangan arak dan kuah daging sayur yang menyambar ke arah muka dan pakaian mereka dari mangkok-mangkok di atas meja. Muka dan pakaian mereka beriepotan kuah dan arak, dan celaka bagi mereka, kuah-kuah itu baru saja dihidangkan oleh pelayan dalam ke­adaan masih panas-panas! Tentu saja mereka menyumpah-nyumpah dan men­cak-mencak.

“Ah, Sumoi jangan bikin ribut. Mari kita bicara....!” Suma Kiat sudah menyambar lengan adik seperguruannya dan menarik pergi dari taman, memasuki ruangan samping rumah itu. Kwi Lan ingin membangkang, namun ia masih ingat akan pesan gurunya dan tidak menghendaki pertempuran melawan su­hengnya sendiri di tempat umum itu, maka ia menurut. Mulutnya cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan.

Setelah mereka berdua duduk di ruangan samping. Suma Kiat segera ber­kata suaranya perlahan setengah berbisik, akan tetapi penuh kesungguhan, matanya memancarkan kecerdikan yang mengaget­kan hati Kwi Lan.

“Ah, Sumoi, kau tidak tahu. Ibu yang mengatur, semua ini. Tahulah engkau bahwa kakakmu ini menjadi calon kaisar?”

Kwi Lan memandang, matanya ter­belalak. Celaka, kiranya sinar kecerdikan di mata suhengnya itu hanya penonjolan dari kegilaannya yang makin menjadi!

“Suheng, tak sudi aku mendengar ocehanmu yang tidak karuan ini!”

“Huh, anak bodoh. Kau tidak percaya? Bukankah Ibu yang menyuruh kau datang ke sini mencariku? Bantuanmu amat kubutuhkan. Kaulihatlah lima orang wa­nita itu, dan para tamu itu, sebagian besar adalah sekutu kami.”

“Sekutu apa?” Kwi Lan mulai tidak sabar.

“Sekutu untuk menjatuhkan Kaisar, bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia yang sudah siap bergerak....”

“Ahhh....!” Bukan main kagetnya hati Kwi Lan. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Jadi gurunya yang gila, juga suhengnya yang berotak miring ini, mem­punyai rencana yang demikian gila? Ia cerdik maka kini ia menahan kemarahan­nya dan berbisik. “Suheng aku belum diberi tahu Bibi Sian tentang rencana ini. Apakah rencana itu dan bagaimana?” Ia pura-pura bersungguh-sungguh.

Suma Kiat tersenyum, menengok ke sekelilingnya. “Ketahuilah, Ibu membawa aku ke sini. Ini adalah gedung Pangeran Kiang dan engkau tahu, Isteri Pangeran Kiang bernama Suma Ceng menurut Ibu, dia adalah Bibiku, adik mendiang Ayahku yang masih putera Pangeran bernama Suma Boan.” Sampai di sini Suma Kiat membusungkan dadanya. “Aku cucu Pa­ngeran! Karenanya aku berhak menjadi kaisar! Dan engkau menjadi puteri, ha­-ha-ha, kalau aku menjadi kaisar, kelak engkau menjadi permaisuri, dan menjadi ibu suri.... ha-ha-ha!”

“Hushh.... Suheng, bicaralah yang be­nar. Bagaimana rencana itu? Apa yang telah terjadi?”

“Heh-heh, banyak yang terjadi, Adikku sayang! Bangsa Hsi-hsia telah mengada­kan hubungan rahasia dengan banyak pembesar di sini, dan yang hadir di taman itu sebagian besar adalah pembesar-pembesar yang telah sepakat untuk me­ngadakan persekutuan. Kaulihat hwesio yang duduk di sudut tadi? Dia adalah Cheng Kong Hosiang, dia yang mewakili bangsa Hsi-hsia. Dan Ibu menunjuk aku untuk memimpin pergolakan dari dalam apabila saatnya tiba.”

“Hemm, kaukira begitu mudah? Di sini banyak terdapat orang gagah yang tentu akan menentang pengkhianatan ini, Suheng. Kenapa Bibi Sian melakukan hal berbahaya ini?”

“Siapa bilang tidak mudah? Kerajaan Sung amat lemah, kaisarnya seperti pe­rempuan! Dan menurut kabar yang baru kuperoleh, bangsa Khitan juga siap mem­bantu bangsa Hsi-hsia....”

“Bohong....!”

Kwi Lan sendiri menjadi kaget men­dengar suaranya yang spontan dan me­ngandung kemarahan itu. Tanpa disadari­nya, ia kini telah menjadi pembela bang­sa Khitan! Teringat ini, dan melihat pan­dang mata Suma Kiat penuh selidik, ia cepat menyambung. “Aku mendengar bangsa Khitan bersahabat dengan Keraja­an Sung. Tak mungkin mereka sudi ber­sekutu dengan bangsa Hsi-hsia yang bia­dab, yang menyerang dan menghancurkan Beng-kauw secara menggelap, yang di­pimpin oleh hwesio-hwesio gila, manusia-manusia biadab berkedok pendeta!”

“Aihh.... kiranya pengetahuanmu cukup luas, Sumoi. Agaknya selama dalam pe­rantauan ini engkau sudah menjumpai banyak pengalaman. Akan tetapi kau tentu belum tahu apa yang baru saja kudengar. Bouw Lek Couwsu pimpinan bangsa Hsi-hsia kini mendapat jalan un­tuk memaksa pemerintah Kerajaan Khi­tan untuk bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia.”

“Hemm, aku tidak percaya. Bangsa Hsi-hsia hanyalah bangsa biadab yang kecil jumlahnya, sedangkan Khitan adalah negara besar....“

“Ha-ha-ha, mereka terpaksa harus memenuhi permintaan bangsa Hsi-hsia setelah Pangeran Mahkota mereka ter­jatuh ke dalam tangan Bouw Lek Couw­.

“Apa....?” Kwi Lan menekan perasa­annya sehingga kekagetan hebat tidak terlalu menonjol pada wajahnya.

Suma Kiat tertawa puas. “Benar? Pangeran Mahkota yang bernama Talibu, Pangeran Khitan itu kini menjadi tawan­an Bouw Lek Couwsu dan dia itulah yang akan menjamin bahwa Kerajaan Khitan pasti akan suka membantu.”

Kwi Lan tersenyum dingin untuk menutupi hatinya yang panas. Ia sudah mendengar dari Siang Ki bahwa Ratu Khitan yang menurut gurunya adalah ibu kandungnya itu memang mempunyai se­orang putera angkat bernama Pangeran Talibu yang tampan dan gagah perkasa. Biarpun ia mengandung perasaan iri dan tidak senang kepada anak angkat ibunya itu, namun kini mendengar betapa putera mahkota itu ditawan Bouw Lek Couwsu, ia terkejut sekali. Urusan ini ternyata bukan urusan kecil dan sama sekali bu­kan urusan main-main. Kalau yang dika­takan pemuda gila ini benar, ia harus berusaha sedapat mungkin menolong pu­tera angkat ibunya! Maka dengan cerdik ia lalu tertawa, tertawa dingin yang se­penuhnya menonjolkan sikap tidak per­caya.

“Ah, Suheng. Setelah lama merantau, engkau masih tetap seperti kanak-kanak, mudah saja diakali orang. Sudah jelas kau dibohongi orang, akan tetapi kau menerima dan menelannya begitu saja tanpa mau memeriksa lagi. Siapa mau percaya Pangeran Mahkota Khitan dita­wan orang-orang Hsi-hsia?” Kwi Lan sengaja mengeluarkan suara ketawa nyaring yang dia tahu menyakitkan hati pemuda ini. Dahulu kalau bertengkar, ia selalu tertawa seperti ini.

Merah wajah Suma Kiat. “Sumoi, kaulah yang bodoh dan tolol! Kau masih tidak percaya kepada aku, calon Kaisar! Pangeran Talibu benar telah ditawan oleh Bouw Lek Couwsu yang bermarkas di sebelah barat Lok-yang, di lembah Sungai Kuning di kaki Gunung Fu-niyu-san....“ Tiba-tiba Suma Kiat menghentikan kata­-katanya dan memandang ke kanan kiri dengan sikap kaget, seakan-akan ia baru ingat bahwa ia telah membuka rahasia besar yang tidak seharusnya ia katakan kepada siapapun juga. “eh, Sumoi...., ja­ngan bilang kepada siapapun juga....“

Akan tetapi pada saat itu, perhatian mereka tertarik oleh suara ribut-ribut di luar ruangan itu, di taman. Mereka ber­gegas keluar, terutama Suma Kiat, men­dahului sumoinya melompat keluar dan menghampiri para tamu yang tampak ribut.

Di tengah taman itu berdiri seorang pengemis muda yang jangkung tampan, memakai sebuah topi lebar yang butut, akan tetapi dihias bunga memegang se­batang tongkat, berdiri dengan tegak, berhadapan dengan dua orang wanita enci adik she Chi. Dua orang gadis inilah yang ribut-ribut dan memaki-maki.

“Jembel busuk! Jembel kelaparan! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan, ya? Kami bukanlah gadis-gadis macam iblis tadi yang boleh kaupermainkan....“ bentak gadis muda she Chi, sedangkan encinya sudah meraba gagang pedangnya.

Pengemis muda itu bukan lain adalah Yu Siang Ki. Dia tadi melihat munculnya Kwi Lan dan sudah ia duga bahwa gadis itu tentu menimbulkan keributan sesuai dengan wataknya. Ketika ia melihat Kwi Lan mempermainkan lima orang wanita cantik yang duduk semeja dengan Suma Kiat, diam-diam ia tertawa. Memang lima orang wanita itu patut diberi se­dikit hajaran. Dia sudah mendengar siapa adanya lima orang wanita itu. Akan te­tetapi ketika ia melihat Kwi Lan pergi ke dalam gedung bersama Suma Kiat yang disebut suheng oleh Kwi Lan, tim­bullah kekhawatirannya dan hatinya menjadi jengkel sekali. Jengkel melihat kenyataan bahwa temannya yang dianggap adik angkat, wanita yang pernah merebut cinta kasihnya itu ternyata adik seper­guruan pemuda bangsawan memuakkan ini. Jengkel pula karena Kwi Lan tidak mempedulikannya, bahkan kini masih bersama pemuda itu. Ia khawatir sekali. Pada saat itulah ia mendengar betapa lima orang wanita yang merasa terhina oleh Kwi Lan, mengeluarkan kata-kata memaki-maki Kwi Lan secara kasar se­kali.

