Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 4h

Kembali Thai-lek Kauw-ong kagum. Teman barunya itu benar-benar hebat, mempunyai perasaan dan hati yang dingin membeku sehingga dapat melakukan kekejaman yang tiada batasnya. Hal ini membuktikan bahwa Bu-tek Siu-lam su­dah melakukan latihan yang amat tinggi dalam menguasai hati dan perasaannya.

Pada saat maut sudah siap mencabut nyawa Po Leng In, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. “Mahluk keji tak berjantung! Kau ini terang bukan manusia karena tidak mempunyai perikemanusiaan yang akan mencegah manusia berbuat serendah itu. Juga bukan binatang karena tidak mempunyai peri kebinatangan yang membuat binatang hanya membunuh un­tuk dimakan. Kau ini tentu iblis! Iblis pengecut yang hanya berani menghina seorang lawan yang lemah dan tak mam­pu melawan. Ih, Si Muka Tebal tak tahu malu! Lebih baik mampus saja daripada hidup tidak tahu malu!”

Selama hidupnya, baru kali ini Bu-tek Siu-lam dimaki orang, apalagi ma­kian demikian hebatnya. Saking heran dan kagetnya, ia urung menusuk dada kiri Po Leng In. Tadinya ia mengira bahwa tentu guru wanita ini yang da­tang, akan tetapi ketika ia memandang ke kanan kiri dari mana suara itu da­tang, ia melihat bahwa yang datang itu seorang gadis muda remaja yang amat cantik jelita dan yang memandangnya dengan mata berapi-api. Lebih-lebih lagi kagetnya ketika pada saat yang hampir sama, tiba-tiba tangannya yang meme­gang pedang menjadi tergetar hebat se­hingga secara terpaksa ia harus melepas­kan pedang itu yang jatuh ke tanah di­dekat tubuh Po Leng Ini

Kwi Lan, gadis remaja yang baru datang itu, tentu saja tidak tahu bahwa pedang di tangan Bu-tek Siu-lam terlepas dan jatuh karena lengan tangan tokoh itu disambar sebuah batu kerikil, dan me­ngira bahwa orang aneh itu melepaskan pedang karena gentar akan tegurannya tadi. Ya, gadis yang menegur Bu-tek Siu-lam dengan kata-kata pedas itu bukan lain adalah Kwi Lan. Sayang ia datang terlambat, kalau lebih pagi sedikit saja ia tentu akan bertemu dengan bibi dan gurunya, Si Wanita Berkerudung. Biarpun sejak masih kanak-kanak ia dilatih ilmu silat yang aneh-aneh dan tinggi, namun gadis ini tidak pernah mendapat gem­blengan untuk menjadi seorang pendekar sehingga segala sepak terjangnya hanya menurutkan perasaan saja. Akan tetapi oleh karena Kwi Lan adalah keturunan pendekar maka dasar wataknya juga ti­dak suka melihat si lemah tertindas dan si kuat sewenang-wenang. Di samping ini, ia suka dan kagum melihat kegagah­an. Oleh karena inilah, melihat sikap Po Leng In yang sama sekali tidak takut menghadapi ancaman maut itu, ia men­jadi kagum dan tanpa mempedulikan bahwa wanita itu adalah murid Siang­mou Sin-ni yang ia pernah dengar dari gurunya adalah seorang di antara Thian­te Liok-kwi, ia segera melompat maju dan memaki-maki Bu-tek Siu-lam untuk menolong wanita itu.

Bu-tek Siu-lam tidak memandang kepadanya dan hal ini mengherankan hati Kwi Lan. Laki-laki yang tinggi besar dan tampan itu kini sudah meloncat berdiri dan membelakanginya! Sama sekali tidak mempedulikan dia dan caci makinya tadi. Setelah laki-laki tinggi besar itu bangkit berdiri dan melihat gunting besar terselip di ikat pinggangnya, barulah Kwi Lan dapat menduga dengan pasti siapa orang itu.

“Hei, bukankah kau si iblis Bu-tek....” Akan tetapi ia tidak melanjutkan teriak­annya karena tiba-tiba sekali Bu-tek Siu-lam sudah meloncat ke depan dan tahu-tahu gunting besar itu sudah berada di tangannya, menyambar ke arah rumpun bunga di bawah pohon.

“Klik-klik!” hanya dua kali guntingan dan tetumbuhan itu terbabat habis! Akan tetapi Bu-tek Siu-lam terbelalak heran karena di belakang gerombolan itu tidak tampak bayangan manusia. Padahal tadi ia tahu jelas bahwa orang yang menyam­bit kerikil ke arah lengannya bersem­bunyi di balik rumpun ini! Ke mana perginya orang itu dan bagaimana dapat pergi tanpa ia ketahui?

