Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 4f

“Siapakah jago kalian? Mana dia? Suruh dia naik ke sini!”

Akan tetapi tentu saja puluhan orang itu tidak ada yang mengerti apa yang dimaksudkannya karena mereka itu bukan rombongan tertentu, dan sama sekali tidak punya jago. Karena tidak ada yang menjawabnya, Bu-tek Siu-lam diam-diam menjadi marah, menganggap mereka itu tidak sopan dan tidak menghormati­nya. Tiba-tiba ia tertawa dan tahu-tahu tubuhnya yang tinggi itu sudah melayang turun dari puncak, tiba di antara puluhan orang yang menonton itu. Para penonton ini tidak menyangka buruk, bahkan menjadi girang dapat melihat orang aneh itu dari dekat. Mereka tersenyum-senyum kepada Bu-tek Siu-lam karena orang aneh yang tampan dan genit ini pun tertawa­-tawa.

Akan tetapi secara mendadak suara ketawa mereka terhenti ketika Bu-tek Siu-lam menangkap seorang di antara mereka yang terdekat, menangkap gelung rambut orang itu, seorang laki-laki ber­usia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Sekali sambar dengan tangan kanan, laki-laki itu dijam­bak rambutnya dan digantung. Laki-laki itu terkejut dan berteriak kesakitan.

“Hi-hik, inikah jago kalian? Atau ada yang lain lagi?” Bu-tek Siu-lam bertanya sambil tertawa-tawa dan mengangkat-angkat tubuh yang tergantung di tangan kanannya itu. Karena kesakitan, orang itu menjadi marah sekali. Betapapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang kuat dan pernah belajar silat, maka ten­tu saja tidak mau dihina oleh orang aneh ini.

“Bedebah! Lepaskan aku!” teriaknya dan tangan kirinya menghantam ke arah dada Bu-tek Siu-lam.

“Crakkk!”

Laki-laki itu menjerit dan darah me­nyembur dari lengan kirinya yang sudah buntung sebatas siku karena pukulannya tadi ditangkis dengan guntingan, dilaku­kan oleh tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang entah kapan sudah mencabut guntingnya! Saking sakitnya, Laki-laki itu meronta-ronta dan menjadi nekat, menggunakan tangan kanan dan kedua kakinya meng­hantam dan menendang agar terlepas dari cengkeraman orang aneh itu.

“Crak-crak-crak!”

Sungguh hebat pemandangan itu. Me­ngerikan sekali! Laki-laki yang tergan­tung itu kini buntung semua lengan dan kakinya! Darah bercucuran dan Laki-laki itu matanya mendelik, mukanya pucat tak berdarah lagi, agaknya sudah tewas di saat itu juga, atau pingsan! Kejadian ini membuat para penonton menjadi pa­nik, ada yang lari, ada yang jatuh ba­ngun, ada pula yang seketika menjadi lumpuh tak dapat lari saking takutnya.

“Hayo mana jagomu. Inikah? Crak­-crak! Atau ini? Crak-crak-crak!” Sambil tertawa-tawa Bu-tek Siu-lam mengerja­kan guntingnya setelah melemparkan korban pertama ke atas tanah. Ia tidak menggunting badan atau leher, melainkan kaki dan tangan sehingga sebentar saja belasan orang sudah bergelimpangan dengan kaki tangan buntung! Darah mem­banjir dan mereka yang menjadi korban kebiadaban ini berkelojotan dan mati karena kehabisan darah!

“Heeii, anak-anakku semua kaum kai­-pang! Lihat, beginilah akan kuperlakukan terhadap musuh-musuh kita kalau aku menjadi Bengcu!”

Para pengemis itu biarpun tadinya merasa ngeri menyaksikan kekejaman yang luar biasa itu, namun karena me­reka sendiri adalah golongan kaum sesat yang berwatak kejam dan senang melihat orang lain bukan golongannya menderita, lalu bersorak girang.

“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”

“Tidak ada yang dapat melawan ke­gagahan Locianpwe!”