Yu Siang Ki tentu tidak begitu mudah mencari keributan, apalagi mengingat bahwa di situ adalah tempat tinggal Kiang-kongcu murid Suling Emas! Akan tetapi karena ia merasa khawatir akan keadaan Kwi Lan yang masuk ke dalam gedung bersama pemuda sombong tadi, kini melihat adanya kesempatan untuk menarik perhatian Kwi Lan keluar dari gedung. Tanpa ragu lagi ia lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya setelah berbisik kepada para pengemis lainnya. “Jangan heran akan sikapku....!”

Sambil memandang lima orang gadis itu, ia membentak, suaranya nyaring.

“Kuharap kalian berlima tahu diri dan tidak membuka mulut sembarangan me­ngeluarkan kata-kata kotor menghina Kam-lihiap. Tidak sadarkah bahwa tadi Kam-lihiap telah mengampuni jiwa anjing kalian?”

Ucapan ini sungguh hebat dan pedas. Biarpun mereka berlima itu wanita, na­mun tokoh-tokoh kota raja tahu belaka bahwa ilmu kepandaian mereka tidak boleh dipandang rendah. Apalagi tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan yang amat berpengaruh karena perguruan mereka. Dan kini seorang pengemis muda yang tidak terkenal berani mengeluarkan ucapan yang demikian pedas! Juga lima orang itu terkejut, wajah mereka berubah merah dan tak dapat ditahan lagi kema­rahan orang termuda dari Chi Ci-moi yang bernama Chi Bwee, meloncat ba­ngun menghadapi Yu Siang Ki dan me­maki-makinya seperti tadi.

Siang Ki tersenyum mendengar maki-makian ini, kemudian menambah panas­nya api yang ia kobarkan. “Kam Kwi Lan bukanlah iblis betina, melainkan seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar, tidak seperti kalian ini lima ekor tikus betina yang genit....“

“Jembel busuk mau mampus!” bentak Chi Leng, enci Chi Bwee yang sudah mencabut pedang dan dengan gerakan kilat pedangnya menyambar dengan se­buah tusukan ke dada Siang Ki.

“Wuuuuttt....!” Tusukan itu mengenai angin karena tubuh Siang Ki doyong ke belakang. Pemuda ini tanpa merobah kedudukan kakinya telah mampu menge­lak dengan amat mudahnya. Ia tertawa mengejek.

“Gadis galak dan canggung macam engkau ini berani menghina Kam-lihiap? Sungguh menjemukan!”

“Enci, mari kita bunuh jembel ini!” Chi Bwee juga sudah mencabut pedang­nya dan membacok. Namun kembali bacokannya mengenai angin.

“Hayo, kalian yang tiga orang lagi tidak ikut maju? Maju dan keroyoklah, perempuan-perempuan macam kalian mana ada kepandaian?” Siang Ki meng­ejek terus. Marahlah tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan. Mereka pun dapat menduga bahwa dari gerakan pe­muda jembel ini, dua orang enci adik Chi sama sekali bukan tandingannya. Mereka mencabut pedang dan bergeraklah lima orang gadis ini menyerang kalang-kabut! Biarpun dibandingkan dengan Siang Ki, tingkat ilmu silat mereka masih jauh, namun karena mereka maju bersama dan mengeroyok dengan nafsu membunuh, Siang Ki tidak berani memandang rendah. Tangan kirinya menyambar topinya, sam­bil bergerak dengan lincah ia mengayun topi dan tangan kanan.

“Siuut-siuut-bret-bret....!” Terdengar lima orang itu menjerit kaget dan di lain saat rambut mereka yang digelung rapi itu sudah terlepas semua ikatannya, ce­rai-berai dan awut-awutan karena pita rambutnya telah putus oleh renggutan jari tangan Yu Siang Ki. Mereka hanya merasa betapa pandang mata mereka gelap karena muka mereka tiba-tiba tertutup topi lebar yang baunya apek oleh keringat, kemudian merasa rambut mereka terlepas ikatannya. Ketika me­reka memandang, pita-pita rambut mereka telah berada di tangan Siang Ki yang tertawa-tawa.

Bukan main kaget dan marah hati mereka. Kaget karena tidak mengira bahwa jembel muda ini benar-benar luar biasa lihainya dan marah karena peris­tiwa yang terjadi di depan banyak tokoh kang-ouw itu merupakan penghinaan bagi mereka. Kemarahan inilah yang mem­buat mereka lupa diri, lupa akan pesan guru-guru mereka bahwa menghadapi seorang yang jauh lebih lihai, tiada gu­nanya berlaku nekat karena takkan dapat menang. Dengan gerakan ganas mereka sudah menyerbu lagi mengeroyok Siang Ki. Pemuda ini menjadi girang karena usahanya memancing Kwi Lan keluar berhasil. Ia sudah melihat gadis itu mun­cul keluar di belakang Suma-kongcu, maka hatinya menjadi lega dan ia ber­niat mengakhiri perkelahian dan mening­galkan tempat itu.

Akan tetapi pada saat itu, Suma Kiat sudah datang berlari seperti terbang cepatnya. Pemuda ini marahsekali. Ia tidak mengenal Si Pemuda Jembel, se­baliknya ia sudah beramah-tamah dan menerima janji-janji senyum dan kerling manis lima orang wanita cantik itu, ten­tu saja tanpa pikir-pikir panjang lagi ia sudah memihak lima orang wanita itu. Gerakannya aneh dan luar biasa sekali cepatnya, tahu-tahu ia sudah terjun ke dalam pertandingan dan mengirim pukul­an hebat ke arah Yu Siang Ki.

“Suheng.... jangan....!” Kwi Lan me­lompat dan mengejar kakak seperguruan­nya.

Akan tetapi Suma Kiat tidak mempe­dulikannya dan sudah menghantam ke arah dada Yu Siang Ki. Ketua pengemis yang muda ini sedang sibuk mengelak dan menangkis keroyokan lima batang pedang dengan kebutan topinya, ketika secara mendadak ada angin menyambar keras sekali dari arah depan. Belum tiba pukulannya, anginnya sudah datang meng­hantam dengan hawa amat panas! Kaget­lah ia mengenal pukulan ampuh ini. Ce­pat ia menangkis dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan yang memegang topi juga digerakkan menampar atau mengebut ke arah tiga batang pedang yang menyambar ke arahnya.

“Wuuuuttt.... plakkk....!” Karena Yu Siang Ki membagi tenaga sin-kangnya untuk mengebut pedang dan menangkis, maka tangkisannya itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaganya. Ia tidak men­duga bahwa pemuda bangsawan itu dapat melakukan pukulan yang demikian ganas dan kuat, maka ketika kedua lengan ber­temu Yu Siang Ki merasa betapa serang­kum hawa panas menembus sampai ke dadanya dan ia terhuyung-huyung dengan wajah pucat!

Suma Kiat tertawa mengejek dan sudah menyambar lagi ke depan, me­ngirim pukulan lebih ganas kepada Siang Ki yang sedang terhuyung-huyung ke belakang.

“Suheng.... mundur kau....!”

Suma Kiat melihat sinar hijau berke­lebat dan tahulah ia bahwa Siang-bhok­-kiam di tangan sumoinya telah mengancam pundaknya. Namun ia tidak per­caya bahwa sumoinya akan berani atau mau melukainya, maka ia tidak ambil peduli dan melanjutkan pukulannya ke arah Siang Ki.

“Brettt....! Aduhhh....! Heeee, Sumoi, gilakah engkau? Berani kau melukai aku?” bentak Suma Kiat. Pundak kirinya mengucurkan darah karena tepi pundak telah tertusuk pedang merobek baju dan kulit dagingnya. Ia menutupi luka di pundak kiri dengan tangan kanan, memandang sumoinya dengan mata terbela­lak heran. Sungguh di luar dugaannya bahwa sumoinya benar-benar berani melukai pundaknya, dan hal ini dilakukan hanya untuk membela seorang.... penge­mis!

Dengan pedang di tangan dan muka merah saking marahnya, Kwi Lan men­jawab dan menentang pandang mata suhengnya. “Suheng! Perempuan-perempuan itu telah menghinaku dan Yu Pangcu ini telah membelaku karena di antara kami ada tali persahabatan yang erat. Akan tetapi engkau malah membela perem­puan-perempuan tak tahu malu ini dan hendak mencelakainya. Aku sudah minta kau mundur, tapi kau memaksa maju se­hingga terluka pedangku. Pendeknya, sia­papun juga tidak boleh mencelakakannya!” Sikap Kwi Lan garang sekali, pedangnya melintang di depan dada.

“Ha-ha-ha, sungguh lucu! Sumoi jadi kau sekarang telah menjadi Inang penga­suh jembel cilik ini? Menjadi pelindung pengemis kelaparan ini?”

Siang Ki telah menyambar tongkatnya yang tadi ia sandarkan di meja. Gerak­annya cepat sekali dan kini ia sudah berdiri di depan Kwi Lan, memandang Suma Kiat dengan pandang mata penuh wibawa, suaranya nyaring ketika berkata.

“Sungguh omongan yang tidak patut keluar dari mulut seorang gagah. Lebih tidak patut lagi keluar dari mulut Suheng dari Kam-lihiap! Aku Yu Siang Ki tidak pernah minta dilindungi Kam-lihiap dan jangan kira bahwa aku takut menghadapi engkau, Suma-kongcu.”

