Mutiara Hitam Bagian 5.
Sambil berkata demlkian, orang itu menggerakkan sulingnya di depan dada dan tampak sinar kuning emas berkelebatan menyilaukan mata.
“Ahhh.... engkau.... Suling Emas?” Thai-lek Kauw-ong kaget ketika melihat suling yang berubah menjadi sinar kuning emas itu.
Sebelum Suling Emas menjawab, Kwi Lan sudah berkata cepat, “Thai-lek Kauw-ong, engkau mengalahkan dua panglima itu masih tidak aneh. Kalau kau bisa mengalahkan Suling Emas, barulah kau boleh menyebut orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian.
Suling Emas mengerutkan keningnya. Bocah itu benar-benar bersikap berandalan dan nakal. Ia tahu bahwa gadis ini mulutnya amat berbahaya dan sekarang pun dia sedang berusaha mengadu kakek gundul ini dengannya. Benar-benar gadis yang binal dan nakal, dan teringatlah ia kepada Lin Lin atau Ratu Yalina, dahulu di waktu mudanya juga seperti gadis ini. Ataukah seperti Kam Sian Eng? Kalau gadis ini murid Sian Eng, agaknya puteri adik tirinyaitu. Ia tahu bahwa Sian Eng telah menjadi korban cinta kasihnya kepada Suma Boan, putera pangeran yang jahat itu dan setelah Suma Boan tewas di tangan Sian Eng dan Lin Lin, Sian Eng lalu lari, ingatannya seperti berubah gila dan secara aneh dan mendadak telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat! Puteri Sian Engkah gadis cantik yang liar dan nakal ini?
“Hemm, kebetulan sekali. Pak-sian-ong mengatakan kau lihai, ingin aku mencobanya. Suling Emas, kausambutlah seranganku ini!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh kakek gundul itu kembali berputar-putar amat cepatnya, seperti ketika ia menyerang dua orang Panglima Khitan tadi. Makin lama makin cepat gerakannya dan mulai terdengar angin berdesing menyambar keluar dari kedua lengan tangannya yang dipentang lebar. Karena dapat menduga bahwa lawannya ini lihai sekali maka begitu menyerang, Thai-lek Kauw-ong sudah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Soan-hong-sin-ciang!
“Aahhh, sayang sekali ilmu yang begini hebat menjadi milik seorang yang gila nama dan kemenangan.” kata Suling Emas sambil menarik napas panjang. Menghadapi angin yang mulai berpusingan itu Suling Emas bersikap tenang sekali, menyelipkan sulingnya di pinggang kemudian berdiri tegak menghadapi lawan yang kini sudah berpusingan amat cepatnya itu. Makin cepat tubuh Thai-lek Kauw-ong berputar dan angin yang berpusing di sekeliling tubuhnya amat kuat. Dengan angin kedua lengannya ini saja ia sudah berhasil membuat dua orang Panglima Khitan terhuyung-huyung. Kini melihat sikap Suling Emas yang berdiri tenang dan biarpun pakaian pendekar sakti ini berkibar tertiup angin yang berpusing, namun tubuhnya tetap tegak, sedikit pun tidak bergeming. Thai-lek Kauw-ong lalu berseru keras dan tubuhnya yang berputar itu mulailah bergerak menyerang. Inilah ilmu Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sepenuhnya. Tubuh itu berpusingan sukar dlikuti pandang mata saking cepatnya, bagaikan telah berubah menjadi asap bergumpal-gumpal dan dari asap berpusingan ini secara tak tersangka-sangka melayang, keluar dua buah lengan tangan yang melakukan pukulan-pukulan dahsyat.
“Hebat....!” Suling Emas memuji. Ia kagum sekali. Kecuali Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang tiba-tiba muncul kembali dan yang ia ketahui memang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, sejak mati atau mundurnya Thian-te Liok-kwi, belum pernah ia bertemu tanding yang memiliki ilmu kepandaian seperti ini. Harus ia akui bahwa ilmu silat yang dimainkan kakek gundul ini lain daripada ilmu silat tinggi lainnya. Baru angin yang berpusing itu saja sudah mempunyai daya tarik sukar ditahan, seakan-akan angin taufan mengamuk, atau pusaran angin yang menghanyutkan. Kalau saja ia tidak memiliki sin-kang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya terseret dan kuda-kuda goyah, berarti ia sudah setengah kalah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri dari serangan kedua tangan yang seakan-akan dua ekor naga menyambar keluar dari awan tebal itu.
Memang lihai sekali Thai-kek Kauw-ong dan ia patut menjadi seorang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Ilmu silatnya. Soan-hong Sin-hoat jarang bertemu tanding. Akan tetapi sekali ini ia bertemu dengan ,Suling Emas, seorang pendekar sakti yang sudah matang ilmunya. Tadi
pun ketika Thai-lek Kauw-ong merobohkan dua orang Panglima Khitan dan mengirim pukulan maut hanya dengan suara sulingnya saja Suling Emas sudah mampu “menangkis” atau mengurungkan niat keji kakek gundul ini. Tiupan suling tadi pun bukan sembarang tiupan, melainkan semacam ilmu yang sangat tinggi, yang diperoleh Suling Emas yaitu yang disebut Kim-kong Sin-kiam.
Kini menghadapi Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sungguh-sungguh serta disertai tenaga dalam, amat kuat itu, Suling Emas menghadapinya dengan tenang. Ia maklum akan lihainya kakek ini dan ia juga merasa sayang. Biarpun belum jelas mengenal kakek ini orang macam apa, akan tetapi sepanjang pendengarannya, kakek ini semenjak muncul dari pulau di lautan timur, selalu mencari perkara dan suka sekali berkelahi, namun tidak ia dengar kakek ini mempunyai anak buah penjahat. Maka ia pun tidak ingin membunuhnya, merasa sayang melihat Ilmu kepandaian yang amat tinggi itu. Dengan tenang namun waspada, Suling Emas lalu menggerakkan kedua tangannya. Jari-jarinya terbuka dan telunjuk kedua tangannya membuat gerakan mencorat-coret di udara kosong. Hanya tampaknya saja mencoret-coret menulis huruf dengan telunuk di udara, namun sesungguhnya inilah ilmu sakti Hong-in Bun-hoat dimainkan oleh seorang ahli yang sudah matang!
Thai-lek Kauw-ong terkejut setengah mati. Kedua tangan lawannya hanya mencorat-coret, namun semua pukulannya terpental membalik, dan dua buah telunjuk itu sedemikian kuatnya sehingga menembus pusaran angin, langsung melakukan totokan-totokan pada jalan darah di seluruh tubuhnya. Karuan saja kakek gundul ini menjadi sibuk sekali, menangkis dan mengelak. Biarpun ia menangkis dengan kedua tangannya dan mengelak cepat-cepat, agaknya kedua tangan dan elakannya masih belum cukup untuk melindungi tubuhnya karena yang menyerangnya bukan lagi dua buah telunjuk, melainkan puluhan buah telunjuk! Demikian cepatnya gerakan Suling Emas. Selain terkejut, juga kakek gundul ini kagum sekali. Timbul kegembiraan hatinya karena baru kali ini ia bertemu tanding yanghebat. Ia segera menghentikan pusingan tubuhnya dan melayani gerakan Suling Emas dengan sama cepatnya. Setelah tubuhnya tidak berpusing lagi, ia tidaklah begitu terdesak karena kini ia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya ke satu jurusan saja, yaitu ke depan. Ia masih mengandalkan besarnya tenaga dan beberapa kali ia sengaja mengadu lengan sambil mengerahkan tenaga. Namun ternyata bahwa lawannya itu sama sekali tidak takut beradu tangan setiap kali kedua lengan mereka bertemu, Suling Emas terpental mundur dua langkah, akan tetapi biarpun tubuh Thai-lek Kauw-ong tidak terpental mundur ia merasa lengannya seperti lumpuh dan dadanya panas. Hal ini berarti bahwa Suling Emas kalah setingkat dalam hal tenaga keras, namun menang seusap dalam tenaga lemas. Dan kalau hal ini dilanjutkan, yang menderita rugi besar adalah Thai-lek Kauw-ong sendiri!
“Suling Emas, kau hebat!” Kakek gundul itu biarpun merasa penasaran, namun ia tidak marah melainkan kagum dan gembira. “Kausambutlah ini!” Sambil berkata demikian, tubuhnya yang sudah mencelat mundur itu kini berjongkok dan dari kerongkongannya keluar bunyi burung gagak, kemudian kedua tangannya yang terbuka jari-jari tangannya itu mendorong ke arah Suling Emas!
Suling Emas belum pernah mendengar akan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong maka tadi ia kagum dan mengira bahwa Soan-hong Sin-ciang itu adalah ilmu simpanan atau ilmu yang diandalkan kakek gundul itu. Ketika melihat kakek itu mencelat mundur dan berjongkok, ia sudah menduga bahwa kakek ini tentu mengeluarkan ilmu lain macam lagi, maka ia waspada dan memasang kuda-kuda. Ketika mendengar suara seperti burung gagak keluar dari kerangkongan kakek itu, ia terkejut bukan main. Ia pernah mendengar.... tentang ilmu yang amat dahsyat dan yang suaar dimiliki orang, kecuali oleh mereka yang sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu lwee-kang, yaitu Ilmu Hoa-mo-kang, semacam Ilmu yang dimiliki seekor katak. Dengan ilmu ini, katak yang demikian kecil dapat mempunyai tenaga yang dahsyat sekali. Ia pernah mendengar penuturan tentang Hoa-mo-kang dan Si pemilik ilmu Hoa-mo-kang kabarnya juga mengeluarkan suara dari kerongkongannya seperti suara katak. Kini kakek gundul ini berjongkok mengerahkan tenaga dari tangan dan mengeluarkan suara dari kerongkongannya seperti suara gagak, ilmu apakah ini? Suling Emas yang cerdik itu segera teringat akan julukan kakek gundul itu. Tak salah lagi, tentulah ilmu pukulan yang menggunakan dasar tenaga tian-tan inilah yang membuat kakek itu dijuluki Thai-lek. Setelah dengan cepat dapat menduga akan dasar ilmu pukulan ini, timbul keinginan hati Suling Emas untuk mencoba pukulan lawan tangguh ini sampai di mana batas kekuatannya. Karena ia tidak mau sembrono dan membahayakan diri sendiri, maka ia hanya mempergunakan tenaga sebanyak tiga perempat bagian saja sedangkan sisa tenaganya ia, persiapkan untuk dipakai meringankan tubuhnya dan meloncat menghindarkan diri.
Melihat Suling Emas berani menyambut Thai-lek-kang dengan dorongan kedua tangan dari atas ke bawah kakek itu menjadigirang. Ia merasa yakin bahwa kali ini ia akan menang. Boleh jadi ia tidak mampu menandingi ilmu silat Suling Emas yang demikian ajaib, akan tetapi dalam hal pertandingan mengadu tenaga, tak mungkin ia kalah kuat. Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang sanggup mengalahkan Thai-lek-kang. Sekali ini pun ia harus dapat menangkan lawan tangguh ini dengan pukulan Thai-lek-kang, maka sambil mendorongkan kedua lengannya, ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hawa panas mengalir bagaikan banjir keluar dari pusarnya melalui kedua lengan.
Bagi pandangan orang lain, pertemuan dua tenaga sakti di udara itu tidak kelihatan dan seakan-akan tidak ada apa-apa. Namun bagi kedua orang sakti ini, seakan-aikan halilintar menyambar dan meledak di atas kepala mereka. Akibatnya hebat sekali. Dua pasang tangan itu hanya saling menyentuh ketika keduanya mendorong ke depan, namun keduanya merasa seperti diseruduk gajah. Tubuh Suling Emas terdorong dari bawah dan karena pendekar ini memang sudah waspada, ia segera menggunakan sisa tenaganya untuk meringankan tubuh sehingga ia berhasil “mematahkan” tenaga dorongan dari kedua tangan lawan dengan cara membiarkan tubuhnya terlempar ke atas sampai hampir empat meter tingginya! Tidak demikian dengan Thai-lek Kauw-ong. Karena raksasa gundul ini menggunakan seluruh tenaganya dan ia berdiri kokoh kuat di atas tanah, biarpun ia menang posisi dan dibantu oleh kerasnya tanah, akan tetapi ia seperti tergencet dan begitu dua tenaga sakti itu bertemu, kedua kakinya amblas ke dalam tanah sampai ke lutut! Selain ini, juga kakek gundul ini merasa napasnya sesak dan seakan-akan dadanya hendak meledak. Thai-lek Kauw-ong terkejut dan maklumlah ia bahwa lawannya benar-benar amat lihai sehingga kalau ia terus menggunakan Thai-lek-kang untuk melawannya, akan terancam bahaya dan bisa menderita luka parah di dalam tubuh. Sebagai seorang ahli ia tidak bodoh dan tidak mau mengulangi penggunaan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang biasanya amat dia andalkan itu. Sekali ia mengeluarkan seruan keras, tubuhnya sudah meloncat ke atas, kedua kakinya yang amblas ke tanah sudah tercabut keluar dan di kedua tangannya tampak senjatanya yang ampuh, yaitu sepasang gembreng.
“Aha, kiranya kepandaianmu hanya sebegitu, saja, Thai-lek Kauw-ong? Belum lecet kulitmu belum patah tulangmu, kau sudah mengeluarkan senjata. Heh, kalau hanya sebegitu kepandaianmu, mana boleh engkau mengangkat dirimu sebagai orang pertama Bu-tek Ngo-sian? Melawan Guruku saja ,kau belum tentu menang!”
Panas rasa perut Thai-lek Kau-ong mendengar ejekan Kwi Lan ini. Suling Emas juga mengerutkan kening. Benar-benar seorang gadis yang bermulut tajam dan berbahaya. Bocah seperti itu patut ia telungkupkan di atas pangkuannya dan dipukuli punggungnya sampai minta-minta ampun dan bertobat! Ia tahu bahwa kakek gundul ini merupakan lawan yang tangguh dan sudah merupakan ahli tingkat atasan yang sukar dicari tandingnya.
“Suling Emas, coba kausambut senjataku ini!” Thai-lek Kauw-ong yang kini menjadi penasaran dan marah oleh ejekan Kwi Lan, bergerak maju, sepasang gembrengnya mengeluarkan bunyi nyaring sekali ketika ia adu-adukan. Tubuh Suling Emas berkelebat dan di depan tubuhnya tampak bergulung sinar kuning emas, yaitu sinar senjata sulingnya yang sudah ia cabut dan gerakkan untuk menangkis datangnya senjata lawan yang hebat.
“Trangg.... trangggg....!” Mata Kwi Lan menjadi silau karena bunga api yang berpijar keluar amat terang, kemudian disambung oleh suara beradunya sepasang gembreng yang membuat jantungnya tergetar. Gadis ini menjadi kagum dan kaget, apalagi ketika dari suling yang digerakkan tangan Suling Emas itu keluar pula lengkingan tinggi nyaring yang menandingi bunyl nyaring sepasang gembreng. Riuh-rendah suara suling dan gembreng ini dan Kwi Lan segera menjatuhkan diri duduk bersila. Ia menyatukan semangat dan mengatur pernapasan sambil memandang penuh perhatian. Dua orang itu tampak bergerak makin lama makin cepat. sehingga sukar dibedakan lagi mana Suling Emas mana Thai-lek Kauw-ong.
Adapun suara gembreng dan suling amat aneh. Makin lama makin terasa oleh Kwi Lan betapa dua macam alat tetabuhan yang kini digunakan sebagai senjata itu mulai membentuk irama tertentu seakan-akan dua orang itu tidak sedang bertanding, melainkan sedang mainkan lagu bersama!
Akan tetapi, makin merdu suara suling dan makin nyaring suara gembreng, makin hebat pula pengaruhnya sehingga akhirnya Kwi Lan tidak dapat menahan lagi untuk memandang pertempuran itu. Ia makin mengerahkan tenaganya dan membatasi diri hanya menggunakan telinganya saja untuk mendengarkan suara suling dan gembreng. Kini diam-diam ia mengakui kehebatan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong dan ia merasa sangsi apakah gurunya akan dapat menandingi kakek gundul yang perkasa itu. Makin besar pula kagumnya terhadap Suling Emas yang agaknya malah jauh lebih sakti daripada Thai-lek Kauw-ong. Biarpun tingkat kedua orang ini lebih tinggi daripadanya, namun pertandingan tangan kosong disusul pertandingan adu tenaga dalam tadi dapat ia ikuti dengan seksama dan ia tahu bahwa dalam dua pertandingan terdahulu itu Suling Emas berada di pihak unggul.
Makin lama suara suling dan gembreng saling serang dengan irama yang cocok, jalin-menjalin, seling-menyeling, kadang-kadang malah ganas dan marah saling menghimpit, akan tetapi adakalanya merdu merayu seperti sepasang orang muda bercumbu rayu. Akan tetapi kurang lebih seperempat jam kemudian suara suling makin nyaring melengking, sebaliknya suara gembreng makin kacau balau dan menyeleweng daripada irama bahkan terdengar parau tidak keras lagi. Mendengar ini. Kwi Lan maklum bahwa kembali Suling Emas unggul, maka ia mengangkat muka memandang. Betul saja dugaannya, permainan Thai-lek Kauw-ong mulai kacau-balau, sepasang gembrengnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar kebiruan menjadi makin ciut dan kecil, sebaliknya sinar, kuning emas menjadi makin besar dan panjang, bergulung-gulung menekan dan menghimpit dua gulungan sinar kebiruan. Namun gerakan mereka masih sama cepatnya sehingga tubuh mereka tertutup oleh gulungan sinar senjata.
“Cukuplah!” Tiba-tiba terdengar suara Suling Emas yang meloncat ke belakang sambil menarik kembali sulingnya yang sudah menekan dan membuat lawan hampir tak dapat menangkis lagi. Ia berdiri dengan sepasang mata bersinar dan mulut di balik saputangan ia berkata, “Thai-lek Kauw-ong, ilmu kepandaianmu hebat sekali. Kau akan dapat membuat banyak jasa terhadap kemanusiaan dengan ilmu kepandaianmu.”
Thai-lek Kauw-ong juga menghentikan gerakannya. Matanya terbelalak lebar, mulutnya agak ternganga dan napasnya terengah-engah, mukanya agak pucat penuh peluh, juga pakaiannya basah semua, tangan kakinya nampak lemas tanda bahwa ia lelah bukan main. Setelah menngatur napas dan tidak begitu terengah-engah lagi ia berkata.
“Suling Emas memang lihai. Lain kali bertemu dan bertanding lagi!” Setelah berkata demikian, kakek itu mengebutkan lengan bajunya menyimpan gembrengnya lalu pergi dari situ dengan langkah lebar.
“Heeei!, Kauw-ong, tentu lain kali kau mengajak teman-temanmu mengeroyok, ya?” Kwi Lan mengejek. Kakek gundul itu tidak menjawab, terus melangkah pergi.
“Eh, Twa-supek! Apakah kau tidak ingin kusebut Twa-supek lagi? Tidak mau mengambil murid kepadaku? Heeei....!” Akan tetapi Thai-lek Kauw-ong berjalan terus, menengok satu kali pun tidak, sampai tubuhnya lenyap di sebuah tikungan jalan. Kwi Lan tertawa-tawa dengan nada mengejek, dan baru berhenti tertawa ketika bayangan kakek itu lenyap.
Suling Emas berdiri tegak, mengerutkan keningnya memandang gadis itu. Melihat gadis itu mengejek dan tertawa-tawa bebas, ia menggeleng-geleng kepalanya. Gadis ini mirip Lin Lin di waktu muda, akan tetapi ada keanehan yang luar biasa, cara ketawanya yang bebas tanpa sungkan, akalnya mengadu domba, semua ini condong ke arat watak yang liar dan tidak baik.
“Nona, apakah dia itu Twa-supekmu (Uwa Gurumu)?” ia bertanya ketika gadis itu menghentikan tawanya dan kini berdiri di depannya, memandangnya penuh perhatian. Kekaguman memancar daripada mata gadis itu dan entah. bagaimana, rasa hati Suling Emas berdebar dan ia agak gugup melihat pandang mata seperti itu!
“Dia? Twa-supekku? Ah, hanya menurut pengakuan dia saja. Dia bilang bahwa kini telah terbentuk Bu-tek Ngosian dan ia menjadi orang nomor satu sedangkan Guruku menjadi orang nomor lima, malah dia menyuruh aku menyebutnya Twa-supekku. Mana aku percaya? Guruku mana sudi bersekutu dengan dia?”
Suling Emas mengerutkan keningnya lebih ke bawah. “Bukankah Gurumu yang bernama Kam Sian Eng?”
Kini Kwi Lan yang menjadi heran sekali. Bagaimana Suling Emas tahu akan nama gurunya? Ia sendiri baru satu kali mendengar gurunya menyebutkan namanya, yaitu ketika gurunya bicara dengan anggauta partai pengemis yang berani mendatangi tempat tinggal gurunya dan menerimahajaran. Ia mengangguk heran dan bertanya.
“Eh, bagaimana kau bisa tahu namanya?”
Kini Suling Emas tersenyum di balik saputangannya. Kalau sudah bertanya sambil memandang seperti itu, benar-benar gadis ini tiada ubahnya dengan Lin Lin dahulu! “Tentu saja aku tahu karena sebenarnya aku adalah kakak Gurumu! Karena itu, akulah yang sebetulnya harus kaupanggil Twa-supek!”
Kwi Lan kembali melengak. Hal ini sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Gurunya adik Suling Emas? Akan tetapi mendengar bahwa Suling Emas pernah menjadi kekasih Ratu Khitan, kekasih ibu kandungnya! Mengapa begini kebetulan?
“Harap.... harap kau suka membuka saputangan itu!”
“He? Apa.... mengapa?”
“Kalau memang betul kata-katamu tadi, aku ingin menyaksikan wajah Twa-supekku, bukan hanya orang berkedok saputangan.”
Suling Emas tersenyum geli, kemudian perlahan ia merenggut saputangan yang menutupi bagian bawah mukanya.
“Bukankah kau pernah melihat wajahku di Kang-hu?”
“Benar, akan tetapi hanya sebentar saja.” jawab Kwi Lan sambil menatap wajah yang tampan dan penuh garis-garis pengalaman pahit itu. “Hemmm, aku tidak suka mempunyai Twa-supek yang kurang ajar!” Kata-kata terakhir ini keluar dari mulutnya seperti makian, penuh kemarahan dan penyesalan. Pada saat itu, Kwi Lan tidak hanya mendongkol teringat akan sikap Suling Emas yang dianggapnya kurang ajar ketika menyuruh ia membuka baju, juga bahkan terutama sekali karena ia mendengar bahwa tokoh ini adalah kekasih ibu kandungnya! Kalau memang kekasihnya, mengapa Suling Emas meninggalkan Ratu Khitan?
Suling Emas terkejut, akan tetapi segera tersenyum, “Hemmm, kau masih salah sangka agaknya. Engkau menganggap, aku kurang ajar karena di Kang-hu tempo hari aku menyuruh engkau membuka bajumu? Ah, anak nakal jangankan kini mengetahui bahwa engkau murid Sian Eng dan masih murid keponakanku sendiri. Andaikata tidak tahu sekalipun, aku bukanlah seorang laki-laki tua yang suka berlaku kurang ajar kepada seorang gadis remaja. Memang kusuruh engkau membuka baju, akan tetapi kata-kataku belum selesai engkau sudah terburu-buru lari dan marah. Tentu saja maksudku agar engkau membuka baju memeriksa dadamu sendiri apakah tidak mengalami luka seperti yang diderita Yu Siang Ki sebagai akibat pukulan lihai dari Pak-kek Sian-ong.” ,
Merah wajah Mutiara Hitam. Memang setelah ia lari dengan marah-marah, di tengah jalan ia mengenang kembali peristiwa itu dan ia pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar ini. Akan tetapi dasar wataknya yang keras, ia tidak mau mengakui begitu saja tentang kekeliruan dugaannya.
“Huh, kakek gila tua bangka itu mana mampu begitu mudah melukai aku? Yu Siang Ki bodoh dan kurang waspada maka dapat terluka. Aku tidak luka apa-apa!”
Suling Emas mula-mula heran dan kagum mendengar ini, kemudian ia mengangguk-angguk. “Agaknya engkau telah mewarisi ilmu kepandaian Sian Eng yang amat aneh maka engkau dapat terhindar dari pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong. Gurumu telah mewariskan ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi sayang kurang memperhatikan pelajaran sopan santun sehingga terhadap uwa guru sendiri engkau berlaku kurang hormat.” Biarpun mulut Suling Emas masih tersenyum namun sepasang matanya memandang penuh teguran.
Sepasang mata yang bening tajam tiba-tiba memandangnya dengan penuh selidik, kemudian terdengar gadis itu bertanya, suaranya lantang dan agak menggetar perasaan.
“Suling Emas.... ada hubungan apakah antara engkau dan.... Ratu Khitan....?”
Seketika wajah yang tenang dan sudah agak pucat itu menjadi makin pucat, sepasang mata pendekar itu menyipit dan keningnya berkerut, kening tebal yang hampir bersambung setelah dikerutkan seperti itu. Pertanyaan yang tak disangka-sangkanya sama sekali ini datangnya terlalu tiba-tiba, lebih-mengagetkan daripada tusukan sebuah pedang yang tajam.
“Apa....? Apa.... maksudmu....?” Ia tergagap sambil menatap wajah gadis itu yang kini membayangkan kekerasan dan kesungguhan.
“Adakah Ratu Khitan itu dahulu pernah menjadi kekasihmu?” Kwi Lan menyerangnya dengan langsung dan tajam.
Kalamenjing di leher Suling Emas bergerak-gerak naik turun ketika ia menelan ludah seperti menelan kembali jantungnya yang meloncat naik ke tenggorokannya. Takkuasa ia menjawab dan tanpa ia sadari, ia mengangguk sungguhpun hatinya mulai dikuasai kemarahan mendengar akan pertanyaan-pertanyaan yang lancang kurang ajar ini.
Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat gadis ini membanting-banting kaki seperti orang marah sekali dan suara gadis itu bercampur isak. “Kalau kau sudah merayunya sehingga dia menjadi kekasihmu, kenapa sekarang kau berada di sini dan meninggalkan dia?” Ucapan ini disertai pandang mata yang tajam menusuk melebihi sepasang pedang pusaka sehingga Suling Emas melangkah mundur setindak. Akan tetapi pendekar besar ini sudah dapat menguasai kekagetan hatinya dan kini kemarahan membuat wajahnya yang pucat menjadi agak merah kembali, sepasang matanya memancarkan sinar berpengaruh, kedua tangannya dikepalkan. Gadis ini terlalu lancang, terlalu kurang ajar. Biarpun gadis ini murid Sian Eng, atau anak Sian Eng sekalipun, terutama sekali kalau anak Sian Eng, bocah ini tidak berhak bersikap seperti itu dan mengorek-ngorek urusan pribadinya secara demikian kurang ajar!
“Bocah kurang ajar tak tahu kesopanan!” bentaknya marah, melangkah maju setindak, telunjuknya ditudingkan ke arah muka Kwi Lan yang memandang dengan tajam penuh tantangan. “Lancang benar mulutmu. Apa pedulimu dengan semua urusanku dan urusan Ratu Khitan? Ada sangkut-paut apakah dengan dirimu?”
Suling Emas yakin akan kewibawaan suara dan pandang matanya, apalagi pada saat itu setelah kemarahannya bangkit dan semua tenaga sin-kang terkumpul di dadanya. Lawan yang tangguh sekalipun akan tergetar. Gadis ini sama sekali tidak keder atau takut, malah kalau tadi ia melangkah maju setindak, gadis itu kini melangkah maju dua tindak dan kalau ia menudingkan telunjuk ke arah muka gadis itu, kini gadis itu menudingkan telunjuknya ke hidung sendiri sambll menjawab ketus.
“Huh, mau tahu? Dia adalah Ibu kandungku!” Setelah berkata demikian, sambil mendengus seperti sapi betina marah, Kwi Lan membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi dari tempat itu.
Jawaban ini seperti halilintar menyambar di atas kepala. Begitu hebat keheranan dan kekagetan hati Suling Emas sehingga ia berdiri terlongong dengan muka pucat, memandang ke arah lenyapnya bayangan gadis itu. Setelah bayangan Kwi Lan lenyap, barulah Suling Emas dapat menguasai hatinya dan ia berseru. “Heii, tunggu jangan lari....”
Akan tetapi baru saja ia menggerakkan kaki hendak lari mengejar, ia mendengar suara dua orang Panglima Khitan yang tadi pingsan oleh pukulan Thai-lek Kauw-ong dan yang kini sudah siuman kembali, “Tai-hiap....!”
Suling Emas menahan kakinya dan menengok. Benar juga, pikirnya. Mereka ini adalah Panglima-panglima Khitan, utusan Lin Lin, dari mereka ini pun aku akan dapat mendengar keterangan tentang Lin Lin dan.... gadis yang mengaku anaknya itu. Maka ia urungkan niatnya mengejar Kwi Lan karena dari sikap gadis itu ia pun merasa sangsi apakah jika dapat menyusulnya ia akan dapat memaksa gadis itu memberi penjelasan. Hatinya tenang kembali dan karena kini tidak ingin menyembunyikan diri lagi terhadap mereka, ia membuka saputangan yang menutupi mukanya dan menghadapi mereka. Begitu melihat wajah di balik saputangan, dua orang Panglima Khitan itu menjadi girang. Dahulu pernah mereka melihat Suling Emas menjadi tamu ratu mereka di Khitan dan kini mereka mengenal muka ini. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut.
“Terima kasih kami haturkan atas pertolongan Taihiap, terutama sekali karena hal ini membuktikan bahwa Taihiap masih belum melupakan sahabat-sahabat dari Khitan.” kata Hoan Ti-ciangkun yang berjenggot panjang.
Suling Emas cepat-cepat mengangkat bangun kedua panglima tua itu. “Ji-wi Ciangkun harap bangun, aku ingin membicarakan hal penting.”
Setelah mereka bangkit kemudian bersama mencari tempat duduk di tempat yang teduh, mulailah Suling Emas menceritakan maksud hatinya.
“Pertama-tama kuharap Ji-wi berjanji bahwa Ji-wi tidak akan membuka rahasiaku kepada siapapun juga. Hanya kepada Ji-wi saja aku suka memperlihatkan muka karena aku ingin minta pertolongan Ji-wi. Maukah Ji-wi berjanji takkan membuka rahasiaku sebagai Suling Emas?”
Dua orang panglima itu saling pandang, kemudian mengangguk. “Kami berjanji.” kata mereka berbareng.
“Juga takkan membuka rahasia kepada ratu kalian?”
Mereka bersangsi sejenak. Kesetiaan mereka terhadap ratu mereka mutlak, akan tetapi, mengingat bahwa mereka tadi tertolong nyawa mereka oleh Suling Emas dan permintaan itu pun tidak melanggar sesuatu, mereka kembali menyatakan setuju.
Lega hati Suling Emas. Ia ingat kembali siapa dua orang ini dan ia merasa yakin bahwa dua orang ini takkan mungkin mau melanggar janji. Demikianlah sikap seorang gagah dari Khitan, jujur dan setia. “Sekarang aku ingat kepada Ji-wi. Bukankah Ji-wi ini Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun, pembantu-pembantu utama Panglima Kayabu?”
Kembali dua orang panglima itu mengangguk. Mereka pun tahu bahwa di antara ratu mereka, Panglima Besar Kayabu, dan Suling Emas terdapat hubungan yang amat erat, bahkan mereka pun tahu bahwa Suling Emas ini adalah kakak angkat ratu mereka. Karena itu, kedudukan Suling Emas di mata mereka seperti seorang Pangeran Khitan yang harus mereka hormati. Hanya saja, mereka tidak menyebut pangeran karena maklum bahwa pendekar besar ini tentu tidak suka disebut demikian.
“Ji-wi Ciangkun.” katanya, “Semenjak meninggalkan Khitan, aku tidak tahu sama sekali akan keadaan di istana. Sukakah kalian memberi penjelasan kepadaku tentang keadaan ratu kalian? Tentu kalian tahu bahwa ratumu adalah adik angkatku. Bagaimanakah keadaannya? Apakah ratumu itu sudah mempunyai putera?”
Dua pasang mata itu berseri gembira. “Ah, sayang bahwa Tai-hiap tidak pernah datang berkunjung ke Khitan. Ratu kami kini, mempunyai seorang putera yang gagah perkasa dan tampan yaitu, Pangeran Talibu yang kami hormati dan cinta.”
Rasa panas menjalar ke dalam dada Suling Emas, jantungnya seperti terbakar, kepalanya pening, pandang matanya berkunang. Berbagai macam dugaan dan pertanyaan muncul dalam hatinya. Mengapa Lin Lin menikah? Kapan dan dengan siapa? Rasa cemburu dan iri menyesak di dalam dadanya dan menurutkan perasaan ini, ingin ia sekali bergerak merobohkan dua orang utusan Lin Lin ini, kemudian pergi ke Khitan untuk memaki-maki bekas kekasihnya yang selalu tak pernah ia lupakan dan yang mengakibatkan ia hidup menderita, merana dan berpenyakitan. Kalau perlu membunuh suami Lin Lin!
Akan tetapi seperti biasa, kesadaran lebih kuat dalam batin pendekar besar ini. Sebentar saja ia sudah menguasai kembali hatinya, mengusir iri dan cemburu dan karena perang yang semacam ini terlalu sering terjadi di hatinya yang selalu dirundung kedukaan dan rindu dendam, biarpun Suling Emas berhasil menguasai hatinya, namun ia tidak dapat mencegah rangsangan batuk yang tiba-tiba datang. Ia terbatuk-batuk dan menggunakan saputangan menutupi mulutnya. Setelah reda, ia menarik napas panjang dan menatap wajah dua orang Panglima Khitan itu yang tadi memandangnya dengan terheran. Siapa takkan menjadi heran melihat seorang pendekar sakti seperti Suling Emas terserang batuk-batuk sedemikian parah seperti keadaan seorang yang lemah saja?
“Ji-wi Ciangkun (Saudara Panglima Berdua), maafkan aku. Beritamu ini benar-benar mengagetkan hatiku. Ah, betapa sudah amat lamanya aku tidak pernah mendengar tentang ratu kalian, adik angkatku itu sehingga aku tidak tahu siapa yang telah menjadi adik iparku. Apakah dia seorang Pangeran Khitan yang gagah perkasa.”
Kini tiba giliran dua orang Panglima Khitan itu yang kaget dan melongo, saling pandang kemudian kembali memandang Suling Emas. “Apa yang Taihiap maksudkan?” kata Hoan Ti Ciangkun. “Ratu kami tak pernah.... tak pernah menikah!” Dalam kata-katanya, panglima ini jelas marah mendengar ratunya dikatakan menikah karena hal ini dianggapnya suatu penghinaan. Akan tetapi Loan Ti Ciangkun sudah dapat lebih dulu mengerti mengapa Suling Emas menduga demikian, maka ia juga cepat menyambung.
“Ah, kami yang keliru, Taihiap. Harap Taihiap maklum bahwa ratu kami tidak menikah dan adapun putera beliau itu adalah putera angkat. Sesungguhnya, Pangeran Talibu itu dahulu adalah putera dari Panglima Kayabu yang dalam usia lima tahun diangkat anak secara resmi oleh ratu kami.”
Keterangan ini membuat hati Suling Emas terasa lapang, seakan-akan sebongkah batu besar yang tadi menindih jantungnya kini terangkat. Demikian lega dan senang hatinya sehingga tanpa ia sadari sendiri ia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha....!” Dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya.
Dua orang Panglima Khitan itu saling pandang, terheran-heran. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa banyak orang sakti berwatak dan bersikap aneh-aneh, maka mereka tidak berkata sesuatu.
“Ji-wi Ciangkun, aku girang bahwa adik angkatku itu kini mempunyai seorang putera yang bernama Pangeran Talibu. Dan.... siapakah namanya puterinya?”
Kini dua orang panglima itu benarbenar heran. “Puterinya? Puteri siapakah, Tai-hiap? Ratu kami tidak mempunyai seorang anak lain kecuali Pangeran Talibu!”
“Hee....? Ada seorang gadis bernama Mutiara Hitam.... dan.... ah, sudahlah. Kalian tidak mengenal Mutiara Hitam?”
Dua orang panglima itu menggeleng kepala dan muai meragukan kewarasan otak pendekar besar ini. Suling Emas termenung, mengerutkan keningnya. Ada banyak rahasia aneh meliputi diri Lin Lin, pikirnya. Kalau Lin Lin tidak menikah lagi, itu tidak aneh karena ia juga selalu percaya akan kesetiaan dan kecintaan hati ratu itu kepadanya. Kemudian, tentang pengangkatan seorang anak, anak Panglima Kayabu yang perkasa, sebagai pangeran, juga hal yang tidak mengherankan. Akan tetapi gadis itu, Mutiara Hitam yang mempunyai kepandaian seperti Sian Eng, yang mengaku murid Sian Eng, yang berwajah dan berwatak seperti Lin Lin di waktu muda, mengapa mengaku sebagai anak Lin Lin? Kemudian surat Lin Lin kepadanya. Bagaimana pula bunyi kalimat itu? TERLALU LAMA MENYIMPAN RAHASIA BESAR. Rahasia apa gerangan yang dimaksudkan Lin Lin? Sampai lama Suling Emas termenung, menimbang-nimbang, mencari-cari namun tetap saja ia tidak dapat menduga rahasia apa gerangan yang disembunyikan kekasihnya dan mengapa pula sekarang setelah berpisah dua puluh tahun, Lin Lin minta agar ia suka datang berkunjung ke Khitan. Kalau tidak ada urusan penting sekali, mengapa harus saling jumpa kembali? Untuk merobek kembali luka yang sudah hampir kering? Betapapun besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan orang yang dicintanya, ia tetap hendak menjaga nama baik kekasihnya itu, menjaga nama baik seorang ratu yang dijunjung tinggi rakyatnya.
“Ji-wi Ciangkun, masih ingatkah janji-janji Ji-wi tadi kepadaku?”
Dua orang panglima itu mengangguk.
“Baiklah kalau begitu, aku akan memenuhi surat undangan ratu kalian yang Ji-wi serahkan kepadaku. Aku akan berkunjung ke Khitan, akan tetapi tidak secara berterang dan selain Ji-wi, tidak boleh ada orang lain mengenalku. Maukah Ji-wi membantuku?”
Dua orang panglima itu kelihatan ragu-ragu, “Tentu saja kami suka membantu Tai-hiap.” jawab Hoan Ti Ciangkun, “akan tetapi...., bagaimana caranya?”
“Aku ingin sekali mengunjungi adik angkatku, akan tetapi aku tidak menghendaki sebagai Suling Emas. Jalan satu-satunya hanya menyamar. Kalian ceritakan kepada ratu kalian tentang penyerangan Thai-lek kauw-ong dan bahwa aku telah membantu kalian. Aku akan menyamar sebagai seorang kakek berjuluk San-siang Lojin (Kakek Pegunungan). Maukah kalian membantuku?”
Dua orang panglima itu menganggukangguk tanda setuju.
“Dan untuk menghilangkan kecurigaan, harap Loan Ti Ciangkun mengangkat aku sebagai pembantu, menjadi seorang perwira penjaga benteng.”
Loan Ti Ciangkun mengangguk-angguk sungguhpun di dalam hatinya ia merasa heran. Memang aneh-aneh sikap orang-orang sakti di selatan ini, pikirnya. Hendak mengunjungi adik angkat saja mengapa mesti menyamar seperti ini? Namun karena ia tahu bahwa ratunya sudah lama mencari kakak angkatnya ini dan yakin bahwa Suling Emas bukan musuh yang patut dicurigai, maka ia tidak membantah dan menganggap hal ini sebagai lelucon.
Setelah berunding, kedua orang panglima itu mencarikan alat-alat yang dibutuhkan untuk penyamaran Suling Emas dan ketika mereka bertiga berangkat ke Khitan, Suling Emas sudah berubah menjadi seorang kakek berjenggot panjang, seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih.
***
Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang ikut bersama Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun menuju ke Khitan dengan hati berdebar tegang karena akan berjumpa dengan wanita yang dicinta dan selama dua puluh tahun tak pernah ia jumpai namun tak pernah pula ia lupa itu. Dan mari kita mengikuti perjalanan dua orang pemuda perkasa yang melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan.
Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tang Hauw Lam terkejut ketika ia tidak melihat Kwi Lan dan Thai-lek Kauw-ong di situ, lalu berseru dan mengajak Kiang-kongcu atau nama lengkapnya Kiang Liong pemuda perkasa murid Suling Emas itu untuk melakukan pengejaran. Kiang Liong tidak mengenal siapa gerangan gadis remaja yang cantik jelita tadi, akan tetapi ia pun merasa khawatir mendengar gadis itu diculik Thai-lek Kauw-ong yang diperkenalkan Bu-tek Siu-lam sebagai tokoh pertama Bu-tek Ngo-sian. Maka ia pun tidak mempedulikan lagi tokoh banci itu dan ikut bersama Hauw Lam melakukan pengejaran setelah ia mengambil alat musik yang-kim yang tadi ia gantungkan pada sebatang pohon. Kiranya Kiang Liong ini pun suka akan seni musik, hanya bedanya kalau gurunya suka meniup suling, dia lebih suka bermain yang-kim. Yang-kim itu buatannya sendiri, berbentuk seekor binatang yang menyeramkan dan jangan dikira bahwa yang-kim ini hanya untuk menciptakan suara merdu karena pemuda itu dapat mempergunakan sebagai sebuah senjata yang amat ampuh.
Biarpun Kiang Liong seorang putera pangeran yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di kota raja Sung, akan tetapi perjalanannya kali ini bukan merupakan perjalanan seorang pemuda bangsawan pergi melancong, akan tetapi lebih merupakan perjalanan seorang pendekar muda yang mendukung sebuah tugas yang berat. Kiang Liong bertugas melakukan penyelidikan ke perbatasan barat, darimana muncul ancaman baru bagi keselamatan Kerajaan Sung.
Keadaan pemerintah Kerajaan Sung ternyata mengalami kemunduran besar. Pada permulaan Kerajaan Sung didirikan oleh Cau Kwang Yin, seorang panglima besar yang pandai akan siasat perang, Kerajaan Sung memang kelihatan kuat, bala tentaranya kuat sehingga berhasil menundukkan dan menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hanya dua buah kerajaan yang tidak ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao di Yu-nan dan Kerajaan Khitan di timur laut dan utara. Selama Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar pertama dan ke dua, kerajaan ini masih memperlihatkan kemajuan. Akan tetapi keadaannya makin lama makin mundur dan mulai masa pemerintahan kaisar ke dua yaitu Kaisar Sung Thai Cung menjelang hari tuanya. Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan tentang kekuatan tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan dalam, kepada kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah kerajaan dan tenggelam dalam kesenangan.
Sikap atau politik inilah yang menyebabkan Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan sedemikian lemahnya sehingga tidak lagi kerajaan ini mempergunakan senjata untuk menjaga keselamatan negara, melainkan menggunakan emas dan perak untuk “menyogok” dan menawan hati calon musuh sehingga si musuh tidak tega atau segan untuk menyerang Kerajaan Sung. Maka timbullah kebiasaan mengirim upeti kepada kerajaan-kerajaan lain, terutama Kerajaan Khitan.
Pada waktu cerita ini terjadi, Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu Kaisar Chen Cung (998-1022). Dia adalah keponakan dari kaisar pertama dan terkenal sebagai seorang yang anti kekerasan, anti perang dan berusaha mempengaruhi dan merobah atau membelokkan Agama Buddha dan Tao demi keuntunganpribadinya. Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya adalah orang-orang pilihan Tuhan yang bertugas sebagai wakil Tuhan menjadi kaisar di bumi! Ia lebih tenggelam kepada perkembangan kebudayaan dan sama sekali tidak becus mengatur pemerintahan, apalagi menyusun kekuatan untuk melindungi negara daripada ancaman dan bahaya dari luar. Bahkan dinyatakan oleh Kaisar Chen Cung bahwa kerajaannya tidak membutuhkan kekuatan militer, akan tetapi membutuhkan kekuatan gaib yang timbul dari kemajuan batin, terutama berkat wibawa Sang Kaisar!
Kaisar ke tiga dari Kerajaan Sung ini sama sekali buta terhadap ancaman-ancaman yang selalu mengelilingi kerajaannya, tidak melihat betapa banyak kekuatan-kekuatan yang mengilar menginginkan kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau tidak acuh terhadap munculnya bangsa Hsi-hsia di perbatasan barat. Bangsa Hsi-hsia ini adalah bangsa perantauan seperti keadaan bangsa Khitan, yang muncul dari barat. Sebagai bangsa perantau mereka ini ulet dan tahan uji. Mereka melihat akan kelemahan Kerajaan Sung, melihat pula akan politik Kaisar Sung yang selalu mengalah serta murah hati, oleh karena itu mereka mulai dengan petualangannya ke pedalaman. Di antara para pimpinan bangsa Hsi-shia ini terdapa banyak orang pandai dan sakti dari barat dan mereka ini sudah mulai memperlihatkan kepandaiannya untuk mencari pengaruh dan kekuasaan di antara penduduk pedalaman di sekitar tapal batas sebelah barat.
Hanya karena desakan dan peringatan para panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan yang masih ingat akan kewaspadaan saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh perhatian dan akhirnya diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan penyelidikan. Inilah sebabnya maka Kiang Liong melakukan perjalanan, keluar kota raja dan secara kebetulan pemuda ini bertemu dengan Tang Hauw Lam dan Kwi Lan yang hampir celaka dalam tangan Bu-tek Siu-lam.
Kini Kiang Liong dan Hauw Lam melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan. Akan tetapi sampai jauh mereka mengejar, belum juga mereka dapat menyusul Thai-lek Kauw-ong. Sudah terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga mereka terlambat dan tidak tahu betul arah mana yang diambil kakek itu. Kiang Liong yang tadi terpaksa menahan kecepatan geraknya untuk mengimbangi kecepatan Hauw Lam, menarik napas panjang dan berkata.
“Sobat, tiada gunanya mengejar lagi kalau kita belum tahu betul ke mana iblis itu pergi. Lebih baik kita berpencar saja. Aku sedang melakukan perjalanan ke barat, biarlah aku mengejar ke barat dan kau boleh melanjutkan pengejaranmu ke mana kausuka. Kalau aku bertemu dengan iblis itu, jangan khawatir, tentu aku akan turun tangan membantu.... eh, siapa nama Nona tadi?”
“Mutiara Hitam.”
“Mutiara Hitam...., tentu dia bukan sembarang orang dan biarpun dia sudah tertawan, kurasa tidak akan mudah bagi kakek iblis itu untuk mencelakainya.”
“Kau betul, Kiang-kongcu. Dengan berpencar kita akan lebih berhasil. Terima kasih atas bantuanmu dan sampai jumpa!” kata Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu lagi karena ia amat mengkhawatirkan nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan hatinya itu. “Agar Kongcu tidak lupa, namaku adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi Mutiara Hitam menyebutku Si Berandal!”
Setelah menjura, Hauw Lam lalu melompat dan melanjutkan pengejaran ke utara. Kiang Liong berdiri dan tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada diri sendiri. “Bocah itu mabok asmara, tak salah lagi. Mudah-mudahan tidak akan gagal, dia anak baik....” Sambil bicara seorang diri pemuda yang tenang ini lalu melanjutkan perjalanannya ke barat sambil memasang mata penuh perhatian ke sekelilingnya kalau-kalau kakek gundul yang melarikan Mutiara Hitam itu lewat di situ dan meninggalkan jejak.
Sambil melanjutkan perjalanan untuk melakukan penyelidikan, Kiang Liong mengingat-ingat akan segala keterangan yang diperolehnya tentang bangsa Hsi-hsia ini. Menurut keterangan yang ia kumpulkan, bangsa yang menjadi ancaman baru ini dipimpin oleh pendeta-pendeta Tibet yang mendirikan Kerajaan Tangut. Pendeta-pendeta berjubah merah dari Tibet ini memang banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Adapun bangsa Hsi-hsia yang mereka pimpin merupakah bangsa berdarah campuran.
Setelah melanjutkan perjalanannya selama beberapa hari, Kiang Liong tidak menemukan jejak Mutiara Hitam dan penculiknya, juga tidak melihat adanya gerakan-gerakan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia memperoleh keterangan bahwa beberapa bulan yang lalu barisan besar bangsa Hsi-hsia berbondong-bondong menuju ke selatan. Tak seorang pun di antara penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak dilakukan barisan itu dan ke mana perginya. Hanya yang jelas tampak bekas amukan mereka pada setiap dusun yang mereka lalui. Tidak ada harta benda dan wanita muda yang mereka lepaskan begitu saja. Tidak ada dusun yang mereka lalui tanpa mengalami korban yang amat banyak, pembunuhan sewenang-wenang, perampokan, perkosaan dan penculikkan.
Kiang Liong menghela napas panjang menyaksikan ini semua. Selama ia mengikuti jejak barisan bangsa Hsi-hsia, entah sudah berapa puluh kali ia berhenti untuk mengubur jenazah-jenazah wanita muda yang menggeletak begitu saja di pinggir jalan, ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia. Melihat wanita-wanita muda tewas tanpa pakaian itu, ada di antaranya yang sudah menjadi korban binatang buas sehingga mayatnya tidak utuh lagi, Kiang Liong teringat akan bunyi sajak tentang bunga-bunga yang dicampakkan begitu saja ke dalam lumpur setelah habis diisap madunya dan dinikmati harumnya. Karena banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering berhenti di dusun-dusun yang menjadi korban keganasan bangsa Hsi-hsia untuk menolong mereka yang terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat. Dan memang bukan kehendaknya untuk mengejar barisan yang menurut taksiran penduduk berjumlah puluhan ribu orang itu. Ia hanya ingin menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai berapa jauhnya gerakan mereka mengancam Kerajaan Sung.
Ia dapat mengumpulkan makin banyak keterangan dari para penduduk dusun-dusun yang dilalui. Menurut berita itu, barisan ini dipimpin oleh perwira-perwira yang perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh serombongan pendeta berjubah merah. Di tengah-tengah para pendeta berjubah merah ini terdapat sebuah tandu yang tertutup sutera-sutera merah. Di dalamnya tentu ada orang karena menurut para penduduk, ada suara orang yang halus dan rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing, dan adakalanya gadis tercantik yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara paksa. Namun tidak ada seorang pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang berada di dalam tandu dan seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang Liong kini adalah bahwa semua pendeta jubah merah menyembah-nyembah penghuni tandu seperti menyembah dewa, sedangkan para perwira tunduk dan taat kepada perintah para pendeta, sebaliknya para anggauta barisan juga taat kepada pimpinan para perwira. Pendeknya, barisan ini merupakan barisan yang amat kuat.
Makin jauh ke selatan ia mengikuti jejak barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir hati Kiang Liong. Kini ia telah memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao! Mau apa barisan orang-orang Hsi-hsia ke Nan-cao? Kerajaan Nan-cao adalah kerajaan ke dua yang bersahabat dengan Kerajaan Sung, setelah Kerajaan Khitan. Dan dia sendiri bersahabat dengan kaum Beng-kauw yang berkuasa di Nan-cao. Sudah dua kali ia mewakili gurunya, Suling Emas, berkunjung ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw. Karena ia sudah hampir sebulan ketinggalan oleh barisan Hsi-hsia, kini Kiang Liong mempercepat perjalanannya.
