Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 4g

mereka dengan tubuh di­putar dan kepala dipalingkan ke arah mereka. Melihat muka wanita itu, empat orang tokoh besar itu kaget dan heran. Tubuh wanita itu padat dan indah ben­tuknya, pakaiannya indah, akan tetapi kepala wanita itu tertutup kerudung! Biarpun kerudung itu tipis dan memba­yangkan sebuah muka yang cantik, namun tetap saja menyeramkan dan menimbul­kan bayang-bayang gelap pada muka, terutama pada kedua matanya sehingga sepasang mata itu tampak hitam dan hanya kelihatan kilauan seperti titik api bersinar-sinar! Kedua tangan yang berkulit putih halus dan berbentuk kecil itu mempunyai jari-jari mungil, akan tetapi se­mua jari-jarinya berkuku panjang dan hitam mengkilap!

Empat orang laki-laki tua itu adalah empat tokoh besar yang hampir dapat dikatakan belum pernah bertemu tanding. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat percaya akan ketangguh­an sendiri sehingga mereka menjadi ang­kuh dan sombong. Mereka belum pernah bertemu dengan wanita ini, bahkan belum pernah mereka mendengar di dunia kang-ouw terdapat tokoh wanita berkerudung seperti ini. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat menduga bahwa wanita yang dapat muncul seaneh itu dan mengeluarkan lengking seperti tadi tentu memiliki kepandaian yang tak boleh di­pandang ringan, akan tetapi mereka sama sekali tidak takut. Terutama sekali Pak-sin-ong yang berwatak angkuh. Ia men­jadi marah sekali melihat datangnya orang tak ternama yang berani meng­ganggu mereka berempat.

“Hemm, biar kubuka kedok perempuan itu, siapa gerangan dia berani ber­sikap kurang ajar!” Tangan kirinya berge­rak dan sinar putih menyambar ke arah kepala wanita yang berkerudung itu.

Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong ini memang mempunyai semacam hobby, yaitu memancing ikan! Hal ini bukan aneh atau lucu karena memang meman­cing ikan merupakan kesenangan banyak orang sejak jaman dahulu sampai seka­rang, terutama sekali orang-orang tua. Akan tetapi bagi Pak-sin-ong, alat pan­cing dan talinya bukan hanya untuk me­mancing ikan, melainkan ia manfaatkan menjadi senjata yang amatampuh. Ia menciptakan ilmu silat yang Khas dengan tali dan pancing ini sehingga di samping gergajinya, senjata pancing ini amatlah berbahaya karena dapat dipergunakan untuk menyerang dari jarak jauh dengan tali yang panjang itu.

Ketika Pak-sin-ong menggerakkan tangan kirinya, pancing itu meluncur merupakan sinar putih, menyambar ke arah muka wanita itu dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata biasa. Namun wanita itu yang ha­nya dapat melihat datangnya serangan ini dari lirikan mata karena mukanya hanya menoleh sedikit, agaknya tidak melihat datangnya pancing yang hendak mengait dan marenggut kerudung yang menutupi mukanya. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kanannya ke atas dekat pipinya dan pada saat pancing itu hampir menyentuh kerudung, ia menggerakkan te­lunjuknya menyentil dengan kuku te­lunjuk.

“Cringg....!”

Sinar putih itu mencelat kembali dan kini pancing menyerang berbalik ke arah pemiliknya. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget akan tetapi dengan menarik talinya ia dapat menghindarkan diri dengan mudah.

“Huh, tua-tua bangka sombong yang tak memandang mata lain orang. Kalian lihat, apakah aku tak cukup pantas untuk menghadiri pertemuan puncak ini!” terdengar suara wanita itu. Suaranya halus merdu, akan tetapi amat dingin. Kedua tangannya bergerak ke depan menceng­keram daun-daun pohon. Daun-daun kecil memenuhi kedua tangannya dan sekali wanita itu mengeluarkan suara meleng­king panjang sambil menggerakkan kedua tangan, daun-daun kecil itu melayang turun seperti tawon-tawon kecil me­nyambar ke arah empat orang itu. Bah­kan sebagian terbang lebih jauh lagi, menyambar ke arah beberapa orang pim­pinan rombongan pengemis dan rombong­an Thian-liong-pang serta rombongan orang-orang Khitan yang tadi berani keluar dari tempat persembunyian untuk menonton datuk-datuk mereka mengadu ilmu.

Melihat datangnya daun-daun ini, empat orang berilmu itu terkejut. Itulah tenaga sinkang yang sudah tinggi sekali!

Dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia bukanlah ilmu yang aneh atau patut dipuji karena dapat dilakukan oleh ahli-ahli rendahan, akan tetapi da­pat melontarkannya sehingga daun-daun itu hanya melayang-layang seolah-olah tidak bertenaga padahal mengandung tenaga yang dahsyat, hanya dapat dilaku­kan oleh ahli-ahli yang sudah amat tinggi ilmunya Karena maklum akan bahayanya daun-daun kecil itu, apalagi mereka se­bagai orang-orang pandai melihat sinar hitam pada daun-daun itu, tanda bahwa ada racunnya, keempat orang itu cepat menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga sinkang memukul ke arah daun-daun yang datang menyambar sehingga daun-daun itu menyeleweng ke samping, namun daun-daun itu tidak terpental jauh sehingga empat orang itu makin kagum karena hal ini berarti bahwa daun-daun itu digerakkan dengan tenaga sinkang yang amat kuat.

Jerit-jerit mengerikan membuat em­pat orang tokoh itu semakin kaget lagi. Ketika mereka berempat memandang, ternyata beberapa orang dari tiga go­longan tadi telah roboh berkelojotan dan seluruh tubuh mereka berubah hitam.

Beberapa helai daun menempel pada muka dan leher mereka. Empat orang pengemis, tiga orang anggauta Thian-liong-pang, dan lima orang Khitan yang roboh terkena sambaran daun-daun ter­bang dan berkelojotan dalam keadaansekarat!

Setelah kawan-kawan dari beberapa orang yang menjadi korban sambaran daun itu menarik para korban ke tempat tersembunyi, empat orang itu kembali menghadapi wanita aneh dan kini mereka memandang dengan kagum, tidak lagi memandang rendah seperti tadi.

Thai-lek Kauw-ong yang paling suka bertemu dengan lawan tangguh dan menjadi kagum, segera berkata, “Twanio (Nyonya) siapakah, harap turun!” Sambil berkata demikian, raksasa gundul ini lalu menekuk kedua lututnya, berjongkok sambil mengerahkan ilmunya yang hebat, yaitu tenaga Thai-lek yang membuat namanya terkenal. Makin lama perutnya menjadi makin melembung besar sekali seperti hendak pecah. Untung bahwa ia memakai celana yang longgar, demikian pula bajunya. Katau tidak tentu sudah pecah-pecah pakaiannya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan suara di kerong­kongan seperti suara seekor katak jantan dan kedua tangannya mendorong ke arah wanita yang duduk di atas ranting itu.

“Siuuuuutttt.... krakkk.... !” Ranting itu berikut beberapa cabang besar seketika patah dan roboh ke bawah berikut daun-daunnya, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Akan tetapi wanita itu sudah melayang turun dengan loncatan melengkung ke atas sehingga tidak tersentuh hawa pukulan dahsyat itu,

Melihat kehebatan Ilmu Thai-lek-kang ini, tiga orang tokoh yang lain terkejut dan amat kagum. Tak salah lagi, kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, takkan dapat menandingi raksasa gundul yang hebat ini! Juga wanita ber­kerudung itu diam-diam amat kaget karena tak disangkanya bahwa Si Gundul yang wajahnya buruk seperti monyet ini benar-benar amat lihai. Jarak antara kakek gundul dan pohon di mana ia duduk cukup jauh, dari tempat ia duduk tadi tidak kurang dari sepuluh meter jauhnya, namun hawa pukulan itu masih mampu merobohkan cabang-cabang pohon, benar-benar seperti angin taufan! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang sakti, wanita itu lalu mengangguk sedikit dan berkata, suara­nya tetap halus dan merdu namun empat orang laki-laki itu yang mendengarnya, bergidik karena suara itu begitu dingin seperti suara setan dari balik kubur saja.

“Namaku Sian dari Istana Bawah Ta­nah. Baru sekarang keluar dari bumi me­masuki dunia ramai, tertarik hendak melihat macam apa adanya orang yang berani mengangkat diri menjadi Bengcu dari kaum kang-ouw. Siapakah di antara kalian yang menjadi Bengcu? Aku ingin sekali mencoba kepandaiannya!”

Sambil berkata demikian, sepasang mata di balik kerudung hitam itu me­nyambar ke kanan kiri, mata yang liar dan gerakannya cepat, mata orang yang tidak waras otaknya! Bibir itu tampak tersenyum di balik kerudung, manis bukan main, dan harus diakui bahwa wajah di balik kerudung hitam itu cantik jelita dan sukar ditaksir usianya, karena kecantikannya sudah matang, bukan seperti kecantikan seorang gadis remaja. Akan tetapi, bentuk tubuh yang mem­bayang di balik pakaian sutera putih yang tipis itu benar-benar amat indah, tiada ubahnya bentuk tubuh seorang gadis remaja!