Suma Kiat marah sekali, akan tetapi melihat sumoinya masih berdiri dengan pedang di tangan, ia ragu-ragu untuk bergerak maju. Ia sudah cukup mengenal watak sumoinya yang ganas dan diam-diam ia pun maklum bahwa sekali sumoi­nya marah dan melawannya, belum tentu ia mampu mengalahkan sumoinya itu. Dan kini jelas tampak sikap sumoinya itu membela Si Pengemis ini!

Pada saat yang menegangkan itu, di mana kedua pihak agaknya siap untuk bertanding dan selagi semua tamu memandang penuh perhatian dan ketegang­an, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun nyaring berwibawa.

“Hemm, apakah yang terjadi di sini?” Semua orang menengok dan dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda tinggi tegap yang berpakaian putih dan di punggungnya tampak sebuah yang-kim yang bentuknya seperti kepala naga. Pemuda ini bukan lain adalah Kiang Liong! Dan di samping pemuda itu ber­jalan seorang gadis cantik jelita berpa­kaian indah dan gadis ini adalah Puteri Mimi!

Bagaimanakah Kiang Liong bisa mun­cul pada saat itu dan mengapa pula ber­sama Puteri Mimi? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita mengikuti perja­lanan Kiang Liong agar jalannya cerita menjadi lancar.

Seperti telah kita ketahui, pemuda murid Suling Emas ini telah berhasil diobati dan diselamatkan oleh Song Goat yang cantik manis. Setelah tubuh Kiang Liong di “rebus” dalam air yang dimasuki obat, air dalam tahang berubah hitam dan tubuh bagian bawah berubah putih dan normal kembali.

Untung bahwa pengobatan ini telah selesai dan berhasil dengan baik ketika Song Goat mendengar suara hiruk-pikuk di luar kedai. Melihat betapa pemilik kedai dan penduduk dusun itu hendak menyerbu masuk dan mendengar betapa ia disangka siluman, Song Goat tertawa lalu berkata.

“Kongcu, sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini. Kasihan mereka itu yang bodoh.”,

Kiang Liong membelakangi gadis itu dan mengenakan pakaiannya, kemudian baru ia menghadapi Song Goat dan men­jura sampai dalam. “Nona Song, kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku Kiang Liong selama hidupku takkan melupakanmu dan amat berterima kasih kepadamu. Orang-orang itu benar kurang ajar, berani menganggap Nona sebagai siluman. Terlalu! Biar kuhajar mereka agar kapok!”

“Ah, mengapa kau berpemandangan sepicik itu, Kongcu. Mereka adalah orang-orang yang jalan pikirannya amat sederhana dan bodoh percaya akan tah­yul. Kita tidak semestinya marah kepada mereka, sebaliknya aku kasihan kepada mereka. Kongcu, hanya orang-orang yang berpikiran sederhana dan bodoh sajalah yang masih dapat diharapkan kebaikannya di dunia yang penuh orang pintar ini. Orang yang sederhana memang bodoh, akan tetapi jujur dan setia, tidak seperti orang-orang pintar yang terlalu pintar sampai lupa akan kejujuran dan kesetia­an! Marilah kita pergi!” Suara gadis itu terdengar penuh kedukaan dan ia sudah berkelebat keluar melalui jendela.

Sejenak Kiang Liong tertegun. Ia banyak mempelajari filsafat dan pelajar­an keagamaan, maka mendengar ucapan gadis itu ia tertegun. Gadis yang cantik manis, gadis yang berbudi, gadis yang patah hati! Tanpa berkata sesuatu, sete­lah menyambar sepasang pit dan yang­-kimnya, ia pun melompat keluar jendela menyusul Song Goat.

Mereka berdua berlari cepat tanpa bicara. Berapa kali Kiang Liong melirik ke arah gadis itu dan melihat betapa wajah yang cantik itu terselubung keke­ruhan tanda bahwa hati gadis itu ber­duka. Ia merasa heran sekali dan setelah mereka berlari jauh dari dusun, mendaki sebuah bukit dan melalui padang rumput yang luas. Kiang Liong tak dapat mena­han kesunyian di antara mereka.

“Nona Song, harap berhenti dulu.”

Song Goat mengerling kepadanya lalu berhenti. Mereka, tanpa bicara mengham­piri sebuah pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan amat sejuk hawa­nya. Enak duduk di bawah pohon teduh ini setelah berlari di bawah sinar mata­hari yang sudah naik tinggi.

Mereka duduk berhadapan, di atas akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Masih tidak bica­ra. Song Goat menyapu dengan pandang matanya ke depan, melihat pemuda itu memandangnya penuh selidik, kedua pipi­nya menjadi kemerahan dan menunduk. Kemudian tanpa mengangkat mukanya ia bertanya.

“Kongcu, mengapa kau menyuruh aku berhenti?”

Kiang Liong tersenyum. Makin terta­rik hatinya ketika ia menatap wajah yang tunduk itu. Dara cantik manis, memiliki hati yang baik akan tetapi pa­tah-patah dan...., pemalu! Berdebar jan­tungnya, timbul rasa kasih dan suka di hatinya.

“Nona Song, aku hanya ingin berca­kap-cakap denganmu.”

Kini Song Goat mengangkat mukanya dan cepat-cepat ia menundukkan pandang matanya ke tanah ketika melihat sinar mata tajam yang seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya. “Bicara tentang apakah, Kongcu? Engkau sudah sembuh, dan engkau dapat melanjutkan perjalan­anmu. Jalan kita bersimpangan....”

“Ah, Song-kouwnio, apakah kau meng­anggap aku seorang yang demikian ren­dah dan tidak ingat budi? Kau sudah merenggut nyawaku dari cengkeraman maut. Engkau telah menyelamatkan aku dan sampai mati sekalipun, budimu yang be­sar tidak akan dapat kulupakan, Betapa mungkin setelah kini kau menyelamatkan aku, akan kutinggalkan saja kau? Tidak, aku tidak serendah itu, Nona. Pohon-pohonyang disiram, dipupuk dan dirawat akan membalas dengan bunga-bunga indah dan buah-buah lezat. Kuda dan anjing yang dipelihara akan membalas dengan kesetiaan. Mana aku Kiang Liong kalah oleh pohon atau binatang?”

Mau tidak mau Song Goat tersenyum kecil. Benar-benar pemuda yang pandai merayu hati pikirnya. Hati siapa tidak merasa nikmat mendengar ucapan seperti itu? Pemuda yang berkepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, bahkan lebih tinggi daripada tingkat ayahnya maupun semua tokoh yang pernah dijumpainya. Makin keras debar jantung Song Goat ketika ia meng­angkat muka. Mereka bertemu pandang. Pandang mata pemuda itu amat tajam, halus, dan mesra. Bagaikan sinar mataha­ri, hangat-hangat menembus jantung ga­dis itu.

“Kiang-kongcu, kalau engkau mau berterima kasih, harus kepada Ayah, ka­rena sedikit kepandaian pengobatan ini kudapat dari Ayah....“

“Ah, benar! Betapa kurang hormat aku kepada Song-locianpwe. Di manakah ada­nya ayahmu, Nona? Bawalah aku kepadanya agar aku dapat menghaturkan te­rima kasihku.”

Tiba-tiba Song Goat yang duduk ber­sandar pohon itu membungkukkan pung­gung, menyembunyikan muka di kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Sikap pemuda ini yang amat halus dan mengenal budi, pertanyaannya yang mengingatkan ia kepada ayahnya, menyeretnya kembali kepada peristiwa yang amat menyakitkan hatinya, bergema kembali ditelinganya suara Yu Siang Ki tunangannya yang secara berterang menyatakan pembelaan dan cinta kasihnya kepada Kwi Lan. Rasa sakit hati yang ditahan-tahan, ditekan-tekan dan dibendungnya selama ini sekarang pecah oleh pertanyaan dan si­kap Kiang Liong, pecah dan membanjir sebagai tangis yang membuat air mata­nya berderai melalui celah-celah jari tangannya yang menutupi muka.

Sebuah lengan yang kuat melingkar punggungnya dengan halus penuh hiburan. Bisikan suara yang halus terdengar dekat telinganya. “Kouwnio, mengapa berduka? Mengapa menangis? Hanya manusia ke­jam berhati iblis saja yang tega mem­buatmu berduka. Ceritakanlah kepadaku, Nona, dewi penolongku, dan aku sudah siap dengan jiwa ragaku untuk memban­tumu.”

Sentuhan jari tangan yang halus menghibur, bisikan yang mengandung ucapan manis ini seakan-akan menjebol­kan bendungan terakhir sehingga mem­banjirlah air mata dari sepasang mata yang sayu itu. Terisak-isak Song Goat menangis dan tanpa ia sadari lagi kini menyandarkan kepala di dada Kiang Liong, dan baju pemuda itu sampai basah semua oleh air matanya!

Kiang Liong yang banyak mengenal watak wanita, tidak mengganggunya dan membiarkan gadis itu menangis tersedu­sedu. Tangis adalah obat terbaik untuk menguras semua duka dan dendam yang meracuni hati. Dengan penuh kasih sa­yang ia mengelus-elus rambut yang halus itu, bahkan perlahan-lahan ia menunduk­kan muka dan mencium ubun-ubun kepala dengan rambut halus dan harum itu sambil memejamkan matanya. Gadis yang luar biasa dan pantas dicinta sepenuh hati, pikirnya akan tetapi ia berlaku hati-hati agar gadis itu tidak merasa terhina. Kiang Liong seorang pemuda romantis, mudah terjaring cinta, namun ia bukan seorang kasar.

Akhirnya reda juga banjir kedukaan yang menggelora di hati Song Goat. Se­perti seorang terbangun dari mimpi, gadis itu baru sadar bahwa ia merebah­kan diri di atas dada yang bidang itu, baru sadar bahwa ia berada di dalam pelukan Kiang Liong bahkan membatas pelukannya, dan baru tampak olehnya betapa baju yang menutupi dada pemuda itu sudah basah semua oleh air matanya.

“Aiiihhh....“ Ia merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan, lalu duduk men­jatuhkan diri. “Aiiihhh....”