Begitu memasuki dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Nan-cao, mulailah ia mendengar berita tentang perang yang mencemaskan hal itu. Perang penyerbuan barisan Hsi-hsia ke kota raja Nan-cao dan betapa bala tentara Nan-cao menyambut musuh di luar kota raja dan di mana terjadi perang sampai hampir sebulan lamanya. Akan tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul mundur, demikian menurut berita yang didengarnya.
Pada hari itu ketika Kiang Liong menuruni lereng pegunungan kecil, memasuki daerah yang tandus berbatu, tiba-tiba ia mendengar suara ramai-ramai di sebelahdepan. Ia merasa curiga. Daerah tandus ini tidak ditinggali manusia, tanahnya terlalu tandus dan dari puncak pegunungan tadi ia tidak melihat adanya dusun. Akan tetapi suara di depan itu menandakan banyak orang berada disana, diseling suara tertawa-tawa dan suara wanita marah-marah. Ia mempercepat jalannya dan setelah membelok di sebuah tikungan yang tertutup batu besar, ia melihat sedikitnya ada dua puluh orang laki-laki yang buas dan asing mengurung dua orang wanita muda yang cantik jelita dan bersikap gagah. Begitu melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi kaget dan menurutkan kata hatinya, ingin ia sekali bergerak melemparkan dua puluh orang laki-laki kasar itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan ia cukup tahu bahwa dua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis lemah, maka ia menyelinap dan mengintai untuk melihat dan mendengar sebelum menentukan apakah ia perlu turun tangan menolong.
Dua orang gadis itu cantik sekali, kecantikan daerah selatan yang panas. Seorang di antara mereka, yang wajahnya lembut dan agak lebih tua, berusia kurang lebih dua puluh tahun, pakaiannya berwarna kuning dan rambutnya yang hitam digelung ke atas. Gadis ke dua paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya serba merah, gagang pedang tersembul di belakang punggungnya, membuat ia tampak gagah sekali. Wajahnya lebih manis dan galak! Dan gadis yang lebih muda inilah yang kini membentak dan memaki.
“Anjing-anjing Hsi-hsia, kalian sudah terusir keluar dari negeri kami, masih berani berkeliaran di sini. Hemm, sungguh kebetulan,sekali, sebelum membasmi seribu ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas hatiku!”
“Betul, Adikku. Kita harus bunuh anjing-anjing ini agar tidak penasaran arwah orang tua kita.” kata gadis yang berpakaian kuning. Mereka berdua menggerakkan tangan dan sudah mencabut pedang masing-masing.
“Huah-ha-ha-ha, bidadari-bidadari cantik manis, kenapa galak amat? Mari bersenang dengan kami, jago-jago dari Hsi-hsia!” Seorang di antara dua puluh laki-laki kasar itu, yang berambut merah, berkata sambil menyeringai lebar. Teman-temannya tertawa bergelak dan mereka mengurung dua orang gadis itu dengan sikap menjemukan, seperti segerombolan harimau mengurung dua ekor kelinci yang hendak dipermainkan lebih dulu sebelum dijadikan mangsa.
Tiba-tiba tampak dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya dua orang Hsi-hsia, seorang diantaranya adalah Si Rambut Merah. Ternyata dua orang gadis itu sudah mulai turun tangan, gerakan pedang mereka amat cepat sehingga dalam. sekejap mata saja dua orang laki-laki kasar yang nampak kuat itu sudah roboh binasa. Hal ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh gerombolan orang Hsi-hsia itu sehingga mereka menjadi kaget sekali dan kalau tadinya mereka bergembira hendak mengganggu dan berkurang ajar, kini mereka menjadi marah. Tampak kilatan senjata ketika mereka semua mencabut golok melengkung lebar dari pinggang.
Kiang Liong yang menonton dari tempat pengintaiannya tidak bergerak, ia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan orang-orang kasar itu, dua orang gadis ini tentu tidak akan kalah dan tidak membutuhkan bantuannya. Ia tersenyum dan memandang kagum. Lima enam tahun yang lalu ketika ia berkunjung ke Nan-cao, dua orang gadis itu masih amat muda, masih remaja. Kini mereka telah menjadi dewasa yang selain cantik manis, juga memiliki ilmu silat yang cukup mengagumkan, tidak mengecewakan kalau mereka menjadi cucu Ketua Beng-kauw. Ia masih ingat betapa enam tahun yang lalu, dua orang gadis yang dulu masih cilik, tanpa malu-malu menemuinya dan mendengar pujian ayah mereka tentang diri Kiang Liong, mereka tanpa sungkan-sungkan minta petunjuk-petunjuk ilmu silat.
Dua orang gadis itu adalah puteri-puteri dari adik tiri gurunya yang bernama Kam Bu Sin, mantu Ketua Bengkauw. Yang tua bernama Kam Siang Kui sedangkan adiknya, dua tahun lebih muda, bernama Kam Siang Hui. Kiang Liong masih ingat betul betapa sejak enam tahun yang lalu, Siang Hui lebih berani dan lebih galak. Kini ia dapat mengenal dua orang gadis itu. Tentu nona baju merah itulah Kam Siang Hui, sedangkan yang berpakaian kuning dan bersikap lebih tenang adalah Kam Siang Kui.
Akan tetapi, ketika tadi ia mendengar ucapan dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar gelisah. Ia cerdik dan sekali mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik itu, ia sudah dapat menduganya. Tentu dua orang gadis itu kehilangan orang tua mereka dalam perang melawan bangsa Hsi-hsia yang menyerbu Nan-cao. Dan ia menjadi heran dan juga gelisah. Paman gurunya, Kam Bu Sin, memiliki kepandaian tinggi, juga ibu kedua orang gadis itu, yang bernama Liu Hwee, adalah puteri tunggal Ketua Beng-kauw dan memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi. Kalau mereka berdua sampai gugur di medan perang, berarti bahwa fihak musuh memiliki orang-orang yang sakti.
Betapapun cemas dan gelisah hati Kiang Liong namun ia tidak mau keluar untuk membantu Siang Kui dan Siang Hui. Sebagai seorang pendekar ia tentu saja mengerti bahwa membantu orang-orang gagah yang sama sekali tidak perlu dibantu mendatangkan kesan yang tidak baik dan dapat menyinggung perasaan. Maka ia hanya menonton, walaupun siap untuk turun tangan kalau-kalau dua orang gadis itu terancam bahaya.
Dua orang gadis itu mengamuk seperti dua ekor naga. Gulungan sinar pedang mereka yang berwarna putih berkilauan seperti perak, menyambar-nyambar dan para pengeroyok yang hanya terdiri dari orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga itu mulai roboh seorang demi seorang. Dalam waktu singkat saja belasan orang roboh mandi darah dan sisanya mulai gentar, bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh hendak melarikan diri.
“Cici, jangan biarkan anjing-anjing itu lari!” seru Siang Hui sambil memutar pedang mendesak maju, merintangi mereka yang hendak lari. Siang Kui mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah tiga orang lawan yang sudah lari itu, punggung mereka tertusuk senjata rahasia yang berbentuk anak panah. Sisa gerombolan yang hanya tinggal enam orang itu menjadi nekat. Sambil berteriak-teriak liar mereka menyerbu mati-matian, namun kenekatan mereka tiada gunanya karena dengan mudah saja Siang Kui dan Siang Hui merobohkan mereka. Dua puluh satu orang menggeletak malang-melintang di depan dua orang gadis itu yang seakan-akan telah menjadi gila saking marah dan sakit hatinya sehingga kini mereka membacok dan menusuki korban yang masih dapat bergerak-gerak dan berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak bernyawa lagi! Biarpun Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa duka kehilangan ayah bunda, namun tetap saja ia menganggapnya terlalu kejam dan tidak baik. Maka kini ia melompat keluar dan berseru,
“Adik-adik....! Cukuplah....!”
Siang Kui dan Siang Hui yang mukanya masih kemerahan dan beringas, membalikkan tubuh dengan sigapnya, siap menghadapi lawan baru. Mula-mula mereka pangling melihat seorang pemuda berpakaian putih yang berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan pandang mata penuh teguran itu sehingga mereka makin mempererat genggaman tangan pada gagang pedang. Akan tetapi ketika mereka melihat alat musik yang-khim tergantung di belakang punggung dan tampak tersembul di belakang pundak pemuda itu, mereka segera mengenal orangnya.
“Liong-twako (Kakak Liong)....!” mereka berseru bergantian sambil berlari maju menghampiri Kiang Liong, wajah mereka yang tadinya merah beringas itu berubah lembut, bahkan agak berseri ketika dua pasang mata itu memandang Kiang Liong dan mereka cepat-cepat menyimpan kembali pedang yang tadi dipakai mengamuk.
“Ji-wi Siauw-moi (Kedua Adik) mengapa berada di sini dan membunuhi orang-orang ini? Ji-wi hendak pergi ke manakah?”
Ditanya begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk Kiang Liong sambil menangis. Ketika Kiang Liong berkunjung ke rumah gadis itu enam tahun yang lalu, Siang Hui baru berusia dua belas tahun maka kini bertemu pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia kini sudah berusia delapan belas tahun. Ia sesenggukan di dada Kiang Liong yang menepuk-nepuk pundaknya. Melihat adiknya menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan tetapi yang lebih tua hanya berani memegang lengan Kiang Liong sambil berkata,
“Ah, engkau tidak tahu, Liong-twako....! Mereka ini adalah musuh-musuh Nan-cao, mereka ini anjing-anjing Hsi-hsia yang telah menyerbu Nan-cao.... dan.... dan.... dalam pertempuran.... Ayah dan Ibu kami telah gugur....”
Kiang Liong mengangguk-angguk. Untung tadi ia sudah mendengar dan dapat menduga, kalau tidak, tentu ia akan terkejut sekali. Karena ia sudah tahu, maka kini ia dapat mengeluarkan kata-kata hiburan untuk membangkitkan semangat.
“Ah, Adik-adikku. Aku juga ikut berduka sekali atas kematian Ayah Bunda kalian. Akan tetapi ingatlah bahwa mati hidup manusia berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Dan kalau diingat, kematian Ayah Bunda kalian dalam tugas membela negara adalah kematian pahlawan yang amat terhormat dan sungguhpun kehilangan ini amat mendukakan hati, namun kematian beliau berdua itu patut dibuat bangga! Aku sudah mendengar bahwa bangsa Hsi-hsia yang menyerbu ke Nan-cao dapat dipukul mundur. Pengorbanan orang tua kalian bukan sia-sia kalau begitu.”
Ucapan pemuda itu tentu akan menjadi hiburan yang manjur dan dapat membangkitkan semangat, apalagi kalau diingat bahwa dua orang gadis ini bukan keturunan sembarangan, melainkan keturunan suami isteri yang gagah perkasa dan masih cucu Ketua Beng-kauw yang sakti. Akan tetapi sungguh di luar dugaan Kiang Liong. Mereka itu hanya sebentar saja terhibur dan sinar mata mereka bercahaya penuh semangat, akan tetapi di lain saat mereka telah menangis lagi tersedu-sedu. Kemudian Siang Hui yang kini berkata dengan suara penuh duka.
“Liong-twako, malapetaka itu lebih hebat daripada yang kauduga. Tidak hanya Ayah Bunda kami yang gugur, bahkan Han Ki, adik kami yang baru berusia sebelas tahun terculik dan.... Kong-kong (Kakek) serta sebagian besar pimpinan Beng-kauw juga tewas di tangan musuh....“
“Apa....” Kini Kiang Liong tak dapat menahan kekagetan hatinya. Berita ini terlalu hebat. “Bagaimanakah orang Hsi-hsia mampu menewaskan orang-orang seperti Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) dan para pimpinan Beng-kauw?”
“Diantara barisan Hsi-hsia terdapat orang-orang sakti, dan agaknya mereka ini memang menyelundup bersama barisan Hsi-hsia untuk menyerbu Beng-kauw. Buktinya mereka tidak peduli akan kekalahan barisan Hsi-hsia dan lebih mengutamakan penghancuran pimpinan Beng-kauw. Mereka adalah pendeta-pendeta berjubah merah yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian lihai, dipimpin oleh seorang wanita setengah tua yang cantik dan berambut panjang dan seorang kakek pendeta jubah merah yang kaki kirinya buntung sebatas lutut. Dua orang inilah yang lihai sekali dan yang berhasil menewaskan Kong-kong dan para pimpinan Beng-kauw, termasuk Ayah Bunda kami. Liong-twako, kautolonglah, bantulah kami untuk membalas dendam dan menolong adik kami Han Ki.”
“Tentu aku suka membantu kalian. Akan tetapi, ke mana kita akan mencari? Dan ke mana pula kalian hendak pergi sebelum bertemu dengan pasukan musuh ini?”
“Tadinya kami hendak pergi menghadap Kakek Kauw Bian Cinjin untuk minta pertolongannya.” jawab Siang Kui.
Wajah Kiang Liong yang tadinya menjadi muram karena berita duka yang hebat itu agak berseri, “Ahhh, jadi Locianpwe Kauw Bian Cinjin tidak gugur bersama pimpinan Beng-kauw?”
Siang Kui menggeleng kepala dan menghapus air matanya. “Kakek Kauw Bian Cinjin sudah tiga tahun lebih mengundurkan diri dari Beng-kauw dan pergi bertapa di Puncak Tai-liang-san, maka terhindar dari malapetaka. Hanya beliau yang dapat membantu kami, dan untung kami bertemu denganmu di sini, Liong-twako. Musuh amat kuat dan biarpun tentara Hsi-hsia sudah terpukul mundur dari Nan-cao, namun mereka masih berkeliaran di sekitar tapal batas barat. Buktinya di sini kami bertemu dengan anjing-anjing ini yang agaknya memang menghadang perjalanan kami. Menurut para penyelidik, kakek dan nenek sakti bersama para pendeta berjubah merah bersembunyi di Pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang.”
Tiba-tiba Kiang Liong menggerakkan kedua tangannya mendorong pundak kedua orang gadis itu sehingga mereka itu terlempar dua meter lebih, terhuyung-huyung.
“Eh, ada apa, Twako....?” Siang Hui menegur, juga Siang Kui terkejut sekali.
Akan tetapi Kiang Liong sudah meloncat sambil membalikkan tubuhnya kedua tangannya menangkis dan runtuhlah beberapa buah peluru hitam yang menyambar ke arah tubuhnya. Kini barulah dua orang gadis itu tahu bahwa tadi pun ada beberapa buah peluru hitam menyambar ke arah mereka dan kalau tidak ada Kiang Liong yang mendorong mereka, tentu mereka menjadi korban. Mereka memandang dengan mata terbelalak, merasa ngeri betapa ada orang dapat membokong mereka tanpa mereka ketahui. Hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa orang yang melepas senjata rahasia itu tentulah orang yang amat lihai.
“Huah-ha-ha-heh-heh! Orang muda, kautangkas juga!” Terdengar suara terkekeh-kekeh dan muncullah seorang kakek bertubuh kecil dari balik sebatang pohon besar yang tiada berdaun lagi. Kakek ini amat kurus dan tua, hanya rangka terbungkus kulit keriput, bajunya tak berlengan, kedua pergelangan lengannya terlindung selubung hitam, entah dari bahan apa. Kuku tangannya panjang-panjang seperti kuku setan, melengkung runcing. Kumisnya kecil menjuntai lesu. Kakinya telanjang pula. Pinggangnya memakai sabuk yang ada dompet-dompetnya kecil berjajar. Punggungnya menggendong bambu besar dan bambu kecil, dan sepasang mata orang aneh ini kelihatan menghitam menakutkan. Mulutnya bergerak-gerak tertawa terpingkal-pingkal dan terbahak-bahak, akan tetapi mukanya, terutama matanya, sama sekali tidak membayangkan tawa, bahkan amat serius dan sungguh-sungguh.
Kiang Liong bersikap tenang. Ia maklum bahwa orang didepannya ini adalah seorang berilmu tinggi dan agaknya termasuk golongan hitam. Maka ia menjura dan bertanya.
“Agaknya saya berhadapan dengan seorang Cian-pwe. Selamanya, belum pernah saya Kiang Liong dan kedua orang adik saya ini bertemu dengan Cian-pwe, mengapakah begitu bertemu Locianpwee lalu menyerang kami dan siapakah julukan Locianpwe?”
“Ha-ha-ha, heh-he-heh! Girang sekali hatiku mendengar orang-orang Beng-kauw terutama sekali si bedebah Liu Mo si mata keranjang yang banyak bininya itu mampus! Ha-ha-ha! Dan untungku bertemu dengan dua orang cucunya. Heh, orang muda, apakah kau orang Bengkauw? Kalau bukan, lekas pergi jangan mencampuri urusan Siauw-bin Lo-mo! Serahkan dua orang bocah ini kepadaku agar puas hatiku dan lunas perhitunganku dengan Beng-kauw!”
Kiang Liong mengerutkan keningnya dan diam-diam menjadi marah sekali. Kiranya inilah yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?
“Hemm, Locianpwe yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian? Pantas saja tidak segan bersikap keji, tidak jauh bedanya dengan Bu-tek Siu-lam yang pernah saya jumpai. Saya tidak mempunyai kehormatan untuk menjadi anggauta Beng-kauw yang terkenal, akan tetapi para pimpinan Beng-kauw adalah orang-orang tua yang saya hormati, sedangkan yang muda-muda adalah saudara-saudara saya. Locianpwe baru dapat mengganggu kedua orang adik saya ini setelah melalui mayat saya!”
“Ha-ha-ha, heh-heh, orang muda yang bernyali besar! Kau sudah bosan hidup?” Sambil terkekeh-kekeh ketawa mengejek Siauw-bin Lo-mo menerjang maju. Gerakan Siauw-bin Lo-mo amatlah cepatnya dan senjata-senjatanya hanyalah jari-jari kuku tangannya. Akan tetapi, kuku jari tangan ada sepuluh buah banyaknya dan setiap kuku runcing tajam mengandung racun sehingga sama dengan memegang sepuluh buah senjata yang amat berbahaya! Tubrukannya liar ganas, gerakannya cepat laksana burung menyambar. Ia menerjang sambil tertawa, mengira bahwa sekali tubruk ia akan mampu merobohkan lawannya yang masih muda. Akan tetapi perkiraannya jauh meleset dan ia terheran-heran ketika ternyata menubruk tempat kosong dan pemuda yang tampan dan tenang itu tahu-tahu telah lenyap. Ia hanya mendengar angin berseliwer di samping kanannya, maka cepat Siauw-bin Lo-mo membalikkan tubuhnya. Benar saja, pemuda itu sudah berdiri di belakangnya dan kini kedua tangan pemuda itu sudah memegang dua buah senjata yang lucu dan aneh. Tangan kanannya memegang sebatang pensil bulu sedangkan tangan kirinya memegang pensil kayu!
Sebetulnya kalau menurutkan wataknya sebagai seorang pendekar yang enggan bersikap curang, melihat lawan bertangan kosong, Kiang Liong hendak melayani dengan tangan kosong pula. Akan tetapi, serangan pertama tadi membuat ia terkejut karena kuku-kuku jari tangan lawan mengeluarkan sinar hitam dan ia mencium bau amis, maka tahulah ia bahwa lawannya ini seorang tokoh jahat yang mempunyai keahlian tentang racun, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mencabut keluar sepasang pensilnya. Juga gerakan kakek ini amat cepat, menandakan bahwa lawan ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh tidak di sebelah bawah tingkat Bu-tek Siu-lam yang lihai itu!
Di lain pihak, Siauw-bin Lo-mo ketika melihat betapa gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya dan kemudian melihat sepasang senjata di tangan Si Pemuda, juga terkejut bukan main. Senjata itu saja sudah merupakan bukti bahwa pemuda ini benar-benar bukan lawan sembarangan karena hanya orang yang tinggi tingkat kepandaiannya saja dapat mempergunakan senjata sekecil dan seringan itu. Makin kecil ringan serta lemah senjatanya, makin tinggilah kepandaian orang.
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang tokoh yang belum pernah bertemu tanding, kecuali ketika ia terpaksa mengakui keunggulan Kauw Bian Cinjin beberapa tahun yang lalu. Karena kekalahannya dari tokoh Beng-kauw inilah maka ia mendendam sakit hati kepada Beng-kauw. Karena merasa dirinya memiliki kepandaian tinggi jarang ada tandingnya, maka tentu saja kini ia tidak gentar menghadapi lawan yang masih muda, sungguhpun ia maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan.
“Ho-ho-ha-ha, sayang kalau seorang muda seperti engkau mampus di tanganku. Kaulihat kelihaianku! Ha-ha-ha!” Kini ia menerjang maju dengan gerakan teratur, tidak asal tubruk lagi seperti tadi. Ternyata ilmu silatnya tangan kosong dahsyat, mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan gerakan kedua tangannya cepat sekali. Kuku panjang itu terpentang dan menyambar-nyambar dari segala jurusan secara tidak terduga-duga. Agaknya kakek ini sudah tidak sabar lagi untuk cepat-cepat menjatuhkan lawan mudanya, maka ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat dengan keyakinan bahwa seorang muda seperti Kiang Liong tak mungkin dapat mengatasi serangannya ini.
Akan tetapi kenyataannya jauh berbeda dengan keyakinan hatinya. Pemuda itu dengan gerakan sigap dan amat indah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari rangsangan serangannya, bahkan balas menyerang karena sepasang pensil itu menyambut serangan-serangannya dengan totokan-totokan pada jalan darah di pergelangan, telapak tangan, dan dekat siku. Dengan cara ini, dari keadaan terserang Kiang Liong berbalik menyerang karena sebelum setiap pukulan dan cakaran lawan mendekati tubuhnya, ia telah mendahului dengan totokan yang amat kuat dan tepat sasarannya. Keyakinan Siauw-bin Lo-mo untuk mendesak pemuda itu menjadi berbalik kenyataannya sehingga dia sendiri yang terdesak dan kalau saja ia tidak lihai mainkan gelang baja pelindung pergelangan tangan, tentu ia siang-siang sudah menjadi korban totokan!
“Heh-heh, kau berani mati!” bentaknya sambil bergelak dan tubuhnya tiba-tiba merobah gerakan. Kini kuku-kukunya yang runcing itu tidak langsung menyerang tubuh lawan, melainkan berusaha mencengkeram pensil lalu disusul cengkeraman ke arah lengan atau bagian tubuh terdekat apabila Kiang Liong menarik senjatanya karena khawatir terkena cengkeraman yang kuat itu. Dengan siasat gerakan macam ini, keadaan kembali menjadi terbalik dan kini pemuda itulah yang tampaknya terdesak. Kuku-kuku yang panjang runcing berbisa, ditambah baja pelindung pergelangan tangan kakek itu benar-benar amat menyulitkan sasaran totokan kedua pensilnya. Kini bahkan kakek itu mulai berloncatan seperti monyet, akan tetapi secara tidak terduga-duga kedua kakinya kadang-kadang melakukan tendangan-tendangan berantai, bukan tendangan biasa, melainkan tendangan disertai cengkeraman jari kaki yang dapat membentuk cakar garuda!
Lima jari kuku tangan kiri yang runcing itu mencengkeram dengan gerakan cepat ke arah pansil bulu di tangan kanan Kian Liong. Pemuda ini mengelakkan pensil bulunya dan cepat menotok dengan pensil kayu di tangan kiri mengarah ke leher lawan. Akan tetapi terdengar suara keras ketika pensil kayu itu tertangkis oleh pelindung pergelangan kanan kakek itu yang melanjutkan gerakan tangan kanan dengan cengkeraman ke arah lengan kiri Kiang Liong. Pemuda ini tidak membiarkan dirinya dicengkeram, cepat ia menggeser kaki ke kanan sehingga tubuhnya miring dan cengkeraman itu luput. Pada detik itu secara tak tersangka-sangka kaki kiri lawannya bergerak menendang ke arah perut. Tendangan yang keras dan cepat sekali datangnya. Kiang Liong kaget dan menggerakkan pensil bulu ke arah kaki itu, menotok ke arah mata kaki, kemudian pensil kayunya secepat kilat menotok ke leher kanan lawan.
“Breettt....! Takkk....!”
Siauw-bin Lo-mo berseru kaget dan terhuyung. Kiang Liong juga berseru kaget dan cepat memutar kedua senjatanya di depan tubuh untuk membentuk gaya bertahan. Kiranya tadi secara tak terduga-duga, kakek itu hanya mengelak sedikit dan membiarkan pundaknya mewakili leher menerima totokan sambil mengerahkan sin-kang dan tangan kirinya cepat-cepat mencengkeram ke arah pinggang kanan Kiang Liong. Pemuda ini kaget bukan main, cepat ia mendoyongkan tubuh ke belakang sehingga otomatis totokannya yang semula ditujukan ke leher lawan kemudian oleh lawannya sengaja diterima dengan pundak itu tidak mengenai secara tepat sekali. Namun karena tenaga yang tersalur melalui pensil kayu itu adalah tenaga sin-kang murni dan kuat, maka akibatnya cukup membuat Siauw-bin Lo-mo terhuyung ke belakang dengan muka berubah.
Kiang Liong juga kaget. Tahulah ia bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu merobah gerakan. Kini ia menerjang maju dan sepasang senjatanya itu dipegang seperti orang hendak menulis, kemudian mulailah ia menggerakkan sepasang pensil seperti menulis huruf-huruf di udara, mencorat-coret ke arah lawan. Gerakannya wajar, seperti hendak menuliskan pensil-pensilnya di atas tubuh lawan. Akan tetapi akibatnya hebat sekali. Silau rasanya mata Siauw-bin Lo-mo menghadapi coretan-coretan itu karena ia menjadi bingung sekali. Berkali-kali ia menangkis dengan kedua tangannya bahkan berusaha merampas sepasang pensil yang amat lihai itu, namun sia-sia hasilnya malah hampir saja ia terkena totokan yang sama sekali tak disangkanya. Gerakan mencorat-coret seperti orang menulis itu ternyata merupakan serangan-serangan maut dan setiap gerakan mengandung tenaga yang amat kuat. Lebih hebat lagi tenaga yang keluar dari gerakan sepasang pensil itu berbeda, bahkan berlawanan sehingga amat membingungkan kakek yang tadinya merasa bahwa di dunia ini jarang ada orang mampu menandinginya. Kini menghadapi seorang pemuda saja ia sudah kewalahan, jangankan hendak mengalahkannya atau mengenal ilmu silatnya yang luar biasa itu.
Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa ilmu silat yang dimainkan Kiang Liong itu adalah ilmu silat simpanan yang diturunkan oleh Suling Emas kepadanya! Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang dahulu diciptakan oleh manusia dewa Bu kek Siansu dan kemudian diturunkan kepada Suling Emas. Ilmu silat ini adalah gerakan silat tinggi yang disesuaikan dengan ilmu kesusastraan. Hanya orang yang sudah menguasai sastra secara mendalam, yang dapat menulis huruf-huruf indah dan kuat saja akan mampu menguasai Hong-in Bun-hoat. Tentu saja ia harus memiliki dasar ilmu silat tinggi yang sudah matang pula. Biarpun Kiang Liong adalah seorang pelajar yang pandai ilmu sastra dan juga sudah digembleng ilmu silat tinggi oleh gurunya, namun ia hanya mampu menguasai delapan bagian saja dari ilmu yang sakti ini. Untuk dapat menguasai ilmu ini sampai sepuluh bagian atau seluruhnya membutuhkan pengalaman bertahun-tahun seperti Suling Emas. Betapapun, yang delapan bagian ini sudah cukup membuat seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo menjadi sibuk dan terdesak hebat.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui menonton pertempuran ini dengan pandang mata kagum. Menyaksikan kehebatan sepak terjang kakek aneh itu, mereka berdua tahu diri dan tidak berani maju membantu Kiang Liong. Mereka maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek itu, maka jika mereka membantu, hal ini tidak akan menguntungkan Kiang Liong. Betapa kagum hati mereka melihat Kiang Liong mendesak kakek itu dengan sepasang pensilnya.
Siauw-bin Lo-mo masih berusaha mempertahankan diri, namun makin lama ia makin terkurung dan tak dapat keluar dari lingkaran ujung pensil yang bergerak-gerak secara aneh itu. Dalam pandang matanya, kini ada banyak sekali ujung pensil yang menyerang jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya membuat ia sibuk dan akhirnya ia bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri, Siauw-bin Lo-mo tak dapat tertawa lagi dan agaknya baru kali ini selama hidupnya ia bertanding melawan seorang pemuda tanpa ketawa mengejek. Rasa penasaran dan malu membuat ia menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat dari keadaan bergulingan itu, tangan kanan kiri sudah merenggut keluar dua buah benda hitam sebesar telur angsa, kemudian ia membanting dua “telur” itu ke atas tanah di sebelah depannya. Terdengar suara meledak dua kali dan asap putih tebal menyelimuti sekelilingnya.
Kiang Liong terkejut dan dapat menduga bahwa asap putih tebal bergulung-gulung ini tentu mengandung racun, maka ia cepat mengumpulkan napas dalam dada lalu menahan napas dan menerjang maju dengan totokan-totokan maut dalam bentuk tulisan. Dengan ketabahan luar biasa Kiang Liong menyerbu lawan yang bersembunyi dalam asap putih. Makin lama asap mengepul makin banyak dan tebal sehingga kedua orang itu lenyap ditelan gumpalan-gumpalan asap. Akan tetapi, kakek aneh ini sekarang sudah mengambil bambu kecil yang tadinya ia gendong di punggung dan begitu ia membuka sumbat bambu itu dari dalam bambu keluar asap hitam yang amat busuk baunya.
Kiang Liong terkejut bukan main. Inilah semacam asap beracun yang luar biasa jahatnya. Jangankan tercium dan memasuki paru-paru, baru mengenai kulit saja sudah dapat menimbulkan keracunan hebat. Maka ia cepat menggerakkan lengan-lengan bajunya dikebutkan dengan pengerahan tenaga sin-kang asap itu buyar tidak jadi menyerangnya. Keadaan di sekeliling gelap pekat dan ia tahu bahwa dirinya dikurung asap-asap beracun. Kiang Liong cepat mengerahkan gin-kangnya karena pada saat itu ia sudah tidak dapat melihat lagi ke mana perginya lawan. Ia meloncat cepat keluar dari kurungan asap. Setelah tiba di luar kurungan asap, ia dapat melihat betapa lawannya sudah lenyap dari tempat itu dan ketika ia menengok ke belakang, ternyata dua orang gadis itu pun sudah lenyap tak tampak bayangannya lagi!
“Kui-moi....! Hui-moi....!” Ia memanggil dengan suara nyaring. Namun tidak ada jawaban sehingga hatinya menjadi khawatir sekali. Mungkinkan Si Kakek sakti itu ketika menghilang di dalam gumpalan asap berkesempatan pula untuk menawan dua orang gadis itu? Ah, tidak mungkin rasanya. Betapa pun lihainya Siauw-bin Lo-mo, tidak mungkin dapat melarikan diri sambil menculik dua orang gadis itu sedemikian cepat dan di luar tahunya. Apalagi kalau diingat bahwa dua orang kakak beradik itu bukanlah gadis-gadis lemah dan tentu akan melawan kalau akan diculik sehingga tidak mudah tertawan. Kiang Liong menyelidiki keadaan sekeliling tempat itu, bahkan memeriksa tanah dan rumput di mana Siang Kui dan Siang Hui tadi berdiri. Namun tidak terdapat tanda-tanda atau jejak-jejak yang mencurigakan. Ia mendongkol sekali, merasa ditipu dan dipermainkan lawan.
“Siauw-bin Lo-mo kakek iblis!” teriaknya marah. “Kalau engkau memang laki-laki, hayo maju dan lanjutkan pertandingan. Tak ada, gunanya bersikap pengecut dan melarikan gadis-gadis itu!”
Betapapun kerasnya ia berteriak, tiada jawaban kecuali tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari.
Dengan pandang mata seperti harimau marah, Kiang Liong lalu meloncat dan berlari-lari cepat. Tujuannya sudah tetap. Pergi ke Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang. Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pasukan Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti yang direncanakan Siang Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan terlambat. Ia harus pergi menolong dua orang gadis itu dan adiknya.
Wajah yang tampan itu menjadi muram. Ia berduka kalau teringat akan nasib malang yang menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib para pimpinan Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah pimpinan Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka? Hanya tinggal Kauw Bian Cinjin seorang diri! Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya kalau mendengar berita tentang malapetaka ini. Gurunya mempunyai hubungan yang amat erat dengan Bengkauw. Di samping semua itu, kekuatan Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya Kerajaan Nan-cao kelak?
Teringat akan ini, Kiang Liong mempercepat larinya. Ia maklum bahwa tugasnya menolong Siang Kui, Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan, bahkan merupakan tugas berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah lawan-lawan biasa, melainkan kekuatan yang amat besar, kekuatan yang telah membasmi Beng-kauw. Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali Ketua Beng-kauw yang amat sakti, sampai tewas menghadapi kekuatan ini, terang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi, betapapun juga Kiang Liong tidak menjadi gentar. Ia harus cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong anakanak pamannya, Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Girang dan juga bingung Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo. Dari para penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang selalu tertawa itu melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kao-likung-san! Tepat seperti yang diduganya. Akan tetapi ia merasa bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan perjalanan seorang diri saja. Kalau begitu, ke manakah perginya Siang Kui dan Siang Hui? Siapakah yang menculik mereka? Kalau yang menculik itu teman-teman Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri saja? Karena penasaran ia mengejar terus sampai ke kaki Pegunungan Kao-likung-san.
Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung karena kehilangan jejak kakek yang dikejarnya. Daerah itu amat sunyi tidak ada penduduk dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak tahu di mana adanya markas para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw. Menurut penuturan kedua orang gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas di Pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang.
Mulailah ia pergi mencari sungai yang dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berputaran akhirnya ia dapat melihat sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai itu jauh di bawah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru dengan buih putih menabrak batu-batu.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa batang anak panah menyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar, dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah merah. Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang yang mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui, maka Kiang Liong cepat menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu tentulah seorang di antara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka ia bersikap waspada dan juga girang karena tanpa disangkasangka ia mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang ia menghadapi hwesio itu dan berkata.
“Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?”
Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itu pun membelalakkan matanya yang bundar dan memandang penuh selidik, kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat kaku.
“Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada keperluan menghadap pimpinan kami?”
“Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak aku mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian, terutama sekali untuk minta kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona yang beberapa hari yang lalu kalian culik.”
“Keparat! Orang Beng-kauw mencari mampus. Serbu!” teriak pendeta itu yang mendadak berubah sikapnya menjadi galak sekali. Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu serentak mentaati komando ini dan bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas.
Kini mengertilah Kiang Liong mengapa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan membunuhi semua orang Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam karena kematian keluarga mereka dan terculiknya adik mereka, juga orang-orang Hsi-hsia ini amat kejam dan ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah. Bahkan gerakan tujuh orang ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui. Gerakan tujuh orang Hsi-hsia ini biarpun sama ganas dan kasar, namun lebih dahsyat dan jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan dan keberanian yang nekat.
Kiang Liong tidak menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mampu bangkit kembali! Tiga orang Hsi-hsia yang lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok mereka. Pendeta berkepala gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.
Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk memancing para pengeroyoknya. Tiga orang Hsi-hsia menyerbu, tidak peduli akan sesuatu agaknya dan mereka ini benar-benar merupakan perajurit-perajurit yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang Liong sudah siap, begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih berhati-hati sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya menyambar dan hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun roboh! Hwesio itu cepat memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya. Akan tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan tendangannya. Begitu pedang membabat ke arah kakinya, ia menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.
Hwesio itu terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke kanan, begitu keras gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing yang curam. Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam Kiang Liong menjadi kagum. Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam cengkeraman maut, akan tetapi hwesio dalam usaha terakhir, bukan berteriak minta tolong melainkan mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan teman-temannya! Sampai dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan tugasnya!
Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng kini muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah dipimpin oleh beberapa orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka itu sudah menghujankan anak panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak panah yang mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk melayani mereka semua, sungguhpun ia merasa sangsi apakah ia akan sanggup menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang sendirian saja. Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia memandang terdapat sepotong kertas dibelitkan pada piauw ini! Ia makin heran, cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan halus indah.
“Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat!”
Kiang Liong merasa heran, akan tetapi sebagai seorang cerdik ia tidak ragu-ragu lagi. Siapa pun orang yang mengirim surat secara aneh ini, belum tentu mempunyai niat buruk. Adapun puluhan orang yang berlari-lari turun dari atas itu, sudah jelas berniat mengeroyok dan membunuhnya. Maka ia pun cepat membalikkan tubuhnya dan mundur sampai ke pohon siong yang dimaksudkan dalam surat. Ketika ia menjenguk ke bawah, ternyata bagian ini berbatu-batu sehingga memungkinkan dia untuk merayap turun. Ia menahan napas mengumpulkan semangat, lalu turun melalui cabang-cabang pohon itu ke bawah, dari cabang yang melengkung ke bawah itu ia merayap terus berpegangan dan berpijak pada batu-batu gunung dan akar-akaran, terus merayap ke bawah dengan cepatnya. Sebelum ia mencapai dasar jurang yang amat curam dan seolah-olah tiada batasnya ini, ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah atas kepalanya. Agaknya puluhan orang yang mengejar dari atas tadi sudah lewat di dekat pohon dan karena tidak melihatnya maka terus berlari melewati pohon.
Akan tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun secepatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang. Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat bergantung kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya mengelak. Sebuah panah tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia melihat lima orang hwesio berjubah merah sudah merayap turun, pula mengejarnya. Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang senjata rahasia menyambar ke bawah. Suara senjata-senjata itu bercuitan mengerikan dan sambarannya amat cepat. Terpaksa Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang dan ia menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul runtuh semua senjata rahasia. Namun alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa senjata-senjata rahasia ini mengandung tenaga yang jauh lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia robohkan tadi. Jelas bahwa tingkat kepandaian lima orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Apalagi ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni tebing itu sambil berteriak-teriak. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah. Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia tidak melihat tempat sembunyi yang baik.
Tiba-tiba ia mendengar suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang wanita cantik melambaikan tangannya, dan wanita itu berdiri di balik sebuah batu besar.
Memang banyak terdapat batu-batu besar sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu yang gugur dan longsor dari lereng gunung. Ia tidak tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima di atas tadi, sangat boleh jadi wanita inilah yang memberi petunjuk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu lari ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandang mata para pengejarnya yang masih merayap turun hati-hati dari atas tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari-cari dengan pandang matanya, terdengar suara halus.
”Ke sini.... masuk ke guha ini....!”
Suara itu datang dari sebuah guha yang terbentuk oleh tumpukan batu-batu besar. Sebetulnya bukan guha melainkan batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu terdapat celah-celah yang sebesar tubuh manusia. Kiang Liong berlari dan memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga celah-celah itu dan di sebelah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat ini remang-remang dan tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping, memberi isyarat dengan tangan agar ia masuk terus. Dalam keadaan remang-remang mereka berhadapan dan wajah wanita itu cantik manis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana dan kapan.
“Nona siapakah dan mengapa....”
“Ssstt.... belum waktunya bicara.” wanita itu berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian untuk dapat diterima oleh pendengarannya, ia mendekatkan mulutnya di telinga Kiang Liong. “Kongcu, kau sembunyilah di sini. Musuh terlalu banyak dan lihai....“
Berdebar jantung pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi bau yang amat harum telah menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu berdiri begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata lagi keluar dari rambut yang terurai panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah ia! Nona ini adalah gadis cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian ditolong oleh Mutiara Hitam dan Si Berandal atau Tang Hauw Lam! Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini. Namanya Po Leng In wanita berpakaian merah yang berambut panjang dari Siang-mou Sin-ni!
“Kau.... kau.... murid Siang-mou Sin-ni....”
“Sstt, mereka tentu sudah dekat....!” Wanita itu berbisik lagi dan kini hawa yang hangat dari mulut wanita itu menyentuh pipinya. Agaknya saking tegang wanita itu mendekatkan mulutnya.
Kiang Liong teringat lagi akan keadaannya yang terancam pengeroyokan puluhan orang. “Bersembunyi pun percuma, tentu mereka akan dapat menemukan kita.” ia pun berbisik dan siap untuk menerjang keluar.
Dua buah tangan yang kecil dan berkulit halus menahan dadanya. “Jangan bergerak, Kongcu. Kau di sinilah aku yang akan menahan mereka. Kaulihat saja, jangan khawatir!” Setelah berkata demikian, wanita itu melangkah keluar dan karena tadinya ia berada di sebelah dalam untuk keluar ia harus melewati Kiang Liong. Tempat itu sempit, jadi tentu saja tubuh mereka saling merapat. Merasa betapa tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan keras mepet di tubuhnya, Kiang Liong terpaksa memejamkan mata! Untung hanya sebentar saja godaan hebat ini dan kini Po Leng In sudah menyelinap keluar. Karena betapapun juga ia belum mengenal betul wanita itu dan belum tahu akan wataknya, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu murid iblis betina Siang-mou Sin-ni, maka dengan hati-hati Kiang Liong lalu bergerak mendekati mulut celah-celah batu untuk mengintai keluar.
Ia melihat Po Leng In bersembunyi dibalik batu besar dan ia melihat pula lima orang pendeta berjubah merah memimpin hampir lima puluh orang Hsi-hsia berdiri mendekati tempat itu. Jantung Kiang Liong berdebar dan kedua tangannya sudah siap meraba sepasang senjatanya, matanya tajam memandang ke depan. Tiba-tiba ia melihat Po Leng In menggerakkan tubuh dan bagaikan seekor burung berbulu merah, gadis cantik manis itu melayang naik ke atas batu besar, bertolak pinggang dan dengan suara nyaring menegur ke bawah,
“Ngo-wi Suhu (Pendeta Berlima) membawa pasukan ke sini ada kepentingan apakah?”
Aneh sekali lima orang pendeta yang usianya sudah setengah abad kurang lebih dan yang bersikap garang jelas memperlihatkan tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, tiba-tiba bersikap hormat ketika melihat bahwa yang menegur mereka adalah nona baju merah itu. Mereka mengangkat kedua tangan depan dada sebagai tanda menghormat, kemudian seorang di antara mereka menjawab.
“Kiranya Kouwnio (Nona) yang berada di sini. Pinceng berlima dan pasukan sedang mengejar seorang pemuda berpakaian putih. Dia telah membunuh seorang saudara kami dan sudah membunuh beberapa orang anggauta pasukan. Kami melihat dia tadi lari turun ke bawah dan agaknya lewat di sini....” Pendeta itu agak sangsi lalu memandang kepada nona baju merah itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.
“Tidak ada orang lewat di sini, Twa-suhu.” kata Po Leng In, suaranya bersungguh-sungguh dan kini ia sudah melayang turun di depan lima orang hwesio itu, menghadang jalan masuk melalui dua bongkah batu besar.
Lima orang itu saling pandang, kemudian yang tertua bicara lagi.
“Akan tetapi, Kouwnio. Ada di antara kami yang tadi melihat bayangan putih berlari menuju ke jurusan ini....“
“Twa-suhu! Hanya karena memandang muka ketua kalian maka aku masih bersikap sabar. Hemmm! Guruku dan kepala kalian bersahabat dan sederajat. Aku sebagai murid kepala dari Guruku berarti mempunyai derajat lebih tinggi daripada kalian yang hanya menjadi anak buah Bouw Lek Couwsu! Apakah kalian berani mengatakan bahwa aku bersekongkol dengan musuh? Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Beranikah kalian menghina murid Guruku?” Ucapan itu ketus dan keras, penuh wibawa dan pengaruhnya benar-benar hebat. Lima orang hwesio itu menjadi pucat wajahnya dan mereka menundukkan muka.
Akan tetapi pasukan yang terdiri dari orang Hsi-hsia yang kasar itu agaknya merasa penasaran. Mereka menganggap wanita muda ini sebagai tamu, sungguhpun para pimpinan, yaitu para pendeta Tibet berjubah merah amat menghormatinya, namun belum pernah mereka menyaksikan kelihaian wanita muda yang cantik ini. Bahkan diam-diam seringkali mereka membicarakan wanita ini dalam sendau gurau yang kotor. Kini melihat betapa gadis ini berani menghadang, padahal mereka percaya bahwa musuh yang dikejar lari ke jurusan ini, beberapa orang di antara mereka mulai bersungut-sungut
“Musuh tadi lari ke sini!”
“Masa harus membiarkan dia lari?”
“Dia sudah membunuh banyak teman kita!”
Melihat betapa anak buah pasukan itu mulai ribut-ribut, diam-diam Po Leng In mendongkol dan juga, khawatir sekali. Kalau mereka nekat dan kemudian dapat menemukan pemuda baju putih itu, selain ia mendapat malu, juga tentu akan mendapat teguran, mungkin hukuman keras dari gurunya. Akan tetapi, apa pun yanp terjadi, tak mungkin ia dapat membiarkan pemuda itu terancam bahaya maut.
“Berhenti!” Bentaknya ketika melihat pasukan itu bergerak maju. “Tidak percaya kepadaku berarti menghina Guruku! Siapa menghina Guruku berarti akan mampus di tanganku! Lihat, siapa yang kepalanya lebih keras daripada batu ini?”
Setelah berkata demikian, Po Leng In menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang dan halus serta berbau harum itu menyambar ke depan, tampak sinar hitam dan terdengar suara meledak kecil seperti pecut. Ujung rambut menghantam batu dengan lecutan keras dan.... pinggir batu yang dihantam rambut ini pecah dan remuk berhamburan seakan-akan dipukul dengan senjata tajam!
Orang-orang Hsi-hsia itu boleh jadi merupakan orang-orang yang ganas dalam perang serta kuat, namun selama hidup mereka baru kali ini menyaksikan betapa rambut, apalagi rambut wanita yang halus lemas dan harum dapat menghancurkan batu! Mereka menjadi takjub memandang dengan mata terbelalak, bahkan ada yang mengeluarkan lidah.
Lima orang pendeta itu bukan orang-orang biasa. Andaikata mereka tidak merasa segan terhadap tamu yang dihormati kepala mereka dan andaikata Po Leng In seorang lawan, mereka pasti akan melawannya dan tidak menjadi gentar. Karena tidak ingin timbul keributan di antara mereka, maka pendeta-pendeta itu lalu menjura.
“Maaf, Kouwnio. Bukan sekali-sekali kami tidak percaya, hanya kami mohon petunjuk. Ke mana gerangan larinya buronan kami tadi?”
“Entahlah. Kalian cari ke tempat lain. Kalau di sini terang tidak ada karena sejak tadi aku pun berada di sini dan kalau ia lewat di sini, apa kalian kira aku akan membiarkannya lewat begitu saja? Huh!”
“Sekali lagi maaf, Kouwnio.” kata pendeta itu yang segera memberi komando kepada pasukannya. “Hayo kita cari ke jurusan lain. Tak mungkin ia akan dapat menghilang begitu saja!”
Setelah lima orang pendeta itu bersama pasukannya beramai-ramai pergimencari ke jurusan lain, barulah Po Leng In berani memasuki guha kecil itu. Ia tersenyum kecil ketika melihat Kiang Liong berdiri. dengan sikap tegang. “Terpaksa untuk sementara waktu engkau bersembunyi dulu di sini, Kongcu. Biarlah aku menjaga di luar guha ini dan kita dapat bercakap-cakap tanpa khawatir didengar atau diintai orang.” Sambil tersenyum manis ia keluar lagi, lalu duduk di luar celah batu. Dari tempat itu ia dapat melihat ke sekelillng sehingga ia akan dapat melihat lebih dulu kalau ada orang datang. “Duduklah Kongcu dan mari kita bercakap-cakap.””
Sambil menarik napas panjang Kiang Liong duduk di mulut guha, agak ke dalam. Dari tempat ia duduk itu ia dapat melihat wajah Po Leng In yang cantik manis, wajah yang ditimpa cahaya matahari, dan bentuk tubuh yang membayang di dalam pakaian merah yang tipis.
“Nona, mengapa engkau menolongku? Bukankah engkau murid Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak keliru dugaanku mendengar percakapan tadi, agaknya gurumu Siang-mo Sin-ni yang membantu Bouw Lek Couwsu, kepala para pendeta Tibet berjubah merah. Bukankah Gurumu dan Bouw Lek Couwsu itu yang telah membasmi tokoh-tokoh Beng-kauw?”
Po Leng In mengangguk dan sepasang mata yang tajam itu menatap wajah Kiang Liong. “Benar dugaanmu, Kongcu.
“Dan tahukah engkau siapa aku?”
Po Leng In menggeleng kepala. “Aku tidak tahu engkau siapa, Kongcu. Hanya aku tahu engkau bukan orang-orang Beng-kauw. Ilmu silatmu sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa engkau anak murid Beng-kauw. Yang aku tahu hanya bahwa engkau seorang pria yang gagah perkasa dan terutama sekali bahwa.... bahwa, engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan sambitan kerikil dari tangan Bu-tek Siu-lam.”
Kiang Liong berpikir sejenak, kemudian berkata. “Nona, tentang perbuatanku mencegah Bu-tek Siu-lam membunuhmu adalah kewajiban setiap orang, tak perlu kau berterima kasih. Sebaliknya, kau berusaha menolongku dari pengeroyokan para pendeta Tibet dan anak buahnya.
Sungguhpun aku merasa bersyukur dan berterima kasih kepadamu, namun hal itu sebetulnya tidak begitu perlu kaulakukan karena aku tidak takut menghadapi mereka.”
“Aku tahu akan kelihaianmu, Kongcu. Akan tetapi.... tanpa petunjukku bagaimana mungkin kau akan dapat pergi memasuki markas para pendeta Tibet dan menolong tiga orang cucu Ketua Bengkauw itu?”
Kiang Liong terkejut dan juga girang sekali sehingga tanpa ia sadari lagi tangannya bergerak memegang tangan gadis itu yang berkulit halus dan hangat.
“Bagaimana kau bisa tahu? Betulkah kau mau menolongku?”
Po Leng In tersenyum dan ketika ia memandang ke arah tangan Kiang Liong yang memegang tangannya, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan jari-jari tangannya bergerak balas menggenggam tangan pemuda itu. Ketika jari-jari tangan gadis itu memijit-mijit dan menggetar, barulah Kiang Liong sadar dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya, bibirnya tersenyum, Kiang Liong adalah seorang pemuda tampan putera pangeran pula. Di kota raja namanya sudah amat terkenal, bukan hanya terkenal karena keampuhannya dan kegagahannya, juga terkenal sebagai pemuda yang tak pernah menolak perhatian wanita-wanita cantik! Dia bukan seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita, apalagi menggunakan kepandaian dan ketampanan memaksa wanita, sama sekali ia tidak pernah melakukan hal buruk ini. Akan tetapi, ia seorang yang mempunyai watak amat romantis dan karena ini agaknya maka setiap kali ada wanita cantik tergila-gila kepadanya dan memperlihatkan tanda-tanda mencinta, ia akan menerima dengan kedua lengan terbuka. Dan amat banyaklah wanita cantik tergila-gila kepadanya sehingga ia amat terkenal di kota raja. Bahkan kenalan-kenalan keluarga orang tuanya, mereka yang mempunyai isteri-isteri cantik amat berhati-hati dan tidak memberi kesempatan kepada isteri-isteri mereka untuk bertemu dengan pemuda ganteng ini!
