Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 4e

“Nah, kalau benar demikian.” Siang Ki menyambung kata-katanya, kini saya persilakan Ji-wi untuk menguji aku de­ngan ilmu silat itu. Kalau aku dapat memecahkan Khong-sim-kun, jelaslah bahwa hanya ayahku Yu Kang Tianglo yang dapat mengajarkan ilmu itu kepada­ku.”

“Setuju! Baik begitu!” Semua pengemis bersorak. Gak-lokai dan Ciam-lokai juga menjadi girang karena kini terbuka ke­sempatan bagi mereka untuk memuaskan hati mereka dengan menguji sampai di mana kelihaian putera Yu Kang Tianglo ini. Akan tetapi karena kini mereka yakin bahwa pemuda ini adalah putera Yu Kang Tianglo, maka mereka menjadi segan juga. Gak-lokai lalu menjura dan berkata.

“Yu Siauw-pangcu (Ketua Yu Muda) yang memerintah, harap suka maafkan kami dua orang tua berani kurang ajar!”

Yu Siang Ki tertawa. Senang hatinya melihat sikap dua orang yang pernah dipuji ayahnya ini. “Ji-wi harap jangan sungkan-sungkan. Mulailah!”

Gak-lokai dan Ciam-lokai bergerak maju dan benar saja, sebagai pembuka­an mereka telah bergerak seperti yang dilakukan Yu Siang Ki tadi, yaitu tangan kiri menekan dada kiri sedangkan tangan kanan diangkat di atas kepala membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. Juga pemuda itu melakukan ge­rak yang sama, setelah itu barulah dua orang kakek itu menyerang dengan jurus-jurus yang aneh, namun amat cepat dan menimbulkan angin pukulan halus. Diam-diam Suling Emas memperhatikan dan menjadi kagum. Ilmu Khong-sim-kun yang diciptakan kakek pemuda itu me­mang benar hebat, gerakannya halus dan indah namun mengandung kecepatan ge­rak dan tenaga kuat. Begitu menyaksikan cara pemuda itu menyambut serangan, tahulah Suling Emas bahwa dalam ilmu silat ini, Si Pemuda jauh lebih matang dan sempurna gerakannya daripada kedua orang lawannya. Hal inl adalah karena Gak-lokai dan Ciam-lokai hanya beberapa hari saja berkumpul dengan Yu Kang.

Tianglo sehingga hanya menerima teori dan menerima bimbingan sebentar, se­baliknya Yu Siang Ki berlatih di bawah pengawasan ayahnya, tentu saja gerakannya lebih mahir dan sempurna.

Dua orang kakek itu girang bukan main. Mereka pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar mahir Ilmu Silat Khong-sim­-kun dan semua jurus yang mereka ke­luarkan untuk menyerangnya, semua da­pat dikembalikan, ditangkis atau dielak­kan dengan baik sekali. Sampai habis semua jurus Khong-sim-kun mereka jalan­kan dan belum pernah mereka dapat menyentuh tubuh Yu Siang Ki, sebaliknya setiap kali pemuda itu menangkis, tentu tangan mereka terpental dan pangkal lengan mereka terasa kesemutan dan setengah lumpuh. Mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam beberapa jurus saja mereka tentu akan dapat dirobohkan!

Keduanya lalu melompat mundur, menghadapi para pengemis di bawah panggung dan bersorak, “Saudara-saudara semua! Dia ini betul-betul putera Yu Kang Kai-pangcu! Dialah yang patut menjadi ketua kita!”

Setelah berkata demikian, Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Yu Siang Ki sambil berkata, “Yu-pangcu, kami mohon pim­pinan Pangcu!”

Pemuda itu terharu ketika melihat semua pengemis di bawah panggung juga berlutut. Ia tersenyum dan mengangkat bangun Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Harap Saudara sekalian jangan terlalu merendah­kan diri. Aku tentu saja suka sekali me­mimpin kalian dan melindungi perkumpulan kita, asal mendapat bantuan Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah lebih ber­pengalaman.”