“Kenapa, Nona?” Kiang Liong berta­nya, tersenyum ramah. Dua pasang mata bertemu pandang, kasih sayang dan ke­mesraan dalam pandang mata Kiang Liong itu mendatangkan rasa jengah yang mendalam sehingga akhirnya Song Goat menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

“Ahh, Kiang-kongcu, maafkan.... maaf­kan aku.... yang lupa diri....“

“Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona. Aku akan merasa bahagia sekali kalau dapat menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuat kau begini berduka dan sakit hati?”

Song Goat merenungi tanah di depan kakinya menarik napas panjang kemudian hanya menggeleng kepala tanpa jawaban.

Kiang Liong meraih maju dan meme­gang tangan yang dingin dan halus itu. Dikepalnya jari-jari tangan Song Goat dan diguncangnya sambil berkata. “Nona Song, aku berterima kasih kepadamu, aku kagum dan suka kepadamu. Apakah kau masih tidak percaya padaku?”

Song Goat mengangkat mukanya yang berlinang air mata dan kembali dua pa­sang mata bertemu pandang. Melihat betapa wajah yang tampan itu dengan penuh kejujuran dan kemesraan memandangnya. Song Goat berdebar jantungnya. Tanpa ia sadari jari-jari tangannya ber­gerak dan membalas tekanan Kiang Liong. Alangkah mudahnya menjatuhkan hati kepada pemuda seperti ini. Alangkah mudahnya menyerahkan jiwa raga kepada pemuda seperti ini, kalau saja.... kalau saja.... Song Goat cepat mengusir perasa­an ini dan rasa malu membuat leher dan mukanya menjadi merah dan panas, ke­mudian ia menarik tangannya perlahan­-lahan. Kiang Liong melepaskan tangan itu, tidak mau memaksanya sungguhpun ia tahu betapa tangan kecil itu tadi membalas remasannya sebagai jawaban suara hati.

“Nona Song, siapa yang menyakitkan hatimu? Dan di mana adanya ayahmu, Song-locianpwe?”

Dengan muka tunduk Song Goat men­jawab lirih. “Aku.... meninggalkan Ayah­ku....!”

“Kenapa? Di mana dia?”

Kembali Song Goat menghela napas dan kini ia mengangkat muka. Mereka berpandangan dan Song Goat berkata. “Kiang-kongcu, urusan ini sebenarnya merupakan rahasia pribadi, akan tetapi.... biarlah kau menjadi satu-satunya orang yang akan mendengarnya. Aku percaya kepadamu.... dan biarlah kau seorang yang menjadi penumpahan rasa duka hatiku, karena kalau hal ini tidak kutumpahkan, tentu akan meracuni hatiku, Kiang-kong­cu, aku.... aku telah dihina dan dikhia­nati.... tunanganku sendiri.”

Kiang Liong mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Hemm? Apakah dia seorang yang buta? Kalau tidak buta matanya, tentu buta hatinya sehingga ia tega ber­buat keji terhadapmu. Siapa dia, Nona?”

Dengan suara lirih Song Goat lalu menceritakan betapa sejak kecil ia te­lah dijodohkan oleh ayah dan sahabat ayahnya, dijodohkan dengan putera saha­bat ayahnya itu. Belasan tahun ia ikut merantau, mencari tunangannya, kemudi­an menceritakan betapa ia dan ayahnya berhasil menolong tunangannya, kemudian betapa tunangannya itu di depannya menyatakan cinta kasihnya kepada se­orang gadis lain sehingga ia menjadi malu dan kecewa lalu melarikan diri.

Kiang Liong mendengarkan dengan sabar dan tidak pernah mengganggunya, akan tetapi setelah selesai cerita gadis itu, ia bertanya, suaranya mengandung ketegangan. “Nona Song, kau bilang nama tunanganmu itu Yu Siang Ki, Pangcu dari Khong-sim Kai-pang? Apakah dia seorang pengemis muda yang bertopi lebar ter­hias bunga, dan memegang tongkat. Wa­jahnya tampan tubuhnya tinggi?”

Song Goat mengangguk. “Apakah Kongcu sudah mengenal dia?”

“Hemm, kenal baik sih tidak, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik, mengapa tega melakukan ke­kejian kepadamu? Dan siapakah wanita yang dicintanya?”

“Seorang gadis yang hebat, julukannya Mutiara Hitam, namanya Kam Kwi Lan....”

“Ahhhh....! Dia....?” Terbayang di depan mata Kiang Liong seorang gadis yang cantik jelita, lincah dan ganas, dan ia kini tidak merasa heran bahwa tu­nangan gadis ini telah jatuh cinta kepada Mutiara Hitam. Memang gadis itu terlalu hebat untuk dijadikan sahabat biasa. Pemuda jenaka bernama Tang Hauw Lam yang ia jumpai bersama Mutiara Hitam dahulu itu pun sudah tergila-gila kepada Mutiara Hitam!

“Eh, kau sudah mengenal pula Adik Kwi Lan, Kongcu?”

“Hemm, kenal sih tidak, dia gadis aneh dan binal. Akan tetapi pernah aku bertemu dengannya. Memang dia cantik dan lihai, akan tetapi tunanganmu itu sungguh tak tahu diri, tidak mengenal budi dan tidak bijaksana kalau dia melu­kai hatimu dengan pernyataan cintanya kepada wanita lain di depanmu.”

Song Goat menarik napas panjang. “Tak dapat kupersalahkan dia, Kongcu. Dia menyatakan cinta kasih kepada Adik Kwi Lan tanpa ia ketahui bahwa ia telah ditunangkan dengan aku. Dan dia menya­takan cinta kasih itu dalam keadaan terdesak untuk menolong keselamatan Adik Kwi Lan.” Song Goat lalu menceri­takan tentang munculnya seorang wanita aneh berkerudung yang ternyata adalah guru Mutiara Hitam dan betapa Yu Siang Ki mengaku cinta kepada Kwi Lan dalam pembelaannya ketika melihat Kwi Lan terancam maut di tangan gurunya sen­diri.

Mendengar semua ini, Kiang Liong mengangguk-angguk.

“Setelah mendengarkan pengakuan itu, bagaimana aku mempunyai muka untuk bertemu kembali dengan dia, Kongcu? Apalagi harus bicara tentang jodoh! Jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari rasa terhina dan malu hanyalah me­larikan diri seperti yang kulakukan se­karang.”

Kiang Liong maklum akan keadaan gadis ini yang ruwet dan ia merasa ka­sihan sekali. Tiba-tiba ia memegang tangan yang kecil itu. Sejenak tangan itu gemetar seperti seekor anak ayam dalam genggaman, akan tetapi tidak ditarik lepas.

“Nona, apakah kau mencinta Yu Siang Ki?”

Dua pasang mata bertemu. Song Goat meragu, lalu menggeleng kepala, menun­duk dan menarik tangannya. “Aku.... aku tidak tahu.... dia memang gagah dan baik, akan tetapi aku baru saja bertemu de­ngannya...., dan.... mendengar pengakuan­nya terhadap Kwi Lan, rasanya.... rasanya aku tidak mencintanya....“

Kembali tangan kanan Song Goat dipegang dan diremas tangan Kiang Liong yang menggeser dekat. “Dewiku, kalau begitu mengapa berduka? Kalau pengemis bodoh itu tidak dapat menghargaimu dan kau pun tidak mencintanya, mengapa harus berduka? Engkau sebaliknya harus bersyukur telah terbebas daripadanya. Terus terang saja, aku bersedia sepenuh hati, sepenuh jiwa ragaku untuk mencin­tamu, dan cinta kasihku akan jauh me­lampaui cinta kasih pengemis bodoh itu!”

Song Goat mendengar ucapan ini me­mejamkan matanya dan air matanya berlinang di ataspipi. Ia seperti mabok dan mandah saja ketika Kiang Liong menariknya, memeluknya erat-erat, bah­kan ia hanya meramkan mata ketika pemuda itu mengecupi air mata dari kedua pipinya. Ia merasa seolah-olah diterbangkan ke angkasa dan terayun-ayun nikmat, merasa aman sentosa dalam pelukan sepasang lengan yang kuat itu, bisikan-bisikan merdu merayu dari mulut Kiang Liong bagaikan nyanyian dewata. Sejenak ia hampir lupa diri, hampir ma­bok madu asmara. Akan tetapi ketika merasa betapa bibir pemuda itu dengan penuh kasih sayang dan mesra mendekati dan menyentuh bibirnya, ia terhenyak kaget dan menggerakkan kedua lengan­nya yang tadi merangkul leher pemuda itu untuk mendorong dada Kiang Liong, merenggutkan dirinya terlepas dan meloncat berdiri. Mukanya pucat sekali dan kedua kakinya menggigil.

“Tidak....! Tidak....!” keluhnya berka­li-kali.

Kiang Liong juga meloncat berdiri di depan gadis itu, memandang penuh per­tanyaan. Akan tetapi ia tidak mau me­maksa dan hanya memandang penuh se­lidik. Melihat pandang mata ini, Song Goat merasa bersalah. Dia tadi seperti hendak menyerahkan diri, kini merenggut lepas, seolah-olah ia mempermainkan cinta kasih orang!

“Kiang-kongcu, kaumaafkan aku. Sesungguhnya, akan merupakan kehormat­an dan kebahagiaan besar sekali bagi seorang dara bodoh dan buruk lagi miskin seperti aku ini untuk mendapatkan cinta kasih seorang Kongcu sepertimu. Ah, betapa aku akan dapat menolak cinta kasihmu, Kongcu? Aku akan bahagia sekali!”

Kiang Liong tersenyum dan hendak meraih dan memeluk gadis itu lagi, akan tetapi Song Goat mengelak dan cepat-cepat menyambung kata-katanya. “Akan tetapi.... jelek-jelek aku bukanlah seorang yang tidak memiliki kesetiaan seperti Yu Siang Ki. Aku tidak mau menjadi seorang anak murtad dan tidak berbakti. Aku tidak mau memutuskan tali perjodohan yang sudah dipastikan oleh orang tuaku semenjak aku kecil. Sejak dahulu aku sudah menganggap diriku menjadi isteri Yu Siang Ki dan kalau dia sekarang me­mutuskan tali perjodohan, tiada lain jalan bagiku kecuali masuk menjadi nikouw (pendeta wanita)!”