“Aku tahu, Kongcu karena selama ini aku mengikutimu. Apa kaukira aku dapat melupakan engkau begitu saja setelah kau menyelamatkan nyawaku? Aku tahu tentang cucu laki-laki Ketua Beng-kauw yang tertawan, juga tentang dua orang gadis yang terculik ketika kau bertanding melawan Siauw-bin Lo-mo. Tanpa bantuanku, jangan harap kau akan dapat menolong mereka, karena selain amat sukar untuk menyelundup ke dalam markas, juga Bouw Lek Couwsu dan para pembantunya amat kuat, belum lagi diingat bahwa Guruku juga berada di sana! Nah, apakah kau sekarang tidak perlu dengan bantuanku?” Sepasang mata yang bening dan genit itu memandang penuh arti, bibir yang merah itu tersenyum menantang.
“Ah, sungguh kau baik sekali, Nona. Tentu saja aku membutuhkan bantuanmu! Kalau aku berhasil menolong mereka, budimu amat besar dan aku Kiang Liong takkan melupakan budi pertolonganmu itu!”
“Betulkah itu, Kongcu? Sampai berapa besarnya kau akan ingat budiku? Ah, Kongcu, aku murid Siang-mou Sin-ni, ingat? Apakah kau betul telah percaya kepadaku dan tidak khawatir kalau aku menipu dan menjebakmu?”
“Aku memang merasa heran sekali mengapa engkau melakukan semua ini untukku? Tak mungkin kalau hanya untuk membalas budi saja. Aku sudah cukup banyak mendengar tentang Siang-mou Sin-ni, dan biarpun baru sekarang aku berjumpa denganmu, namun sebagai murid Siang-mou Sin-ni, janggallah kalau kau begitu ingat budi, bahkan akan membelakangi Gurumu sendiri demi untuk membantuku. Nona, katakanlah terus terang, apa yang kaukehendaki dan mengapa kau membantuku?” Sekarang Kiang Liong memandang tajam penuh selidik.
Po Leng In tertawa manis, giginya yang putih berkilauan dan berderet rapi tampak menarik sekali. Tanpa ragu-ragu Po Leng In menaruh tangannya di pundak pemuda itu dan sekali menggerakkan kepala, rambutnya yang panjang hitam dan harum itu berpindah ke depan dada. Bau harum menyambar ke hidung Kiang Liong yang tidak dapat menahan diri lagi, tangannya memegang dan membelai rambut yang panjang halus dan harum itu.
“Kata-katamu betul, Kongcu. Memang orang-orang seperti Guruku dan aku, kami sama sekali tidak peduli tentang budi. Andaikata yang menolongku tempo hari bukan kau, aku pun tidak akan peduli lagi. Akan tetapi, engkau lain lagi. Begitu bertemu, aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang selain ganteng, juga gagah perkasa dan kuat lahir batin. Engkau tenang, tidak ceroboh, berpengalaman dan berhati teguh seperti gunung. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepadamu? Koko (Kanda), aku cinta kepadamu, bersikaplah manis kepadaku dan aku akan menyerah kepadamu, akan membantumu dan kalau perlu bertaruh nyawa untukmu!” Dengan sikap manja dan memikat, tangan kecil halus yang tadinya berada di pundak itu kini bergerak merayap, lengan itu merangkul leher Kiang Liong. Biarpun muka mereka sudah saling berdekatan sehingga napas wanita itu sudah menyentuh hidung dan mulutnya, namun Kiang Liong masih tenang dan tersenyum sambil menatap tajam. Tangannya yang tadi membelai kini menjambak rambut, menarik sedikit sehingga muka yang tadi berkulit halus kemerahan, mata yang merayu-rayu, bibir yang menggetar itu agak tertarik menjauh.
Keteguhan hati Kiang Liong inilah yang membuat banyak wanita tergila-gila kepadanya. Menghadapi wajah cantik jelita dan cumbu rayu yang akan mencairkan hati seorang pendeta, ia tetap teguh dan tenang, tak pernah ia dirobohkan oleh keteguhan hatinya sehingga selalu si wanita yang terpikat. Biarpun Kiang Liong seorang pria yang romantis dan tidak menolak cinta kasih wanita cantik, namun ia bukan seorang lemah.
“Betulkah semua kata-katamu ini? Leng In, betulkah kau akan membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki dari tangan mereka setelah aku melayani cinta kasihmu?”
“Betul...., betul...., aku bersumpah....” Po Leng, In terengah-engah, napasnya diburu nafsu sendiri.
“Dan kau benar-benar menghendaki aku....?”
Po Leng In mengangguk-angguk dan seluruh tubuhnya lemas. Ketika Kiang Liong melepaskan jambakannya, dia menjatuhkan mukanya di atas dada Kiang Liong yang tersenyum mengejek sambil memeluknya.
Semalam itu mereka berdua tidak keluar dari dalam guha yang lebarnya hanya satu meter itu, Po Leng In yang mabuk cinta dan seolah-olah menjadi makin lemas di tangan Kiang Liong, menceritakan semua keadaan orang Hsi-hsia. Kiranya orang-orang Hsi-hsia itu diperalat oleh para pendeta Tibet jubah merah yang dikepalai oleh Bouw Lek Couwsu. Pendeta jubah merah Bouw Lek Couwsu ini memiliki kepandaian yang dahsyat dan merupakan pendeta yang murtad di Tibet sehingga ia dimusuhi oleh para pendeta lain. Untuk menyelamatkan diri karena tidak kuat menentang pendeta-pendeta Tibet yang banyak di antaranya amat sakti, Bouw Lek Couwsu melarikan diri dari Tibet bersama murid-murid dan pengikut-pengikutnya, yaitu para pendeta jubah merah. Dengan ilmu kepandaiannya, Bouw Lek Couwsu akhirnya dapat menalukkan Hsi-hsia yang gagah berani dan ulet, bahkan berhasil melatih mereka menjadi pasukan yang kuat. Setelah memiliki pasukan kuat, mulailah Bouw Lek Couwsu mencari kesempatan memukul musuh-musuhnya.
Ia menganggap Kerajaan Sung masih terlampau kuat untuk dipukul, maka ia lalu mengalihkan perhatian kepada Kerajaan Nan-cao yang kecil dengan maksud menalukkan kerajaan ini untuk memperbesar pengaruh dan kekuasaan. Dalam usahanya ini, Bouw Lek Couwsu teringat akan sahabat baiknya, juga bekas kekasihnya, yaitu, Siang-mou Sin-ni! Kalau Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang tak pernah tua lahir batinnya, maka Bouw Lek Couwsu biarpun berpakaian pendeta, juga merupakan seorang laki-laki tampan gagah yang tak pernah tua lahir batinnya pula. Karena terlalu suka mengganggu wanita cantik inilah maka ia dimusuhi di Tibet sehingga ia kehilangan sebelah kakinya. Ia segera mengunjungi Siang-mou Sin-ni yang sudah bertahun-tahun tak pernah turun di dunia kang-ouw semenjak Thian-te Liok-kwi dihancur-binasakan oleh Suling Emas dan para orang gagah (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Karena pada dasarnya memang berwatak rendah, bekas selir kaisar yang lebih terkenal dengan julukan Siang-mou Sin-ni dan yang sudah bertahun-tahun bertapa di pulau kosong di laut selatan ini tertarik oleh bujukan Bouw Lek Couwsu bekas kekasihnya, lalu ikut membantu dan tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh mereka berdua untuk mengikat kembali hubungan mereka yang telah putus selama bertahun-tahun.
“Beng-kauw boleh jadi amat kuat dan banyak terdapat orang pandai, akan tetapi menghadapi serbuan Bouw Lek Couwsu dibantu oleh Guruku, mana mereka mampu mempertahankan diri? Di antara para pendeta jubah merah banyak pula yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah sebabnya mengapa Ketua Beng-kauw den beberapa orang pimpinan Beng-kauw dapat ditewaskan dan anak laki-laki itu amat disuka oleh Guruku, maka diculik. Penyerbuan untuk menjatuhkan Kerajaan Nan-cao tentu saja gagal karena sesungguhnya bukan itulah yang diutamakan Bouw Lek Couwsu, melainkan memukul Beng-kauw yang menjadi musuh besarnya.”
Semua diceritakan oleh Po Leng In dan ia menjadi makin tergila-gila kepada Kiang Liong. Selama hidupnya belum pernah Po Leng In bertemu dan mendapatkan seorang pemuda seperti ini, penuh kegagahan, penuh kejantanan. Semalam suntuk sambil bercerita, Po Leng In mempergunakan segala bujuk rayu dan keahliannya dalam bercinta untuk menjatuhkan hati Kiang Liong, namun sebaliknya dia sendirilah yang jatuh dan menjelang pagi ia menjadi penurut dan patuh kepada laki-laki itu seperti seekor domba yang lemah.
“Koko...., akan kubantu kau menolong kedua orang nona dan anak laki-laki itu.... biarpun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawa....“ bisiknya sambil merangkul.
Setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya di permukaan bumi, barulah mereka berdua keluar dari dalam guha batu. Wajah Po Leng In yang pucat itu kini berseri gembira, rambutnya kusut namun menambah kecantikan wanita yang berambut panjang ini. Sambil melangkah keluar ia menggandeng tangan Kiang Liong yang sikapnya masih tenang dan sama sekali tidak tampak perubahan.
“Mari, Koko. Mari kita berangkat. Akan tetapi berhati-hatilah jangan kaupandang rendah kepandaian Bouw Lek Couwsu, apalagi kepandaian Gurumu.”
Kiang Liong mengangguk. “Aku sudah banyak mendengar tentang kepandaian Gurumu dan aku tidak takut.”
Po Leng In menghentikan langkahnya, merangkul dan mengusap-usap dagu yang membayangkan kekerasan dan kekuatan itu sambil tersenyum. “Aku tahu bahwa engkau lihai sekali, Koko. Akan tetapi Guruku sekarang bukan seperti dahulu ketika masih suka muncul di dunia kangouw. Engkau tentu tidak pernah mendengar. bahwa Guruku kini telah dan sedang memperdalam ilmu mujijat Hun-beng-to-hoat (Ilmu Patahkan Semangat) dan untuk menyempurnakan ilmu itulah maka ia menculik Han Ki itu....“
Kiang Liong yang sedang dicium itu lalu memegang kedua pundak Po Leng In, dan mendorongnya agak menjauh, memandang wajahnya penuh selidik dan bertanya, suaranya keras.
“Apa kaubilang? Diculik untuk.... kau maksudkan....?”
“Ya, Koko. I-kin-hoan-jwe (Ganti Urat Pindahkan Sumsum)!”
“Celaka! Mari kita cepat-cepat menolongnya!” Setelah berkata demikian, Kiang Liong menyambar lengan Po Leng In dan secepat terbang mereka berdua lalu lari menuju ke tempat persembunyian Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu. Kiang Liong bukan tidak maklum bahwa ia sedang menuju ke tempat yang amat berbahaya, seperti guha singa dan telaga naga, akan tetapi mendengar akan bahaya yang mengancam Han Ki, ia tidak pedulikan itu semua. Lebih-lebih lagi ketika di tengah jalan ia mendengar Po Leng In bercerita bahwa Bouw Lek Couwsu adalah seorang tokoh tua yang percaya akan ilmu menambah semangat dan tenaga yang didapat dari gadis-gadis muda, maka tahulah ia malapetaka hebat sekali mengancam pula keselamatan Siang Hui dan Siang Kui!
Yang dimaksudkan oleh Po Leng In tentang I-kin-hoan-jwe memang merupakan latihan ilmu hitam yang amat keji. Untuk melatih ilmu ini guna memperdalam Hun-beng-to-hoat yang mujijat, diperlukan seorang anak laki-laki yang bertulang bersih dan berdarah murni. Siang-mou Sin-ni yang melatih ilmu ini telah lama sekali mencari-cari dan entah sudah berapa banyaknya anak laki-laki menjadi korbannya, namun ilmunya masih kurang sempurna karena belum pernah ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat. Han Ki adalah putera Kam Bu Sin dan Liu Hwee, dua orang yang berdarah pendekar, maka Han Ki merupakan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat. Begitu melihat anak ini, Siang-mau Sin-ni sudah menjadi girang sekali dan ia lalu menculik Han Ki. I-kin-hoan-jwe dilakukan dengan cara yang amat mengerikan, yaitu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, setiap hari anak itu akan disedot darah dan sumsumnya. Tidak disedot sekaligus sampai mati, melainkan sedikit demi sedikit sambil setiap hari diberi makan obat-obat penambah darah dan sumsum. Tentu saja akhirnya anak ini akan mati juga, karena selain kehabisan darah dan sumsum, terutama sekali karena hawa murni dalam tubuhnya sedikit demi sedikit tersedot keluar dan pindah ke tubuh orang yang melatih diri dengan ilmu hitam itu!
Kiang Liong yang sudah pernah mendengar penuturan suhunya tentang pelbagai ilmu hitam, tentu saja menjadi ngeri dan mempercepat larinya untuk segera menolong tiga orang anak paman gurunya. Kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya!
***
Kwi Lan lari sambil menggigit bibir, menahan tangis. Hatinya mengkal bukan main. Ia marah, kecewa, duka dan penasaran. Ia telah bertemu dengan pendekar sakti Suling Emas dan makin kagumlah hatinya menyaksikan sepak terjang pendekar sakti itu. Makin banggalah hatinya bahwa pendekar sakti yang hebat itu, hebat kepandaiannya dan hebat pula orangnya, adalah kekasih ibu kandungnya! Akan tetapi justeru hal inilah yang selain mendatangkan kebanggaan hati, juga mendatangkan penyesalan, kekecewaan, kemarahan dan penasaran. Kalau pendekar sakti ini kekasih ibu kandungnya, mengapa mereka saling berpisah? Mengapa Suling Emas meninggalkan ibu kandungnya yang menjadi Ratu Khitan? Dan mengapa pula ia menjadi anak Ratu Khitan? Kalau ibu kandungnya itu bukan isteri Suling Emas, berarti dia adalah anak Ratu Khitan dengan orang lain. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Suling Emas menjadi suami ibu kandungnya. Ia berayah Suling Emas! Alangkah hebatnya! Dan sebaliknya, kalau Suling Emas itu bukan bekas kekasih ibunya, tentu ia akan suka menjadi sahabatnya, sahabat baik!
Kwi Lan menghela napas panjang dan berhenti lari, menghempaskan dirinya di atas rumput. Ia sudah berlari lama dan jauh, lega bahwa pendekar sakti itu tidak mengejarnya karena kalau mengejarnya, ia tidak tahu bagaimana akan dapat melarikan diri. Hatinya tertarik sekali oleh Suling Emas. Ia sendiri merasa heran mengapa begitu. Dalam pandangannya, Suling Emas yang sudah tua dan yang rambutnya sudah bercampur uban itu lebih menarik dan menyenangkan dari pada orang-orang muda gagah perkasa yang pernah ditemuinya. Lebih menarik daripada Yu Siang Ki si Pengemis Muda yang halus, lebih menang daripada Tang Hauw Lam yang berandalan dan lucu, lebih hebat daripada Siangkoan Li yang gagah dan tampan! Alangkah akan senangnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas tentu akan terasa aman dan tenteram di samping seorang pendekar yang demikian saktinya, sebagai seorang sahabat baik! Atau sebagai anak, atau murid!
“Ah, tapi dia sudah menghina Ibuku....! Katanya dia kakak angkat ibu kandungku yang menjadi Ratu di Khitan, akan tetapi juga sebagai kekasih.... hemmm, tentu kekasih yang tidak setia, buktinya Ibuku telah ditinggalkannya!”
Kwi Lan meloncat bangun, membanting-banting kakinya lalu berjalan pergi, ia akan mencari ibunya ke Khitan dan bertanya tentang Suling Emas! Kemudian ia teringat akan Tang Hauw Lam dan seketika wajahnya yang muram menjadi berseri gembira. Tak mungkin ia bermuram kalau teringat kepada Si Berandal itu. Bagaimana Hauw Lam dapat muncul ketika ia hendak menolong Po Leng In dari tangan Bu-tek Siu-lam? Dan ketika ia dibawa lari Thai-lek Kauw-ong, ke mana perginya Si Berandal itu?
Sambil bertanya-tanya arah perjalanan ke Khitan, Kwi Lan melanjutkan perjalanannya dan beberapa hari kemudian ia melihat banyak orang menunggang kuda memasuki sebuah dusun yang ramai. Karena Kwi Lan juga bermaksud menuju ke dusun itu yang menurut keterangan adalah dusun Ci-cung yang terletak di tepi sungai, maka ia pun mempercepat langkahnya memasuki dusun itu. Debu masih mengebul di atas jalan yang baru saja dilalui rombongan orang sebanyak belasan orang tadi. Hati Kwi Lan tertarik karena ia melihat betapa seorang di antara mereka di dahinya terhias mutiara. Seorang anggauta Thian-liong-pang, seorang di antara dua belas Cap-ji-liong! Mau apakah orang-orang Thian-liong-pang itu datang ke tempat ini,pikirnya. Ia tahu bahwa kalau bertemu dengan mereka, tentu akan terjadi keributan, akan tetapi tentu saja Kwi Lan tidak takut. Ia bukan mencari perkara melainkan ia bermaksud melanjutkan perjalanan dengan perahu melalui sungai di dusun itu dan untuk memenuhi maksudnya, ia tidak peduli apakah ada setan atau iblis yang menghadangnya!
Dusun itu ternyata ramai karena merupakan pelabuhan perahu-perahu yang berlayar di sepanjang sungai. Di dekat pantai terdapat sebuah kelenteng. Kwi Lan merasa heran karena tidak melihat belasan orang Thian-liong-pang tadi di dalam dusun. Apakah mereka itu hanya lewat saja di dalam dusun lalu melanjutkan perjalanan melalui pintu sebelah sana? Mungkin sekali dan ia tidak peduli, juga tidak bertanya-tanya tentang mereka. Karena dusun itu banyak dilewati orang-orang asing yang melakukan perjalanan, dan karena pada masa di mana perang selalu mengancam daerah perbatasan semua orang, juga wanita-wanita membawa pedang, maka munculnya Kwi Lan tidaklah amat mengherankan orang. Kalau orang memandangnya, adalah karena terpesona oleh kecantikannya saja, bukan mengherankan pedangnya dan kejanggalan seorang wanita muda melakukan perjalanan sendirian saja. Kwi Lan yang tidak bermaksud menginap di dalam dusun ini, langsung pergi ke pantai untuk mencari perahu.
Dalam perjalanan mencari perahu inilah ia lewat di depan kuil dan melihat tiga huruf Ban Hok Tong di depan kelenteng, juga melihat beberapa orang hwesio sibuk melayani orang-orang yang bersembahyang di kelenteng. Sebetulnya Kwi Lan tidak akan mempedulikan kelenteng ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di sebelah belakang kelenteng sehingga hatinya tertarik dan teringatlah ia akan belasan orang Thian-liong-pang tadi. Hemm, agaknya mereka itu tadi masuk ke dalam kelenteng ini, pikirnya. Mengapa orang-orang Thian-liong-pang yang jumlahnya belasan, orang itu bermalam di dalam sebuah kelenteng?
“Ah, peduli amat dengan mereka!” Akhirnya ia berkata dalam hati dan kembali melangkahkan kaki meninggalkan depan kelenteng menuju ke pelabuhan di mana terdapat banyak perahu-perahu besar kecil dan kesibukan orang-orang yang mengangkut dan membongkar muatan. Mereka yang sibuk di pelabuhan itu semua adalah laki-laki dan mulailah Kwi Lan dihujani pandang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat. Di dalam dusun seperti itu memang jarang terdapat wanita cantik seperti Kwi Lan dan kalau pun ada di antara para tamu, mereka itu tidak datang seorang diri dan secara berterang seperti ini, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memandangnya.
Kwi Lan tidak peduli dan selagi ia hendak bertanya untuk mencari perahu sewaan, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Minggir! Heiii, kau.... minggir!”
Dua orang laki-laki tinggi besar berjalan cepat dan mendorong seorang yang sedang sibuk bekerja untuk membuka jalan. Para pekerja itu adalah orang-orang kasar yang kuat, maka mereka menjadi marah. Seorang di antara nelayan yang kena dorong hampir jatuh tertimpa keranjang ikan yang dipanggulnya, meloncat bangun.
“Dari mana datangnya dua ekor kerbau....?”
Akan tetapi hanya sampai di situ ia dapat membuka mulut karena seorang di antara dua laki-laki tinggi besar itu sudah mengayun kakinya dan.... Si Nelayan terlempar jatuh ke dalam sungai! Dua orang laki-laki tinggi besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, bertolak pinggang dan berkata,
“Hayo, siapa lagi yang berani?”
Melihat betapa seorang temannya sampai terlempar ke sungai, empat orang nelayan menjadi marah. Mereka ini juga tinggi besar dan kuat. Sambil memaki mereka ini serentak maju menyerang, akan tetapi begitu dua orang itu menggerakkan kaki kanannya, terdengar jeritjerit kesakitan dan empat orang nelayan itupun jatuh tersungkur dengan hidung berdarah dan muka meringis kesakitan. Demikian cepat gerakan dua orang tinggi besar ini sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi dapat dirobohkan.
“Masih ada lagi?” Mereka berdua menantang dan semua nelayan menjadi gentar. Seorang di antara mereka yang sudah tua segera maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Maafkan kami, Tuan. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Ji-wi (Anda Berdua) dan karena tidak mengenal orang gagah maafkan kelancangan kawan-kawan kami. Apakah yang Ji-wi kehendaki?”
Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya empat puluhan tahun itu tersenyum menyeringai, tampak puas dan bangga. Setelah memandang ke sekeliling lalu berkatalah seorang di antara mereka yang brewok. “Sediakan perahu yang bercat merah itu untuk kami. Besok pagi-pagi kami pakai.” Dia menuding ke arah sebuah perahu kosong. Perahu itu bercat merah dan kelihatan memang paling baik di antara perahu-perahu yang berlabuh di situ. Perahu itu masih baru agaknya belum lama diturunkan di sungai.
“Ahh, Ji-wi hendak menyewa perahu? Baiklah, akan tetapi perahu merah itu tak mungkin dapat disewakan karena besok akan dipakai mengantar pengantin....”
“Apa kaubilang? Kami berani bayar sewanya dan siapapun juga tidak boleh mendahului kami. Pendeknya, sediakan perahu itu besok pagi-pagi, kalau tidak.... kau yang akan kami lemparkan ke dalam sungai!”
Nelayan tua itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi sambil membungkuk-bungkuk ia berkata, “Baik...., baik.... dan sewanya....“
“Berapa pun akan kami bayar! Kami hendak memeriksanya dulu!” Dua orang tinggi besar itu diantar oleh nelayan tua menuju ke perahu cat merah. Mereka melangkah masuk dan.... tercenganglah mereka melihat Kwi Lan sudah duduk di dalam perahu itu sambil tersenyum manis! Kiranya Kwi Lan yang tadi mengikuti percekcokan, menjadi tak senang dengan sikap dua orang itu, maka diam-diam ia lalu memasuki perahu cat merah yang dipilih oleh dua orang itu secara paksa.
“Eh, mau apa kalian berdua longak-longok seperti monyet memasuki perahu yang sudah kusewa ini tanpa ijin!” kata Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Sejenak dua orang tinggi besar itu tertegun. Mereka kagum akan kecantikan gadis dalam perahu dan mendengar bentakan itu, mereka terkejut dan saling pandang. Kemudian seorang di antara mereka yang brewok tadi dapat menenangkan hatinya lalu menoleh kepada nelayan tua yang juga bengong terlongong. “Eh, Paman tua, apakah ini yang akan menjadi pengantin? Cantik benar!”
“Bu.... bukan, bukan dia.... saya tidak mengenalnya...., Nona, siapakah kau dan mau apa kau di sini?”
“Paman tua, aku lebih dulu memasuki perahu ini, berarti aku lebih dulu menyewanya. Dua orang kasar seperti monyet ini boleh mencari perahu lain untuk disewa atau.... mereka ini boleh terjun ke air!”
Pada waktu itu, dua orang tinggi besar tadi sudah melihat gagang pedang di pinggang Kwi Lan dan ketika melihat sebuah mutiara hitam bersinar di gagang pedang itu, mereka terkejut.
“Mu.... Mutiara Hitam....?” teriak mereka sambil mencabut golok.
“Hemm, kiranya orang-orang Thian-liong-pang yang tak kenal mampus!” seru Kwi Lan tanpa bangkit dari tempat duduknya. Melihat gerakan dua orang yang menerjangnya ini, ia memandang rendah. Ketika mereka sudah menubruk maju diikuti teriakan kaget dan ngeri dari kakek nelayan, secepat kilat kedua kaki Kwi Lan bergerak menendang ke depan. Ia menggunakan kedua tangan untuk menekan papan perahu sehingga kedua kakinya dapat melakukan tendangan sekaligus. Tepat sekali ujung kedua sepatunya mencium sambungan lutut dua orang lawan itu. Terdengar suara “krekk!” dan sambungan lutut kanan mereka terlepas. Tentu saja mereka itu seketika ambruk dan sebelum tubuh mereka menyentuh papan perahu, kembali kedua kaki Kwi Lan bergerak, kini mendorong dada mereka. Tak dapat dicegah lagi tubuh dua orang laki-laki tinggi besar itu terlempar masuk ke dalam sungai!
Biarpun bagi Kwi Lan peristiwa ini biasa saja, namun bagi para nelayan merupakan hal yang amat hebat. Hampir mereka tak dapat percaya betapa hanya dengan dua buah kaki yang kecil mungil, tanpa menggerakkan tangan dan tanpa bangkit dari tempat duduknya, gadis remaja cantik manis itu mampu melemparkan dua orang lawan kuat ke dalam sungai dengan tulang lutut terlepas sambungannya! Mereka bersorak-sorai dan mentertawai dua orang laki-laki tadi yang kini dengan susah payah berenang ke tepi sungai. Lenyaplah kegagahan mereka berdua yang terpaksa harus pergi dengan sebelah kaki meloncat-loncat sambil menyumpah-nyumpah!