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak, suara ketawa yang nyaring dan terbahak keras. Kwi Lan terkejut dan menengok ke kiri. Suara ketawa itu ia kenal benar dan ternyata dugaannya tidak keliru. Dari balik sebatang pohon besar muncul seorang pemuda tampan dan tertawa-tawa dengan wajah berseri. Siapa lagi kalau bukan Tang Hauw Lam! Golok besar sudah tercabut di tangan kanan dan ia berdiri dengan gagah, kedua kakinya terpentang lebar dan ia menu­dingkan telunjuknya ke arah Bu-tek Siu-lam.

“Huh, kiranya Bu-tek Siu-lam hanya seorang laki-laki yang suka mengganggu wanita. Alangkah jauh bedanya dengan namanya yang menjulang tinggi!” Hauw Lam mengejek.

“Eh kau Berandal....!” Tiba-tiba Kwi Lan berseru saking gembiranya bertemu dengan pemuda itu yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.

Pemuda itu mengerling ke arahnya, bibirnya tersenyum lebar. “Heiii, kau.... Mutiara Hitam....?” Kiranya pemuda itu baru saja tiba dan sama sekali tidak tahu bahwa Kwi Lan berada di situ. Sejenak mereka saling pandang.

“Awas....!” Tiba-tiba Kwi Lan ber­seru.

Akan tetapi Hauw Lam bukanlah pemuda yang sembrono, sungguhpun ia suka berkelakar. Sambaran gunting yang hebat itu telah diketahuinya dan ia cepat meloncat ke kiri sambil menyabetkan goloknya dengan kuat ke arah lengan lawan yang memegang gunting. Bu-tek Siu-lam yang tak berhasil menggunting leher pemuda itu, kini melihat betapa orang muda itu malah mengancam lengannya segera menekuk siku dan gun­tingnya membalik, menyambut golok.

“Traaanggg....!” Bunga api berpijar menyilaukan mata, akan tetapi alangkah kaget dan heran hati Bu-tek Siu-lam bahwa golok itu tidak patah-patah! Juga tidak terlepas dari pegangan tangan pemuda itu. Hal ini benar-benar amat aneh. Jarang ada orang sanggup menahan senjata yang terpukul, apalagi tergunting oleh senjatanya. Pemuda ini bukan orang sembarangan!

“Bocah, engkau siapa dan murid sia­pa? Mengapa kau berani main-main dengan aku dan menyerang secara menggelap?” Bu-tek Siu-lam menahan gunting­nya dan bertanya marah. Ia merasa penasaran sekali melihat ada seorang pemuda berani menandinginya, akan te­tapi karena ia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak sembarangan, tentu murid orang pandai dan cukup berharga untuk ditanya.

Hauw Lam menyeringai. Padahal di dalam hatinya, pertemuan senjata yang menggetarkan lengan dan membuat bahu­nya terasa akan patah itu telah menga­getkan hatinya. Namun ia masih tertawa-tawa untuk mengelabuhi lawan. “Heh­heh, siapa tidak mengenal Bu-tek Siu-lam? Biarpun belum melihat orangnya, namanya sudah dikenal semua orang ter­masuk aku. Siapa aku? Kautanyalah ke­pada Nona itu, namaku Berandal karena aku suka berandalan! Kau tanya Guruku? Ada ratusan orang, terlalu panjang kalau disebut satu demi satu!”

“Bocah ingusan! Tak kausebut juga apa kaukira aku tidak bisa mengenal ilmu silatmu ceker ayam? Kau bergerak­lah....!” Setelah berkata demikian, sambil terkekeh genit Bu-tek Siu-lam sudah menerjang maju lagi, kini ia menyerang dengan gerakan yang amat lihai. Gerakan guntingnya membentuk lingkaran lebar yang melingkari tubuh Hauw Lam dan menutup semua jalan keluar!

“Aiihhh, hebat! Eh, Siu-lam, kau memang tampan, biarpun sudah tua bangka! Kau ini laki-laki atau wanita?” Tang Hauw Lam biarpun harus cepat mengelak dengan repot karena gunting itu menyambar-nyambar dari segala ju­rusan, namun masih sempat berkelakar untuk memanaskan hati lawan. Di sam­ping ini, memang pemuda ini cerdik luar biasa. Ia kini maklum bahwa ejekan-ejek­annya tadi berhasil membuat lawannya panas hati dan penasaran dan tentu to­koh aneh ini akan berusaha sedapat mungkin mengenal ilmu silatnya dengan cara menyerang dan mengurung agar ia mengeluarkan ilmu silat simpanannya untuk dikenal. Ia dapat menduga bahwa kakek tampan itu tentu segan membu­nuhnya sebelum berhasil mengenal ilmu silatnya. Karena inilah Hauw Lam lalu menyambut serangan-serangannya dengan ilmu silat yang ia peroleh dari petunjuk-petunjuk gurunya yang terakhir, kakek sakti yang luar biasa, yang muncul dari dalam kuburan, yaitu Bu-tek Lojin! Kare­na itu, gerakan-gerakannya amat aneh dan betapapun gunting di tangan Bu-tek Siu-lam menerjang dan mengurungnya, namun pemuda itu dapat membebaskan diri daripada lingkaran, bahkan membalas dengan sambaran goloknya yang bukan tak berbahaya bagi tokoh barat itu.