Para pengemis bersorak gembira, ada yang menari-nari dan ada yang tertawa­-tawa. Para pimpinan kai-pang yang menjadi tamu segera maju dan memberi hormat serta memberi selamat kepada pangcu baru dari Khong-sim Kai-pang. Timbul harapan mereka bahwa bersama pemuda yang lihai ini mereka akan lebih kuat menghadapi penyelundupan kaum sesat.

“Eh, ke mana dia....?” Tiba-tiba Yu Siang Ki menengok, terkejut karena tidak melihat Suling Emas di belakangnya.

Gak-lokai dan Ciam-lokai juga terke­jut dan heran. “Ke mana perginya Kim-­siauw Taihiap?”

“Lihat itu ada tulisan!” kata pula Yu Siang Ki yang melihat tulisan terukir di atas papan panggung di mana tadi Suling Emas berdiri. Beramai-ramai me­reka mendatangi tempat itu dan pembaca tulisan yang terukir, amat indahnya, agaknya diukir dengan ujung sepatu!

“Selamat kepada pangcu baru,

Suling Emas akan selalu mengamati

dan melindungi dari jauh!”

Mereka menarik napas panjang. Gak-lokai dan Ciam-lokai cepat lari meloncat turun menuju ke kandang kuda, namun kuda kurus tunggangan Suling Emas juga tidak ada pula di situ. Semua orang menjadi makin kagum. Di depan mata sekian banyaknya orang, Suling Emas dapat menghilang begitu saja, bahkan meninggalkan tulisan yang diukir dengan ujung kaki.

Namun di dalam hatinya, Yu Siang Ki, Gak-lokai, dan Ciam-lokai girang ka­rena di dalam tulisan yang ditinggalkan Suling Emas itu, Si Pendekar Sakti menjanjikan pengamatan dan perlindungan, biarpun dari jauh. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi bahaya dan kesukaran, mereka masih dapat mengharapkan ban­tuan pendekar sakti itu. Biarpun di da­lam hatinya Yu Siang Ki berduka sekali karena ia kehilangan Kwi Lan yang pergi secara mendadak, namun sebagai seorang ketua yang amat setia kepada Khong-sim Kai-pang, ia mengesampingkan pera­saan pribadi yang jatuh cinta kepada gadis itu, dan mulailah ia mengatur se­gala usaha dan perbaikan untuk Khong-sim Kai-pang.

***

Suling Emas menarik napas panjang berkali-kali, hanya kecewa dan menyesal karena ia tidak berhasil mengejar gadis yang bernama Kam Kwi Lan itu. Biarpun ia membalapkan kudanya mengejar keempat penjuru, ia tetap saja tak dapat melihat Kwi Lan. Mengertilah ia bahwa gadis itu memang sengaja tidak mau menjumpainya. Ia mengingat-ingat dan mengangguk-angguk. Gadis itu wataknya aneh dan keras sekali. Dan ia memang kurang hati-hati dengan ucapannya tadi. Ia menyuruh gadis itu membuka baju. Tentu saja ia maksudkan agar gadis itu melihat sendiri pada dadanya karena seperti juga Siang Ki, ia tahu bahwa gadis itu menderita luka akibat pukulan rahasia Pak-kek Sian-ong. Gadis itu salah kira, menyangka dia bersikap kurang ajar!

“Hemm, patut menjadi murid Sian Eng.” ia menggereneng. “Akan tetapi wataknya lebih mirip dengan Lin-moi, juga wajah dan bentuk tubuhnya. Heran sekali.... siapakah bocah itu?”