Seketika Kwi Lan dirubung para nelayan yang kagum. Mereka berbondong menawarkan perahu mereka untuk mengantar gadis ini melakukan pelayaran ke utara, akan tetapi Kwi Lan tersenyum dan berkata,
“Aku hanya membutuhkan sebuah perahu dan karena yang kupilih perahu merah ini, maka perahu inilah yang akan kusewa. Sudah, kalian pergilah, aku ingin mengaso.”
Pada saat itu, seorang nelayan datang berlari-lari dan melaporkan kepada Kwi Lan bahwa dua orang tinggi besar itu lari terpincang-pincang ke dalam kuil Ban-hok-tong. “Harap Nona hati-hati, bahaya besar mengancam. Kiranya dua orang itu temannya banyak sekali dan galak-galak.”
“Tak perlu melayani mereka.”
“Tapi.... harap Lihiap (Pendekar Wanita) sudi mengasihani kami,” kata nelayan tua. “Lihiap sudah menyaksikan sendiri betapa mereka itu ganas dan kejam terhadap kami. Kalau Lihiap pergi dari sini, tentu kamilah yang akan dijadikan korban untuk melampiaskan kemarahan mereka!”
“Huh, apa peduliku!” Kwi Lan mendengus. Memang ia tidak suka mengacuhkan urusan orang lain yang tiada sangkut pautnya dengan dirinya.
“Tapi, Lihiap.... kami akan dibasmi.... akan dipukuli, dibunuh....!” kata seorang nelayan lain.
“Peduli apa? Kalau kalian begitu lemah dan tidak becus melakukan perlawanan sampai terbunuh, adalah salah kalian sendiri!” Kwi Lan menjawab jengkel karena merasa terganggu.
“Tapi.... semua ini terjadi gara-gara Lihiap merobohkan dua orang itu!” Si Nelayan Tua menyambung. “Saya mendengar bahwa seorang gagah sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya....”
“Cukup!” Kwi Lan membentak marah. “Aku tunda perjalananku sampai besok dan kalian lihat malam ini akan kuhajar habis mereka itu!”
Setelah berkata demikian Kwi Lan merebahkan dirinya di atas papan perahu, dan para nelayan bubaran dengan hati lega, akan tetapi juga masih khawatir. Menurut penyelidikan mereka, jumlah pendatang di kelenteng itu ada belasan orang dan para hwesio di Ban-hok-tong sendiri kelihatan takut menghadapi mereka. Bagaimana kalau pendekar wanita muda ini sampai kalah? Tentu mereka akan mendapat bagian pahit pula. Betapa pun juga, karena harapan mereka bergantung kepada kesanggupan Kwi Lan, mereka lalu melayanl gadis ini dengan hidangan dan minuman yang diterima oleh Kwi Lan dengan hati gemblra.
Benar juga, pikirnya, dia harus bertanggung jawab. Apalagi, jelas rombongan Thian-liong-pang itu tidak akan membiarkan ia lolos begitu saja. Daripada menghadapi mereka di atas air sungai yang pernah membuat ia hampir tewas dahulu, lebih baik sekarang menghadapi mereka di darat. Turun tangan di waktu siang hanya akan menimbulkan geger di dalam dusun ini, maka lebih baik malam nanti turun tangan menghajar mereka dan mengusir mereka dari dalam dusun. Dengan pikiran ini, legalah hati Kwi Lan dan setelah makan kenyang, ia pun tidur di atas perahu dengan nyenyaknya.
Malam itu terang bulan. Tiada awan mengotori udara sehingga sinar bulan sepenuhnya menerangi bumi. Bagaikan seekor burung hantu, tubuh Kwi Lan berkelebat diantara sinar bulan. Dengan pedang terhunus di tangannya, gadis perkasa ini meloncat ke atas genteng kuil Ban-hok-tong, mendekam di atas wuwungan dan mengintai ke bawah. Sunyi sepi di kelenteng itu. Hemm, pikirnya geram, tentu mereka siap sedia menyambutku, dan sudah siap memasang jebakan. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan gerakan yang lincah sekali ia lalu berlari di atas genteng, sengaja memberatkan tubuhnya sehingga menimbulkan bunyi pada genteng, agar musuh muncul menyerangnya. Namun tidak terjadi apa-apa dan Kwi Lan terus berlari menuju ke belakang. Dari atas genteng di belakang bangunan, ia dapat melihat halaman belakang yang luas dan terkejutlah ia ketika melihat beberapa orang hwesio sudah menjadi mayat berserakan di halaman itu. Seorang laki-laki yang mengempit tongkat membungkuk dan agaknya memeriksa mayat-mayat itu seorang demi seorang.
Kwi Lan menjadi heran sekali, tidak mau sembarangan turun tangan. Siapakah laki-laki itu dan mengapa pula hwesio-hwesio itu tewas? Ke mana perginya orang-orang Thian-liong-pang? Tentu laki-laki itu yang membunuh para hwesio, dan siapa lagi orang itu kalau bukan seorang di antara anggauta dari Thian-liong-pang? Kwi Lan mengeluarkan jarumnya dan sekali tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke arah leher orang yang sedang memeriksa mayat-mayat itu.
Akan tetapi Kwi Lan terkejut melihat orang itu tanpa menoleh mengibaskan tangannya sehingga jarum-jarum itu runtuh oleh lengan bajunya yang lebar, kemudian lebih kaget lagi Kwi Lan ketika mendengar orang itu berkata,
“Kwi Lan Siauw-moi, kau turunlah. Jarum-jarummu sudah terlalu banyak membunuh orang tak berdosa!”
Kwi Lan mengenal suara ini dan ketika orang itu kini berdiri sambil membalikkan tubuh ia mengenal wajah yang tampan itu.
“Yu Siang Ki....!” Cepat ia melayang turun sambil membawa pedangnya. Pemuda itu memang Yu Siang Ki yang mengempit tongkatnya. Caping bututnya tergantung di belakang punggung.
Kalau Kwi Lan berseri wajahnya karena pertemuan yang tak terduga-duga ini, sebaliknya Yu Siang Ki memandang dengan wajah keruh dan sepasang matanya memandang penuh teguran.
“Kenapa mereka....?”
“Kwi Lan, betapa pun kagum hatiku terhadapmu, namun sungguh aku kecewa dan menyesal melihat sepak terjangmu yang terlalu ganas. Kau terlalu mudah membunuh orang sehingga kadang-kadang kau tidak segan-segan membunuh orang-orang tak berdosa seperti mereka ini. Kwi Lan, aku tidak percaya kau memiliki dasar yang ganas dan....”
“Ihhhh, apa-apaan ini tiada hujan tiada angin suaramu menyambar-nyambar laksana kilat bergeluduk? Siang Ki, apa maksudmu memberi kuliah kepadaku?”
Kwi Lan memotong dengan marah. Sepasang matanya kini menyambar seperti api, penuh selidik ke arah wajah yang tampan itu.
Akan tetapi Siang Ki tidak mundur. Wajahnya tetap muram dan suaranya tetap kering. “Kwi Lan, kalau kau membasmi dan membunuhi orang-orang jahat, aku masih dapat mengerti. Akan tetapi hwesio-hwesio ini, bukankah mereka itu orang-orang yang menjalani hidup suci, sama sekali tidak jahat dan tidak berdosa? Mengapa kau membunuh mereka ini secara keji? Apa sebabnya kau membunuh empat orang hwesio pengurus kuil Ban-hok-tong ini? Sungguh aku tidak mengerti....!”
“Apa kaubilang?” Kwi Lan kembali memotong. “Kalau kau tidak mengerti, aku lebih tidak mengerti lagi akan sikapmu yang aneh ini. Gilakah engkau, Siang Ki? Kau menuduh yang bukan-bukan. Aku tidak membunuh hwesio-hwesio itu! Kalau aku membunuh mereka, perlu apa aku takut mengaku padamu?”
Siang Ki terheran, kini dialah yang menatap wajah gadis itu yang cantik jelita tersinar cahaya bulan, penuh selidik. “Ah, mengapa kau menyangkal? Mereka itu kaubunuh....!”
“Siang Ki! Tak usah banyak cerewet. Kalau kau memang ingin memusuhiku, jangan kira aku takut. Tak perlu menggunakan alasan yang bukan-bukan, tuduhan dan fitnah yang bukan-bukan. Kalau memang kau hendak menantang, hayo, aku sudah siap!” Setelah berkata demikian, gadis ini meloncat mundur, pedangnya siap di depan dada dan ia sudah memasang kuda-kuda, matanya mencorong seperti mata harimau.
Akan tetapi Siang Ki tidak melayaninya, bahkan pemuda ini kelihatan melongo, terheran dan ragu-ragu. “Kwi Lan, aku sama sekali tidak menuduh yang bukan-bukan. Ada buktinya. Aku mengenal jarum-jarum hijaumu yang lihai, yang kaupergunakan untuk menyerangku tadi. Kaulihat, empat orang hwesio itu semua tewas karena jarum-jarum hijaumu. Lihat baik-baik leher mereka!”
Kagetlah Kwi Lan. Kemarahannya lenyap seketika, terganti keheranan yang amat sangat. Ia lalu meloncat, mendekati empat mayat itu dan berjongkok, memeriksa. Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa leher empat mayat itu benar-benar menunjukkan tanda-tanda keracunan, yang hanya dapat ditimbulkan oleh jarum-jarum hijaunya! Hati gadis ini menjadi penasaran. Ia menggunakan ujung pedangnya, menusuk dan mengorek keluar sebatang jarum dari leher mayat.
“Aiihhh.... aneh sekali....!” Ia berseru ketika melihat jarum hijau di ujung pedangnya. Jarum itu serupa benar dengan jarumnya dan warna hijau itu tak salah lagi adalah racun bunga hijau yang ia pergunakan untuk meracun jarum-jarumnya. Inilah jarumnya, tak salahlagi. Ia bangkit berdiri, wajahnya berubah. Melihat wajah gadis ini, Siang Ki mulai percaya.
“Kwi Lan, agaknya ada orang yang mencuri jarum-jarummu dan mempergunakannya untuk membunuh hwesio-hwesio ini.” katanya sambil maju mendekat.
Kwi Lan menggeleng kepala dan mengingat-ingat. “Tak mungkin.” katanya kemudian penuh keyakinan. “Jarum-jarumku tidak pernah terpisah dari badan, selalu berada di saku dalam bajuku. Siapa dapat mencurinya?”
“Akan tetapi buktinya, hwesio-hwesio ini tewas karena jarum-jarum hijau....“
“Benar, tak dapat disangkal lagi. Pantas saja kau menuduh aku....“
“Maafkan aku, Kwi Lan. Aku kebetulan lewat di sini, curiga terhadap rombongan orang-orang Thian-liong-pang, mengikuti secara diam-diam. Aku tahu akan perbuatanmu menghajar orang-orang Thian-liong-pang di sungai Siang tadi, akan tetapi karena aku sedang menyelidiki mereka, aku menyembunyikan diri. Malam ini aku datang menyelidik, melihat hwesio-hwesio ini sudah tewas dan orang-orang Thian-liong-pang tidak kelihatan seorang pun di sini.”
“Hemm, tentu ada hubungannya antara mereka dengan kematian para hwesio ini.”
Yu Siang Ki mengerutkan keningnya yang tebal, “Aku meragukan hal ini, Kwi Lan. Kalau mereka yang membunuh hwesio-hwesio ini, mengapa menggunakan jarum-jarummu atau lebih tepat lagi.... jarum-jarum yang serupa dengan jarum-jarummu? Mari kita kejar mereka!”
Kwi Lan mengangkat mukanya dan sepenuhnya muka itu kini tertimpa sinar bulan. Alangkah cantik jelita muka ini. Siang Ki meramkan mata dan menarik napas panjang sambil menekan isi dada yang bergerak-gerak.
“Mengapa?”
“Mereka sudah membunuh hwesio-hwesio tak berdosa!” kata Siang Ki sewajarnya. Bukankah wajar seorang pendekar menjadi marah melihat pembunuhan atas orang-orang tak berdosa?
“Hemm, bukan urusanku. Aku tidak mengenal hwesio-hwesio ini.” jawab Kwi Lan seenaknya.
Kerut di kening Siang Ki makin mendalam. Ia kagum akan kecantikan dan kelihatan gadis ini, namun kecewa melihat sikap dan wataknya. “Akan tetapi mereka telah menggunakan senjata rahasia seperti milikmu, itu berarti mencemarkan nama baikmu. Siapa tahu mereka sengaja memalsukan senjatamu.”
“Hemm, justeru karena itu aku tidak mau mengejar. Mereka tentu melakukan hal ini menurut rencana dan tentu mereka akan datang mencari aku kalau tiba saatnya. Aku mau menanti di perahu dan kalau sampai besok mereka tidak datang aku akan melanjutkan perjalananku.”
“Ke mana?”
“Ke utara.”
Wajah Yu Siang Ki berseri. “Aihh, mengapa begini kebetulan? Aku pun hendak ke utara.”
“Hemmm? Benarkah?” Kwi Lan kurang percaya, menyangka bahwa pemuda ini mencari-cari alasan untuk melakukan perjalanan bersamanya.
“Mengapa tidak? Aku hendak mencari Suling Emas.”
Berdebar jantung Kwi Lan mendengar ini. “Kenapa mencari ke utara?”
“Menurut laporan anak buahku, Locianpwe itu menuju ke utara. Ada kepentingan besar sekali yang memaksa aku mencarinya ke utara.”
Kwi Lan melamun. Suling Emas ke utara? Hendak bertemu ibu kandungnya, Ratu Khitan?
“Kalau kau tidak keberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
Kwi Lan tersenyum. “Mengapa keberatan? Asal kau tidak lagi menuduh aku dengan fitnah yang bukan-bukan seperti tadi.”
“Maafkan aku sekali lagi, Siauw-moi.” Yu Siang Ki menjura dan Kwi Lan tertawa geli.
“Mari ke perahuku. Kuharap saja mereka akan muncul agar enak kita berdua mengganyang mereka di perahu!”
Namun Yu Siang Ki tidak segembira Kwi Lan. Hatinya tetap merasa gelisah dengan munculnya hal yang merupakan teka-teki ini. Siapa pembunuh hwesio-hwesio itu? Andaikata orang-orang Thian-liong-pang, apakah maksudnya? Namun ia tidak sempat bicara lagi karena Kwi Lan sudah berkelebat dan meloncat jauh dari tempat itu. Cepat ia mengejar dan sebentar saja mereka sudah berada di perahu cat merah yang disewa Kwi Lan.
“Aku mau tidur.” kata Kwi Lan dan terus saja ia tidur telentang di atas papan perahu berbantal bungkusan pakaiannya. Sejenak Siang Ki tertegun memandang tubuh yang melintang di depannya, kagum bukan hanya oleh keindahan bentuk tubuh, juga oleh sikap yang demikian polos dan wajar. Ah, ada remaja yang jujur dan bersih, tidak berpura-pura, liar seperti bunga mawar hutan, pikirnya terharu.
“Aku duduk menjaga di luar.” katanya dengan suara tergetar sambil duduk di atas papan melintang di kepala perahu, memandangi bulan purnama yang bermain-main di dalam air sungai.
Sinar bulan dan keadaan yang sunyi itu membuat Siang Ki melamun. Pelabuhan sungai itu sunyi sekali karena setelah peristiwa yang terjadi siang tadi, semua nelayan merasa takut dan menghentikan kegiatan pekerjaan malam. Mereka menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat antara nona perkasa itu dengan para penjahat yang bermalam di Kuil Ban-hok-tong.
Siang. Ki berkali-kali menarik napas panjang. Ia terpaksa meninggalkan Kang-hu karena peristiwa yang amat penting telah terjadi. Mula-mula berita itu tidak dipercayanya. Berita yang didengar dari beberapa orang pengemis anggauta perkumpulannya bahwa di daerah selatan muncul Suling Emas yang memusuhi para pengemis. Mula-mula ia mengutus Gak-lokai dan Ciam-lokai untuk menyelidiki berita yang tak masuk akal itu. Dan dua orang kakek pengemis itu pulang dengan babak-belur. Mereka telah bertemu dengan Suling Emas itu dan ternyata berbeda dengan Suling Emas yang telah menyamar sebagai Yu Kang Tianglo! Akan tetapi Suling Emas yang baru ini berpakaian seperti Suling Emas dengan tanda gambar sulaman suling di depan dadanya. Hebatnya, Suling Emas baru ini pun berkepandaian tinggi sehingga Gak-lokai dan Ciam-lokai tidak mampu menandinginya dan dirobohkan. Bahkan Suling Emas itu menantang agar supaya Yu Kang Tianglo datang sendiri menandinginya! Mendengar ini, panas hati Yu Siang Ki. Maka ia lalu melakukan perjalanan ke selatan, menemui Suling Emas ini sebagai wakil ayahnya, Yu Kiang Tianglo. Ia menjadi bingung, tidak tahu mana yang tulen mana yang palsu antara Suling Emas yang pernah menyamai sebagai mendiang ayahnya dengan Suling Emas yang sekarang. Akan tetapi nyatanya, dalam belasan jurus saja ia roboh oleh orang ini! Karena inilah Yu Siang Ki lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari Suling Emas pertama, untuk dimintai tolong menghadapi Suling Emas kedua ini!
Kini duduk melamun di kepala perahu, memandang sepasang bulan, yang di atas dan di dalam air, teringatlah ia akan sepasang Suling Emas yang membingungkan hatinya. Suling Emas kedua ini selain lihai juga agaknya sengaja memusuhi pihak pengemis, namun tak pernah terdengar melakukan kejahatan dan tidak pula melukai berat kepada para pengemis termasuk Gak-lokai berdua dan dirinya sendiri. Agaknya asal dapat menang cukuplah bagi Suling Emas ke dua itu!
Kembali ia menarik napas panjang memandangi dua bulan berganti-ganti, lalu tanpa disadarinya Yu Siang Ki bersenandung.
“Bulan terapung di angkasa
bermain dengan mega
tak mungkin terbang menjangkaunya!
Bulan
tenggelam di air
bercanda dengan gelombang
tak mungkin menyelaminya!”
Kembali Siang Ki menarik napas panjang. Dua orang Suling Emas itu seperti dua bulan ini, bulan dan bayangannya, yang mana tulen dan mana palsu? Keduanya sakti, dan sukar menyelidiki keadaannya.
“Ah.... kau.... kau gagah....”
Siang Ki terkejut dan menoleh. Ia melihat Kwi Lan menggeliat perlahan dan mulut gadis itu berbisik-bisik. Hatinya berdebar. Tak salahkah pendengarannya bahwa gadis itu dengan suara bisik merayu menyebutnya gagah? Tak salahkah penglihatannya bahwa gadis itu menggeliat dan seolah-olah mengharapkan dia datang membelainya? Tanpa disadarinya lagi Siang Ki melangkah maju mendekati tubuh yang masih tidur telentang itu. Sinar bulan tertutup atap perahu sehingga wajah gadis itu terlindung dalam cuaca remang-remang. Bergerak-gerakan bulu mata panjang lentik itu? Sampai lama Siang Ki berdiri menatap wajah yang amat cantik itu. Bibir gadis ini seperti tersenyum menantang, tangan kiri di atas perut dan tangan kanan di bawah dagu. Rambutnya harum hitam halus yang dikucir dua itu terletak di atas dada, kanan kiri, ikut bergerak-gerak turun naik bersama dadanya. Ada dorongan hasrat yang amat kuat merangsang dari dalam dada Siang Ki, membuat ia membungkuk dan hampir saja ia mencium pipi dan bibir itu, namun kesadaran dan keteguhan hatinya menahannya. Dia seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang hidup sebagai seorang pendekar. Tak mungkin melakukan hal sekeji ini, menggunakan kesempatan selagi seorang dara tidur untuk menciumnya. Pekerjaan hina! Sama dengan mencuri, sama dengan memperkosa!
Dua macam perasaan berperang di hati Siang Ki, yang satu mendorong yang lain menahan. Untung pada saat itu perasaannya yang tajam dapat merasa betapa perahu bergoyang sedikit. Cepat ia menoleh dan tampaklah dua orang laki-laki meloncat ke atas perahu. Gerakan mereka ringan bagai burung, membuktikan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki, ilmu kepandaian tinggi. Bayangan beberapa orang lagi tampak berloncatan di perahu-perahu yang berada di pelabuhan, juga di pantai tak jauh dari situ. Perahunya telah terkepung! Seorang di antara dua laki-laki yang sudah meloncat ke perahu itu dahinya berhias mutiara, itulah salah seorang di antara Cap-ji-liong, jago-jago Thian-liong-pang yang tersohor lihai!
“Kau gagah Suling Emas....!” Kembali terdengar suara Kwi Lan barbisik dan Siang Ki yang masih menoleh ke belakang itu seperti ditusuk jantungnya. Kiranya gadis ini tadi bukan memuji dia yang gagah, melainkan memuji Suling Emas di dalam mimpi! Dengan muka merah saking malu mengingat akan sikap dan persangkaannya sendiri tadi, Siang Ki meloncat bangun sambil menyambar tongkatnya.
“Kalian siapa dan mau apa mengganggu kami?” bentaknya sambil melintangkan tongkat di depan dada. Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang itu sudah mencabut golok masing-masing, menerjang maju sambil berteriak,
“Kepung! Tangkap sepasang anjing muda ini!”
Siang Ki marah sekali, tongkatnya berkelebat dan saking dahsyatnya serangan tongkatnya, dua orang itu berseru kaget dan meloncat mundur, keluar dari perahu! Yu Siang Ki menoleh dulu sebelum mengejar, dan melihat betapa Kwi Lan sudah bangkit duduk mengucek-ucek mata, ia berseru.
“Kwi Lan, setan-setan itu sudah datang hayo bantu aku basmi mereka!” Setelah berseru demikian, pemuda ini dengan gerakan gesit telah melayang keluar dari perahu ke darat. Sebentar saja ia sudah dikepung dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang mengepungnya adalah dua belas orang yang memakai mutiara di dahinya. Kedua belas orang Cap-ji-liong, jagoan dari Thian-liong-pang lengkap berada di situ! Dan di samping dua belas orang ini masih ada sedikitnya tiga puluh orang laki-laki tinggi besar yang merupakan anak buah mereka dan kesemuanya sudah siap dengan senjata di tangan. Hebat, pikirnya dengan hati kecut.
Akan tetapi karena keadaan mendesak, ia tidak mau banyak cakap lagi dan cepat ia menggerakkan tongkatnya yang panjang sambil berteriak. ”Kiranya dua belas ekor cacing dari Thian-liong-pang yang datang. Kalian mau apa?”
“Tranggg....!” Tongkatnya tertangkis oleh sepasang pedang panjang di tangan seorang yang brewok, tinggi besar dan bermata lebar. Inilah Ma Kiu, atau Thian-liong-pangcu, ketua perkumpulan itu, juga merupakan orang pertama atau pimpinan Cap-ji-liong yang tersohor. Siang Ki sudah pernah mendengar tentang orang ini, akan tetapi belum pernah bertemu. Kini ia dapat menduganya dan pantas saja tangkisan tadi demikian kuat, pikirnya. Makin tidak enak hatinya karena ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi banyak lawan pandai.
“Orang muda, siapa pun adanya engkau, jangan mencampuri urusan kami. Pergilah kalau kau ingin selamat. Kami hanya membutuhkan Mutiara Hitam!” kata Ma Kiu yang marah sekali mengingat akan semua perbuatan Mutiara Hitam yang pernah mengacaukan Thian-liong-pang bersama seorang pemuda berandalan bernama Tang Hauw Lam. Tadinya ketika ia mendapat laporan, hatinya girang, menyangka bahwa Mutiara Hitam yang dilaporkan bersama seorang pemuda di perahu itu tentulah Tang Hauw Lam. Kiranya pemuda tampan itu hanya pengemis muda yang tidak dikenalnya. Sebagai Ketua Thian-liong-pang yang merasa derajatnya jauh lebih tinggi, tentu saja Ma Kiu tidak mau melayani pengemis muda ini maka mengeluarkan ucapan seperti itu.
Panas juga hati Siang Ki mendengar ucapan itu. Ia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang ini, memandang rendah kepadanya, maka sambil mengangkat dada ia menjawab.
“Kalau tak salah dugaanku, engkau tentulah yang bernama Ma Kiu, yang menjadi pimpinan Cap-ji-liong dan juga menjadi Ketua Thian-liong-pang.”
“Orang jembel sudah mengenal tidak lekas pergi!” bentak seorang di antara Cap-ji-liong.
“Thian-liong-pangcu! Biarpun jalan kita bersimpangan, namun sudah lama aku mendengar tentang Thian-liong-pang dan Cap-ji-liong. Ketahuilah, aku adalah pangcu dari Khong-sim Kai-pang! Dan Mutiara Hitam adalah sahabatku. Kuharap, mengingat akan kedudukan kita bersama, engkau suka melihat mukaku dan tidak mengganggunya. Kalau engkau berkeras, marilah kita sama-sama pangcu dari perkumpulan besar melihat siapa di antara kita yang lebih unggul!”
Ma Kiu dan sute-sutenya terkejut dan memandang lebih teliti. Kiranya pengemis muda ini adalah Pangcu dari Khong-sim Kai-pang. Tentu saja mereka sudah mendengar akan sepak terjang pangcu baru ini, betapa Khong-sim Kai-pang di bawah pimpinan pangcu muda ini telah membasmi golongan pengemis baju bersih yang tadinya menguasai kai-pang-kai-pang (perkumpulan pengemis) di daerah Kang-hu. Karena para pengemis golongan baju bersih adalah sekutu Thian-liong-pang, maka tentu saja dua belas orang Cap-ji-liong ini menganggap Yu Siang Ki sebagai musuh.