Sementara itu, melihat munculnya Tang Hauw Lam, Kwi Lan menjadi gem­bira dan ia cepat-cepat menghampiri Po Leng In. Begitu jari tangan Kwi Lan menggerayang dan menotok atau meng­usap, pulih kembali jalan darah di tubuh Po Leng In. Wanita murid Siang-mou Sin-ni ini merasa malu sekali. Rambutnya terbabat separuh, tinggal segumpal lagi. Kini ia menggunakan tangan kiri meme­gang rambut berusaha menutupi dadanya yang telanjang, tangan kanannya meng­ambil pedangnya, lalu ia sejenak meman­dang wajah Kwi Lan. Kemudian ia mem­bungkuk dan berbisik. “Terima kasih ba­nyak, mudah-mudahan aku akan dapat membalas budimu. Kau lihai sekali de­ngan kerikil kecil sanggup memukul run­tuh pedangku dari tangan Bu-tek Siu-lam.”

“Kerikil? Meruntuhkan pedang? Aku tidak.... ah, agaknya Si Berandal yang melakukannya.”

“Si Berandal?”

“Yang bertempur melawan Bu-tek Siu-lam itu.”

Wanita itu menengok dan mengerut­kan keningnya. Biarpun pemuda yang disebut Berandal oleh penolongnya ini cukup lihai, namun jelas terdesak hebat oleh Bu-tek Siu-lam. Tiba-tiba pandang mata Po Leng In yang tajam melihat berkelebatnya bayangan putih, dan se­orang pemuda pakaian putih telah berdiri di bawah pohon, tidak berapa jauh dari tempat itu. Ia memandang tajam dan pada saat itu, terdengar suara pemuda yang melawan Bu-tek Siu-lam, yang biar­pun terdesak masih tertawa-tawa.

“Eh, eh, aku dengar kau ini bukan pria bukan wanita, kau banci! Heh-heh, lucu sekali! Apa kau sudah mengenal ilmu silatku?”

Bu-tek Siu-lam makin marah. Memang harus ia akui bahwa sampai belasan jurus pemuda itu melawannya, ia sama sekali belum dapat mengenal gerakan lawan, bahkan dasar gerakannya pun belum da­pat menduganya dari cabang persilatan mana, Aneh, namun begitu cepat dan bertenaga! Saking panas hatinya, Bu-tek Siu-lam mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yang biasanya hanya ia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh. Pemuda ini sebenarnya bukan lawan yang terlalu tangguh baginya, akan tetapi karena ia ingin memaksa Si Pemuda mengeluarkan ilmu silat simpanan agar dapat ia kenal asalnya, maka terpaksa ia mengeluarkan senjatanya jarum besar diikat benang. Dengan dua jari tangan kiri ia menjepit jarum itu, siap dipergunakan bila perlu.

“Heh-heh, memang kau bertubuh pria berhati wanita, maka selalu main-main dengan jarum dan gunting. Eh, kau sen­diri tukang menggunakan senjata gelap berupa jarum, kenapa kautuduh aku yang bukan-bukan menyerangmu secara meng­gelap?”

“Bocah setan! Kau tadi menyambitku dengan kerikil, sekarang tunggulah, sete­lah mengenal ilmu silatmu, aku akan menggunting-gunting tubuhmu kemudian menjahitnya kembali dengan jarumku ini!”

“Heh-heh, tak mudah, sobat! Katanya kau suka sekali dengan laki-laki muda, apakah kau akan menjahit tubuhku lalu kaujadikan barang mainan? Cih, tidak tahu malu. Kalau laki-laki, kau tua bangka dan kakek-kakek, kalau wanita, kau juga sudah nenek-nenek. Siapa sudi.... aiiiihhh....!” Hauw Lam berseru terkejut dan cepat ia melemparkan tubuh ke belakang dan berguling sambil memutar golok melindungi diri. Gerakan memutar golok sambil bergulingan ini berasal dari ilmu golok Bu-tong, akan tetapi gerakan­nya membabat berlainan, kalau biasanya diputar dari kiri ke kanan, sekarang dari kanan ke kiri. Karena itu sungguh tidak tepat kalau dikatakan ilmu golok itu dari partai Bu-tong-pai! Pemuda itu menyela­matkan diri dari sambaran jarum dan gunting yang amat cepat dan bertubi-tubi.