“Moi-moi....!”

“Tidak, jangan sentuh aku lagi, Kong­cu! Ingat, aku isteri orang lain! Engkau seorang pendekar muda yang sudah ter­kenal dan aku yakin seorang pendekar akan menjunjung tinggi kesusilaan dan menjaga peraturan. Engkau budiman, lebih baik tunjukkan kepadaku kelenteng yang baik untuk aku mengabdi kepada agama.” Song Goat menghapus air mata­nya yang kembali berderai itu dengan ujung bajunya.

Kiang Liong menghela napas panjang, hatinya terharu. Bukan wataknya untuk memaksakan cintanya terhadap wanita, maka ia lalu berkata. “Nona Song, aku mengerti akan pendirianmu. Baiklah, Kuil Pek-lian-si di lereng Bukit Cin-ling-san diketuai oleh Fang-nikouw yang menjadi sahabat baikku. Kau dapat datang ke sana dan menjadi murid Fang-nikouw mempelajari keagamaan, akan tetapi kau berjanjilah bahwa sebelum satu tahun, engkau tidak akan menjadi nikouw. Aku akan menemui Yu Siang Ki dan kalau dalam satu tahun dia tidak mencarimu, anggap saja usahaku gagal dan sesukamu­lah kalau kau hendak menjadi nikouw. Kauserahkan suratku kepada Fang-ni­kouw.”

Pemuda itu lalu mengeluarkan pena bulunya, mengambil sehelai saputangan putih dan menggunakan getah pohon sebagai tinta, mencorat-coret beberapa belas huruf di atas saputangan lalu memberikannya kepada Song Goat.

“Terima kasih, Kongcu. Engkau baik sekali. Selama hidupku, aku tidak akan melupakan budimu.”

“Aihhh, Song-moi, engkau benar-benar membikin hatiku terasa perih. Akan te­tapi apa boleh buat, urusanmu memang ruwet. Kau berjanjilah akan menanti sampai satu tahun.”

“Baiklah, Kongcu, dan selamat berpi­sah. Semoga Thian memberkahimu.”

Dengan pandang mata sayu Kiang Liong melihat gadis itu pergi. Banyak sudah ia mengenal gadis cantik, akan tetapi baru Song Goat ini yang menda­tangkan rasa iba besar di hatinya. Ke­mudian, setelah bayangan gadis itu le­nyap, ia pun melanjutkan perjalanan. Tentu saja ia menuju pulang ke kota raja karena ia menghadapi urusanbesar. Ia harus melapor sendiri kepada Kaisar agar Kerajaan Sung dapat bersiap-siap menghadapi ancaman bangsa Hsi-hsia yang makin mengganas. Di sepanjang perjalan­an, hanya dua wajah yang selalu terba­yang di depan matanya. Wajah Po Leng In dan wajah Song Goat. Dua orang gadis yang amat berbeda wataknya, akan te­tapi yang kedua-duanya telah melepas budi kepadanya.

“Baiklah, Kongcu, dan selamat berpi­sah. Semoga Thian memberkahimu.”

Ketika ia tiba di lembah Sungai Ku­ning, di kaki Bukit Fu-niu-san di sebelah selatan kota raja, senja telah mendatang. Ia mempercepat larinya karena tidak ingin kemalaman di jalan, ingin bermalam di sebuah dusun yang ia tahu berada di depan, kurang lebih dua puluh li lagi jauhnya.

Akan tetapi perhatiannya tertarik oleh keributan yang terjadi di pinggir hutan di sebelah depan. Dari jauh sudah kelihatan bahwa di pinggir hutan itu ter­jadi perang kecil yang dilakukan oleh empat lima puluh orang. Hatinya ber­debar keras. Dari jauh tampak bahwa yang bertanding adalah orang-orang Hsi-hsia, hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa hwesio jubah merah yang ber­gerak cepat dan tangkas. Sedangkan pihak lawan adalah orang-orang bersera­gam, seperti pasukan yang pada saat itu keadaannya terdesak karena selain kalah banyak, juga kelihatan para hwesio jubah merah itu membuat mereka repot mempertahankan diri. Kiang Liong menjadi cemas sekali. Adakah pasukan Hsi-hsia sudah mulai menyerbu dan berada begini dekat dari kota raja? Adakah pasukan yang terancam itu pasukan pengawal dari kota raja? Dari jauh tidak tampak jelas, maka ia segera mempercepat larinya menuju ke tempat pertempuran.

Setelah dekat, ia terheran-heran. Kira­nya pasukan yang terdiri dari belasan orang itu adalah orang-orang Khitan! Beberapa orang Khitan sudah menggeletak mandi darah dan belasan orang sisanya melaku­kan perlawanan mati-matian. Orang-orang Khitan ini tidak pandai silat, akan tetapi mereka biasa bertempur dan memiliki keberanian serta kenekatan yang amat besar. Namun orang-orang Hsi-hsia di bawah pimpinan lima orang hwesio jubah merah itu terlampau kuat bagi orang-orang Khitan ini. Dan yang mengagumkan hati Kiang Liong adalah ketika ia melihat seorang gadis remaja mengamuk melawan dua orang hwesio jubah merah. Bukan main gadis remaja ini. Cantik je­lita, memiliki kecantikan khas Khitan yang berbeda dengan kecantikan orang-orang daerah, memakai pakaian serba indah dan hebatnya, permainan pedang gadis itu jelas merupakan ilmu pedang yang bertingkat tinggi! Sayangnya gadis itu agaknya belum banyak pengalaman bertanding, karena kalau ia lebih berpe­ngalaman, Kiang Liong yakin bahwa dua orang hwesio jubah merah ini tentu tak­kan dapat bertahan lama.

Apalagi ia telah mengenal bahwa pasukan itu adalah pasukan Khitan yang pada waktu itu merupakan bangsa sahabat, andaikata pasukan tak terkenal se­kalipun, tentu Kiang Liong tidak ragu-ragu untuk membantunya melawan orang-orang Hsi-hsia dan hwesio-hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu ini. Terutama sekali melihat gadis cantik jelita itu, hatinya kagum dan ingin berkenalan. Amatlah baik kesempatan itu. Kalau dia membantunya merobohkan musuh-musuh gadis itu, tentu mereka akan dapat ber­kenalan dengan baik! Akan tetapi gadis itu tidak membutuhkan bantuan pada saat itu karena permainan pedangnya da­pat mengatasi dua orang pengeroyoknya. Yang amat membutuhkan bantuan adalah pasukan Khitan itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia melompat maju, menyerbu dengan cepat. Bagaikan seekor burung rajawali menyerbu serombongan tikus saja, begitu kaki tangannya bergerak, empat orang Hsi-hsia memekik dan roboh terguling.

Seketika berubah keadaan perang kecil itu. Apalagi ketika hwesio-hwesio jubah merah itu memandang dan mengenal Kiang Liong, mereka menjadi gentar sekali. Kiang Liong terus menerjang dan dalam waktu singkat saja, belasan orang Hsi-hsia sudah roboh terguling. Para perajurit pengawal bangsa Khitan timbul semangat mereka melihat bala bantuan yang lihai ini. Mereka mengeluarkan pekik kemenangan lalu menyerbu makin hebat. Orang-orang Hsi-hsia mawut, se­bagian roboh binasa, yang lain melarikan diri. Lima orang pendeta jubah merah yang memimpin mereka, termasuk yang mengeroyok dara jelita tadi, sudah lebih dulu melarikan diri masuk ke dalam hutan dan berlindung kepada kegelapan malam yang mulai timbul.

“Cianbu (Kapten), syukur kau dan pa­sukanmu tiba tepat pada saatnya, kalau tidak tentu aku sudah mereka tawan!” Dara remaja itu berkata sambil menya­rungkan pedangnya, wajahnya sedikit pun tidak membayangkan kecemasan atau kekagetan sungguhpun ia baru saja ter­lepas daripada bahaya besar.

Kapten yang memimpln pasukan pe­ngawal itu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam di depan dara itu dan meletakkan tangan kanan di de­pan dada, kemudian berkata. “Rasa syu­kur dan terima kasih sepatutnya diberikan kepada Kiang-kongcu ini, karena kalau Kiang-kongcu tidak datang tepat pada saatnya, bukan hanya hamba sepa­sukan akan terbasmi, juga Paduka Puteri tidak akan tertolong.” Berkata demikian, kepala pengawal itu menunjuk ke arah Kiang Liong.

Hal ini tidak mengherankan hati Kiang Liong. Ia tahu bahwa Kerajaan Khitan mempunyai banyak mata-mata dan tentu saja namanya sudah dikenal baik oleh para perwira Khitan, bahkan wakil-wakil Kerajaan Khitan yang berada di kota raja merupakan seorang di antara sahabat-sahabatnya. Ia hanya kaget men­dengar betapa dara itu disebut Paduka Puteri oleh Si Kapten, maka ia menduga-duga siapa gerangan puteri jelita ini.

“Cianbu terlalu memuji....“ Ia berkata sambil menjura di depan dara itu yang memandangnya dengan sepasang mata bintang.

“Ah, kiranya engkau ialah Kiang-kongcu yang dikatakan murid.... Suling Emas.....?”

Di dalam hatinya Kiang Liong merasa bangga. Kenyataan bahwa dia murid Su­ling Emas, tidak membanggakan hatinya kalau yang memujinya orang biasa, akan tetapi keluar dari sepasang bibir yang indah ini....!

“Saya orang She Kiang hanya seorang bodoh dan hanya dapat sedikit mempelajari ilmu Guru saya yang mulia.” katanya merendah.