Karena dapat menduga, watak Kwi Lan yang mirip Lin Lin, maka ia tahu bahwa percuma saja mencari terus. Kalau gadis itu tidak mau menjumpainya dan bersembunyi, mana mungkin ia men­cari dan menemukannya? Suling Emas menjalankan kudanya lagi, perlahan-lahan. Ia telah dikenal orang. Rahasianya telah bocor karena munculnya Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hatinya menjadi risau. Untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini ia mengeluarkan sulingnya dan ditiupnya sulingnya itu dan berusaha melenyapkan segala perasaan yang tidak menyenangkan. Namun tetap saja pikirannya tak dapat ia diamkan. Dunia mulai kacau lagi. Orang-orang jahat bermuncul­an. Bahkan dua orang seperti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong juga mulai main gila di dunia ramai. Bagaimana dia akan dapat menyembunyikan dan mengasingkan diri, berpeluk tangan saja? Tak mungkin, bisik hatinya. Tak mungkin , aku dapat menjadi penonton saja. Haruskah dia turun tangan kembali, seperti dulu-dulu? Haruskah ia mengisi hidupnya dengan pertandingan-pertanding­an lagi? Mengganggu ketenangan dan kesunyian dengan urusan dunia yang tiada habisnya?

Tiba-tiba ia menahan kudanya dan otomatis tangan kirinya menarik sapu­tangan yang tergantung di leher ke atas, menutupi mulut dan hidungnya. Telinga­nya mendengar suara makian dari jauh, dari arah belakangnya.

“Setan biadab, siapa sudi menuruti kehendakmu? Bunuh saja aku!”

“Iblis Khitan, kalau bisa kaucari sen­diri orangnya, mengapa memaksa kami? Kau berani menghina pengemis miskin?”

Itulah suara Gak-lokai dan Ciam-lo­kai! Biarpun ia tidak menengok dan tidak melihat, namun telinganya mendengar betapa dari belakang terdapat dua orang yang mendatangi dengan ilmu lari cepat yang amat hebat. Ia terkejut dan tadinya ia mengira tentu Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong yang datang, akan te­tapi kalau mereka, mengapa suara ma­kian Ciam-lokai tadi menyebut-nyebut iblis Khitan? Suling Emas lalu memutar kudanya dan karena harus siap menjaga kalau yang datang betul Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, maka masih memegang suling di tangan kanannya.

Akan tetapi setelah kini ia memutar kuda, ia terheran-heran. Yang datang berlari cepat sekali adalah dua orang Khitan, dua orang kakek yang datang membawa Gak-lokai seperti orang me­nenteng kelinci saja. Dua orang kakek pengemis yang cukup lihai itu diceng­keram punggung bajunya dan sama sekali tidak dapat melepaskan diri. Ini saja sudah membuktikan betapa lihainya dua orang Khitan itu. Suling Emas diam-diam terkejut. Bukan terkejut melihat kelihai­an mereka karena ia pun maklum bahwa banyak orang-orang kuat di Khitan. Akan tetapi ia terkejut karena melihat bahwa yang datang ini bukan orang sembarang­an, melainkan dua orang yang berpangkat tinggi dalam ketentaraan, dua orang panglima! Hal ini dapat dilihat dari pa­kaiannya. Para panglima Khitan dapat dikenal dari tanda sulaman bundar di dada mereka. Dua orang kakek ini pada dadanya terdapat gambar pilar besar, berarti bahwa mereka adalah panglima-panglima benteng. Hemm, kalau Lin Lin sampai mengutus panglima-panglimanya datang, berarti Ratu Khitan itu tidak main-main lagi, tidak sekedar rindu dan mengundangnya begitu saja!

Setelah dua orang panglima Khitan itu tiba dekat, Gak-lokai berkata sambil memandang Suling Emas, “Taihiap, bukan kami yang menunjukkan tempat Taihiap, melainkan kami dibawa dengan paksa oleh dua ekor monyet Khitan ini!”

Suling Emas berkata dari balik sapu­tangannya, suaranya perlahan dan halus, namun berpengaruh, “Sepanjang penge­tahuanku, Panglima-panglima Khitan adalah orang-orang yang berkepandaian ting­gi dan juga menjunjung keadilan dan ke­gagahan. Mengapa mengganggu pengemis-pengemis seperti kami? Apakah Khitan sudah melupakan persahabatan dan hen­dak mengganas di selatan?”