“Aihhh, bukan berandal yang menyam­bitkan kerikil!” Kwi Lan berkata. Akan tetapi Po Leng In sudah melihat pemuda baju putih dan mengangguk-angguk, ke­mudian sekali lagi ia memberi hormat kepada Kwi Lan lalu berlari cepat me­ninggalkan tempat itu. Ia sudah dihina dan mendapat malu, kemudian tertolong oleh orang-orang muda yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaiannya sendiri, maka Po Leng In merasa tidak ada gunanya ber­ada di situ lebih lama lagi. Ia harus cepat pulang untuk melapor kepada guru­nya!

Kwi Lan belum melihat pemuda yang muncul itu, pemuda berpakaian serba putih, karena perhatiannya tertuju kepada Hauw Lam yang mulai payah menghadapi lawan tangguh itu. Ketika ia bergerak hendak mencabut pedangnya dan melon­cat membantu Hauw Lam, tiba-tiba ber­kelebat bayangan putih di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian putih berkata halus dengan ucapan serius dan telunjuk kanannya menuding ke arah pertempuran.

“Tahan, Nona. Lihat Bu-tek Siu-lam amat lihai. Kalau ia menghendaki, apa­kah tidak sudah tadi pemuda sembrono itu menjadi korban guntingnya? Bu-tek Siu-lam masih belum dapat mengenal ilmu goloknya yang aneh dan selama pemuda itu tetap dapat merahasiakan ilmu silatnya, ia takkan dirobohkan. Ka­lau Nona maju membantu, menjadi lain lagi halnya dan engkau bahkan memba­hayakan keselamatannya dan keselamat­anmu sendiri.”

Kwi Lan terkejut dan memandang orang yang tiba-tiba muncul dan men­cegahnya membantu Hauw Lam itu. Ia seorang laki-laki muda yang berwajah serius, bahkan wajahnya membayangkan kematangan jiwa sehingga tampak gurat­an-guratan nyata. Wajah yang tampan dan penuh kesabaran, penuh pengertian, namun sinar matanya amat kuat berwiba­wa. Pakaiannya sederhana serba putih dari kain yang kasar, pakaian dan topi­nya seperti seorang pelajar. Usianya tentu sudah dua puluh lima atau dua puluh enam tahun. Ada sesuatu yang amat menarik hati Kwi Lan pada wajah orang ini. Namun hatinya mendongkol karena ia dicegah membantu Hauw Lam.

“Justeru karena Si Berandal terdesak maka aku akan membantunya!” bentaknya penasaran karena ia anggap orang ini aneh, sudah tahu Hauw Lam terdesak mengapa malah melarangnya membantu? “Apa kaukira aku tidak mampu menan­dingi tua bangka genit itu?”

Tanpa menoleh kepadanya laki-laki itu berkata, suaranya tetap halus namun penuh kesungguhan. “Dia itu lihai sekali dan keji, harap Nona jangan mendekat. Akulah lawannya dan biar aku membantu temanmu itu!” Sebelum Kwi Lan sempat membantah laki-laki itu sudah berkelebat ke depan, gerakannya ringan sekali se­hingga mau tidak mau Kwi Lan menjadi kagum dan heran. Apalagi ketika pemuda itu menyerbu ke dalam pertempuran, terdengar Bu-tek Siu-lam berseru kaget dan meloncat mundur, ia makin kagum.

Pemuda itu telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sebatang pensil bulu dan pensil kayu di kedua tangannya. Senjata ini amat pendek dan amat kecil, juga lemah, akan tetapi mengapa Bu-tek Siu-lam terkejut dan menghindar sambil meloncat mundur? Ia tidak tahu bahwa dalam segebrakan saja, tadi, pemuda itu telah menotok tujuh belas jalan darah terpenting dengan se­pasang senjatanya kalau mengenai sasar­annya akan cukup kuat merobohkan la­wan sekuat Bu-tek Siu-lam! Karena inilah Bu-tek Siu-lam terkejut dan terpaksa meloncat mundur menghindarkan diri.

Selagi Kwi Lan menonton dengan wajah tegang karena kini Bu-tek Siu-lam digempur oleh dua orang pemuda itu dan pertandingan berjalan amat cepat dan seru, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar ke arahnya dari belakang. Kwi Lan terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya sambil menangkis, akan tetapi inilah kekeliruannya. Gadis ini tidak men­duga dan tidak tahu siapa yang menye­rangnya, maka ia yang amat percaya akan kekuatan sendiri lalu menangkis. Ia sama sekali tidak tahu bahwa yang me­nyerangnya dari belakang adalah Thai­lek Kauw-ong, tokoh yang paling lihai di antara kelima “dewa”, jadi lebih lihai daripada gurunya sendiri! Tangkisannya tidak ada artinya. Kalau ia mengelak, mungkin ia masih dapat menghindar dari bahaya, akan tetapi karena ia menangkis, lengannya ditangkap dan di lain saat pundaknya sudah dipencet, membuat gadis ini lemas kehilangan semua tenaga, bahkan tak dapat mengeluarkan suara lagi! Dengan mudah saja Thai-lek kauw-ong mengempit tubuh gadis itu di le­ngan kiri, lalu kedua kakinya berloncatan cepat sekali meninggalkan puncak.