Tentu saja empat orang laki-laki tua itu makin terheran-heran dan sejenak mereka saling bertukar pandang. Memang tidak mengherankan kalau mereka belum pernah bertemu atau mendengar tentang wanita ini. Wanita ini bukan lain adalah Kam Sian Eng. Semenjak dua puluh tahun yang lalu wanita ini tak pernah muncul di dunia ramai sehingga tak seorang pun mengenalnya. Apalagi karena ilmu silat yang dimiliki Kam Sian Eng amatlah aneh, campur aduk tidak karuan dan caranya mempelajari kitab-kitab pening­galan iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian juga seenak perutnya sendiri. Seperti tadi saja, sambitan menggunakan daun adalah bukti dari penggunaan te­naga sinkang yang amat tinggi, akan tetapi nyatanya, dia tidak berani mene­rima sambaran hawa pukulan Thai-lek-kang, bahkan ketika meloncat turun ke depan empat orang tokoh itu, oleh mereka yang berpandangan tajam tampak betapa ginkangnya biarpun cukup tinggi namun tidaklah sehebat yang mereka duga dan setidaknya tidaklah lebih tinggi daripada tingkat mereka!

“Huah-hah-hah!” Siauw-bin Lo-mo ter­tawa tanpa menggerakkan bibirnya se­hingga Kam Sian Eng memandang dengan hati terheran-heran. “Sian-Toanio (Nyonya Sian) mengapa masih pura-pura bertanya lagi? Bukankah sudah lama berada di sana tadi mendengar semua persoalan kami? Belum ada ketentuan siapa yang bakal menjadi Bengcu!”

Kam Sian Eng mengangguk. “Hemm, kalian berempat memiliki kepandaian yang boleh juga, dan memang tadi aku sudah mendengar semua. Karena kalian bukan orang-orang sembarangan, aku ber­sedia untuk berkenalan. Aku setuju de­ngan usul Thai-lek Kauw-ong, bukankah kau yang bernama Thai-lek Kauw-ong?” tanya Sian Eng kepada Si Raja Monyet yang berkepala gundul. Kakek ini mengangguk-angguk, hatinya senang karena wanita ini cocok dengan usulnya. “Me­mang tak perlu ada Bengcu, lebih pen­ting lagi mencari pengganti Thian-te Liok-kwi yang dulu menjagoi dunia. Apa salahnya kalau sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tan­ding)?” Kam Sian Eng tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka ia sengaja memilih sebutan Sian (Dewa), yang selain lebih gagah dan baik, juga sama dengan namanya! Wanita ini di waktu mudanya dahulu sudah banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh karena itu setelah sekarang keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman jika berkawan dengan empat orang yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan cocok dengan watak­nya sendiri ini. Empat orang ini tidak segan-segan membunuh orang, seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapat­nya. Orang yang tidak menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh!

“Kalau begitu tidak bertanding?” Thai­-lek Kauw-ong bertanya kecewa.

“Perlu apa bertanding kalau di antara kita bukan musuh?” tanya Kam Sian Eng. Biarpun wanita ini mengalami gang­guan jiwa dan wataknya sudah berubah karena kehancuran hati di waktu muda­nya ditambah dengan latihan-latihan samadhi dan lweekang yang menyele­weng, namun ia tidak kehilangan kecer­dikannya, bahkan menjadi makin cerdik. Sian Eng tahu bahwa bertanding meng­hadapi empat orang ini, biarpun ia tidak takut, namun bukan merupakan hal yang ringan dan tidak akan mudah mencapai kemenangan. Selain itu juga tidak ada gunanya.

“Huah-ha-ha-ha, betul sekali ucapan Sian-toanio. Cocok.... cocok!” kata Siauw-bin Lo-mo yang diam-diam merasa jerih terhadap Thai-lek Kauw-ong, apalagi setelah muncul wanita ini yang aneh dan memiliki kepandaian yang menggiriskan hati.

“Betul! Memang kita segolongan, per­lu apa bertempur?” kata pula Pak-sin-ong yang cita-citanya memang ingin mencari teman-teman yang kuat untuk membantunya melanjutkan cita-cita me­rampas Kerajaan Khitan.

“Segolongan?” Sian Eng bertanya. “Golongan apa?”

“Hi-hik, sahabatku yang manis. Go­longan apalagi? Tentu saja golongan kaum sesat, hi-hik!” kata, Bu-tek Siu­-lam sambil mesam-mesem genit. Sian Eng sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi melihat sikap genit laki-laki gagah dan tampan ini, ia menjadi muak dan geli. Ia juga tersenyum dari balik kerudungnya, senyum geli.

Senyum ini oleh Thai-lek Kai-ong di­kira senyum karena setuju disebut go­longan sesat, maka kakek gundul yang kosen ini lalu menepuk-nepuk dadanya. “Huh, memang benar! Banyak orang me­nyebut aku seorang sesat. Memang aku sesat! Biarlah mereka menyebutku begitu dan hendak kulihat, bagaimanakah ma­camnya orang yang tidak sesat?”