Muka kedua orang panglima Khitan itu menjadi merah karena teguran itu langsung menusuk hati mereka. Sejenak mereka saling pandang dengan sangsi karena mereka sendiri pun tidak tahu apakah benar orang berkuda yang menu­tupi mukanya itu adalah orang yang dicarinya. Namun, karena perintah dari atasan mereka menyatakan bahwa orang yang dicarinya itu menyamar sebagai pe­ngemis dan berada di antara para penge­mis Khong-sim Kai-pang, serta memiliki seekor kuda merah yang kurus kering, hilang keraguan mereka.

Seorang di antara mereka berkata, “Maafkan jika terpaksa kami menangkap dua manusia bandel ini, karena dimintai tolong menunjukkan tempat Taihiap me­reka tidak mau malah memaki-maki. Taihiap, jauh-jauh kami datang sengaja untuk menemui Taihiap, menempuh perja­lanan ribuan li, mengalami segala macam kesukaran dan rintangan. Sama sekali bukan maksud kami untuk mengganggu saudara-saudara kai-pang. Hanya dua orang manusia ini terlalu bandel tidak suka membantu.”

“Di antara kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, tak pernah saling ber­temu dan tidak saling mengenal. Menga­pa kalian bersusah payah mencariku?”

Pangllma yang bicara tadi mengambil sesuatu dari sakunya, kemudian berkata.

“Kami datang sebagai utusan ratu kami untuk menyampaikan surat ini ke­pada Taihiap. Harap Taihiap sudi mene­rimanya!”. Setelah berkata demikian, ta­ngannya yang memegang surat itu berge­rak menyambit dan gulungan surat itu bagaikan peluru menyambar ke arah Su­ling Emas.

Suling Emas mengerti bahwa tidak perlu ia berpura-pura terus. Sambitan itu saja sudah merupakan ujian karena tidak sembarang orang dapat menyambit seper­ti itu dan tidak sembarangan orang pula dapat menerimanya. Ia mengangsurkan tangan kiri, dengan tenang ia menangkap gulungan surat itu. Tubuhnya sedikit pun tidak bergoyang dari atas panggung ku­danya.

Dua orang panglima itu memandang penuh kekaguman dan panglima yang me­nyambitkan gulungan surat berkata, “Ter­nyata tidak keliru dugaan kami. Kami telah melaksanakan tugas kami. Maafkan kami, sobat-sobat yang bandel dan se­lamat tinggal, Taihiap!” Mereka berdua melepaskan cengkeraman pada punggung baju dua orang kakek pengemis itu, ke­mudian membalikkan tubuh dan berlari cepat pergi meninggalkan tempat itu.

“Berbahaya sekali! Mereka itu memi­liki kepandaian yang hebat. Mengapa Taihiap selalu diganggu orang-orang Khitan?” tanya Ciam-lokai terheran-he­ran. Ini adalah pengalamannya yang dua kali melihat Suling Emas dikejar-kejar orang Khitan.

Suling Emas tersenyum. “Urusan pri­badi, Lo-kai. Maafkan kalau kalian sam­pal terbawa-bawa.”

“Adakah sesuatu yang dapat kami la­kukan untuk membantumu, Taihiap?” tanya Gak-lokai ketika melihat wajah pendekar itu agak pucat.

Suling Emas mengerutkan kening. Ia tadi kecewa karena tak dapat mencari Kwi Lan, maka kini ia berkata. “Memang kalian dapat membantuku. Harap kalian sampaikan kepada Pangcu kalian agar suka mengutus anak-anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari kemana perginya gadis yang berjuluk Mutiara Hitam itu. Kalau berhasil, harap memberi kabar kepadaku. Aku akan berada di kota raja.”

Dua orang kakek pengemis itu me­nyanggupi dan mereka lalu berpisah. Se­telah Gak-lokai dan Ciam-lokai pergi, Suling Emas menjalankan kudanya perla­han-lahan sambil melepas tali pengikat gulungan kertas. Hatinya berdebar keras. Surat dari Lin Lin? Apa kehendaknya? Jari-jari tangannya agak gemetar ketika ia membentangkan kertas itu di depan­nya, sedangkan kudanya masih jalan terus perlahan-lahan seenaknya. Surat itu ter­nyata singkat namun mengandung gam­baran hati yang penuh rindu dan risau.