“Heh-heh, biar dirasakan oleh Bu-tek Siu-lam. Dua orang itu akan mem­buatnya sibuk. Kalau aku membantu keenakan untuk dia!” gerutu kakek gundul tinggi besar ini yang sama sekali tidak mempedulikan kesetiakawanan.

Sementara itu, Bu-tek Siu-lam yang tadinya merasa penasaran bukan main karena sebegitu lama belum juga dapat membuka rahasia ilmu silat Hauw Lam, tiba-tiba diserang pemuda baju putih dengan dua macam pensilnya. Ia kaget melihat gerakan ini karena mendatang­kan dua macam angin pukulan yang ber­lawanan, juga gerakannya amat halus seperti orang mencorat-coret membuat tulisan, namun di dalam kehalusan gerak ini tersembunyi tenaga yang amat dah­syat. Tahulah ia bahwa pemuda baju putih ini bukan orang sembarangan pula. Diam-diam ia mengeluh. Pemuda beran­dalan yang bergolok besar itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui pemuda-pemuda sebayanya, bahkan memiliki ilmu silat aneh yang tak dikenalnya sama sekali. Sekarang muncul pemuda lain yang demikian dahsyat ilmu­nya. Benar di dunia telah muncul jago-jago muda yang amat hebat!

“Hi-hi-hik, bocah tampan dan halus. Kau siapakah dan mengapa menyerangku? Apakah kau sahabat dia.... eh, Si Beran­dal mentah ini?”

Sebelum pemuda baju putih yang pen­diam dan berwajah serius itu menjawab, Hauw Lam yang dimaki berandal mentah sudah mendahului dan mengejek. “Ha-ha-ha! Manusia banci yang tak tahu ma­lu! Makin banyak datang pemuda tampan kau makin hendak bergenit! Ataukah engkau hendak menggunakan lagak pe­rempuan lacur untuk merayu dan me­nyembunyikan rasa takutmu? Tentu saja Enghiong (Pendekar) ini membantuku dan menyerangmu karena semua orang gagah di dunia maklum belaka bahwa Bu-tek Siu-lam adalah seorang manusia iblis yang selain jahat, juga banci cabul tak bermalu dan patut dibasmi....”

“Siuuutt.... klik-klik....!” Gunting be­sar itu menyambar hebat dan dua kali menggunting ke arah leher dan pinggang Hauw Lam.

“Haya.... sayang tidak kena....!” Hauw Lam berhasil menangkis dengan goloknya, guntingan pertama ke arah lehernya, namun goloknya sempat terlepas dari tangannya yang terasa panas dan pada saat guntingan ke dua ke arah pinggang­nya mengancam sehingga jalan satu-satu­nya baginya untuk menyelamatkan diri hanya membuang diri ke belakang dan bergulingan, hal yang pada saat seperti itu amat memalukan karena berarti ia kalah, mendadak pensil bulu di tangan pemuda baju putih menolongnya, menang­kis gunting sehingga pemuda yang nakal biarpun mukanya pucat dan dahinya me­ngeluarkan keringat dingin, masih sempat mengejek juga!

Kembali Bu-tek Siu-lam, tercengang. Tangkisan Hauw Lam tadi, sungguhpun cukup kuat, akan tetapi tidak menghe­rankan karena senjata pemuda itu ada­lah sebatang golok besar yang berat. Akan tetapi, biarpun hanya ditangkis dengan pena bulu, guntingnya terpental dan ia merasa tenaga yang tersalur pada guntingnya membalik sehingga lengannya terasa kesemutan! Inilah hebat! Ia makin kagum dan sinar matanya memandang wajah pemuda itu dengan penuh perha­tian.

Perlu diketahui bahwa tokoh aneh ini sebetulnya berasal dari barat. Di negara Nepal, ia pernah menjadi orang keperca­yaan Raja di sana, yaitu menjadi kepala thaikam (pembesar kebiri) yang dipercaya untuk mengurus segala urusan rumah tangga dan keluarga raja. Akan tetapi karena sebelum menjadi thaikam, Bu­-tek Siu-lam telah memiliki ilmu kepan­daian tinggi, maka biarpun dikebiri, ia tetap menjadi seorang laki-laki yang kuat. Kalau orang lain dikebiri lalu ke­hilangan kemampuannya sebagai laki-laki, sebaliknya Bu-tek Siu-lam makin bertambah nafsunya, karena pengebirian yang dilakukan terhadap dirinya sebagai syarat menjadi thaikam itu hanya mele­nyapkan kemampuannya mendapat ke­turunan saja.