Dara itu tersenyum, pandang matanya melamun. “Sudah sering aku mendengar dari Ayahku tentang kesaktian Paman Suling Emas. Aku pun pernah mendengar penuturan Pangeran Mahkota tentang dirimu, juga Ayah mengenal namamu.”

Kiang Liong memandang wajah ayu itu, mengingat-ingat. Kemudian ia ter­ingat akan cerita bahwa Panglima Besar Kerajaan Khitan yang ia kenal, yaitu Panglima Kayabu yang gagah perkasa dan pandai mengatur barisan, mempunyai seorang puteri yang cantik jelita dan pandai ilmu silat.

“Ah, kiranya saya berhadapan dengan Puteri Mimi, puteri dari Panglima Kaya­bu yang terhormat?”

Puteri Mimi tersenyum, giginya ber­kilat putih dan indah seperti mutiara disusun dan senyumnya seakan-akan me­nerangi cuaca yang sudah mulai gelap itu. “Dugaanmu benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum pernah jumpa dapat menduga tepat.” Kemudian puteri jelita itu memandang kepala pengawal dan ber­kata.

“Cianbu, bagaimana kau dan pasukanmu dapat muncul secara kebetulan? Ataukah memang kau sengaja mengikuti perjalananku?” Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran dan kemarahan.

Kepala pengawal itu kembali memberi hormat seperti tadi, menjura dalam-da­lam, baru menjawab. Jawabannya singkat sekali dan tegas seperti kalau ia mem­buat laporan kepada atasannya.

“Hamba mendapat pelaporan rahasia dari para penyelidik bahwa Pangeran Mahkota telah ditawan pimpinan Hsi-hsia. Hamba memimpin pasukan mengejar Paduka karena khawatir akan terjadi hal serupa.”

“Apa....? Pangeran Talibu tertawan....?” Puteri Mimi menjadi kaget sekali. “Me­ngapa orang-orang Hsi-hsia menawan Pangeran? Dan dibawa ke mana?” Wajah puteri ini sekarang menjadi pucat dan ia cemas sekali.

Kepala pengawal itu menggeleng ke­pala. “Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba ketahui, hal itu sedang diselidiki. Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan di luar kota Lok-yang, juga belum diketahui dibawa ke mana.

Orang-orang kita sedang sibuk mencari dan menyelidik, dan tentu saja kita amat mengharapkan bantuan Kerajaan Sung....” Ia menoleh ke arah Kiang Liong.

“Hemm, aku agaknya tahu mengapa Pangeran Talibu ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu saja kami akan mem­bantu sekuat tenaga untuk membebaskan­nya karena kejadian itu terjadi di wila­yah Kerajaan Sung.” kata Kiang Liong. “Harap Puteri beristirahat saja di rumah­ku agar terjaga keamanannya, adapun Cianbu kuharap membantu teman-teman melakukan penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu dan hwesio-hwesio jubah merah, di antara mereka banyak terdapat orang-orang pandai, maka harap jangan tergesa-gesa turun tangan. Aku yakin bahwa orang-orang Hsi-hsia tidak akan membunuh Pangeran Talibu.”

“Kiang-kongcu, agaknya kau banyak mengerti akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka menawan Pangeran?” tanya Puteri Mimi.

Kiang Liong tersenyum. “Tidak banyak waktu untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan kelak kuceritakan kepada­mu.”

Puteri Mimi lalu memberi perintah kepada kepala pengawal untuk memenuhi permintaan Kiang Liong tadi. Berangkat­lah pasukan itu pergi, juga Sang Puteri lalu bersama Kiang Liong meloncat ke atas punggung dua ekor kuda yang di­sediakan oleh kepala pasukan.

Karena dapat menduga bahwa Bouw Lek Couwsu pada saat itu tentu telah mempunyai banyak kaki tangan yang disebar sebagai mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong membawa Puteri Mimi memasuki kota raja lewat tengah malam. Ia sudah dikenal oleh semua penjaga pintu gerbang, maka dapat masuk tanpa kesukaran. Kemudian menjelang pagi ia memasuki gedung tempat tinggal ayahnya melalui sebuah pintu rahasia yang hanya diketahui olehnya dari belakang rumah.

Ketika pagi itu, sudah agak siang, ia bangun, ia melihat bahwa di taman sam­ping diadakan pesta. Ia membawa Puteri Mimi yang bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah bundanya dan dengan singkat menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri Mimi kepada orang tuanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja Pangeran Kiang menerima puteri Panglima Khitan itu dengan hor­mat dan ramah, juga ibunya amat suka kepada gadis yang cantik jelita ini. Kemudian, dari ibunya ia mendengar tentang kunjungan Suma Kiat yang mengaku putera tunggal mendiang kakak ibunya, Suma Boan.

“Bagaimana ini, Ibu? Mengapa secara mendadak muncul seorang keponakan Ibu? Kenapa Ibu tidak pernah bercerita bahwa mendiang Paman Suma Boan meninggal­kan seorang putera?” Kiang Liong berta­nya.

“Hemm, aku pun heran sekali melihat Ibumu, Liong-ji (Anak Liong).” kata Pa­ngeran Kiang dengan muka cemberut. “Aku pun baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal setahuku, Pamanmu Su­ma Boan tidak pernah menikah dan tidak pernah punya putera. Kalau saja kau melihat ibu pemuda itu.... hiihh, mengeri­kan sekali, seperti iblis betina.”

“Ah, terlalu sekali. Tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Suma Ceng, ibu Kiang Liong memandang suaminya dengan pandang mata penuh teguran. “Kau sendiri dahulu menjadi sahabat baik kakakku Suma Boan, apakah kau tidak melihat betapa Suma Kiat ini mirip sekali dengan Kakakku dahulu? Pula, kita pernah mendengar tentang urusannya dengan Kam Sian Eng. Me­mang Kam Sian Eng mengerikan, akan tetapi.... ah, dia seorang yang berilmu tinggi, dan tidak waras, apalagi dia ma­sih adik tiri Suling Emas, apakah kau masih bersangsi?”

Makin keruh wajah Pangeran Kiang. “Huh, segala yang menyangkut nama Suling Emass selalu benar dan baik, sebaliknya pendapatku tidak pernah ada yang benar. Sialan!”

“Eh, bukan begitu. Aku hanya bicara sebenarnya dan....“

“Sudahlah!” Pangeran Kiang memban­ting kaki dan meninggalkan kamar. Kiang Liong menjadi sedih dan juga malu kare­na ayah bundanya bertengkar di depan Puteri Mimi. Sungguh memalukan dan menyedihkan. Sudah seringkali ia men­dengar ayah dan ibunya bertengkar dan selalu dalam pertengkarannya ini dibawa-bawa nama gurunya, Suling Emas. Dahulu ketika dia diambil murid Suling Emas pun menjadi bahan percekcokan antara ayah dan ibunya. Ia menghela napas panjang dan berkata.

“Sesungguhnya, bagaimanakah ia da­tang dan mau apa? Sekarang, eh, wa­nita yang menjadi ibunya itu ke mana, apakah berada di sini pula?”

Suma Ceng yang biarpun usianya su­dah mendekati lima puluh masih tampak cantik dan halus itu, menarik napas pan­jang, memegang dan menarik tangan Puteri Mimi menundukkan gadis itu di dekatnya sambil berkata. “Puteri harap kaumaafkan kami yang tidak tahu sopan-santun. Tentu membikin kau merasa tidak enak sekali.”

Mimi biarpun masih gadis remaja, namun ia terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan orang-orang besar, maka ia pandai membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nona yang halus itu, kagum akan kecantikannya, lalu tersenyum dan berkata.

“Bibi yang baik, panggil saja aku Mimi, dan sungguh mati apa yang terjadi dan terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa lagi.”

Suma Ceng memandang wajah yang jelita itu dengan pandang mata kagum dan senang. Kemudian berkata, suaranya halus dan matanya sayu terme­nung. "Aahhh, kau tentu dekat dengan Ratu Khitan, Mimi. Mendengar pun tidak mengapa, karena wanita yang dibicarakan tadi, Kam Sian Eng, adalah enci angkat ratumu di Khitan." Kemudian ia meman­dang putera sulungnya, "Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu meninggal dunia, di luar tahu siapapun juga ia me­ninggalkan Kam Sian Eng dalam keadaan mengandung. Semenjak itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang lalu di waktu malam dia muncul secara tiba-tiba di sini bersama puteranya, Suma Kiat. Ia minta supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara di sini dan memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja. Tentu saja aku tidak dapat menolak permintaannya dan pagi hari ini kami memperkenalkan Suma Kiat melalui pesta umum kepada para tamu. Ayahmu tidak setuju, maka ter­paksa Suma Kiat sendiri yang menjadi wakil dalam pesta."

Kiang Liong menghela napas panjang. Sudah lama ia tahu bahwa tentu ada rahasia aneh terselip dalam rumah tang­ga ibunya, dan di dalam rahasia ini, gurunya memegang peran yang tidak kecil. Gurunya sendiri belum pernah mau bertemu dengan ayah ibunya. Dan ibunya amat sayang kepadanya, melebihi sayang­nya kepada dua orang adiknya, Kiang Sun dan Kiang Hoat. Akan tetapi ayahnya jauh lebih sayang kepada dua orang adik­nya. Rahasia apakah? Dia tidak tahu dan tidak pernah ibunya mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang Sun yang sudah berusia dua puluh tiga tahun, sudah me­nikah dan bahkan tinggal jauh di selatan, di Socouw. Adapun Kiang Hoat adiknya yang bungsu, menjadi siucai (sastrawan)yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya mengejar wanita-wanita cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.

"Kalau begitu.... Bibi Kam Sian Eng itu tidak tinggal di sini?"

"Tidak, bahkan ia datang, bicara sing­kat lalu pergi lagi menghilang seperti.... seperti setan. Tidak terlalu menyalahkan Ayahmu kalau mengatakan dia iblis be­tina. Memang mengerikan sekali, Liong­ji. Tentang kepandaiannya, aku tidak heran karena sudah banyak kumelihat orang-orang sakti seperti Suling.... eh, Gurumu sehingga melihat orang berkele­bat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan tetapi ia menyembunyikan mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih, dan sikapnya.... hih, menyeramkan!"

