Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 4c

“Kauseranglah terus, biar aku yang menahannya!” bisiknya kepada Kwi Lan. Pertandingan dilanjutkan dengan hebat dan makin gembiralah hati Pak-kek Sian-ong. Setelah kini dikeroyok dua barulah ia merasa seimbang dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaian. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tadi menjadi lawan Lam-kek Sian-o­ng ini. Bagaimana pemuda ini dapat mengatur sedemikian tepatnya, dengan membagi dua daya tempur mereka? Me­mang sifat ilmu pedang gadis ini liar dan ganas bukan main, serangan-serang­annya kuat, pendeknya letak kelihaian Ilmu pedang ini berada pada daya se­rangnya. Adapun ilmu tongkat pemuda itu lebih mengutamakan pertahanannya sehingga apabila dipergunakan untuk menjaga diri dan mempertahankan, amat­lah tepat. Gembiralah hatinya mengha­dapi serangan-serangan pedang yang de­mikian berbahaya dan menghadapi per­tahanan seperti benteng baja kuatnya dari tongkat pemuda itu. Di lain pihak, dua orang muda itu juga berbesar hati karena begitu mereka berdua bertanding dengan sikap seperti yang dianjurkan Suling Emas tadi, ternyata mereka dapat mengimbangi kelihaian kakek muka putih.

Sementara itu, pertandingan antara Suling Emas dan Lam-kek Sian-ong juga bukan main hebatnya. Setelah beberapa kali hawa pukulan mereka saling bertemu dan membuat keduanya terdarong mundur diam-diam mereka menjadi kaget. Lam-kek Sian-ong selama “dalam hukuman” di lereng Lu-liang-san, bersama Pak-kek Sian-ong memperdalam Ilmu silat mereka dengan maksud menghadapi Bu Kek Sian­su yang sakti. Dapat dimengerti bahwa ilmu kepandaiannya jauh lebih hebat daripada dua puluh tahun yang lalu ke­tika ia bertemu dengan Suling Emas di Khitan. Di jaman itu, hanya beberapa orang saja yang memiliki tingkat kepandaian setinggi Lam-kek Sian-ong. Akan tetapi mengapa orang bertopeng ini mampu menandinginya? Sama sekali ka­kek muka merah ini tidak mengira bahwa yang dihadapinya adalah lawan lama, Suling Emas! Di pihak Suling Emas sendiri juga terheran-heran karena selama ini pun ia memperhebat kepandaian­nya, bahkan ia yakin akan kekuatan sin­kang di dalam tubuhnya. Namun ternyata bertemu dengan kakek muka merah ini, ia hanya dapat mengimbangi kekuatannya. Maka ia lalu merobah gerakannya, hendak mencari kemenangan dengan menggunakan Ilmu silatnya yang ia yakin lebih murni dan lebih banyak ragamnya daripada ilmu silat Lam-kek Sian-ong. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya, mulai “menulis” hurut-huruf mulia di udara. Tampaknya saja seperti menulis huruf, pada hakekatnya semua gerakan itu mengandung hawa serangan yang amat dahsyat sehingga terdengar angin­nya bersiutan, karena Inilah Hong-In-bun-hoat (Silat Huruf Angin dan Awan)! Lam-kek Sian-ong yang merasa tergetar oleh angin pukulan gerakan tangan lawan, menjadi kaget sekali dan berulang-ulang ia mengeluarkan seruan keras.