Biarpun dengan kenyataan ini diam-diam dapat merajalela dan merusak ke­susilaan yang dijaga keras di dalam is­tana dengan melakukan hubungan-hubung­an gelap dengan para puteri dan selir raja, namun pergaulannya dengan para thaikam lainnya, juga mungkin akibat pengebirian, mendatangkan sifat kewani­ta-wanitaan kepada dirinya seperti ke­pada thaikam-thaikam lain. Seperti juga thaikam-thaikam lain, timbullah kesukaan aneh pada diri Bu-tek Siu-lam, yaitu ia suka sekali kepada pemuda-pemuda tam­pan, hampir sama besarnya dengan rasa suka terhadap gadis-gadis cantik! Kebia­saan seperti inilah yang membuat makin lama tokoh banci ini menjadi makin tidak normal dan boleh dibilang men­dekati gila! Dan akhirnya, karena dia tampan dan telah berhasil melakukan hubungan-hubungan gelap dengan para selir, ia ketahuan dan terpaksa melarikan diri karena akan dihukum gantung oleh raja yang marah! Demikianlah akhirnya bekas thaikam yang sakti ini melarikan diri ke timur dan berhasil mempengaruhi para kaum sesat yang menyelundup da­lam dunia pengemis.

Kini bertemu dengan Hauw Lam yang memang tampan, hatinya sudah tertarik, sama dengan tertariknya hati seorang kakek mata keranjang melihat gadis ayu. Akan tetapi sikap Hauw Lam yang mengejek dan menghinanya membuat rasa sukanya berubah kebencian. Kemudian muncul pemuda baju putih yang pendiam dan juga amat tampan wajahnya. Maka ia menjadi tertarik dan suka sekali, apa­lagi mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat, lebih lihai daripada Si Pemuda Berandalan, bahkan ia merasa sangsi apakah ia dapat mengalahkan pemuda ini dengan mudah.

“Orang muda, boleh juga kepandaian­mu. Siapakah engkau dan mengapa eng­kau memusuhi Bu-tek Siu-lam tanpa alasan?”

Pemuda baju putih itu menjawab, suaranya tenang sekali. “Bu-tek Siu-lam, sudah lama aku mendengar tentang na­mamu yang besar di dunia kang-ouw, juga tentang sepak terjangmu. Aku she Kiang, bernama Liong, dari kota raja. Memang tidak ada permusuhan di antara kita, aku hanya tidak ingin kau mence­lakai orang lain. Sobat muda ini benar karena telah menolong seorang Nona yang hendak kauperhina....“

“Hi-hik, jadi engkaukah yang menyam­bitkan kerikil tadi? Sudah kuduga tentu bukan bocah berandal sombong ini, dan....”

“Ah....!” Tiba-tiba Hauw Lam memo­tong, memandang pemuda baju putih itu tanpa menghiraukan Bu-tek Siu-lam lagi. “Kiranya Kiang Kongcu....! Namamu amat terkenal sebagai pendekar muda di kota raja Sung, putera Pangeran Kiang dan murid Suling Emas....!”

Pemuda baju putih yang mengaku bernama Kiang Liong itu menahan se­nyum. Memang tidak salah dugaan Hauw Lam. Pemuda baju putih ini memang be­nar Kiang-kongcu, putera Pangeran Kiang yang sulung. Para pembaca ceritaCINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat bahwa ibu pemuda ini bernama Suma Ceng dan sebelum Suma Ciang menikah dengan Pangeran Kiang, ia telah me­ngandung anak sulung ini! Jadi siapakah ayah pemuda ini? Bukan lain adalah Su­ling Emas! Sebelum menikah, puteri Pangeran Suma ini telah saling cinta dengan Suling Emas dan karena keduduk­an mereka tak memungkinkan perjodohan di antara mereka, maka dengan nekat mereka melakukan hubungan gelap yang mengakibatkan Suling Emas disiksa (ke­tika itu belum sakti) dan Suma Ceng di­kawinkan dengan Pangeran Kiang. Tentu saja Kiang Liong sendiri tidak tahu akan hal ini yang menjadi rahasia besar dan hanya diketahui oleh dua orang saja, yaitu tentu saja Suling Emas dan Suma Ceng.

Bagi Kiang Liong, Suling Emas adalah pendekar sakti yang ia kasihi, hormati dan taati, karena Suling Emas adalah gurunya yang menggemblengnya sejak ia masih kecil. Masih teringat olehnya be­tapa ketika ia berusia sepuluh tahun, pada suatu malam Suling Emas memasuki kamarnya, dengan sikap manis mengajak­nya bercakap-cakap kemudian mengajak­nya keluar dan mulai malam hari itulah ia menjadi murid Suling Emas. Murid terkasih dalam rahasia, bahkan ibu kan­dungnya sendiri tidak mengetahui akan hal yang dirahasiakan ini. Lima tahun kemudian, setelah ia berusia lima belas tahun, barulah ayah ibunya tahu akan hal ini. Ayahnya marah-marah, akan tetapi setelah mendapat penjelasan ibunya, ma­rahnya mereda dan sejak itu ia menjadi murid Suling Emas secara berterang.