Kiang Liong tidak merasa heran kalau adik tiri gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal itu tidak mengherankan. Hemm, pemuda yang kini mewakili tuan rumah berpesta di taman, adalah saudara misan dengannya. Dan melihat ibu pe­muda itu sakti, tentu pemuda yang bernama Suma Kiat itu lihai pula. Hal ini menggembirakan hatinya, karena biarpun ia mempunyai dua orang adik namun mereka itu sama sekali tidak mengerti Ilmu silat. Ayahnya lebih senang anak-anaknya belajar ilmu surat daripada ilmu silat. Teringat akan adiknya, ia lalu ber­tanya.

"Adik Hong ke mana, Ibu? Apakah ikut berpesta di samping?"

Ibunya cemberut. "Ah, bocah nakal itu, hatiku susah sekali memikirkan dia! Seorang siucai pemogoran! Kini tergila-gila kepada anak pemilik rumah makan di barat kota! Merengek minta dikawin­kan dengan anak itu. Anak pemilik res­toran! Wah benar-benar anak itu membikin malu orang tua!"

Kiang Liong tertawa, dan ibunya memandang marah. "Kenapa tertawa?"

"Ha-ha, Ibu benar aneh. Kalau anak pemilik restoran, mengapa sih? Kan dia juga perempuan tulen? Kalau memang Adik Hoat mencintanya...."

"Cinta? Ah, cinta hanya awal bencana dan duka! Aku akan merasa bahagia se­kali kalau dia mencinta seorang gadis seperti.... Mimi ini...."

"Ihhh.... Bibi membikin aku malu saja!" Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum jengah.

"Ha-ha-ha! Ibu tidak usah marah-ma­rah, maafkan kalau pendapat saya, keli­ru." Kiang Liong berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya dengan sikap manja. Ibunya menundukkan muka dan mengelus kepala puteranya. Puteranya ini menjadi buah hatinya, putera inilah keturunan dari pria yang dicintanya, putera Suling Emas!

"Sudahlah, kau sendiri terlalu nakal, sudah begini tua tidak juga mau meni­kah."

"Sabar dulu, Ibu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Apalagi seka­rang, aku harus cepat-cepat menghadap Kaisar untuk menyampaikan hasil penyelidikanku, bahkan harus cepat-cepat ber­tindak untuk menyelamatkan kerajaan, juga untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan yang kini tertawan orang-orang Hsi-hsia."

Seketika wanita itu menjadi serius. "Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau tadi bicara tentang urusan pribadi saja? Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita sendiri, kau harus lekas menghadap kaisar dan selesaikan urusan penting itu."

Pada saat itulah terdengar suara ri­but-ribut di samping gedung, dari arah taman di mana sedang berlangsung pesta. mendengar ini, Kiang Liong lalu melom­pat dan melangkah keluar, diikuti Puteri Mimi yang juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sana.

Demikianlah, seperti telah kita keta­hui di bagian depan cerita ini, ketika Kiang Liong tiba di taman dan menyak­sikan keributan yang terjadi, ia menegur dengan suara penuh wibawa.

"Hemmm, apakah yang terjadi di sini?"

"Kiang-kongcu datang....!" Seruan ini keluar dari mulut beberapa orang sekali­gus dan semua mata kini memandang ke arah Kiang Liong. Dengan pandang mata­nya yang tajam Kiang Liong menyapu wajah orang-orang yang kelihatan me­nimbulkan keributan. Tertegun hatinya ketika ia mengenal Mutiara Hitam, juga ia dapat menduga bahwa pengemis muda bertopi itu tentulah ketua baru Khong-sim Kai-pang yang sudah banyak dide­ngarnya. Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan Song Goat dan timbul rasa tidak senang di hatinya, apalagi melihat mun­culnya pengemis muda itu bersama Mu­tiara Hitam! Hatinya makin sebal me­lihat seorang pemuda berpakaian serba mewah yang ia dapat menduga tentulah saudara misannya, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang pe­nuh perhatian.

Suma Kiat adalah seorang yang wa­taknya aneh, namun harus diakui bahwa di balik keanehannya, ia memiliki kecer­dikan luar biasa. Mendengar seruan orang-orang itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan menarik muka semanis­-manisnya, menjura dengan penuh hormat sambil berkata.

"Kiang-piauw-heng (Kakak Misan Kiang), aku adikmu Suma Kiat mohon maaf sebesarnya bahwa aku tidak dapat mencegah kekacauan dalam pesta ini yang ditimbulkan oleh jembel busuk ini!" Setelah berkata demikian, ia kembali menggunakan tangan kanan menutupi luka di pundak kirinya.

Kiang Liong hanya mengangguk kepa­da Suma Kiat sebagai balasan, lalu ber­tanya, suaranya tetap tenang. "Siapakah yang mengacau dan apa sebabnya?"

Dengan muka seperti hendak menangis Suma Kiat lalu menunjuk Yu Siang Ki dan berkata. "Jembel busuk inilah yang mengacau. Dia berani menghina tamu-tamu kita, tamu wanita lagi. Aku tentu sudah dapat memukul mampus padanya kalau saja Sumoiku ini tidak mencampuri dan melukai pundakku!"

Kiang Liong tertegun dan merasa amat heran, akan tetapi hanya di dalam hatinya saja. Sungguh tak disangka-sang­kanya. Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat? Murid wanita aneh bernama Kam Sian Eng yang menurut ibunya tadi masih adik tiri gurunya sendiri? Jadi kalau begitu Mutiara Hitam ini bukan orang lain, masih terhitung adik seper­guruan dengannya. Ia menjadi bingung dan sejenak kesima tak dapat berkata. Kemudian ia memandang Yu Siang Ki, pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa pemuda tampan yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan sinar mata tajam juga. Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan keagungan seorang ketua. Ia lalu teringat bahwa ia sebagai tuan rumah, maka ia segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan ini membuat wajah Yu Siang Ki berseri sedikit, ke­mudian ia pun balas menghormat.

"Pesta kecil ini diadakan untuk me­nyambut kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun yang suka boleh datang. Saya rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk menyambut setiap orang tamu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah terjadi ada tamu menghina tamu lain, apalagi tamu-tamu wanita. Sungguh hal yang amat tidak patut dan mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi penjelasan."

Sebelum Yu Siang Ki sempat men­jawab, lima orang wanita yang tadi di­kalahkan Siang Ki sudah berebut maju dan seorang di antara mereka berkata, "Mula-mula adalah Si Bocah Iblis ini yang menghina kami, Kiang-kongcu. Tan­pa sebab ia membalikkan meja dan menyiram kami dengan kuwah panas. Kemudian setelah kami dapat menahan diri karena ternyata dia sumoi dari Su­ma-kongcu, Si Jembel busuk ini bikin gara-gara dan menyerang kami!"

Kiang Liong menoleh kepada mereka dan tersenyum masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis yang cantik dan dan genit ini yang selalu mengejar-nge­jarnya, dan tahu pula bahwa orang-orang seperti mereka ini hanya tepat dijadikan teman bersenang-senang, namun tidak boleh didengar omongannya dalam urusan besar.

"Harap kalian pergilah agar tidak menambah keruh suasana. Aku akan membereskan urusan ini. Pergilah!" Suara dan pandang mata Kiang Liong membuat lima orang wanita itu mundur dan de­ngan bersungut-sungut mereka lalu pergi dari dalam taman itu, bersumpah untuk membalas dendam kepada Kwi Lan dan Siang Ki.

Kiang Liong kembali menghadapi Siang Ki. "Nah, sobat, bagaimana penje­lasanmu? Kuulangi lagi bahwa sebagai seorang tamu, adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan dan menghina tamu-tamu lain."

"Kiang-kongcu, sudah amat lama saya mendengar nama besar Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong (pendekar) yang gagah. Akan tetapi keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat hati saya ke­cewa. Terus terang saja, lima orang wanita itu bukanlah manusia-manusia yang patut menjadi tamu Kiang-kongcu. Saya telah turun tangan menghajar me­reka, kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima pertanggungan-jawab­nya."

Diam-diam Kiang Liong kagum men­dengar jawaban itu. Jawaban yang seder­hana namun sekaligus menonjolkan sifat gagah pemuda itu yang tidak suka men­ceritakan peristiwa itu untuk membela diri sendiri dengan jalan menyalahkan orang lain. Juga membayangkan keang­kuhan seorang ketua perkumpulan penge­mis yang mengaku telah menghajar orang dan kalau dianggap salah, suka menerima pertanggunganjawabnya! Namun jawaban ini pun mengandung tantangan terhadap dirinya sebagai tuan rumah. Kiang Liong seorang laki-laki sejati, betapapun juga Suma Kiat adalah adik misannya dan kini adiknya itu terluka, Si Pembuat Onar berdiri di depannya menantang!

"Hemm, sombong sekali! Sobat, kau hendak mempertanggungjawabkan per­buatanmu berarti kau menantang aku sebagai tuan rumah. Marilah kita selesaikan urusan ini secara laki-laki!" Pandang mata Kiang Liong tajam menusuk.

Yu Siang Ki berdiri tegak, keningnya berkerut dan ia menjawab dengan lantang dan gagah. "Aku Yu Siang Ki sebagai seorang gagah mengenal kegagahan, men­junjung tinggi persahabatan dan tahu mana baik mana buruk. Sebagai Ketua Khong-sim Kai-pang harus mempertahan­kan nama. Sudah lama mendengar akan kegagahan Kiang-kongcu sebagai murid pendekar sakti Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka kalau Kongcu menantangku untuk mengadu kepandaian aku orang she Yu tentu saja tidak berani berlaku ku­rang ajar dan ceroboh, membentur Gu­nung Thai-san. Akan tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak sebagai pembela lima orang wanita tadi, berarti Kongcu mem­bela yang sesat dan aku siap untuk me­nerima pelajaran dari Kiang-kongcu!"