Kakanda Kam Bu Song,

Terlalu lama saya menanggung de­rita batin. Terlalu lama menyim­pan rahasia besar. Tak tertahankan lagi. Lekas datang ber­kunjung.

YALINA

Suling Emas menghela napas panjang dan menyimpan gulungan surat di saku baju sebelah dalam. Apakah yang dike­hendaki Lin Lin? Rahasia besar apakah yang dimaksudkannya? Bukankah sudah tepat kalau ia meninggalkan Lin Lin, seperti juga ia meninggalkan Suma Ceng?”

Ah, hidupnya yang lalu dirusak oleh asmara gagal. Bukan ia tidak mera­sa rindu kepada Lin Lin, hanya ia sengaja hendak menghapus perasaan itu meng­ingat akan kedudukan Lin Lin sebagai Ratu Yalina di Khitan. Untuk apa dia mengganggu dan merusak nama baik se­orang ratu besar? Inilah yang meragukan hatinya sehingga ia tidak berani berkun­jung ke Khitan. Sekarang pun ia tidak ingin berkunjung, bahkan hendak pergi ke kota raja Sung, untuk menemui Liong­ ji (Anak Liong). Ya, kini hanya pemuda putera Suma Ceng itulah yang menjadi harapannya. Kiang Liong adalah pemuda puteranya. Anak Suma Ceng, menggunakan she Kiang menurut nama keluarga Pangeran Kiang suami Suma Ceng, akan tetapi Kiang Liong adalah puteranya! Dan semenjak kecil, ia seringkali berkun­jung secara diam-diam dan menurunkan ilmunya kepada Kiang Liong yang meng­anggapnya sebagai gurunya. Sekarang pun ia hendak pergi ke kota raja untuk ber­kunjung kepada murid dan juga puteranya itu, karena sudah merasa rindu? Akan tetapi surat Lin Ling yang baru saja diterimanya membuat hatinya bimbang.

Ah, betapa pahit semua kenyataan itu. Lin Lin adalah seorang wanita yang di­cintanya, bahkan bukan hanya menjadi kekasih biasa, melainkan menjadi isteri selama sebulan, isteri yang tidak sah! Terpaksa ia harus merenggutkan cinta kasih, merobek hati sendiri demi kedudukan Lin Lin sebagai seorang ratu! Dan terhadap Kiang Liong, biarpun ia tahu bahwa anak itu adalah puteranya sendiri, ia tidak berani mengakuinya dan oleh pemuda itu ia hanya dianggap sebagai guru! Hal ini ia lakukan demi menjaga nama baik Suma Ceng, juga nama baik anak itu sendiri sebagai putera pangeran! Benar-benar ia banyak menderita batin, namun pengorbanan-pengorbanan itu harus ia lakukan demi orang-orang yang ia cinta!

Senja hari di malam tahun baru. Un­tuk kedua kalinya dalam beberapa bulan itu, puncak Cheng-liong-san yang biasanya sunyi sepi itu kini ramai dikunjungi orang. Akan tetapi tidak seperti dahulu pada pertama kalinya, kini kaum sesat dengan pasukan-pasukannya yang datang berbondong-bondong, tidak langsung naik ke puncak, melainkan bergerombol dan ber­kumpul menjadi beberapa kelompok di le­reng gunung. Puncak Cheng-liong-san tetap sunyi. Siapakah berani lancang naik ke puncak sebelum datuk-datuk yang mereka pilih tiba? Hari itu adalah hari penentuan, hari pertemuan para datuk kaum sesat yang dipilih oleh golongan masing-masing untuk menentukan siapa di antara me­reka yang patut dipilih menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat.