Demikianlah teriakan-teriakan mereka dan Bu-tek Siu-lam berdiri sambil tersenyum bangga dan puas. Semen­tara itu sisa para penonton yang panik ­dan ketakutan itu kini melarikan diri ke sebelah barat menjauhi rombongan pengemis yang mendaki puncak dari sebelah timur. Hati mereka lega karena orang aneh kejam itu tidak mengejar mereka, agaknya Bu-tek Siu-lam yang sudah membunuh belasan orang untuk mendemonstrasikan kepandaian dan kekejamannya telah puas.

Di antara rombongan pengemis itu ­terdapat seorang pengemis tua yang terkenal dengan julukan Tiat-ciang Lo-kai (Pengemis Tua Tangan Besi) dan namanya hanya disebut Hoan-lokai. Dia adalah tokoh pengemis semenjak mudanya, dan ­semenjak dahulu menjadi tokoh Hek-coa Kai-pang. Perkumpulan Hek-coa Kai-pang ini sudah mengalami banyak sekali perubahan, dari pimpinan prang baik-baik sampai pimpinan orang-orang sesat. Akan tetapi Hoan-lokai tidak pernah ambil peduli, selalu dia setia kepada Hek-coa kai-pang. Hal ini adalah karena Hoan-lokai mempunyai penyakit pikun dan tak mau tahu akan segala urusan. Pendeknya, ia hanya tahu bahwa ia harus setia terhadap perkumpulannya yang didirikan oleh seorang pamannya dahulu. Begitu bodoh dan tidak normal pikiran Hoan-lokai ini sehingga ia tidak tahu lagi apakah perkumpulannya berada di tangan pimpinan baik-baik atau sesat. Kali ini ia pun ikut rombongan hanya untuk menonton dan sama sekali tidak tahu macam apa orang yang dipilih perkumpulannya sebagai bengcu. Maka tadi pun ia hanya ikut bergerak kalau rombongannya bergerak.

Akan tetapi, begitu menyaksikan kekejaman yang amat luar biasa dan di luar batas perikemanusiaan ini, semangatnya tergugah dan kemarah­annya membuat mukanya merah dan matanya melotot. Apalagi ketika melihat betapa para pengemis yang menjadi anggauta-anggauta perkumpulannya kini sambil tersenyum-senyum memuji orang kejam aneh itu mulai menyeret mayat-mayat yang bergelimpangan dan melem­parkan mayat-mayat itu ke dalam jurang atas perintah Bu-tek Siu-lam, ia menjadi makin penasaran. Kalau ia melihat anak buah merampok atau memeras, ia masih tidak peduli karena betapapun juga yang dirampok dan diperas tentulah orang yang kaya. Akan tetapi menyaksikan pembunuhan-pembunuhan tanpa alasan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, benar-benar ini menembus kebodohannya dan membuat hatinya memberontak.

“Hei, kau ini mengapa begini kejam seperti iblis?” bentaknya sambil meloncat maju ke depan Bu-tek Siu-lam.

“Hoan-lokai, jangan sembrono....!”

“Hoan-lokai, jangan kurang ajar ter­hadap calon bengcu....!”

Teriakan-teriakan peringatan para pimpinan Hek-coa Kai-pang ini tidak dipedulikan oleh Hoan-lokai yang sudah menjadi marah sekali. Ia sudah meloncat naik ke bagian paling atas dari puncak itu, berhadapan dengan Bu-tek Siu-lam. Ketika semua orang memandang dan melihat betapa kedua tangan pengemis ini berubah menjadi hijau, mereka ter­kejut dan mengeluarkan teriakan kaget. Warna hijau pada kedua tangan ini men­jadi tanda bahwa Tiat-ciang Lo-kai ini sudah mengerahkan semua tenaga Tiat-ciang pada kedua tangan! Jarang sekali kakek itu menggunakan ilmunya dan biarpun semua orang tahu akankeampuhan kedua tangannya, namun belum pernah mereka melihat Hoan-lokai mengerahkan tenaga Tiat-ciang sampai kedua tangan menjadi hijau! Kini tak seorang pun mengeluarkan suara, hanya memandang ke atas puncak dengan muka pucat dan mata terbelalak. Betapapun juga, kejadi­an ini menegangkan hati dan menyenang­kan, karena mereka mendapat kesempat­an untuk menyaksikan kelihaian orang yang hendak mereka angkat menjadi bengcu itu. Tentang keselamatan Hoan­-lokai, siapa peduli? Kakek ini biarpun memiliki ilmu tinggi, namun bodoh dan tidak tahu urusan. Kematiannya pun tak­kan merugikan siapa-siapa.