Pak-kek Sian-ong yang senang gem­bira melayani dua orang muda yang mengeroyoknya terheran-heran mende­ngar seruan kawannya. Seruan-seruan itu menandakan bahwa kawannya kaget dan terheran, menemui lawan berat. Tidak sembarang orang dapat membuat Lam­-kek Sian-ong mengeluarkan seruan-seruan seperti itu. Pak-kek Sian-ong mencari kesempatan, lalu menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa ka­wannya terdesak hebat oleh pengemis berkedok yang gerakannya luar biasa sekali. Ia berseru keras dan kedua le­ngannya lalu ia dorongkan ke depan, ke arah Kwi Lan dan Yu Siang Ki. Karena kakek ini mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya dan sekaligus menyerang me­reka berdua, tentu saja Siang Ki tidak dapat menahan dua serangan ini sekaligus dan terpaksa Kwi Lan menjaga diri de­ngan memutar pedangnya. Namun hebat sekali angin pukulan yang keluar dari dorongan kedua telapak tangan yang ter­buka itu. Betapapun Yu Siang Ki dan Kwi Lan mempertahankan diri, tetap saja mereka terhuyung-huyung ke belakang sampai lima enam langkah! Kesempatan yang memang dicari oleh Si Muka Putih itu lalu dipergunakan sepenuhnya. Bagaikan kilat cepatnya, tubuhnya sudah men­celat ke arah Suling Emas yang sedang berhantam dengan Lam-kek Sian-ong. Gerakan Pak-kek Sian-ong ini luar biasa cepatnya dan tak terduga-duga sama se­kali.

Memang Pak-kek Sian-ong adalah se­orang ahli yang memiliki keistimewaan sebaliknya daripada Lam-kek Sian-ong. Kalau Lam-kek Sian-ong ahli dalam penggunaan tenaga sakti yang ia salurkan menjadi tenaga yang dahsyat, keras dan amat kuat, adalah Pak-kek Sian-ong me­nyalurkan tenaga saktinya menjadi tenaga yang amat halus dan tidak menimbulkan suara. Akan tetapi kekuatannya tidak kalah oleh kakek muka merah, bahkan melebihinya! Demikian pula ketika ia meloncat, tanpa mengeluarkan suara tahu-tahu lengannya sudah menyelonong ke depan dan jari tangan kirinya mencengkeram kepala didahului oleh jari tangan kanan yang menotok ke arah leher!

“Kepandaianmu boleh juga!” Demikian Pak-kek Sian-ong berseru sebagai tanda serangannya.

Suling Emas terkejut sekali. Mengha­dapi seorang di antara dua kakek ini saja, tidak mudah baginya untuk mem­peroleh kemenangan. Kalau ia dikeroyok, hal ini bukan main beratnya. Cepat se­kali ia menendang lengan tangan Lam­-kek Sian-ong yang sudah menyerangnya dan pada detik lain tubuhnya sudah mencelat ke atas. Terpaksa ia akan me­nyambut serangan Pak-kek Sian-ong dari atas itu dengan cara keras melawen keras. Sambil mengerahkan tenaga, ia menangkis totokan pada lehernya dan balas menghantam dada sambil miringkan kepalanya yang dicengkeram.

Cepat sekali gebrakan yang terjadi di udara ini. Terdengar suara “piak-piak!” Dan tubuh Pak-kek Sian-ong terlempar ke belakang dan ketika turun kakek itu terhuyung-huyung dan berseru. “Bagus....!” Di tangannya terdapat sehelai saputangan yang tadi menutupi muka Suling Emas.

Suling Emas kaget dan cepat ia ber­jungkir balik membuat salto sampal lima kali di udara sebelum turun karena ia khawatir akan penyerangan Lam-kek Sian-ong yang tentu akan hebat sekali karena posisi dirinya tidak menguntung­kan. Akan tetapi ketika kedua kakinya turun di atas papan, ia melihat betapa dua orang kakek itu hanya berdiri dan memandangnya dengan mata terbelalak.

“Suling Emas....!” Dua orang kakek itu berseru heran. Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka akan berhadapan dengan Suling Emas di situ. Saking he­ran, sejenak mereka tak dapat bicara. Tadinya Pak-kek Sian-ong yang gagal dalam serangannya dan hanya berhasil merenggut saputangan penutup muka akan tetapi ia sendiri menerima pukulan di pundak yang membuat bagian tubuh itu terasa ngilu, merasa penasaran sekali. Kini, setelah mendapat kenyataan bahwa lawan yang amat tangguh itu adalah Suling Emas, penasarannya hilang, ter­ganti rasa heran.