Dua orang muda yang sama tinggi, sama tampan dan gagah itu kini berdiri saling berhadapan, wajah mereka serius, pandang mata berkilat, siap untuk ber­tanding seperti dua ekor ayam jantan berlagak. Semua tamu menjadi tegang, apalagi setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah Ketua Khong-sim Kai­-pang yang baru! Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah pertandingan yang hebat antara dua orang jago muda yang berilmu tinggi.

"Piauw-heng, untuk memukul seekor anjing kotor, perlu apa menggunakan tongkat besar? Harap Piauw-heng jangan mencapaikan diri, untuk membikin mam­pus anjing ini, adikmu ini masih cukup kuat. Tadi pun kalau tidak dihalangi Sumoi, anjing ini sudah kuhajar sampai mampus!" kata Suma Kiat berlagak sam­bil memegangi pundaknya yang masih mengucurkan darah.

"Kiang-kongcu, maafkan kalau aku mencampuri urusan yang tidak ada sang­kut-pautnya dengan aku, tiba-tiba Puteri Mimi menghampiri Kiang Liong dan me­nyentuh pundaknya. Sejak tadi puteri ini mendengar dan melihat dengan penuh perhatian, ia amat kagum menyaksikan sikap Yu Siang Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang cantik jelita dan gagah. Mendengar ucapan Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum dan dapat menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap menyamar dalam pakaian jembel itu.

Melihat majunya Puteri Mimi, terpak­sa Kiang Liong mengalihkan perhatiannya dan menoleh. Ia melihat betapa dua pipi yang halus itu kemerahan mata yang jeli itu bersinar-sinar dan diam-diam ia men­jadi kagum. "Ada petunjuk apakah, Pu­teri?" Kini semua orang memperhatikan Mimi karena dandannya, kecantikannya, dan suaranya yang asing namun sedap didengar.

"Kiang-kongcu, mereka yang ribut­-ribut semua adalah tamu. Keributan yang terjadi di antara tamu tentu ada sebab­nya. Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat tidak bijaksana. Sebagai tuan rumah, sebaiknya bersikap adil dan menyelidiki lebih dulu apa sebab keribut­an, baru mengambil keputusan yang bijaksana dan adil. Menurutkan hati panas melupakan pertimbangan pikiran akan menimbulkan penyesalan yang sudah ter­lambat. Harap Kiang-kongcu mendahulu­kan kesadaran."

Tidak hanya Kiang-liong dan Yu Siang Ki yang menjadi heran dan kagum sekali, juga semua orang yang mendengar ini tercengang. Amat sukar diharapkan ucap­an seperti itu keluar dari sepasang bibir mungil dari seorang dara remaja seperti Puteri Mimi.

Kalau semua mata memandang kagum kepada Putera Mimi, sebaiknya Kwi Lan yang sejak tadi sudah amat marah, kini tak dapat menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju, pedang di tangan kanan, berdiri di depan Yu Siang Ki membelakangi pemuda ini, menghadapi Kiang Liong, sikap dan pandang matanya penuh tantangan! Suaranya nyaring tinggi menyambar telinga semua orang, lang­sung menusuk jantung mereka dengan kata-kata yang tajam.

"Orang she Kiang! Apakah karena engkau menjadi murid Suling Emas eng­kau lalu boleh berlagak sombong seperti seorang pangeran dari langit? Kalau se­gala macam urusan kecil hendak diberes­kan secara begini sukar olehmu, apalagi urusan besar! Ketahuilah dan dengar baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi adalah aku, Mutiara Hitam! Yang melukai adik misanmu ini adalah aku pula, Mutiara Hitam! Yu Siang Ki ini hanya turun tangan karena perempuan­-perempuan rendah tadi menghinaku. Akan tetapi yang menjadi biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak seperti hakim dan memberi hukuman, hayo hu­kumlah aku. Mutiara Hitam berani ber­buat berani bertanggung jawab! Orang she Kiang, aku mendengar bahwa Suling Emas seorang pendekar besar dan pa­triot, akan tetapi muridnya mengapa mengumpulkan kaum pemberontak? Hayo majulah kau boleh mengandalkan kedu­dukan dan nama Gurumu, akan tetapi jangan kira aku takut!"

Wajah semua orang menjadi pucat. Mereka yang memang mempunyai per­sekutuan untuk membantu gerakan bang­sa Hsi-hsia, menjadi pucat karena khawa­tir, sebaliknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi pucat karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini benar-benar merupa­kan penghinaan hebat!

"Kwi Lan, apakah kau sudah menjadi gila? Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak karuan?" Yu Siang Ki menegurnya, wajah pemuda ini pun men­jadi pucat. Ia maklum bahwa kali ini gadis liar ini telah membuat onar dan kekacauan hebat sekali. Akan tetapi yang ditegur sama sekali tidak mempedulikan­nya, bahkan sinar matanya seakan-akan mengejek dan berkata. "Jangan turut campur!"

Wajah Kiang Liong sebentar merah sebentar pucat. Hebat penghinaan ini! Kalau diucapkan tidak di tempat umum, masih belum hebat dan mungkin ia dapat menerimanya sambil tersenyum. Akan tetapi ucapan yang amat menghinanya itu diucapkan di depan banyak tamu. Suaranya agak gemetar karena menahan amarah ketika ia bertanya.

"Mutiara Hitam, sungguh lancang mulutmu!" Kalau engkau masih Sumoi dari adik misanku Suma Kiat berarti kau bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani bersikap begini kurang ajar? Kau menuduh dan memfitnah yang bu­kan-bukan. Siapa mengumpulkan kaum pemberontak? Apa maksudmu?"

Kwi Lan, tersenyum mengejek. Cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis. "Masih berpura-pura lagi? Apa kau menghendaki aku menelanjangi kedokmu dan menunjuk tokoh pemberontak?"

Sepasang mata Kiang Liong menge­luarkan sinar berkilat. Sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang maju, meng­hajar gadis yang liar ini. Akan tetapi ia masih dapat menekan hatinya dan mem­bentak, "Boleh! Coba hendak kulihat siapa orangnya!"

"Kaulihat baik-baik!" Kwi Lan yang masih memegang pedang itu menyapu taman dengan pandang matanya kemudian melangkah dan menghampiri meja di mana duduk tiga orang hwesio.

"Sumoi.... jangan....!" Suma Kiat ber­seru.

Akan tetapi dengan langkah lebar, Kwi Lan sudah tiba di depan meja tiga orang hwesio itu dan sekali tendang, meja itu mencelat dan menimpa tiga orang hwesio tadi.

"Brakkk....!" Hwesio kurus berjubah kuning itu dengan tangan kirinya me­nyampok dan meja itu pecah. Sambil menghantam hwesio itu meloncat dan berdiri tegak memandang Kwi Lan. "Omitohud, apakah Nona ini menjadi gila?"

Kwi Lan tertawa, menuding dengan pedangnya. "Apakah engkau yang berna­ma Cheng Kong Hosiang?"

"Sumoi, jangan....!" Kembali Suma Kiat berseru.

Cheng Kong Hosiang menjadi be­ringas pandang matanya. Kakek ini men­cium bahaya, akan tetapi ia memandang rendah gadis ini. Ia seorang yang memi­liki ilmu silat tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi seorang gadis remaja.

"Pinceng benar Cheng Kong Hosiang, Nona mau apa dan...."

Belum habis ucapannya, tubuh Kwi Lan menerjang maju. Dua orang hwesio tinggi besar yang duduk di kanan kiri Cheng Kong Hosiang adalah murid-murid hwesio tua ini, mereka pun pandai ilmu silat dan, melihat gadis itu sudah mener­jang maju, mereka segera menyambut dari kanan kiri bersenjatakan tongkat. "Trang-trang.... wuuut-wuuut, aduhhh....!"

Cepat luar biasa gerakan Kwi Lan. Dengan pedang Siang-bhok-kiam di ta­ngan kanan, ia menangkis dan menempel dua tongkat itu sehingga tak dapat ditarik kembali, kemudian dengan gerakan memutar amat kuat, ia membuat dua batang tongkat ikut berputaran sampai terlepas dari tangan pemegangnya, kemu­dian secara mendadak tangan Kwi Lan bergerak, dua kali memukul dan robohlah dua orang hwesio itu dengan tulang pun­dak patah-patah!

Cheng Kong Hosiang sudah menyam­bar tongkatnya yang panjang dan berat, namun gerakan Kwi Lan lebih cepat daripadanya. Tubuh gadis ini seperti le­nyap, berubah menjadi bayangan yang didahului sinar pedang kehijauan.

"Sumoi, tahan....!" Kembali terdengar suara Suma Kiat yang sudah dekat di belakangnya. Melihat sumoinya nekat dan hendak membuka rahasia hwesio itu, Suma Kiat marah sekali dan mengirim pukulan maut dari belakang. Pukulan ini adalah pukulan jarak jauh yang mengan­dung hawa beracun dan betapa pun lihai­nya Kwi Lan, kaarena ia menujukan per­hatiannya kepada hwesio di depannya, agaknya sukar baginya untuk menghindar­kan diri dari pukulan maut suhengnya.

Dan kalau pukulan itu sampai mengenai lambungnya, sukar pula nyawanya dapat ditolong!

"Dukk....!"

Suma Kiat terhuyung ke belakang, mulutnya menyeringai menahan nyeri, seluruh lengan kanannya terasa lumpuh dan dadanya sesak. Bukan karena tang­kisan Kiang Liong, melainkan karena hawa pukulannya sendiri membalik ketika pukulannya tadi tertahan oleh lengan Kiang Liong. Melihat betapa adik misan­nya mengirim pukulan dari belakang se­ganas dan sekeji itu, Kiang Liong sudah cepat bergerak menangkis. Diam-diam pemuda ini menjadi makin tidak senang kepada adik misannya. Terhadap seorang sumoi saja sudah dapat bersikap sekeji dan securang itu. Andaikata Mutiara Hitam ini

No comments:

Post a Comment