“Ah, kiranya engkau jembel muda pengacau itu? Bagus kau datang menyerahkan diri!” Ma Kiu membentak dan sepasang pedangnya berkelebat menyambar, Siang Ki yang sudah siap cepat menggerakkan tongkat, sekaligus menangkis sepasang pedang itu dan membalikkan tongkat mengirim serangan dengan tusukan ke arah perut yang gendut. Ma Kiu meloncat ke kanan dan pada saat itu, sebelas orang sutenya yang menyaksikan gerakan cepat Siang Ki, segera maju mengeroyok!
“Dua belas ekor cacing Thian-liong-pang tak tahu malu!” terdengar bentakan Kwi Lan disusul sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam. Gadis ini sudah melompat maju dan begitu ia memutar pedangnya, empat batang pedang lawan telah dapat tertolak mundur berikut pemiliknye. Akan tetapi pada saat itu anak buah yang bertubuh tinggi besar dan mereka ini adalah bekas-bekas bajak sungai yang sudah takluk kepada Siauw-bin Lomo, kini maju mengepung Kwi Lan!
“Bagus, makin banyak makin baik! Memang pedangku sudah haus darah!” teriak gadis itu sambil membabat ke sekelilingnya. Hebat bukan main gerakan Kwi Lan ini dan lebih-lebih karena para pengeroyoknya yaitu para bajak, hanya mengandalkan tenaga besar dan kekasaran saja, maka dalam sekejap mata terdengar teriakan kesakitan dan lima orang sudah roboh mandi darah!
Kalau Kwi Lan dengan enaknya membabati para pengeroyoknya, adalah Yu Siang Ki yang benar-benar menghadapi pengeroyokan berat. Cap-ji-liong terdiri dari orang-orang pandai dan mereka ini bergerak bukan sembarangan, melainkan menurut aturan dalam bentuk barisan yang amat rapi dan kuat. Tingkat kepandaian Yu Siang Ki sudah tinggi dan andaikata Cap-ji-liong maju seorang demi seorang, biarpun Ma Kiu sendiri takkan dapat menangkan pemuda ini. Akan tetapi begitu Cap-ji-liong maju bersama dalam bentuk barisan yang mengurung rapat, Siang Ki menjadi repot sekali dan terdesak hebat. Dua belas orang itu menggunakan bermacam-macam senjata sehingga gerakan mereka itu bagi Siang Ki amat kacau-balau dan sukar diduga. Karena itulah, maka pemuda ini hanya dapat memutar tongkat melindungi tubuhnya dari hujan senjata para pengeroyok yang rata-rata memiliki tenaga lwee-kang cukup besar.
Biarpun ia sedang mengamuk, Kwi Lan tidak melepaskan perhatiannya terhadap Siang Ki yang ia tahu menghadapi pengeroyokan Cap-ji-liong yanglihai . Maka ia dapat melihat betapa pemuda itu betapa pun lihainya, repot sekali menyelamatkan diri dari ancaman senjata-senjata lawan. Maka ia lalu berseru keras, merobohkan dua orang pengeroyok terdepan lalu sekali meloncat ia sudah tiba di luar barisan Cap-ji-liong yang mendesak Siang Ki. Pedangnya berkelebat menyerbu barisan Cap-ji-liong dari belakang sehingga tiga orang anggauta barisan terpaksa membalikkan tubuh dan menangkis, kemudian secara teratur sekali mereka bergerak diikuti teman-temannya dan di lain saat Kwi Lan telah terkurung pula bersama Siang Ki!
“Siang Ki, mari kita basmi cacing-cacing yang menjemukan ini!” seru Kwi Lan marah sambil memutar pedangnya menerjang kepungan. Akan tetapi barisan itu teratur rapi sekali dan betapapun lihainya pedang Kwi Lan, karena sekaligus ditangkis oleh sedikitnya tiga senjata secara berbareng, ia kalah tenaga dan berbalik ia pun dijadikan sasaran hujan senjata!
“Kwi Lan, kita berdua beradu punggung!” Siang Ki berseru dan Kwi Lan yang maklum akan maksud temannya segera membelakangi pemuda itu dan kini mereka berdiri saling membelakangi. Dengan demikian, kedudukan mereka lebih kuat dan tidak perlu lagi mereka membagi perhatian ke belakang karena bagian belakang masing-masing telah terlindung sehingga perhatian dapat dicurahkan ke depan. Bahkan kanan kiri dapat terjaga oleh kedua orang muda perkasa ini. Benar saja, setelah beradu punggung, dua orang muda ini dapat melawan lebih ringan dan biarpun kadang-kadang para pengepungnya berlari-lari memutari mereka, kedua orang muda ini tidak usah ikut berlari-lari takut diserang dari belakang lagi. Mereka melayani dengan tenang dan kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang, sungguhpun serangan mereka kurang berhasil karena selalu ditangkis oleh banyak lawan. Diam-diam Siang Ki menjadi gelisah karena balasan lawan benar-benar hebat. Andaikata dia dan Kwi Lan dapat bertahan mengandalkan kegesitan, tenaga dan ilmu silat mereka yang lebih tinggi tingkatnya, namun sampai berapa lama mereka mampu bertahan? Di luar barisan dua belas orang Thian-liong-pang ini masih terdapat puluhan orang anak buah mereka.
Ma Kiu yang memimpin sute-sutenya ketika melihat betapa barisannya tidak berdaya menghadapi dua orang muda yang benar-benar lihai itu, menjadi penasaran dan marah sekali. Tak disangkanya bahwa Ketua Khong-sim Kai-pang yang masih mudaini ternyata juga amat lihai sehingga diam-diam ia harus meragukan kepandaiannya sendiri apakah ia akan sanggup menghadapi orang muda itu satu lawan satu. Ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa rahasia perkumpulannya. Mendengar aba-aba ini dua belas orang Cap-ji-liong itu lalu berlari-lari mengelilingi dua orang muda itu dan makin lama lingkaran itu menjadi makin jauh.
“Awas....!” Siang Ki berseru keras dan Kwi Lan yang sudah menduga segera memutar pedangnya, melindungi tubuhnya dari sambaran senjata-senjata rahasia mereka, yaitu Sin-seng-piauw yang berbentuk bintang. Juga Siang Ki memutar tongkatnya sehingga sebentar saja di sekitar mereka berdiri berserakan senjata rahasia musuh.
Hebatnya, tidak hanya Sin-seng-piauw yang menyambar bagaikan hujan, kini banyak anak panah yang dilepas oleh anak buah bajak. Sibuk sekali Siang Ki dan Kwi Lan menghadapi hujan serangan senjata rahasia ini.
“Kwi Lan.... kau larilah.... lekas serbu sayap kiri... aku membantu dan melindungimu, kau harus lari....!” Terdengar Siang Ki berkata dengan napas memburu. Ketika Kwi Lan melirik tanpa menghentikan putaran pedangnya, ia terkejut melihat pemuda itu terluka pundak kirinya sehingga mengeluarkan darah.
“Huh, enak kau bicara! Kaukira aku pengecut yang takut mampus? Kaulihat!”
Sambil berkata demikian, tangan kiri Kwi Lan bergerak menyambitkan jarum-jarumnya ke sebelah kanan. Sinar hitam menyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan disusul robohnya lima anggauta bajak yang menjadi korban sambaran jarum-jarum hijau beracun.
Akan tetapi gerakan ini hampir mencelakakan Kwi Lan juga karena dengan gerak serangannya ini, putaran pedangnya kurang kuat dan kalau ia tidak cepat meloncat ke kiri, tentu ia menjadi korban sambaran sebuah di antara puluhan senjata rahasia.
“Tiada guna.... mereka terlalu banyak dan lihai. Lekas kau lari selagi ada kesempatan Kwi Lan.”
“Ih, kalau kau takut, kau larilah. Aku tidak takut, akan kulawan sampai mampus!”
“Aku tidak takut, aku ingin kau menyelamatkan diri, jangan pikirkan diriku....”
“Eh, orang bernama Yu Siang Ki! Apakah kau mau menjadi orang gagah sendiri dan aku harus menjadi pengecut?
Tidak, kalau kita lari, harus lari bersama, kalau melawan terus harus berdua!” jawab Kwi Lan dengan kukuh dan suaranya jelas memperdengarkan kemarahan.
“Ah, kau bodoh!” kata Siang Ki sambil memutar tongkat dan mengebutkan lengan baju lalu melompat tinggi. Biarpun sudah terluka ternyata ia masih gesit sekali. “Bukan berani atau takut, melainkan kita harus gunakan otak! Kalau melawan terus dan keduanya mati, siapa akan tolong? Kau lari dulu, kalau aku tertawan, masih ada kau yang menolongku. Kenapa nekat? Hayo lekas serbu ke sayap kiri, aku bantu kau melarikan diri!”
Kwi Lan menjadi gemas sekali. Sambil memutar pedang menangkis senjata rahasia, ia berhasil menangkap sebuah peluru bintang dan cepat mengembalikannya dengan sambitan kuat. Kembali terdengar jerit seorang anggauta bajak roboh dan tewas.
“Aku punya rencana. Hayo kaulindungi aku!” bentaknya kepada Siang Ki, kemudian tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk membantah, ia sudah meloncat dan menyerbu, bukan ke kiri melainkan ke kanan. Yang mengurung di sebelah kiri adalah anggauta-anggauta termuda Cap-ji-liong dan ketika bertempur tadi Siang Ki sudah dapat melihat bahwa sayap kiri ini yang paling lemah. Akan tetapi gadis ini sekarang malah menyerbu sayap kanan di mana terdapat Ma Kiu, Ketua Thian-liong-pang yang tentu saja paling kuat di antara adik-adiknya! Karena melihat Kwi Lan sudah menyerbu, tentu saja ia pun tak dapat mencegah cepat ia melindungi gadis itu dari dekat.
Ma Kiu terkejut dan cepat ia bersama adik-adiknya menyambut serangan Kwi Lan dan sekaligus tiga orang menangkis sedangkan tiga orang lain membalas dengan serangan dari kanan kiri. Akan tetapi Kwi Lan tidak peduli akan serangan ini, bahkan ia terus menerjang maju ke arah Ma Kiu dengan tikaman dan sabetan pedang bertubi-tubi! Melihat ini, tiga orang anggauta Cap-ji-liong menjadi girang dan mengira bahwa serangan mereka tentu akan mengenai sasaran.
“Trang-trang-trang....!” Tangkisan tongkat Siang Ki amat kerasnya sehingga golok dan pedang yang mengancam Kwi Lan itu sampai terpental dari tangan pemegangnya. Akan tetapi karena Siang Ki sudah terluka dan dalam tangkisan ini ia mempergunakan terlalu banyak tenaga maka ketika ruyung di tangan Cap-ji-liong ke empat menyambar punggung, ia tidak dapat menghindar lagi sehingga punggungnya kena hantaman ruyung! Siang Ki mengeluh dan cepat memutar tubuh menggerakkan tongkat. Robohlah orang Cap-ji-liong pemegang ruyung itu dan pingsan karena perutnya terkena sodokan tongkat! Akan tetapi Siang Ki yang menjadi gelap pandang matanya oleh hantaman ruyung di punggungnya tadi juga roboh karena pada saat itu, dua buah peluru bintang yang mengandung racun telah menyambar dan mengenai dada dan lehernya! Siang Ki roboh pingsan dengan tongkat masih terpegang erat-erat.
Pada saat yang hampir berbareng, Kwi Lan yang menyerang Ma Kiu juga telah berhasil. Dengan gerakan seperti burung walet terbang miring, gadis itu melompat menghindarkan sambaran sepasang pedang Ma Kiu, Kemudian dari samping atas tangan kirinya bergerak dan tanpa dapat dicegah lagi jari-jari tangannya yang kecil halus namun kuat dan cekatan itu telah menotok tengkuk Ma Kiu. Ma Kiu mengeluarkan jeritan parau dan roboh, kedua pedangnya terlepas. Sebelum adik-adik seperguruannya mampu menolongnya, Kwi Lan sudah meloncat turun, menginjakkan kaki kirinya pada tubuh Ma Kiu yang pingsan itu, menodongkan pedangnya ke dada Ketua Thianliong-pang ini sambil membentak.
“Mundur semua atau kurobek perut Ketua Thian-liong-pang!”
Ancaman yang dikeluarkan dengan suara nyaring penuh amarah ini berhasil. Orang-orang Thian-liong-pang yang tadinya sudah menggerakkan senjata hendak membunuh Siang Ki yang sudah tak berdaya itu menarik kembali senjata masing-masing, juga mereka yang hendak menyerbu Kwi Lan kini terpaksa melangkah mundur. Akan tetapi sepuluh orang Cap-ji-liong yang belum terluka masih mengurung tubuh Siang Ki yang sudah pingsan. Mereka bukan orang bodoh dan melihat kepala mereka terjatuh di tangan gadis itu, mereka pun mengurung dan menawan Siang Ki.
“Bebaskan kawanku itu, baru aku akan membebaskan Ketua Thian-liong-pang!” kembali Kwi Lan membentak dan pedangnya masih ditodongkan ke arah dada Ma Kiu.
Seorang di antara sepuluh anggauta Cap-ji-liong yang bertubuh kurus bermuka pucat, melangkah maju mewakili teman-temannya. Ia melihat betapa banyaknya anak buah bajak yang roboh menjadi korban nona perkasa itu, dan melihat pula betapa nyawa ketuanya terancam bahaya maut! Akan tetapi ia pun melihat betapa bulu mata Ma Kiu bergerak-gerak, tanda bahwa ketuanya itu tidak pingsan! Memang dalam hal ini Kwi Lan kurang menghargai kepandaian lawan. Ia tidak tahu bahwa Ma Kiu berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar), memiliki gwa-kang yang bukan main kuatnya sehingga jalan darah di tubuhnya seakan-akan terlindung oleh otot-otot baja dan kulit besi! Tadi ketika terkena totokan, Ketua Thian-liong-pang ini hanya puyeng sebentar akan tetapi jalan darahnya tidaklah terhenti seperti yang disangka Kwi Lan. Ia hanya setengah pingsan sebentar saja dan kini ia sudah sadar kembali. Akan tetapi dasar ia cerdik, ia diam saja karena maklum bahwa sedikit saja ia bergerak, tentu gadis yang sakti ini akan curiga dan menusuk dadanya.
“Hemm, Mutiara Hitam.” kata anggauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat tadi, “keadaanmu tidak menguntungkan akan tetapi kau masih membuka mulut besar! Kau boleh mengancam ketua kami akan tetapi kami pun dapat mengancam nyawa kawan baik dan kekasihmu ini. Ha-ha-ha!”
Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, pandang matanya melotot dan ia membentak, “Baik, kau boleh bunuh dia, akan tetapi selain ketuamu ini kubunuh, juga semua orang Thian-liong-pang takkan kubiarkan hidup!” Tiba-tiba anggauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat itu bersuit nyaring dan mereka berbareng menerjang maju pada saat Ma Kiu menggerakkan tubuh bergulingan menjauhi Kwi Lan!
Gadis itu kaget sekali. Kalau ia menghadapi penyerbuan mereka, tentu Ketua Thian-liong-pang itu terlepas dari tangannya. Sebaliknya kalau ia mengejar dan menyerang Ma Kiu yang bergulingan, tentu ia akan menjadi korban serbuan sepuluh orang Cap-ji-liong! Tentu saja yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya sendiri, karena kalau ia roboh, berarti Siang Ki takkan dapat tertolong lagi. Dengan geram ia memutar pedangnya menyambut serbuan sepuluh orang anggauta Cap-ji-liong itu. Demikian hebat gerakan pedangnya yang dirangsang kemarahan sehingga tubuhnya berkelebat lenyap dan gerakan pedang yang aneh itu tidak saja dapat menangkis senjata yang mengancamnya, juga ia berhasil pula merobohkan dua orang pengeroyok. Sungguhpun pedangnya tidak mengenai tepat, hanya menyerempet saja namun dua orang anggauta Cap-ji-liong itu roboh karena terluka dekat leher.
Segera Kwi Lan dikurung oleh sisa anggauta Cap-ji-liong dan anak buah Thian-liong-pang yang amat banyak. Terdengar suara Ma Kiu marah sekali, “Seret ketua jembel itu dan bawa pergi! Siapkan barisan Am-gi (Senjata Rahasia), keroyok iblis betina ini!”
Makin bingung dan gelisah hati Kwi Lan mendengar perintah yang dikeluarkan Ketua Thian-liong-pang ini. Ia masih dan belum berpengalaman seperti Siang Ki. Andaikata ia menurut nasihat Yu Siang Ki dan menyelamatkan diri, agaknya tidak terlalu sukar bagi Kwi Lan untuk meloloskan diri di dalam kegelapan malam. Namun gadis ini luar biasa beraninya dan juga tak dapat menahan kemarahannya. Melihat betapa temannya terancam bahaya maut, ia tidak pedulikan lagi akan keselamatan diri sendiri, terus saja mengamuk seperti seekor naga sakti.
Namun Ma Kiu yang maklum akan kelihaian gadis ini dan menghendaki agar gadis ini ditawan dalam keadaan hidup, lalu mengatur barisan. Mereka lalu mengeluarkan tambang-tambang yang diayun-ayun untuk menyerimpung kedua kaki Kwi Lan, di samping itu hujan senjata rahasia membuat Kwi Lan sibuk bukan main. Selain ia harus menghindarkan diri dari hujan senjata, ia pun harus berloncatan karena kakinya diancam oleh ayunan tambang-tambang yang dipegangi para pengeroyok dari depan dan belakang serta kiri kanan. Kini ia terkepung rapat dan andaikata ia mempunyai maksud hati untuk melarikan diri sekalipun sudah tak mungkin lagi, sudah terlambat.
Sementara itu, Ma Kiu yang cerdik dan banyak siasat, diam-diam sudah mengambil jaring yang berada di tepi sungai, jaring para nelayan dijemur di tepi sungai. Diam-diam Ketua Thian-liong-pang ini mengatur siasat dan alangkah kaget hati Kwi Lan ketika tiba-tiba banyak sekali jaring melayang dari atas menyelimutinya. ia berusaha memutar pedang membela diri. Banyak jaring yang robek oleh pedangnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terasa sakit tertusuk senjata rahasia anak panah, sehingga ia terhuyung-huyung. Pada saat itu, beberapa buah jaring menutup tubuhnya, dan ada tambang melibat kakinya dan menjegalnya. Betapa pun kuatnya Kwi Lan, ia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan roboh terguling. Para anggauta Thian-liong-pang bersorak-sorak dan sebentar saja tubuh Kwi Lan sudah dilibatlibat jaring. Ia tertawan dalam libatan jaring-jaring itu dan hanya mampu memaki-maki akan tetapi sama sekali tidak dapat meronta lagi. Ma Kiu memimpin orang-orangnya membawa pergi Kwi Lan dan Yu Siang Ki sebagai dua orang tawanan penting. Masih untung bagi dua orang muda itu. Kwi Lan adalah gadis yang pernah mengacau Thian-liong-pang akan tetapi juga mengaku sebagai utusan Pak-sin-ong mengirim kuda hitam, maka ia bukan orang biasa dan oleh Ma Kiu akan dibawa dan dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo yang kini hendak mengadakan hubungan dengan barisan Hsi-hsia. Adapun Yu Siang Ki adalah Ketua Khong-sim Kai-pang yang menjadi musuh besar Bu-tek Siu-lam karena pemuda ini berani memusuhi para pengemis baju bersih, maka juga merupakan orang penting yang patut dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo untuk diambil keputusan nasibnya. Selain ini, juga Ma Kiu yang melihat kecantikan Kwi Lan, merasa sayang kalau membunuh gadis ini secara begitu saja!
Rombongan orang Thian-liong-pang ini lalu pergi meninggalkan desa Ci-chung sebagian naik kuda dan ada yang berjalan kaki mendorong dua buah kereta kecil, yaitu kereta tawanan yang bentuknya seperti kurungan binatang buas di mana menggeletak Yu Siang Ki yang pingsan dan Kwi Lan yang memaki-maki di sepanjang jalan.
***
Lembah Sungai Nu-kiang yang meluncur turun dari lereng Gunung Kao-likung-san memang merupakan tempat yang selain amat indah, juga amat strategis untuk dijadikan tempat persembunyian para pendeta Tibet yang memimpin sisa pasukan Hsi-hsia. Lembah ini penuh dengan hutan-hutan liar, tanahnya amat subur dan selain banyak tetumbuhan yang dapat menjadi bahan makanan, juga di situ banyak terdapat binatang hutan. Di samping ini semua, keadaan daerah pegunungan yang amat sukar didatangi orang itu merupakan daerah sunyi dan tidaklah mudah bagi musuh untuk datang menyerbu.
Karena tempat itu dijadikan markas untuk Bouw Lek Couwsu tokoh pendeta jubah merah dari Tibet bersama anak buahnya dan pasukan Hsi-hsia, maka di situ telah dibangun pondok-pondok darurat yang cukup besar. Sisa pasukan yang menyerbu Nan-cao dan gagal karena dapat dipukul mundur, sebagian besar sudah mengalihkan rencana ke utara untuk memasuki dan mengganggu perbatasan Kerajaan Sung. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu yang suka dengan markas baru ini, hanya menyerahkan penyerbuan atau pengacauan itu kepada anak buahnya, sedangkan ia sendiri beristirahat di markas baru ini, ditemani Siang-mou Sin-ni yang biarpun tua namun masih kelihatan cantik dan menyenangkan hatinya, apalagi kalau diingat bahwa hadirnya iblis betina ini disampingnya merupakan pembantu yang amat boleh diandalkan ilmu kepandaiannya menghadapi musuh. Dan kakek berkepala gundul yang wajahnya masih tampan ini maklum bahwa setelah ia berhasil merusak dan membunuh tokoh-tokoh Beng-kauw, tentu akan banyak lawan tangguh yang mencarinya.
Biarpun usahanya menyerbu Nan-cao gagal dan pasukan Hsi-hsia dipukul mundur, namun hati Bouw Lek Couwsu tidaklah terlalu kecewa. Pertama, ia memang tidak terlalu ingin menaklukkan Nan-cao karena yang ia incar adalah Kerajaan Sung. Ke dua, ia telah berhasil membunuh Ketua Beng-kauw dan para tokohnya sehingga ia dapat membalas kekalahannya dahulu. Ke tiga, anak buahnya juga sudah cukup puas karena dalam penyerbuan itu mereka merampas banyak harta benda dan menculik banyak wanita muda. Untuk kakek pendeta yang hanya menggunakan kependetaannya sebagai kedok belaka ini saja disediakan belasan orang gadis rampasan yang tercantik, sehingga sambil beristirahat di Lembah Nu-kiang kakek ini akan dapat bersenang-senang sepuas hatinya.
Juga Siang-mou Sin-ni yang tidak ambil pusing akan apa yang dilakukan bekas kekasihnya, menjadi amat girang ketika ia dapat menculik Kam Han Ki, putera bungsu Kam Bu Sin. Ia melihat bahwa selain anak berusia sebelas tahun ini amat tampan dan berwatak gagah, juga memiliki darah murni dan tulang bersih sehingga terpenuhilah kebutuhannya untuk menyempurnakan ilmunya Hun-beng-to-hoat! Siang-mo Sin-ni memesan kepada para penjaga untuk menjaga tawanan anak kecil ini baik-baik dan setiap hari supaya diberi makan minum secukupnya, bahkan diberi hidangan lezat yang sudah ia campuri obat untuk memperkuat keadaan tubuh anak itu sebelum ia “pergunakan” untuk keperluan ilmunya.
Akan tetapi tidaklah mudah membujuk dan membohongi Kam Han Ki. Anak ini semenjak diculik dan dibawa ke dalam rimba lalu dijebloskan ke dalam kamar tahanan, selalu memperlihatkan sikap melawan dan menentang. Sedikit pun anak ini tidak pernah menangis lagi sejak ditangkap, namun tidak mengenal takut dan selalu menolak apabila diberi makan. Setidaknya, ia menerima makanan dengan sikap menentang dan baru mau makan sedikit kalau tidak ada penjaga melihatnya, ini pun hanya untuk menjaga agar ia tidak kelaparan saja, sedangkan sisanya ia lemparkan ke lantai dan minuman yang lezat dan berlebihan, ditunggu sampai satu dua pekan tubuh Han Ki tidak makin segar, melainkan makin kurus dan pucat.
Setengah bulan kemudian, pada pagi hari itu Siang-mou Sin-ni sendiri datang memasuki kamar tahanan Han Ki yang berpintu jeruji besi dan terkunci dari luar. Melihat masuknya wanita cantik berpakaian mewah dengan rambut terurai panjang yang mengeluarkan bau wangi memabokkan itu, sepasang mata Han Ki sudah bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Wanita inilah yang bersama pendeta gundul berkaki buntung, yang membunuh ayah bundanya dan wanita inilah yang telah menculiknya, menotok dan memondongnya sambil berlari seperti terbang cepatnya ke tempat ini.
Melihat wanita ini memasuki kamar tahanan yang bersih dan tidaklah seburuk kamar tahanan biasa, Han Ki melangkah mundur sampai kedua kakinya menyentuh tempat tidur, lalu ia duduk di pembaringannya. Matanya tak pernah berkedip memandang wanita ini, jantungnya berdebar karena di samping kemarahan dan kebenciannya, ia dapat menduga bahwa wanita ini tak mungkin berniat baik terhadap dirinya.
Sejenak Siang-mou Sin-ni memandang dengan matanya yang genit, kemudian ia tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, suaranya halus dan manis.
“Anak baik, namamu Kam Han Ki, bukan? Ah, mengapa kau mengecewakan hatiku? Kau tidak mau makan dengan baik-baik, sehingga tubuhmu makin kurus. Kenapa kau menyiksa dirimu? Aku sayang padamu, Han Ki.”