Bukan hanya kedua orang kakek tua renta ini yang terkejut dan terheran melihat Suling Emas, juga semua orang yang berada di situ. Bermacam perasaan teraduk dalam hati mereka. Ada yang merasa kagum dan girang karena maklum bahwa pendekar sakti yang dicinta kawan ditakuti lawan ini adalah seorang pen­dekar yang sejak dahulu bersahabat de­ngan kaum kai-pang. Ada pula yang ma­rah dan benci karena memang sejak da­hulu mengandung hati dendam kepada Suling Emas, karena Suling Emas adalah putra tunggal Iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu. Sian (baca cerita SULING EMAS) yang melakukan banyak kejahatan sehingga banyak orang kang-ouw mendendam kepadanya. Yang paling gentar adalah kaum sesat yang menyelundup menjadi anggauta kai-pang. Mereka maklum bah­wa bukan saatnya bagi mereka untuk menentang kaum pengemis baju butut setelah Suling Emas berada di situ. Diam-diam para pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang segera pergi dari situ untuk menyelamatkan diri dan hendak melaporkan peristiwa ini kepada junjungan mereka, yaitu Bu-tek Siu-lam.

Sementara itu Suling Emas yang sudah terbuka rahasianya, menarik napas panjang tiga kali, memandang ke sekeli­ling kemudian mengeluarkan sebatang suling dari balik jubahnya. Sambil melin­tangkan suling emasnya di depan dada, ia menatap dua orang kakek itu sambil ber­kata.

“Baiklah, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Agaknya memang Ji-wi paling suka mengacau semenjak dahulu, tetapi jangan mengira aku akan diam saja melihat kalian mengacau Khong­-sim Kai-pang. Aku akan mewakili sahabat baikku Yu Kang Tianglo untuk melindungi kai-pang dari gangguan kalian.” suara ini jelas dikeluarkan dengan halus akan tetapi jelas terdengar oleh semua pengemis yang hadir di situ. Gak-lokai dan Ciam-lokai berdiri bengong, sama sekali tidak mengira bahwa mereka betul­-betul telah salah sangka. Kiranya orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu adalah Suling Emas, pendekar sakti yang namanya menggetarkan Jagad selama puluhan tahun!

Yu Siang Ki berdiri dengan muka pucat. Sama sekali di luar persangkaan­nya bahwa yang memalsukan nama ayahnya adalah Suling Emas, pendekar yang dicari-carinya, pendekar yang dihormati dan dijunjung tinggi selalu oleh ayahnya. Tak salah dugaannya bahwa orang aneh ini memang bermaksud menyelamatkan kai-pang dengan , menggunakan nama ayahnya? Akan tetapi mengapa menggunakan nama ayahnya? Nama Suling Emas sendiri jauh di atas nama Yu Kang Tianglo, jauh lebih terkenal dan ditakuti orang jahat. Mengapa Suling Emas meng­gunakan nama ayahnya yang sudah me­ninggal dunia? Mengapa pula memakai kedok saputangan seperti orang takut dikenal? Mengapa Suling Emas seakan­a-akan hendak menyembunyikan diri? Sa­king heran dan bingungnya, pemuda yang merasa girang di hatinya berdiri memandang dengan bengong.

Kwi Lan memandang dengan sinar mata bercahaya. Ia kagum sekali terha­dap Suling Emas. Kagum menyaksikan sepak terjangnya ketika menghadapi dua orang kakek yang sakti itu, dan terutama kagum sekali setelah kini saputangan itu terbuka. Wajah laki-lakl yang amat gagah dan entah bagaimana, jantungnya berde­bar dan ia merasa tertarik sekali. Kini ia tidak akan sesalkan ibu kandungnya andaikata Ibu kandungnya itu mencinta laki-laki ini! Makin besar keinginan hati­nya untuk bicara dengan Suling Emas, untuk bertanya kepada pendekar ini ten­tang Ratu Yalina di Khitan. Pada saat itu ia melihat Suling Emas sudah mencabut Sulingnya, melihat pula betapa dua orang kakek itu sambil tertawa-tawa girang sudah mencabut pedang mereka, Si Kakek Muka Putih mencabut pedang putih sedangkan kakek muka merah mencabut pedangmerah. Ia maklum betapa lihainya dua orang kakek itu maka tim­bullah kekhawatiran di hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia meloncat maju menghadapi dua orang kakek itu sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung mereka.

“Kalian ini dua orang tua bangka benar-benar tak tahu malu!”