Hanya anehnya, gurunya tidak pernah mau bertemu dengan ayah kandungnya, dan selalu datang menemuinya dalam kamar, lalu mengajaknya berlatih di da­lam taman bunga.

“Sobat baik, engkau terlalu memuji. Akan tetapi sungguh tajam penglihatanmu sehingga engkau segera dapat mengenal­ku “

Adapun Bu-tek Siu-lam ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah murid Suling Emas, menjadi kaget dan kagum sekali, disamping pera­saan tidak enak di hatinya. Dari sambar­an batu kerikil yang mengenai lengannya dan tangkisan pensil terhadap guntingnya saja sudah membuktikan betapa tinggi ilmu kepandaian pemuda itu. Kalau mu­ridnya sepandai ini, betapa hebat kepandaian gurunya yang dianggap musuh oleh Bu-tek Ngo-sian!

“Heh-heh, kiranya engkau murid Su­ling Emas? Bagus sekali! Orang muda yang tampan, kaukatakan kepada Gurumu bahwa kalau dia memang seorang pende­kar sakti, boleh dia menghadapi Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding)!”

Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Hemmm, Bu-tek Ngo-sian, siapa saja gerangan mereka itu?”

“Hi-hik, pantas sekali engkau belum tahu karena nama itu baru tadi dilahir­kan. Dengarkan baik-baik dan kaucerita­kan kepada mereka yang menganggap diri sebagai pendekar-pendekar kang-ouw. Bu­tek Ngo-sian mulai hari ini menguasai dunia persilatan yang kalian sebut kaum sesat sebagai pengganti Thian-te Liok­-kwi yang telah lenyap! Pertama-tama adalah aku sendiri, Bu-tek Siu-lam, ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong, kemudian Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong, dan Sian-twanio. Sayang kau datang terlambat, kalau tidak tentu dapat berjumpa dengan mereka. Akan tetapi, dapat kuperkenal­kan Thai-lek Kauw-ong....!” ia menoleh ke arah raksasa gundul tadi duduk lalu berseru, “....ehhh.... kemana Kauw-ong?”

“Heeeiii, mana dia Mutiara Hi­tam....?” Hauw Lam juga berseru sambil memandang ke sana ke mari. “Kiang­kongcu, tentu dia dibawa lari setan gun­dul tadi. Mari kaubantu aku mengejar­nya!”

Kiang Liong adalah seorang pemuda yang tenang dan tidak gugup seperti Hauw Lam, akan tetapi ia pun merasa khawatir karena tidak melihat bayangan dua orangitu. Ia merasa heran betapa kakek gundul itu dapat bergerak sedemi­kian cepatnya dan tanpa ia ketahui. Hal itu saja sudah jelas membuktikan bahwa kakek gundul itu tentu lihai bukan main. Ia mengangguk lalu mengejar Hauw Lam yang sudah lari terlebih dahulu.

Bu-tek Siau-lam terkekeh ketawa. “Hi-hi-hik, Kauw-ong, engkau mencari penyakit! Tidak membantuku malah mem­bawa lari gadis galak tadi. Biar kaurasa­kan betapa lihainya orang-orang muda sekarang, hi-hi-hik!” Ia lalu turun dari puncak, memberi isyarat kepada anak buahnya yang segera bergerak mengikuti datuk itu turun gunung.

***

“Hei, kakek gundul! Mau apa kau bawa-bawa aku, dan ke mana?”

Thai-lek Kauw-ong tercengang. Suara gadis yang dikempitnya itu tenang dan ketus, sedikit pun tidak membayangkan rasa takut. Di samping ketabahan ini, juga menurut perhitungannya, gadis yang su­dah ia lumpuhkan syarafnya ini belum tiba saatnya dapat bicara lagi. Kemu­dian, rasa kagetnya bertambah ketika secara tiba-tiba tubuh yang ramping itu meronta dan tangan kanan Kwi Lan me­nyambar dahsyat ke arah lambungnya. Thai-lek Kauw-ong adalah seorang ahli Thai-lek-kang, seorang yang memiliki tenaga hebat dan kuat sekali, maka ten­tu saja ia pun mengenal pukulan yang mengandung tenaga sin-kang amat ber­bahaya ini. Untuk menghindarkan diri dari ancaman maut, tiada lain jalan ba­ginya kecuali melepaskan kempitannya dan menggunakan pinggulnya yang digerakkan tiba-tiba untuk melemparkan gadis itu. Usahanya berhasil, Kwi Lan terlempar dan pukulan dahsyat ke arah lambung gagal, namun tamparan tangan kirinya pada pundak kakek itu sebelum tubuhnya terpental, tidak gagal sama sekali.