Sementara itu, ketika Bu-tek Siu-lam melihat majunya seorang pengemis tua bermuka jelek yang kedua tangannya hijau, ia hanya tertawa dan menyelipkan guntingnya di pinggang. Ia tahu akan sikap kakek pengemis itu yang marah, dan tahu pula bahwa kedua tangan yang hijau itu mengandung tenaga mujijat, namun Bu-tek Siu-lam agaknya sama sekali tidak memandang mata.

“Kau mau apa?” tanya Bu-tek Siu­lam dengan sikap angkuh sambil meman­dang pengemis itu dengan kepala dimiringkan.

“Kau ini manusia apakah iblis? Kalau manusia, mengapa kau membunuhi orang sekejam itu tanpa alasan?” tanya Hoan-lokai dengan muka merah dan mata me­lotot.

Bu-tek Siu-lam tertawa terbahak-bahak. Kepalanya mendongak ke atas dan ia sama sekali tidak peduli lagi bah­wa kakek pengemis itu sudah melangkah maju dengan sikap mengancam sekali. Kemudian tanpa memberi peringatan lagi karena marahnya melihat sikap orang aneh itu yang amat sombong, Hoan-lokai sudah menggerakkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Bu-tek Siu­lam. Pukulan ini keras sekali, sesuai dengan sifat ilmu pukulan Tiat-ciang-kang. Dengan ilmu pukulan seperti ini, pengemis tua itu sanggup memukul han­cur sepotong batu, karena tangannya seperti besi saja keras dan kuatnya.

Namun bagi seorang tokoh besar se­perti Bu-tek Siu-lam, tentu saja kepan­daian seperti ini tidak ada artinya sama sekali, termasuk kepandaian luar yang kasar. Ilmu Tiat-ciang atau semacam Tiat-see-ciang adalah ilmu gwa-kang atau ilmu luar yang dikuasai seseorang hanya dengan latihan-latihan berat mempergu­nakan kekuatan kulit daging, maka bagi seorang berilmu seperti Bu-tek Siu-lam, pukulan itu hanya keras dan kuat saja, sama sekali tidak mengandung hawa sakti yang boleh dipandang. Tingkat Bu-tek Siu-lam jauh lebih tinggi karena tokoh ini sudah tidak lagi memhutuhkan tenaga kasar untuk mempergunakar, kepandaian­nya. Seseorang yang sudah menguasai ilmu silat tinggi, tidak lagi membutuhkan bantuan tenaga kasar, melainkan lebih mengandalkan hawa sakti dari dalam tubuhnya untuk dipergunakan secara te­pat. Seorang ahli ilmu silat tinggi men­dasarkan tenaga dalam yang sifatnya lunak dan lembut, seperti pasir atau tanah seperti air, atau lunak ulet seperti karet. Kalau seorang yang mengandalkan tenaga kasar menggunakan tenaganya seperti besi sifatnya, apakah yang dapat ia lakukan terhadap sifat lunak dan lemas itu? Besi dapat menghancurkan batu atau benda-benda lain karena keras bertemu keras, akan tetapi kalau besi dipukulkan karet, takkan ada artinya bahkan me­mukul diri sendiri, kalau dihantam­kan pasir, tanah atau air yang tak me­lawan, akan lenyap dan tenaga pukulan­nya akan tersedot tanpa guna.

“Wuuuuttt.... desss!” Pukulan tangan Tiat-ciang yang dilancarkan Hoan-lokai itu tepat sekali mengenai perut Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Hoan-lokai ketika ia merasa betapa tangannya itu amblas atau tenggelam ke dalam perut, sama sekali tidak menemui perlawanan seperti orang memukul kapas. Namun Hoan-lokai ada­lah seorang ahli silat yang sudah banyak pengalaman. Ia segera maklum bahwa orang aneh kejam seperti iblis ini adalah seorang ahli Iwee-keh (tenaga dalam), maka ia cepat-cepat menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah dada.