Tidak hanya para pengemis yang ka­get setengah mati, bahkan Suling Emas yang sejak tadi sudah kagum dan heran melihat Ilmu silat gadis ini, sekarang bengong melihat betapa gadis ini berani memaki-maki dua orang kakek sakti itu. Anehnya, dua orang kakek itu hanya ter­senyum lebar dimaki-maki.

“Kalian ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak nakal saja! Lupa lagikah kalian betapa secara pengecut kalian memukul Bu Kek Siansu? Lupa lagikah kalian betapa kalian menangis dan me­nyesali perbuatan, betapa kalian bersum­pah akan mentaati pesan beliau sampai mati? Apakah yang dipesan oleh Bu Kek Siansu?,”

Pak-kek Sian-ong hanya meringis dan menundukkan muka, akan tetapi, Lam­-kek Sian-ong dengan melotot lalu mem­bentak, “Bocah kurang ajar! Siapa bilang kami lupa akan pesan Bu Kek Siansu?”

Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar tajam, bibir yang merah itu terse­nyum mengejek, pedang kayu di tangan masih menuding ke arah hidung Lam-kek Sian-ong, ketika gadis itu berkata nyaring.

“Tidak lupa mungkin sekali, akan te­tapi melanggar sudah jelas! Apa kaukira aku lupa akan pesan itu? Masih terba­yang di depan mataku bagaimana kakek suci itu mengatakannya kepada kalian.” Gadis itu dengan gerakan lincah lalu duduk bersila di atas papan dan berkata lagi, “Dia bersila seperti ini, hanya beda­nya, setelah, menerima pukulan curang dan pengecut kalian, dari mata, hidung, mulut dan telinganya mengalir darah segar. Kemudian ia berkata begini. Kwi Lan duduk bersila setengah memejamkan mata dan meniru lagak dan suara Bu Kek Siansu sedapatnya. “Anak-anak yang baik. Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, Itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling pen­ting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebo­dohannya, sadar insyaf dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidakkah pen­ting lagi. Selamat berpisah.”

Kwi Lan meloncat bangun dan kem­bali menudingkan ujung pedangnya ke arah hidung dua orang kakek itu bergan­ti-ganti. “Nah, betul tidakkah demikian?”

“Memang betul. Nah, bagaimana kau bilang kami melanggarnya? Kami me­mang sudah sadar dan insyaf.” bantah Pak-kek Sian-ong.

“Wah, kalian tebal muka benar-benar! Kalian datang mengacau di sini masih bilang sadar dan insyaf? Bukankah per­buatan kalian hari ini merupakan pelanggaran sumpah itu? Bukankah kalian kembali menggunakan kepandaian untuk ber­buat jahat dan mengacau?”

“Tidak! Jembel-jembel busuk ini jahat, dan menyeleweng, saling memperebutkan kedudukan, sudah sepatutnya dihajar! Kalau kami yang menjadi raja jembel dan memimpin para jembel busuk ini ke jalan benar, bukankah itu merupakan perbuatan baik?” Lam-kek Sian-ong membantah.

“Tak tahu malu!” Kwi Lan kembali memaki. “Yu Siang Ki ini adalah putera Yu Kang Tianglo dan Suling Emas itu adalah sahabat baik mendiang Yu Kang Tianglo. Dengan cara masing-masing, mereka hendak menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari penyelundupan orang­-orang sesat. Kalau kalian membantu mereka dan membasmi kaum sesat, itu barulah benar namanya. Akan tetapi kalian memusuhi orang-orang gagah Khong-sim Kai-pang, bukankah itu berar­ti kalian lebih sesat daripada kaum se­sat? Baiklah, kalau aku bertemu dengan Bu Kek Siansu, hendak kulaporkan hal ini, minta bagaimana pendapat orang tua suci itu dan hendak kulihat kelak bagai­mana kalian masih mempunyai muka untuk bertemu dengan beliau!”

Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong saling pandang dengan muka berubah. Ucapan gadis itu amat berkesan di hati mereka. Akhirnya mereka merasa ngeri juga kalau sampai Bu Kek Siansu men­dengar tentang sepak terjang mereka yang mengacau Khong-sim Kai-pang. Apa lagi setelah mereka melihat Suling Emas berada di situ. Mereka tahu bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar yang di­kasihi Bu Kek Siansu.