Datuk pertama yang muncul di pun­cak adalah seorang yang amat aneh. Dia berjalan seorang diri, mendaki puncak sambil bernyanyi-nyanyi. Nyanyinya amat aneh pula, dengan kata-kata asing yang lucu, sedangkan lagunya juga lucu sekali, sehingga suaranya yang bergema di se­luruh lembah dan terdengar oleh para kaum sesat, membuat mereka terheran-heran dan tersenyum-senyum geli. Suara tinggi kecil seperti suara perempuan. Kalau tidak melihat orangnya, mendengar suaranya tentu orang mengira dia seorang wanita. Akan tetapi ternyata dia itu seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap, dengan tubuh berotot dan sepa­tutnya ia seorang laki-laki yang memiliki tubuh gagah. Wajahnya tampan sekali, dengan hidung yang agak terlalu mancung dan mata yang warna hitamnya tercampur biru, kulitnya putih halus seperti kulit wanita, rambutnya panjang dibiar­kan terurai di belakang punggung. Dan lenggangnya, lenggangnya genit dan lemah-gemulai seperti lenggang seorang wanita berpantat besar yang genit sekali. Bibirnya yang terlalu manis bentuknya untuk seorang pria itu selalu tersenyum-senyum dan bergerak-gerak dibuat-buat agar nampak makin manis. Pakaiannya juga aneh, amat mewah terbuat dari sutera beraneka warna yang halus, leher­nya digantungi kalung permata yang be­sar-besar. Kuku jari-jari tangannya runcing terpelihara dan diberi merah-merah! Inilah dia Bu-tek Siu-lam, datuk yang di­pilih para pengemis untuk menjadi beng­cu. Julukan Siu-lam (Laki-laki Tampan) memang ada benarnya, hanya sayang ketampanannya itu membuat ia menjadi genit seperti perempuan, beraksi seperti perempuan dan tingkah lakunya tiada be­danya dengan seorang wadam (banci). Sebuah gunting besar yang mengkilap putih terselip di pinggangnya.

Setelah tiba di puncak, Bu-tek Siu-lam menghentikan nyanyiannya, meman­dang ke kanan kiri lalu berdongak ke atas. Mulutnya terbuka dan terdengarlah suara suitan yang keras sekali sehingga mengumandang ke seluruh lembah dan lereng gunung. Suitan panjang ini disusul suaranya yang merdu dan kecil namun nyaring sekali.

“Heiiii! Mana dia iblis-iblis palsu dari empat penjuru yang katanya hendak beraksi? Kalau benar bisa menandingi Bu-tek Siu-lam, aku rela menganggapnya se­bagai bengcu dan bersahabat dengannya, hi-hi-hik!” Setelah berkata demikian, Bu-tek Siu-lam yang sukar ditaksir berapa usianya ini berdiri dengan tubuh digerak-gerakan kemayu!

Mendengar suara datuk mereka ini, rombongan pengemis yang dipimpin oleh Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai­-pang mulai berani mendaki puncak, akan tetapi mereka ini pun hanya berkumpul di bawah puncak dari mana mereka da­pat memandang datuk mereka dengan penuh harapan. Di antara kaum sesat yang berkumpul disekitar Pegunungan Cheng-liong-san, terdapat pula puluhan orang yang datang hanya karena tertarik hatinya dan ingin menonton apa sesungguhnya yang menyebabkan banyak sekali orang mendatangi bukit yang sunyi itu. Mereka ini adalah orang-orang petani, beberapa orang pe­lancong dan ada juga beberapa orang kang-ouw yang menjadi ingin tahu sekali. Ketika rombongan pengemis mulai men­daki bukit, orang-orang ini yang tidak tahu akan bahaya dan sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal orang aneh di atas puncak, ikut pula naik untuk menonton.

Kedatangan rombongan bukan penge­mis ini tak terlepas dari pandangan mata Bu-tek Siu-lam yang tajam. Ia segera menghadap ke arah tiga puluh lebih orang-orang yang ingin menonton itu, lalu berkata, suaranya manis sekali terdengarnya, sungguhpun dengan dialek asing.

No comments:

Post a Comment