“Hemm, mau tahu orang yang tidak sesat? Di antaranya, yang paling menon­jol namanya adalah Suling Emas! Dia menganggap jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah golongan kita! Aku paling benci kepada Suling Emas dan mengharap bantuan kalian berempat un­tuk menandinginya karena memang ia memiliki ilmu kepandaian yang lihai se­kali.” Berkata demikian, Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong mengepal kedua tinju dan mukanya membayangkan keben­cian hebat. Mengapa Pak-sin-ong membenci Suling Emas? Bukan lain karena Pak-sin-ong masih saudara sepupu Hek-giam-lo seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi musuh besar Suling Emas. Bahkan beberapa kali Hek-giam-lo dikalahkan Suling Emas sehingga ter­jadi permusuhan antara kedua tokoh ini (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Se­lain menaruh dendam karena saudara sepupunya ini, juga pasukan Pak-sin-ong pernah dipukul mundur ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu Suling Emas masih berada di Khitan.

Sejenak wajah cantik di balik keru­dung itu menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng marah mendengar orang bertopi itu memusuhi Suling Emas. Suling Emas ada­lah Kam Bu Song, kakak tirinya. Akan tetapi ia sudah tidak merasai lagi cinta kasih antara saudara, apalagi karena semenjak kecil memang tak pernah ber­temu dengan kakak tirinya itu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam di dalam hatinya ia menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini da­pat melawan kakak tirinya itu!

“Huah-ha-ha-ha, memang sekeluarga itu orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan orang lain kotor!

Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti, padahal ibunya adalah Tok-siauw­-kwi yang jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi! Dari manakah datangnya Tok­siauw-kwi? Bukan lain dia adalah seorang gadis puteri pendiri Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan perkumpulan yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan kaum sesat. Aku menghormat men­diang Tok-siauw-kwi yang tidak suka berpura-pura seperti tokoh-tokoh Beng-kauw! Kuharap kalian berempat suka membantuku kelak mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong!” kata Siauw-bin Lo-mo yang mendendam sakit hati terhadap Beng-kauw.

“Hemm, aku setuju membantumu, Siauw-bin Lo-mo. Aku pun benci kepada Beng-kauw,” kata Sian Eng. Dia pernah mendengar dahulu betapa antara Beng­kauw dan Tok-siauw-kwi terdapat hal-hal yang bertentangan sehingga hidup iblis betina itu menjadi sengsara (baca cerita SULING EMAS). Karena ia menda­patkan ilmu-ilmunya dari kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kwi, maka ia mengganggap iblis betina itu sebagai gurunya dan ia pun merasa tidak suka kepada Beng-kauw, sungguhpun kakak kandungnya Kam Bu Sin, menjadi mantu ketua Beng-kauw! Memang pikiran Sian Eng sudah menjadi aneh sekali dan pertimbangannya sudah kacau balau. Ia hanya menurutkan perasaannya saja tanpa memperdulikan hal-hal lain lagi.

“Hemm, kalau semua setuju dengan pendapat Sian –toanio, biarlah kita tidak saling bertanding. Untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih berjasa dan lebih unggul, mari dalam setahun sejak saat ini kita berlumba, berbanyak-banyak membasmi orang-orang yang memusuhi golongan kita. Setahun kemudian kita berkumpul lagi disini dan dia yang paling banyak membasmi orang-orang yang memusuhi kita, dialah yang berhak menjadi tokoh pertama!” Thai—lek Kauw-ong berkata. Tiga orang kakek yang lain mengangguk-angguk, dan biarpun Sian-Eng tidak ikut mengangguk, ia sudah menjawab cepat-cepat.

“Baiklah, dan sekarang aku pergi lebih dulu!” Baru saja habis kata-katanya, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap dari situ dengan cepat sekali. Empat orang kakek itu tidak mencegah, hanya memandang sampai bayangan Sian Eng lenyap dari pandang mata mereka. Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara Bu-tek Siu-lam.

“Hi-hik, aku tak begitu percaya kepada perempuan itu. Pandang mata dan sikapnya menunjukkan bahwa dia bukan seorang yang waras otaknya. Akan tetapi dia cantik, dan bentuk tubuhnya.... hemm....!” ia terkekeh genit.

“Ilmu kepandaiannya lumayan,” kata Siauw-bin Lo-mo yang dalam hatinya suka kepada Sian Eng karena wanita itu tadi menyatakan sanggup membantunya menghadapi Beng-kauw. Mendapat seorang pembantu seperti wanita aneh itu sungguh amat menyenangkan dan berharga.

“Biarpun tidak ada Bengcu, namun kita berempat, berlima dengan Sian-toanio tadi, sudah berjanji untuk saling bantu. Karena itu, kuharap saja kelak apabila aku membutuhkan bantuan, Samwi (Tuan Bertiga) tidak akan segan-segan untuk turun tangan membantuku, termasuk golongan yang mendukung Sam­wi,” kata Pak-sin-ong. “Tentu saja Sam­wi dapat mengandalkan aku dan pasukan-pasukanku di utara apabila Sam-wi se­waktu-waktu perlu bantuan.”