“Wuuuuttt.... dukkk!” Kali ini dada itu dibusungkan penuh hawa sakti sehingga pukulan tangan kiri Hoan-lokai seperti memukul karet dan membalik. Untung bahwa Hoan-lokai tadi menggunakan sia­sat, hanya menggunakan setengah tenaga­nya, sedangkan tenaga setengahnya lagi ia pergunakan untuk mencabut lengan kanan yang “menancap” ke dalamperut. Ia berhasil dan tubuhnya terhuyung ke belakang.

“Ha-ha-hi-hi-he-hehh....!” Bu-tek Siu-lam tertawa, suara ketawanya genit se­kali, berirama dan berlagu seperti orang bernyanyi! “Jembel busuk, apakah kau hendak memberontak? Teman-temanmu mengangkatku sebagai Bengcu, kenapa engkau sendiri hendak melawan aku?”

“Manusia iblis! Kau bukan manusia, engkau setan. Engkau akan menyeret Hek-coa Kai-pang ke dalam neraka!”

Dengan kemarahan meluap, Hoan-lokai sudah menerjang maju lagi. Di tangan kanannya tampak seekor ular hitam yang panjangnya semeter lebih. Ular itu mendesis-desis dan kepalanya menyambar, mendahului tangan Hoan-lokai, ke arah leher Bu-tek Siu-lam. Namun tokoh aneh itu hanya tersenyum dan sekali dua jari tangan kirinya me­nyambar ke depan, leher ular itu telah putus karena telah digunting kedua buah jari tangannya tadi!

Hoan-lokai melempar bangkai ular hitamnya dan hatinya marah bercampur duka. Ular hitam itu bukan sembarang ular, melainkan binatang peliharaannya. Sesuai dengan nama perkumpulan Hek­-coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam), maka semenjak dahulu para pemimpinnya tentu memelihara ular hitam yang mempunyai dua kegunaan. Pertama adalah dipelihara untuk diambil racunnya yang dapat dicampur dengan obat penguat tubuh, kedua kalinya di waktu amat perlu dapat dipakai sebagai senjata yang ampuh karena ular hitam ini beracun. Kini ular yang sudah dipeli­haranya bertahun-tahun itu demikian mu­dah terbunuh! Sambil memekik keras Hoan-lokai lalu menerjang maju dan kali ini kedua kepalan tangannya secara ber­bareng, dengan pengerahan tenaga Tiat-ciang-kang sekuatnya, menghantam perut.

“Wuuuttt.... ceppp....!”

Dua buah kepalan tangan Hoan-lokai masuk ke perut karena sama sekali tidak dielakkan oleh Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi segera kakek pengemis itu me­ronta-ronta dan mukanya menjadi pucat sekali, keringatnya keluar memenuhi muka yang berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri yang hebat. Kedua kepalan tangannya yang masuk ke dalam perut lawan itu seperti dibakar api panasnya. Rasa panas menjalar melalui lengan terus ke seluruh tubuh. Ia berusaha untuk meronta, mengerahkan seluruh tenaga untuk mencabut keluar kedua tangannya, namun sia-sia belaka. Bu-tek Siu-lam hanya tertawa, suara ke­tawanya lucu menyeramkan.

“Pergilah!” bentaknya nyaring dan tubuh Hoan-lokai terdorong ke belakang ketika Bu-tek Siu-lam mengerahkan te­naga. Akan tetapi sebelum tangannya terlepas dari “cengkeraman” perut, ter­lebih dahulu terdengar suara “pletok-pletok!” dua kali dan ketika kedua ta­ngan itu sudah bebas, ternyata tulang-tulang tangannya sudah remuk dan patah-patah! Kedua lengan itu tergantung lumpuh dan rasa nyeri menusuk sampai ke jantung dan tulang sumsum.

Muka Hoan-lokai menyeramkan sekali. Rasa nyeri membuat mukanya pucat pe­nuh keringat, dan garis-garis keriputnya makin dalam, matanya merah dan basah, mulutnya menyeringai. Dia memang se­orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kecerdikannya kurang, maka Hoan-lokai tak dapat sadar bahwa kini ia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya. Saking hebat­nya rasa sakit yang dideritanya, ia men­jadi makin marah dan nekat. Dengan pekik yang menyeramkan ia lalu menerjang maju lagi, kedua lengannya ber­gantungan lumpuh, dan kini ia menyerang dengan menggunakan kepalanya! Seruduk­an seperti ini sama sekali tak boleh dipandang ringan karena dengan kepala­nya, Hoan-lokai sanggup menyeruduk roboh sebuah dinding tembok yang kuat!