“Sudahlah, kami mengaku salah, Nona. Jangan kaubilang apa-apa kepada Bu Kek Siansu orang tua itu. Akan tetapi kesa­lahan kami tidak sengaja. Kami memang tidak tahu akan urusan kaum jembel ini. Nah mana sekarang golongan jembel sesat? Biar merasa kerasnya kepalan kami!” kata Lam-kek Sian-ong.

“Dasar kalian, tua bangka-tua bangka bodoh! Sudah jelas yang menyeleweng adalah Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Mereka ini sudah pergi jauh, andaikata kalian mengejar juga, kalau kalian nanti bertemu dengan datuk me­reka yang bernama Bu-tek Siu-lam, ka­lian tentu akan lari terbirit-birit keta­kutan!”

“Heh, kaulihat saja!” bentak Pak-kek Sian-ong marah. “Hayo, Ang-bin Siauwte, kita kejar mereka!” Dua orang kakek itu lalu meloncat turun dari panggung dan secepat terbang, mereka pergi. Dari jauh terdengar suara Lam-kek Sian-ong.

“Suling Emas, Lain kali kami akan mencarimu untuk menentukan siapa diantara kita yang lebih unggul!”

Suling Emas hanya tersenyum pahit dan tidak menjawab. Pada saat itu, se­telah para pengacau pergi, kembali Su­ling Emas yang menjadi pusat perhatian.

Keadaan masih tetap tegang karena hal­-hal dan perubahan-perubahan baru yang mereka dengar dan hadapi ini tidak kalah gawat dan menegangkan daripada tadi. Orang yang mereka anggap Yu Kang Tianglo tadi ternyata bukan Yu Kang Tianglo! Ini sudah hebat, akan tetapi lebih hebat lagi, orang itu ternyata Suling Emas. Lalu muncul pengemis muda lihai yang menurut keterangan Si Gadis jelita adalah putera Yu Kang Tianglo. Semua pengemis menjadi bingung dengan adanya perubahan-perubahan hebat yang amat cepat terjadi di depan mata mereka. Akan tetapi karena maklum akan lihainya tiga orang yang kini berada di atas panggung itu, mereka tidak berani apa-apa. Juga jelas bahwa dalam sepak terjang mereka tadi, mereka membantu Khong-sim Kai-pang.

Suling Emas yang kini tidak menutupi muka dengan saputangannya lagi, berdiri di atas panggung berhadapan dengan Yu Siang Ki dan Kwi Lan. Mereka bertemu pandang untuk beberapa lamanya. Ke­mudian tanpa ragu-ragu lagi Siang Ki maju ke depan dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suling Emas.

“Paman, besar sekali hati saya dapat berjumpa dengan Paman yang memang saya cari-cari, dan lebih bahagia lagi hati saya menyaksikan betapa Paman telah melindungi Khong-sim Kai-pang dari orang-orang jahat. Nama saya Yu Siang Ki. Yu Kang Tianglo adalah men­diang Ayah saya. Sebelum meninggal dunia, Ayah saya meninggalkan pesan kepada saya untuk membela Khong-sim Kai-pang daripada pengaruh kaum sesat dan untuk usaha itu, kalau saya menemui kesulitan menghadapi orang jahat yang lihai, saya diharuskan mencari Paman dan mohon pertolongan Paman. Siapa kira dapat berjumpa di sini, harap Paman menerima hormat saya.”

Suling Emas tersenyum dan girang sekali hatinya. Dengan munculnya pemu­da yang menjadi putera Yu Kang Tianglo, akan terbebaslah ia daripada tugas melindungi Khong-sim Kai-pang. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian pemuda ini dan agaknya pemuda ini sudah mewarisi kepandaian ayahnya. Melihat betapa pe­muda ini secara gagah berani turun ta­ngan menghadapi Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang sakti untuk membela Khong-sim Kai-pang, ia maklum pula bahwa pemuda ini setia dan mencin­ta perkumpulan pengemis yang dulu di­bangun oleh kakeknya, maka dapat diha­rapkan pemuda ini menggantikan Yu Kang Tianglo menjadi ketua perkumpulan ini.

No comments:

Post a Comment