Berbeda dengan yang lain-lain, Pak-sin-ong ini memiliki cita-cita yang lebih besar, yaitu merampas kerajaan, oleh karena itu tentu saja yang penting baginya adalah kuatnya pasukan untuk me­laksanakan cita-citanya menggempur Kerajaan Khitan. Urusan pribadi baginya adalah urusan kecil.

Pada saat itu, tiba-tiba empat orang sakti ini berdiam dan mengerling ke arahh selatan karena pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang halus dari arah ini. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita yang usianya kira-kira dua puluh tujuh sampai tiga puluh tahun. Wanita ini memakai pakaian serba merah dari sutera tipis sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya ber­bentuk lonjong manis. Apalagi sepasang matanya amat indah bentuknya lebar dan sinarnya penuh semangat. Sayang bahwa wajah yang manis ini membayangkan kekerasan hati dan tak pernah tersenyum. Yang amat menarik perhatian adalah rambutnya, rambut yang amat hitam mengkilap dan panjang tebal dibiarkan terurai begitu saja di belakang punggung­nya sampai ke pinggulnya yang besar. Sebatang pedang tampak tersembul ga­gangnya dari balik rambut di punggung. Wanita itu lebih kelihatan agung dan gagah daripada cantik, sungguhpun ke­manisan wajahnya tidak akan dilewatkan begitu saja oleh setiap orang laki-laki.

“Maaf, saya mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan di hari ini dan be­lajar kenal dengan Bengcu baru!” kata wanita itu sambil berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda penghormatan.

“Hi-hik, kalau Gurumu secantik eng­kau, mengapa tidak kauajak sekalian datang ke sini, manis?” kata Bu-tek Siu­-lam sambil tertawa dan pandang matanya seperti hendak menelan wanita pakaian merah itu.

Tiga orang kakek yang lain hanya tersenyum mengejek dan wanita itu mulai merah kedua pipinya yang putih se­hingga menyaingi pakaiannya. Sepasang matanya yang lebar itu terbuka makin lebar dan sinar matanya menyambar penuh selidik ke arah Bu-tek Siu-lam, kemudian terdengar suaranya yang nya­ring.

“Kalau saya tidak keliru sangka, Lo­cianpwe ini tentulah yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, bukan? Terimalah hormat saya Po Leng In mewakili guru saya Siang-mou Sin-ni!” Sambil berkata demi­kian ia melangkah maju dan kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.

Bu-tek Siu-lam yang memang meman­dang rendah semua orang tertawa me­ngejek lalu berkata, “Ah, kiranya murid Siang-mou Sin-ni. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni orangnya cantik jelita dan rambutnya harum, suka bersahabat dengan laki-laki tampan. Nah, cocok mempunyai murid seperti engkau. Siapa namamu tadi? Po Leng In? Nama yang indah, seindah orangnya dan seperti juga Gurumu engkau tentu suka bersahabat dengan aku, bukan?” Berkata demikian, Bu-tek Siu-lam menggerakkan tangannya menyambar ke depan.

Wanita yang bernama Po Leng In itu terkejut sekali dan berusaha menghindar, namun ia kalah cepat dan tangan kirinya sudah tertangkap.

Sejenak wanita itu menyambarkan sinar matanya ke arah muka Bu-tek Siu-lam yang hanya tertawa-tawa mengejek, bahkan kemudian Bu-tek Siu-lam mem­buka mulut bernyanyi dan.... suaranya adalah suara wanita atau suara yang sengaja dikecilkan seperti suara wanita!

“Wanita adalah bunga harum, alangkah sayang kalau tidak dicium! Wanita adalah intan gemilang, alangkah sayang kalau tidak di­timang!”

Baru saja berhenti suara nyanyiannya, mukanya sudah bergerak ke depan dan “ngokk” pipi kanan Po Leng In tahu-tahu sudah diciumnya sampai mengeluarkan suara keras.

Po Leng In adalah murid terkasih Siang-mou Sin-ni, murid nomor satu yang paling pandai di antara semua saudara seperguruannya. Karena itu dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di antara murid-murid Siang-mou Sin-ni dan karena kepandaiannya ini, di mana-mana ia disegani dan ditakuti orang. Tak per­nah ada orang laki-laki berani menggang­gunya setelah banyak di antara mereka dia bunuh secara kejam dan ganas karena berani kurang ajar terhadap dirinya. Se­karang ia mengalami perlakuan seperti ini dari Bu-tek Siu-lam, tentu saja se­ketika mukanya yang tadinya merah kini berubah pucat dan sepasang matanya seperti mengeluarkan cahaya berkilat.

“Lepas....!” jeritnya dengan suara melengking nyaring dan dari belakang punggungnya menyambar sinar hitam melalui atas kepalanya ke depan.

“Siuuuuttt.... plakkk!” Itulah rambut hitam yang menyambar dan melecut, cepat dan tak terduga-duga datangnya, menyambar ke depan mengenai tangan Bu-tek Siu-lam yang memegang perge­langan tangan kirinya.

Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang lihai dan tinggi ilmu silatnya. Akan te­tapi karena ia tadi memandang rendah dan sama sekali tidak menduga akan diserang dengan lecutan rambut, ia tidak sempat menghindar dan kulit punggung tangan kanannya yang putih mulus dan memakai gelang emas itu terkena lecut­an ujung rambut sehingga kelihatan jalur-jalur merah biru! Kalau saja ia tidak cepat-cepat mengerahkan kekuatan ke punggung tangannya, tentu kulit punggung tangan itu sudah mengeluarkan darah karena luka. Ia berseru kaget dan me­narik tangannya sambil melangkah mundur setindak, kesempatan ini dipergunakan Po Leng In untuk menarik kembali tangan kirinya yang tadi terpegang.

Po Leng In kini sudah menggerakkan kepalanya sehingga rambut panjang yang tadinya tergantung di belakang punggung, kini pecah menjadi dua gumpalan dan tergantung di depan, melengkung pada dadanya, dan begitu tangan kanan berge­rak, ia sudah memegang sebatang pedang yang kecil panjang dan amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan. Sikapnya galak, matanya penuh kemarah­an, dan biarpun ia maklum bahwa lawan­nya adalah seorang cianpwe yang ilmunya amat tinggi, namun sinar mata wanita ini menyatakan bahwa ia akan melawan dengan nekat.

Bu-tek Siu-lam hanya terenyum, ma­tanya bersinar-sinar dan ia berkata, “Hi-hi-hik! Kau berani melawan aku? Hi-hik, murid Siang-mo Sin-ni cantik manis dan berhati baja! Hendak kulihat apakah benar-benar hatimu terbuat daripada baja!”

Tiga orang kakek yang lain hanya menonton tidak mau mencampuri urusan ini. Selain mengingat bahwa baru saja mereka mengaku telah “bersaudara” atau bersahabat dengan Bu-tek Siu-lam, juga mereka bertiga tidak peduli akan Siang-mouw Sin-ni yang menjadi seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah “ja­tuh” itu. Kini yang menguasai dunia kaum sesat adalah Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tak Terlawan), bukan lagi Thian­te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit)! Di samping itu, mereka bertiga bukanlah orang-orang yang berwatak lemah dan perasa sehingga melihat kejadian yang bagi orang lain mengerikan, menyeram­kan, jahat atau tidak adil, bagi mereka ini adalah biasa saja! kalau Bu-tek Siu-lam suka kepada perempuan dan bisa mendapatkannya, biarlah ia mendapatkan­nya dan memperlakukannya sesuka hati, apalagi perempuan itu tiada sangkut pautnya dengan mereka bertiga! Bahkan Pak-sin-ong sudah mencibirkan bibirnya dan meninggalkan tempat itu, turun dari puncak diikuti oleh pasukannya yang terdiri dari orang-orang Khitan dan Mo­ngol. Juga Siauw-bin Lo-mo yang tidak suka lagi bermain perempuan, menjadi jemu dan meninggalkan puncak untuk kembali ke sini setahun kemudian seperti yang telah mereka janjikan.

Thai-lek Kauw-ong seorang yang masih berada di situ, malah kini raksasa gundul ini duduk di atas batu hitam menonton sambil menyeringai le­bar. Dia seorang perantau yang tidak mempunyai pengikut, tentu saja ia se­enaknya dan tidak tergesa-gesa. Apalagi, ia pun sudah mendengar akan nama besar Siang-mou Sin-ni sehingga ia ingin me­nyaksikan sampai di mana kelihaian murid iblis betina itu. Adapun para pengemis yang menjadi pengikut Bu-tek Siu-lam, masih belum hilang kagetnya karena beberapa orang teman mereka tadi tewas menjadi korban sambaran daun-daun secara mengerikan sehingga mereka masih menggerombol di belakang pohon besar, tidak berani lagi sembrono memperlihatkan diri, hanya menanti sam­pai datuk mereka muncul.

Po Leng In adalah seorang murid terkasih Siang-mou Sin-ni, selain lihai juga sudah banyak pengalaman. Selagi “orang muda”, ia bersikap tahu diri dan tidak mau turun tangan lebih dulu me­lakukan penyerangan. Ejekan Bu-tek Siu-lam tadi dijawabnya dengan singkat dan tenang, “saya yang muda tidak berani terhadap Cianpwe, akan tetapi sebagai wakil Guru, perbuatan Cianpwe terhadap saya seperti terhadap Guru dan saya harus membela kehormatan Guru saya.” Sebagai murid Siang-mou Sin-ni yang cabul dan genit, tentu saja Po Leng In sedikit banyak mewarisi watak gurunya dan dia bukanlah seorang gadis baik-baik yang menjunjung tinggi serta menghargai kesusilaan. Tidak, Po Leng In yang manis ini sudah banyak mengalami hubungan dengan pria, akan tetapi tentu saja ia selalu memilih pria tampan dan menye­nangkan hatinya. Bu-tek Siu-lam memang tampan dan gagah, akan tetapi sikapnya yang genit dan banci itu menjijikkan hati Po Leng In.