“Kalau sayang kenapa kaubunuh Ayah bundaku? Tidak, kau jahat dan biarkan aku pergi dari sini” Sambil berkata demikian, Han Ki yang melihat betapa pintu tahanan yang kokoh kuat itu kini sudah terbuka, lalu mengerahkan tenaga dan melompat ke arah pintu untuk melarikan diri. Betapapun juga ia adalah putera suami isteri pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga gerakannya cepat dan sebentar saja ia sudah lari keluar menerobos pintu.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terbetot ke belakang, bahkan melayang kembali ke dalam kamar. Han Ki meronta dan kaget sekali melihat betapa tubuhnya sudah terbelit rambut yang hitam dan harum memabokkan, kemudian ia mendengar suara tertawa merdu yang amat dibencinya itu.
“Hi-hi-hik, Kam Han Ki, kau tampan dan nyalimu besar. Bagus”
Han Ki hendak meronta, namun sia-sia. Rambut itu seperti hidup, membelit dan mengikatnya, membuat kaki tangannya tak dapat bergerak. Ia tahu-tahu telah berada di atas dada wanita itu seperti dipegangi rambut yang amat kuat. Kedua tangan iblis betina itu mulai membelai-belainya, mengelus-elus kepala, meraba-raba muka, dan dagu dan leher, mengurut-urut dada dan punggung penuh kasih sayang. Namun sentuhan-sentuhan ini menimbulkan rasa dingin dan ngeri di hati Han Ki, seakan-akan bukan kedua tangan, melainkan ratusan ekor ular yang menggeliat-geliat dan merayap-rayap di sekujur tubuhnya. Akan tetapi ia tidak mampu bergerak, hanya menatap wajah yang amat dekat itu dengan mata terbelalak. Karena wajah wanita itu amat dekat dengan wajahnya, ia merasa betapa hawa panas keluar dari mulut dan hidung wanita itu menyentuh pipinya, dan ia melihat betapa wajah itu sebenarnya penuh gurat-gurat halus tersembunyi di balik bedak dan yanci. Ia makin serem dan ngeri.
“Hi-hi-hik, anak baik, anak tampan dan ganteng. Engkau tampan dan ganteng seperti Kam Bu Sin, Ayahmu. Hi-hik Ayahmu dahulu pernah menjadi kekasihku, tahukah kau anak baik? Dia amat cinta kepadaku.... hi-hik”
“Bohong....!” Han Ki tidak begitu mengerti akan arti ucapan wanita ini akan tetapi mendengar bahwa ayahnya mencinta iblis betina ini, mana ia mau percaya?
“Hi-hi-hik, siapa bohong? Kau lebih tampan dari dia, hem.... kulitmu lebih halus, darahmu lebih bersih dan murni.... hemmm....!” Tiba-tiba wanita itu mencium dahinya, pipinya hidungnya, bahkan kemudian mulut yang merah itu mencium mulutnya!
Han Ki gelagapan hampir pingsan, mengira bahwa wanita itu akan menggigiti dan seperti seekor serigala akan memakannya. Ia merasa ngeri, jijik, takut dan terutama sekali marah. Ketika Siang-mo Sin-ni mencium mulutnya seperti orang gila, atau lebih mirip dengan seekor kucing yang hendak menggerogoti tubuh tikus, Han Ki merasa betapa dada di mana tubuhnya menempel itu terengah-engah, merasa betapa mulut yang mencium bibirnya itu panas terengah dan betapa rambut yang membelit tubuhnya mengendur. Saking takut, jijik dan marahnya, ia menggunakan kesempatan selagi rambut yang membelitnya itu mengendur, ia meronta sekuat tenaga sambil menarik mukanya ke belakang
Gerakannya yang tiba-tiba membuat ia merosot dan cepat kedua tangannya merangkul pundak dan leher Siang-mou Sin-ni, kemudian dengan buas dan terdorong kemarahan meluap-luap, Han Ki membuka mulutnya dan.... menggigit ternggorokan Siang-mou Sin-ni! Mulutnya bertemu kulit leher yang halus, terus saja ia menggunakan giginya yang kuat menggigit sekuat tenaga, bertekad untuk menggigit dan tidak akan melepaskan gigitannya biarpun ia dipukul sampai mati!
“Aiihhh....!” Siang-mou Sin-ni menjerit lirih. Dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan jarang ada tokoh kang-ouw yang dapat menandinginya. Dialah seorang di antara Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) yang tersohor puluhan tahun, yang bahkan dialah satu-satunya orang di antara Enam Iblis yang masih hidup. Ilmu kepandaiannya amat hebat bahkan mengerikan bagi banyak tokoh kang-ouw. Baru ilmunya mempergunakan rambut panjang saja sudah sukar dicari jagoan yang mampu menghadapinya, belum lagi ilmunya yang disebut Tok-hiat-hoat-lek, yaitu semacam pukulan darah beracun, bukan main kejinya. Akan tetapi karena dalam detik-detik tadi ketika ia mencium Han Ki, ia dikuasai oleh nafsu binatang karena mengilar akan kemurnian darah dan kebersihan tulang anak itu, maka ia berada dalam keadaan seorang mabok dan pada detik-detik itu, semua tenaga sakti seakan-akan melayang meninggalkan raganya yang dikuasai oleh nafsu binatang dan semua pikiran dan perasaannya hanya ditujukan akan kenikmatan menguasai darah dan sumsum bocah itu untuk menyempurnakan ilmu yang sedang dilatihnya. Inilah sebabnya mengapa gigitan Han Ki dengan tepat mengenai sasaran, bahkan kulit tenggorokannya robek oleh gigitan itu. Padahal dalam keadaan biasa, bukan kulit lehernya yang robek, melainkan gigi anak itu yang rontok!
Betapapun juga, sebagai seorang berilmu tinggi, hanya sedetik Siang-mou Sinni terkejut. Kalau saja ia bukan orang yang memiliki kesaktian luar biasa, agaknya dalam kaget dan marah ia tentu sekali menggerakkan jari tangan membunuh anak itu. Namun ia cukup sadar bahwa ia amat membutuhkan bocah ini, maka ia tidak menurunkan tangan maut, melainkan menggunakan tangan mengetuk perlahan tengkuk Han Ki. Bocah itu mengeluh dan gigitannya terlepas, lalu roboh di atas pembaringannya karena dilemparkan, dalam keadaan pingsan.
Siang-mou Sin-ni meraba tenggorokannya dan tersenyum memandang anak itu.
“Hebat,” bisiknya, “kulit leherku sampai pecah-pecah terluka.” Ia lalu melangkah keluar dan memanggil penjaga yang datang berlarian. “Jaga baik-baik anak ini dan mulai sekarang, semua hidangandariku untuknya harus dia makan, kalau perlu dijejalkan ke dalam mulutnya secara paksa.”
Ketika malam hari itu Han Ki siuman dari pingsannya, ia bergidik ngeri dan jijik teringat akan peristiwa pagi hari tadi. Ia merasa beruntung masih hidup, dan semalam itu ia duduk termenung memikirkan pengalamannya. Yang selalu terngiang di telinganya adalah pengakuan Siang-mou Sin-ni bahwa mendiang ayahnya dahulu adalah kekasih iblis betina itu! Ia tidak sudi untuk mempercepat hal ini, akan tetapi entah bagaimana, ucapan itu selalu teringat olehnya.
Tentu saja anak ini sama sekali tidak mau percaya karena ia menjunjung tinggi kepada mendiang ayahnya, seorang pendekar dan menantu Ketua Beng-kauw. Padahal, apa yang diucapkan iblis betina itu memang ada benarnya. Pernah Kam Bu Sin menjadi kekasih iblis betina ini dahulu akan tetapi kekasih paksaan karena Kam Bu Sin melayani semua kehendak dan nafsu iblis Siang-mou Sin-ni dalam keadaan tidak sadar karena telah dicekoki obat perampas semangat. (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)!
Pada keesokan harinya, seperti biasa, pagi-pagi sekali orang sudah mengantar makanan lezat untuknya. Akan tetapi bedanya, kali ini yang datang mengantar makanan adalah seorang hwesio jubah merah yang bermuka bengis.
“Kaumakan ini, kalau tidak mau akan kujejalkan ke mulutmu secara paksa.” hwesio itu mengancam sambil menyeringai, tampak giginya yang besar-besar dan berwarna kuning dekil. Melihat gigi besar-besar kuning dekil dan mencium bau memuakkan dari mulut hwesio yang didekatkan di mukanya itu saja sudah membuat Han Ki mual perutnya dan tidak ada nafsu makan sama sekali biarpun perutnya lapar. Apalagi karena ia masih marah terhadap Siang-mou Sin-ni. Wajah yang cukup bengis itu tidak mendatangkan rasa takut pada hati anak pemberani ini.
“Aku tidak sudi. Kaumakan sendiri!” ia menjawab sambil membuang muka.
“Ha-ha-ha, memang kuharapkan kau akan menolak, biar puas hatiku menjejalkan makanan ini di mulutmu, bocah bandel!” bentak hwesio itu dan secepat kilat tangan kirinya yang penuh bulu hitam itu meraih, mencengkeram pundak Han Ki dan menarik naik anak ini mendekat. Ia tidak pedulikan Han Ki meronta-ronta, mendudukkan anak itu dipangkuannya dan menelikung kedua lengan anak itu. Tangan kirinya lalu membuka mulut Han Ki secara paksa. Tentu saja amat mudah bagi hwesio yang memiliki tenaga besar dan berkepandaian tinggi ini untuk memaksa Han Ki membuka mulut, kemudian ia menjejalkan makanan itu dalam mulut Han Ki. Bocah ini tersedak-sedak, terengah-engah dan karena makanan itu dijejalkan sampai menutup leher dan menghalangi jalan pernapasannya, mau tak mau ia terpaksa harus menelannya! Percuma saja ia meronta-ronta, dan percuma saja ia berusaha untuk tidak menelan makanan, karena hal ini tidak mungkin. Akhirnya semua makanan semangkok penuh itu terjejal ke mulut dan memasuki perutnya! Masakan ini memang lezat dan hal ini sudah diketahui Han Ki yang kadang-kadang makan pula, akan tetapi dijejal seperti ini lenyaplah rasa lezatnya. Ketika hwesio itu selesai menjejalkan makanan dan melemparkan tubuh Han Ki kembali ke atas ranjang, dua butir air mata meloncat keluar dari mata Han Ki yang melotot dan hinggap di atas keduapipinya. Ia memandang hwesio itu dengan mata melotot penuh kebencian. Akan tetapi hwesio itu mengebut-ngebutkan bajunya dan berkata.
“Aku masih ingin sekali menjejalkan makanan beberapa kali sampai perutmu penuh dan bibirmu robek. Ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, hwesio itu keluar dari kamar. Penjaga segera datang, mengambil mangkok dan menutup pintu lalu menguncinya.
Setelah berada seorang diri, Han Ki duduk terlongong. Hampir ia menangis menggerung-gerung kalau saja hatinya tidak menahannya. Ia tidak mau menangis, apalagi di depan hwesio itu. Ia tidak mau memberi kesenangan pada musuh-musuhnya dengan tangisnya! Akan tetapi Han Ki seorang anak yangcerdik. Ia pun maklum bahwa kalau ia tidak mau makan, tentu hwesio itu memenuhi ancamannya dan kalau sampai dijejali lagi, berarti ia mengalami penghinaan dan agaknya hal itu menyenangkan hati Si Hwesio bengis. Inilah sebabnya maka mulai saat itu, setiap kali hwesio itu membawa masakan, ia segera memakannya dengan sukarela sampai habis.
Luar biasa sekali hasilnya. Dalam waktu sepekan saja tubuh Han Ki menjadi gemuk, dagingnya penuh, kedua pipinya kemerahan dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam! Inilah hasil obat kuat dalam masakan-masakan yang dibuat oleh Siang-mou Sin-ni sendiri. Obat yang mengandung hawa panas, memanaskan darah dan menguatkan tulang, menambah sumsum.
Han Ki merasa sehat dan kuat, hanya ia seringkali kepanasan sampai sering ia membuka bajunya di waktu siang, tidak kuat karena merasa tubuhnya seolah-olah terbakar. Dan kini yang membawa datang makanan bukan lagi hwesio bengis. Agaknya karena Han Ki tidak pernah menolak untuk makan hidangan, Siang-mou Sin-ni tidak mau lagi menggunakan hwesio untuk mengancam, dan kini masakan dibawa datang oleh penjaga biasa. Penjaga itu seorang Hsi-hsia, biarpun cukup kuat dan galak, akan tetapi tidak mempunyai watak sadis (suka menyiksa) seperti hwesio itu.
Malam itu Si Penjaga kembali datang membawa makanan untuk Han Ki. “Mungkin malam ini yang terakhir kau di sini.” kata Si Penjaga sambil lalu. Berdebar jantung Han Ki mendengar ini.
“Mengapa? Aku hendak diapakan?” tanyanya.
Penjaga itu tertawa mengejek. “Apa lagi? Kau anak musuh, tidak disembelih sejak dulu sudah untung! Ha-ha, agaknya Sin-ni suka kepadamu. Entah bagaimana aku tidak tahu.... heh-heh, menurut pikiranku, kau masih terlalu kecil, mana bisa melayaninya?”
Tentu saja Han Ki tidak mengerti maksudnya, akan tetapi ia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang tidak baik atas dirinya. Harus sekarang kulaksanakan, pikirnya. Untung atau buntung. Hidup atau mati, tidak ada pilihan lagi.
“Paman yang baik, apa pun yang akan terjadi, sampai mati aku tidak akan melupakan kebaikanmu.” Han Ki sengaja terisak-isak seperti bocah terharu dan menangis.
Belasan hari lamanya, Si Penjaga diam-diam amat kagum menyaksikan Han Ki. Bocah berusia sebelas tahun menjadi tawanan, namun tak pernah menangis, tak pernah mengeluh, tak pernah ketakutan. Maka kini melihat Han Ki menangis di depannya dan menyatakan tidak melupakan kebaikannya, ia tentu saja terheran-heran.
“Huh? Apa maksudmu?”
“Selama ini kau telah menjaga diriku, Paman. Aku tidak punya apa-apa, hanya ini kubawa dari rumah orang tuaku, akan kutinggalkan kepadamu sebagai kenangkenangan dan balas budi....“ Dari balik bajunya, Han Ki mengeluarkan sebuah benda yang macamnya seperti sehelai tambang, akan tetapi sesungguhnya adalah baju dalamnya yang terbuat daripada sutera putih dan yang selama ini ia pilin-pilin menjadi seperti tali. Tadinya ia melepas baju dalam ini karena merasa tubuhnya panas, akan tetapi ketika ia bermain-main dan memilin-milinnya, timbullah gagasan untuk menyelamatkan diri dengan tali istimewa ini.
“Huh? Apa ini....?” Orang Hsi-hsia yang belum banyak mengerti tentang benda-benda milik orang kota, memandang heran.
“Inilah kalung jimat para bangsawan di Nan-cao, Paman. Sebagai cucu Ketua Beng-kauw, aku selalu memakai kalung ini. Kau diamlah, biar aku memakaikannya kepadamu, Paman, dan kau akan tahu nanti bagaimana besar manfaatnya.” Tanpa menanti jawaban. Han Ki memutari tubuh penjaga itu dan berdiri di belakangnya.
Orang Hsi-hsia itu terlampau heran dan ingin tahu, maka ia hanya tersenyum menanti.
“Beginilah pakainya, Paman.” Han Ki lalu menggunakan kedua tangan memegangi kedua ujung tali sutera itu, mengalungkan secepatnya di leher penjaga, kemudian ia membelit-belit kedua ujung pada lengannya dan menarik sekuat tenaga!
Orang Hsi-hsia itu terkejut, meronta hebat, namun Han Ki sekarang sudah menempelkan tubuh pada punggungnya seperti seekor lintah, kedua kakinya mengempit pinggang, kedua tangan sekuat tenaganya menarik ujung tali. Semenjak kecil Han Ki telah digembleng orang tuanya maka ia telah memiliki dasar tenaga dalam. Namun, andaikata ia tidak kebetulan diberi makan obat yang dicampurkan dalam masakan oleh Siang-mou Sin-ni, kiranya tenaga anak berusia sebelas tahun ini belum tentu akan dapat mencekik Si Penjaga yang kuat. Kebetulan sekali, pengaruh obat Siang-mou Sin-ni luar biasa hebatnya, membuat tenaga dalam anak itu bertambah kuat beberapa kali lipat! Beberapa menit lamanya orang Hsi-hsia yang tak dapat berteriak dan tak dapat bernapas itu meronta-ronta, bergulingan, namun tubuh anak itu tetap lengket di punggungnya dan akhirnya ia berkelojotan dan matanya mendelik, lidahnya terjulur keluar.
Setelah penjaga itu tidak berkutik lagi, barulah Han Ki melepaskan cekikan talinya lalu meloncat menjauhi. Seluruh tubuhnya berpeluh, bukan hanya karena hawa panas yang menyelubungi tubuhnya, juga karena tegang dan tadi mengerahkan tenaga. Ia memegangi kedua kaki penjaga itu dan menyeretnya. Ia sendiri merasa heran mengapa tubuh penjaga itu demikianringan. Ia tidak tahu bahwa bukan tubuh Si Penjaga yang ringan, melainkan tenaganya yang kini menjadi amat kuat. Diseretnya mayat itu ke bawah pembaringannya dan ditariknya tilam pembaringan ke bawah sehingga menutupi kolong pembaringannya. Kemudian ia mengatur letak guling bantal, ditutupnya dengan selimut sehingga sepintas lalu tampak seolah-olah ia tidur dan berselimut dari kaki sampai menutupi kepala. Setelah itu, dengan cepat namun hati-hati ia keluar dari pintu, menutupkan pintu dan mengancingkannya dari luar.
Ia tidak tahu sama sekaii bahwa tempat ia ditahan itu merupakan kamar belakang dari bangunan yang menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwcu dan Siang-mou Sin-ni! Bangunan ini biarpun dibuat secara darurat, namun amat luas. Di sinilah Bouw Lek Couwsu tinggal ditemani gadis-gadis rampasan yang menempati beberapa buah kamar-kamar besar ini, Sian-mou Sin-ni tinggal terpisah.
Karena dari kamar tahanan itu tidak ada jalan keluar kecuali melalui ruangan belakang dan yang pertama-tama menembus ke kamar Siang-mou Sin-ni yang selalu ingin berdekatan dengan kamar tahanan calon korbannya, maka ketika Han Ki menyelinap keluar dan berjalan melalui lorong dalam rumah itu, ia makin mendekati kamar Siang-mou Sin-ni seperti seekor kelinci mendekati sarang macan! Tiba-tiba suara ketawa cekikikan membuat ia berhenti bergerak dan merasa jantungnya seakan-akan copot karena suara ketawa itu ia kenal sebagai suara Siang-mou Sin-ni. Suara itu keluar dari jendela yang tepat berada di pinggir kepalanya, jendela kamar Siang-mou Sin-ni! Dengan jantung berdebar Han Ki lalu mengintai dari celah-celah daun jendela, menahan napas. Untung bahwa ia bertelanjang kaki sehingga tapak kakinya tidak menerbitkan suara. Sedikit saja ada suara, tentu takkan terlepas dari telinga Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang berada di kamar itu.
“Hi-hi-hik, kau bajul buntung tua bangka tak bermalu!” Terdengar suara Siang-mou Sin-ni. Han Ki yang mengintai kini melihat kakek yang kaki kirinya buntung dan bertubuh tinggi besar berjubah merah, sedang duduk bersila di atas pembaringan yang indah. Kakek ini tersenyum-senyum dan wajahnya yang tampan itu masih kelihatan muda dan sehat. Tangan kanannya memegang sebuah cawan emas yang besar. Siang-mou Sin-ni rebah dengan kepala di atas pangkuan Bouw Lek Couwsu, rambutnya yang panjang terurai sampai ke lantai. Wanita ini tertawa-tawa dengan sikap genit dan manja, lalu menyambung kata-katanya.
“Kau sudah tua bangka akan tetapi hatimu lebih muda daripada orang yang paling muda! Masih kurangkah perempuan muda yang kaukeram di sini? Masa kau menginginkan pula dua orang dara itu?”
Bouw Lek Couwsu yang sudah mendekatkan cawan emas pada bibirnya, menunda minumnya dan memandang wajah yang menengadah di atas pangkuannya, tersenyum dan berkata.
“Kim Bwee, setua ini kau masih cemburu?” Ia tertawa bergelak.
Siang-mou Sin-ni cepat bangkit duduk dan matanya mendelik. “Tua bangka menyebalkan! Aku cemburu padamu? Huh, memalukan! Kau tahu aku tidak cemburu, aku tidak peduli kau akan mengumpulkan ribuan perempuan seperti juga kau tidak cemburu dan peduli kalau aku mengumpulkan ribuan pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, dua orang dara itu adalah puteri Kam Bu Sin, mereka itu adalah cucu-cucu Ketua Beng-kauw yang sudah berhasil kita bunuh. Mereka tadinya, dapat lolos, sekarang dapat tertawan oleh murid-muridmu, itu baik sekali. Kenapa tidak lekas bunuh mereka? Makin lama mereka dibiarkan hidup, makin banyak pula kesempatan bagi mereka untuk lolos. Lebih baik kita singkirkan bahaya di hari depan kita.”
“Hemmm, omonganmu selalu benar, Kim Bwe. Akan tetapi, aku merasa sayang untuk membunuh mereka begitu saja. Seperti juga bocah laki-laki yang akan kauambil darah dan sumsumnya, dua orang dara itu adalah keturunan orang pandai, mereka memiliki tulang yang baik dan darah bersih, juga.... hemm, amat cantik jelita. Malam ini, aku janji padamu, mereka akan kutundukkan mau atau tidak mau, dan besok masih belum terlambat untuk membunuh mereka.”
“Huh, dasar mata keranjang. Akan kulihat besok, kalau kau belum bunuh mereka, aku sendiri yang akan turun tangan!”
Bouw Lek Couwsu mendekatkan mukanya dan mencium pipi Siang-mou Sin-ni sambil tertawa ia mendekatkan cawan emas pada bibirnya, tetapi kembali ia menunda karena Siang-mou Sin-ni berkata mencela.
“Kau akan mencelakai dirimu dengan minuman seperti itu!”
“Ha-ha-ha, mana bisa celaka? Darah ular salju amat besar khasiatnya, tentu saja terutama sekali kepadaku. Kau tahu, aku ahli Im-kang aku membutuhkan racun dingin untuk memperkuat tenagaku, tidak seperti kau yang suka akan yang panas-panas, ha-ha-ha!”
Pada saat itu terdengar pintu terketok dari luar. Han Ki yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan dengan wajah pucat dan tubuh menggigil saking gelisahnya mendengar dua orang kakak perempuannya juga tertawan, menjadi makin kaget dan cepat-cepat ia menarik kepalanya, mendekam di bawah jendela yang gelap. Ia hanya mendengarkan sambil menahan napas. Akan tetapi ternyata bahwa yang datang memasuki kamar itu adalah seorang pendeta jubah merah anak buah Bouw Lek Couwsu dan mereka bicara dalam bahasa Tibet yang sama sekali tidak dimengerti Han Ki. Kemudian terdengar Bouw Lek Couwsu memaki-maki, juga Siang-mou Sin-ni berseru marah.
“Mari kita lihat bagaimana macamnya iblis itu!” Terdengar mereka meninggalkan kamar. Setelah keadaan di situ sunyi, barulah Han Ki berani menggerakkan lehernya mengintai. Kamar itu kosong. Hatinya berdebar. Kedua orang kakaknya tertawan pula. Di mana? Dengan hati-hati ia lalu naik ke atas jendela, lalu memasuki kamar itu. Tubuhnya masih gemetar dan jantungnya masih berdebar. Lehernya seperti dicekik, amat kering dan haus. Keadaan sudah amat sunyi dan agaknya ia akan dapat melarikan diri, akan tetapi ia mendengar bahwa dua orang kakaknya tertawan, lenyaplah keinginan hatinya untuk melarikan diri. Ia lama menyelidiki dan mencari dimana kedua orang kakaknya ditahan dan ia akan berusaha menolong nya!
Bau harum sedap menarik perhatiannya. Cawan emas itu masih di atas meja dan isinya penuh. Agahnya Bouw Lek Couwsu tidak sempat meminumnya, keburu datang pelapor yang membuatnya marah-marah dan meninggalkan kamar. Mencium bau sedap dan melihat isi cawan yang kuning kemerahan dan jernih, makin kering rasa tenggorokannya. Sebagai putera pendekar yang dilatih silat sejak kecil Han Ki tidak asing dengan arak, karena seringkali ia diharuskan minum arak obat untuk memperkuat tulang-tulangnya dan membersihkan darahnya. Dalam keadaaan gelisah ia menjadi haus sekali melihat arak dalam cawan emas itu tak dapat ia menahan keinginan hatinya. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu menyambar cawan emas dan menuang isinya ke mulut. Sedap dan manis! Rasa enak membuat ia minum terus sampai cawan itu kosong. Ketika ia melempar kembali cawan ke atas meja, ia mengeluh dan terhuyung-huyung ke kanan kiri.
Tubuhnya terasa aneh sekali, sebentar terasa panas yang selama ini memenuhi tubuhnya menjadi makin panas seperti terbakar, akan tetapi di lain saat menjadi dingin sampai giginya atas bawah saling beradu dan tubuhnya menggigil. Selain ini, di dalam dada dan seluruh tubuhnya terjadi tarik menarik antara dua macam tenaga raksasa yang membuat tubuh anak itu terhuyung-huyung dan kemudian robohlah Han Ki dalam keadaan pingsan di atas lantai dalam kamar Siang-mou Sin-ni!
Apakah yang terjadi pada anak ini? Dia menjadi korban pengaruh dua macam obat yang bertentangan! Mula-mula ia dijejali makanan yang mengandung hawa panas luar biasa, yang membuat darahnya seolah-olah mendidih dan tubuhnya menjadi panas sekali. Kemudian, tanpa ia ketahui, ia minum obat dalam cawan emas, obat yang disangkanya arak biasa. Padahal obat itu adalah milik Bouw Lek Couwsu, obat yang mengandung hawa dingin luar biasa karena terbuat daripada darah ular salju. Dengan
No comments:
Post a Comment