Akan tetapi Bu-tek Siu-lam hanya berdiri dengan tegak sambil tertawa ha­-ha-hi-hi, memasang perutnya yang se­ngaja ia busungkan untuk diseruduk lawan. Tak dapat dihindarkan lagi tubrukan antara kepala dan perut itu.

“Suppp!” Kepala itu dengan tepat menghantam perut dan tiba-tiba perut yang tadinya membusung itu serentak

mengempis sehingga kepala Hoan-lokai tersedot masuk ke rongga perut! Aneh sekali kejadian ini. Kepala menancap di perut sampai dalam sehingga mata dan hidung Hoan-lokai tak tampak, hanya mulutnya yang tampak menggigit-gigit bibir seperti menahan kesakitan hebat. Kedua lengan yang tangannya remuk itu bergerak-gerak seperti meronta, demikian pula kedua kakinya menendang-nendang tanah di bawahnya. Biarpun semua orang yang hadir belum pernah menyaksikan ilmu yang sehebat itu, yaitu mengguna­kan perut menangkap kepala orang, namun semua sudah dapat menduga be­tapa kepala Hoan-lokai, seperti kedua tangannya tadi, akan menjadi remuk ter­gencet!

Pada saat itu, dari bawah puncak gunung terdengar suara orang tertawa, suara ketawanya keras sekali dan ter­bahak-bahak terpingkal-pingkal seakan-akan orang itu melihat sesuatu yang amat lucu. Terdengar lucu sekali, akan tetapi semua pengemis yang berkumpul di dekat puncak menjadi kaget dan ber­diri bulu tengkuk mereka karena suara ketawa ini bergema di empat penjuru dan mendatangkan hawa dingin yang membuat jantung seakan-akan berhenti berdetik. Mereka saling pandang dengan melongo. Belum lenyap suara gema ketawa itu, tiba-tiba muncul orangnya. Amat tidak patut dengan suara ketawa­nya. Kalau suara ketawanya besar dan dalam, panjang dan bergema, sepatutnya suara seorang raksasa tinggi besar, orang­nya ternyata biasa saja, bahkan kurang daripada ukuran biasa. Kecil kurus, se­demikian kurusnya seperti cecak kering, tinggal kulit membungkus tulang-tulang yang kecil, sudah amat tua sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya hanya sedikit di atas kepalanya yang kecil, alisnya tebal panjang menutupi matanya yang hanya tampak sebagai dua bayangan hitam. Namun kumisnya yang melintang di tengah muka yang sempit itu amat panjang. Punggungnya dilingkari sabuk yang aneh dan lucu pula karena

sabuk itu penuh dengan dompet-dompet kecil berjajar di sekeliling perutnya. Di punggungnya tampak sebuah bambu yang panjangnya dua kaki, diikat di punggung dengan tali. Bajunya berlengan pendek sebatas pangkal lengan, celananya pan­jang kakinya telanjang. Benar-benar se­orang yang aneh dan lucu sekali. Apalagi kalau orang melihat mukanya, muka yang kelihatan serius dan galak, pantasnya ia pemarah sehingga sama sekali tidak cocok dengan suara ketawa terkekeh-kekeh yang keluar dari mulutnya sedang­kan mulut itu sendiri tidak tertawa!

Berbareng dengan munculnya kakek yang aneh ini, dari bawah puncak muncul pula serombongan orang yang beraneka macam bentuk dan pakaiannya, akan tetapi sebuah bendera yang dipegang oleh seorang di antara mereka bertuliskan huruf Thian-liong-pang dengan gambar seekor liong (naga). Kiranya rombongan itu adalah rombongan perkumpulan Thian­liong-pang yang sudah kita kenal, yaitu perkumpulan yang diselewengkan oleh Sin-seng Losu dan dua belas orang murid-muridnya, yaitu yang terkenal dengan julukan Dua Belas Ekor Naga! Melihat rombongan ini, mudahlah diduga sekarang siapa adanya kakek kecil kurus yang aneh itu. Dia bukan lain adalah Siauw­ bin Lo-mo (Iblis Tua Muka Tertawa)! Siauw-bin Lo-mo yang belum lama ini menggemparkan dunia persilatan. Sebe­tulnya, julukannya Iblis Tua Muka Ter­tawa kurang tepat karena biarpun suaranya kalau tertawa seperti orang terping­kal-pingkal, akan tetapi mukanya sama sekali tak pernah memperlihatkan senyum sedikit pun, apalagi ketawa!