Tiba-tiba wajah Bu-tek Siu-lam yang tadinya tertawa-tawa itu berubah beri­ngas, matanya seperti mata harimau marah, lebih lagi, seperti mata iblis, kulit mukanya yang kini menjadi menyeram­kan itu berubah dan suaranya penuh wi­bawa ketika ia memberi perintah.

“Buka bajumu!”

Muka Po Leng In menjadi pucat se­kali, matanya terbelalak memandang sejenak ia tak bergerak seperti berubah menjadi arca, kemudian ia dapat memak­sakan lehernya bergerak, kepalanya menggeleng. Mereka berdiri berhadapan, beradu pandang dan makin lama Po Leng In menjadi makin pucat.

“Buka! Buka bajumu!”

Po Leng In menggeleng kepala keras-keras tanpa dapat mengeluarkan suara. Ketakutan mencekik lehernya.

“Hemm.... hemm....!” Terdengar suara Thai-lek Kauw-ong yang agaknya merasa tertarik dengan permainan kawannya ini. Ini adalah permainan yang baru, belum pernah dilihatnya. Matanya terbuka le­bar-lebar memandang dan hatinya berta­nya-tanya maukah wanita itu melakukan perintah Bu-tek Siu-lam atau tidak.

“Perempuan muda, dengar baik-baik. Sebetulnya sudah sejak tadi kau mengge­letak tanpa nyawa dengan rongga dada kehilangan hati kalau saja aku tidak tertarik melihat matamu yang indah. Hayo buka bajumu agar kulihat. Kalau tubuh­mu seindah matamu, aku suka mengam­punimu dan membiarkan hatimu tetap di dalam dada.

Mungkin karena Bu-tek Siu-lam sudah mulai bicara dan tertawa lagi, berkurang rasa takut di hati Po Leng In, bahkan timbul lagi kemarahan dan kenekatannya.

“Bu-tek Siu-lam engkau terlalu meng­hina orang! Biarlah aku mewakili Guruku memberi hajaran kepadamu!”

Kata-kata itu tertutup dengan gerak­an pedang. Cepat sekali gerakan pedang­nya, sehingga tak tampak bentuk pedang­nya, berubah menjadi sinar kehijauan yang meluncur cepat menuju ke leher Bu-tek Siu-lam, dibarengi hawa dingin. Itulah tanda bahwa pedang itu tajam luar biasa dan digerakkan oleh tenaga sin­kang yang tak boleh dipandang ringan!

Bu-tek Siu-lam cukup ahli untuk me­ngenal serangan berbahaya. Ia mengeluar­kan suara terkekeh mengejek sambil menggeser langkah menarik tubuh atas mengelak. Akan tetapi sebelum ia sem­pat turun tangan membalas, tangan kiri Po Leng In yang kecil sudah menyambar dari bawah. Tentu saja gerakan ini amat cepat karena memang merupakan kelan­jutan daripada jurus serangan pertama tadi. Kini tangan kiri itu dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah bawah pusar. Sebuah serangan yang keji, dahsyat dan jika berhasil mendatang­kan maut! Memang hebat dan keji jurus ini karena jurus ini adalah ciptaan Tok­-siauw-kwi Si Iblis Betina dan yang diajarkan kepada Siang-mou Sin-ni. Siang-mou Sin-ni dahulu memang pernah ber­sahabat dengan Tok-siuw-kwi dan mene­rima pelajaran beberapa macam ilmu silat tinggi, di antaranya adalah peng­gunaan rambut panjang sebagai senjata.

Akibat serangan tangan kiri yang berjari kecil halus itu mengagetkan ke­dua pihak. Bu-tek Siu-lam terkejut akan tetapi celana di bawah pusar sudah kena dicengkeram dan Po Leng In terkejut karena keadaan lawannya itu tidak seper­ti laki-laki biasa! Kalau lawannya se­orang laki-laki biasa, tentu saat itu su­dah tewas oleh cengkeramannya.

Bu-tek Siu-lam kaget dan marah, akan tetapi ia terkekeh dan tahu-tahu tangannya sudah menerkam ke arah leher Po Leng In. Hebat terkaman ini. Po­ Leng In cepat menarik tangan kirinya yang mencengkeram celana kosong itu, merendahkan tubuh dan menggerakkan kepalanya sehingga dua gumpalan rambut panjang menyambar dari kanan kiri dada­nya, gumpalan rambut kiri menotok jalan darah di iga kanan lawan sedangkan gumpalan rambut kanan menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam!

“Hemm, boleh juga murid Siang-mou Sin-ni!” terdengar Thai-lek Kauw-ong berseru memuji.

Pujian itu memanaskan perut Bu-tek Siu-lam. Dan memang ia sendiri pun sudah marah dan penasaran. Kalau ia se­bagai seorang di antara lima “dewa” yang menggantikan kedudukan enam “iblis” kini tak dapat cepat mengalahkan murid dari seorang di antara enam iblis, ke mana ia harus menaruh mukanya?

Kini melihat serangan dua gumpalan rambut disusul dengan sinar hijau pedang lawan membabat kaki, ia mengeluarkan suara ketawa, membiarkan gumpalan rambut kiri menotok iganya yang sudah ia “tutup” jalan darahnya, kemudian se­cepat elang menyambar kelenci, ia sudah menangkap gumpalan rambut yang me­nyambar ke arah mukanya lalu mengang­kat tangan kiri yang menangkap rambut itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Ka­rena iblis banci ini memang bertubuh tinggi sekali dan Po Leng In hanya se­tinggi pundaknya, tentu saja Po Leng In terangkat ke atas!

Po Leng In kaget dan mengenali baha­ya. Sambil berseru “lepaskan” kedua kakinya bergantian menendang, namun didahului jari tangan kanan Bu-tek Siu-lam yang menyambar pinggang menggen­cet jalan darah pusat sehingga seluruh tubuh wanita itu seketika menjadi lemas! Dengan amat mudah pedangnya yang tajam itu kini sudah pindah ke tangan Bu-tek Siu-lam.

“Hi-hi-hi-hik! Kaulihat, Kauw-ong! Apakah murid Siang-mou Sin-ni ini amat hebat?”

“Hemm, tak ada gunanya!” Thai-kek Kauw-ong menjawab sebal.

“Hi-hik, siapa bilang tidak ada guna­nya? Rambutnya harum sekali!” Bu-tek Siu-lam mencium rambut yang panjang itu, menyedot-nyedot dengan lagak genit. “Dan kita lihat apakah jantungnya ter­buat daripada baja!” Pedang di tangan kanannya bergerak dan “brett!” pedang itu berubah menjadi sinar hijau yang mengitari tubuh atas Po Leng In dan di lain saat baju atas wanita itu sudah robek-robek dan berjatuhan ke bawah, membuat tubuh bagian atas sebatas ping­gang tidak berpakaian lagi! Diam-diam Thai-lek Kauw-ong yang menonton permainan ini memuji. Hebat juga Si Banci ini. Menggerakkan pedang sedemikian cepat sehingga merobek semua baju luar dan dalam tanpa sedikit pun menggores kulit orang!

Po Leng In sudah tertotok lemas, akan tetapi ia masih sadar dan tahu bencana hebat yang menimpa dirinya. Sebagai seorang murid kepala Siang-mou Sin-ni yang biasa mempermainkan pria sesuka hatinya, kali ini ia dipermainkan orang, mengalami penghinaan seperti itu, tentu saja hebat penderitaan ini. Muka­nya menjadi merah sampai terus ke leher dan dadanya yang tidak tertutup apa­-apa, matanya memandang penuh kebenci­an dan sama sekali tidak membayangkan rasa takut. Hal ini membikin Bu-tek Siu-lam marah sekali. Biasanya kalau iblis ini mempermainkan orang dan sebelum membunuhnya, ia senang sekali melihat orang itu menggeliat-geliat ketakutan atau karena nyeri. Itulah sebabnya ke­tika tadi membunuh orang menggunakan guntingnya, ia tidak segera menggunting leher, melainkan menggunting kaki ta­ngan. Iblis ini memang seorang yang kejam sekali dan hatinya senang kalau melihat orang lain menderita. Kalau me­lihat betapa Po Leng In sama sekali tidak takut dan bahkan memandangnya penuh kemarahan dan kebencian, tentu saja ia menjadi marah dan merasa ter­hina!”

“Hendak kulihat sampai di mana ke­tabahanmu!” gumamnya dan sekali pedangnya bergerak, ia telah membabat putus rambut yang panjang itu! Po Leng In adalah seorang wanita yang seperti gurunya, amat menyayang rambut pan­jangnya, maka tanpa disadarinya ia men­jerit ketika rambutnya terpotong dan tubuhnya terbanting ke atas tanah dalam keadaan telentang!

“Hi-hik! Kauw-ong, mari kita lihat bagaimana macam hati perempuan ini!” Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam berjongkok dan mendekatkan ujung pedang ke dada kiri Po Leng In yang berkulit halus putih. Alangkah marahnya tokoh banci ini ketika melihat jeritan tadi hanya dilakukan karena tak sadar, buktinya kini wanita itu masih meman­dangnya penuh kebencian dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut biarpun ujung pedang sudah menempel di kulit dada!

“Hi-hi-hik, akan kuiris perlahan-lahan, kukupas dulu kulit luarnya, baru dagingnya dan kubuat lubang yang cukup untuk tanganku merogoh dan mencabut jantung­nya!”

No comments:

Post a Comment