Kedua kaki orang aneh ini tidak tam­pak bergerak, akan tetapi tahu-tahu ia sudah berada di depan Bu-tek Siu-lam, yaitu di belakang tubuh Hoan-lokai yang kepalanya masih “menancap” dalam perut Bu-tek Siu-lam. Melihat datangnya orang kate kecil ini, Bu-tek Siu-lam sama se­kali tidak memandang mata dan ia masih tersenyum-senyum bangga sedangkan kedua kaki Hoan-lokai masih berkelojotan dalam usahanya membebaskan kepalanya dari perut lawan. Kepalanya terasa makin panas seperti akan meledak dan sakitnya tak dapat diceritakan lagi sa­king hebatnya.

“Huah-hah-heh-heh-heh!” Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak tanpa mengge­rakkan bibir atau membuka mulut. Suara ketawa itu seperti keluar dari dalam perutnya yang kecil! “Gunung di barat takkan dapat berjumpa dengan laut di selatan akan tetapi setan dari barat hari ini bertemu dengan iblis dari selatan. Huah-hah-hah-hah! Aku mendengar kau yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, jangan kau bermain-main seorang diri!” Setelah ber­kata demikian, kaki kiri Siauw-bin Lo mo diangkat dan ditendangkan ke arah pantat Hoan-lokai.

“Bukkk!” Tendangan ini kelihatannya hanya tendangan biasa saja, akan tetapi kelirulah kalau orang mengira demikian, karena tendangan kaki telanjang yang kecil itu mengandung tenaga sakti yang hebat sehingga Hoan-lokai yang ditendang pantatnya itu tiba-tiba merasa betapa serangkum tenaga yang berhawa panas memasuki tubuhnya dan berkumpul di pusar. Sebagai seorang ahli silat tinggi tentu saja Hoan-lokai maklum bahwa ada orang yang membantunya, maka cepat ia mengerahkan tenaga panas itu dari pusar terus ke atas, keluar dari kepalanya untuk melawan gencatan perut Bu-tek Siu-lam yang hebat.

Kaget sekali Bu-tek Siu-lam. Hawa panas yang keluar dari kepala Hoan-lokai itu amat hebat dan kalau ia melawannya keras sama keras, dia terancam bahaya karena perut merupakan bagian tubuh yang lemah dan gawat. Kalau sampai sebuah di antara isi perutnya terluka, hebatlah akibatnya. Tentu saja ia tidak mau mengambil resiko berat ini dan sambil berseru keras ia membusungkan perutnya sehingga tubuh Hoan-lokai bagai­kan sebuah peluru meluncur ke arah manusia kate yang lihai itu.

Sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lo­mo menggerakkan tangan kirinya dan sekali tangan ini bergerak entah bagai­mana, tubuh Hoan-lokai yang menyambar ke arahnya itu tiba-tiba membalik dan kini dengan kecepatan yang tak kalah besarnya meluncur dan menyambar kembali ke arah Bu-tek Siu-lam! Kiranya sekarang ternyata bahwa Si Kecil ini sama sekali tidak bermaksud menolong Hoan-lokai, melainkan tadi melalui tubuh Hoan-lokai hendak mencoba-coba kepan­daian Si Iblis Banci! Kasihan sekali nasib Hoan-lokai. Dia boleh jadi tergolong se­orang tokoh yang berkepandaian tinggi di antara para anggauta Hek-coa Kai-pang, akan tetapi di tangan dua orang aneh ini, ia seolah-olah menjadi seekor kelinci di antara dua ekor harimau buas! Sama sekali tidak berdaya dan kepalanya pening pandang matanya berkunang-kunang ketika tubuhnya kini menjadi semacam bola yang ditendang pergi datang oleh hawa pukulan kedua orang aneh itu. Tanpa menyentuh tubuhnya, dua orang aneh itu hanya dengan

No comments:

Post a Comment