“Plakk!” Dan tubuh Thai-lek Kauw­-ong terhuyung sedikit. Ia terheran dan kagum sekali, kini berdiri memandang Kwi Lan yang sudah berdiri dengan sikap gagah dan muka mengandung kemarahan. Tentu saja kakek kosen ini sama sekali tidak tahu akan latar belakang peristiwa ini. Kwi Lan adalah murid terkasih Kiam Sian Eng yang menurunkan ilmu aneh, ilmu-ilmu silat tinggi yang dipela­jari secara sesat, sehingga menghasilkan ilmu yang lain sekali daripada ilmu silat tinggi biasa, bahkan telah berubah sama sekali daripada aselinya. Demikian pula dalam melatih lwee-kang dan memper­kuat sin-kang, Kwi Lan mempunyai cara berlatih yang amat aneh sehingga hasil­nya pun luar biasa dan kadang-kadang ia dapat melakukan hal dengan sin-kang yang takkan dapat dilakukan oleh ahli lwee-keh yang sudah lebih tinggi tingkat­nya! Inilah sebabnya mengapa dalam berusaha mengerahkan tenaga, dalam waktu singkat saja Kwi Lan sudah mam­pu membebaskan diri. Menurut perhitung­an Thai-lek Kauw-ong, totokannya itu akan melumpuhkan lawan selama dua belas jam. Akan tetapi, baru tiga empat jam ia lari turun gunung, gadis itu sudah mampu membebaskan diri, bahkan sekaligus menyerangnya dengan pukulan maut!

“Hemm, kau boleh juga, patut men­jadi. murid Thai-lek Kauw-ong!” Kakek gundul yang tidak pandai bicara itu ber­kata sambil mengangguk-angguk.

Kwi, Lan selain pemberani, juga amat cerdik. Ia kini tidak berani memandang rendah orang lain. Sudah terlalu banyak ia melihat orang-orang pandai yang ilmunya. luar biasa seperti Pak-kek Sin-ong, Lam-kek Sian-ong, Bu Kek Siansu, dan tadi pun ia melihat betapa lihainya Bu-tek Siu-lam. Kakek gundul tinggi besar ini tentu sahabat Bu-tek Siu-lam dan jelas memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Buktinya, tanpa dapat ia cegah tadi telah menawahnya sedemikian mu­dahnya. Setelah kini mendengar bahwa kakek itu menawannya dengan niat mengambilnya sebagai murid, Kwi Lan men­jadi lega hati dan tersenyum mengejek.

“Kakek gundul, jangan kau mimpi pada siang hari! Kau ingin menjadi Guruku? Sungguh lamunan kosong! Sampai di ma­nakah tingginya ilmu kepandaianmu maka kau mempunyai keinginan seperti itu? Apakah kau mampu menandingi....Bu Kek Siansu?”

Thai-lek Kauw-ong membelalakkan ke­dua matanya dan mulutnya terbuka. Se­jenak ia tidak mengeluarkan suara. Sudah terlalu lama ia mendengar tentang nama besar Bu Kek Siansu yang disebut oleh segala macam golongan dengan sikap hormat dan kagum, bahkan dianggap sebagai dewa! Melihat betapa orang-orang pandai demikian menghormat, biar­pun ia sendiri belum pemah jumpa, sedikit banyak ia merasa segan juga. Akan tetapi kini mendengar ucapan gadis ini yang mengandung tantangan ia segera menjawab.

“Aku ingin mencoba kepandaiannya? Apakah dia Gurumu?”

“Bukan. Sayang aku bukan muridnya karena kalau aku muridnya, tentu sejak tadi kau sudah menggeletak tanpa nyawa lagi. Kau belum cukup pandai untuk menjadi Guruku kalau kau belum mampu menandingi Bu Kek Siansu!”

Panas hati kakek itu. Selama ini, sudah puluhan tahun ia tidak pernah menemui lawan yang sanggup mengalah­kannya. Selama puluhan tahun bertapa di pulau-pulau kosong di laut timur telah menghasilkan ilmu yang hebat-hebat pada dirinya. Di samping himpunan tenaga Thai-lek-kang yang dahsyat, juga ia telah menciptakan ilmu silat tangan kosong yang ia namakan Soan-hong-sin-ciang. Ilmu ini ia ciptakan dengan mengambil dasar gerakan pusaran angin diwaktu badai mengamuk di pulau-pulau kosong. Di samping Sian-hong-sin-ciang ini, juga senjatanya sepasang gembreng amat he­bat. Suaranya saja sudah dapat meroboh­kan seorang lawan tangguh. Tidak meng­herankan apabila kakek ini tidak pernah bertemu tanding dan kemenangan-keme­nangan itu membuatnya haus, haus akan pertandingan-pertandingan baru dan ke menangan-kemenangan baru.

“Boleh coba! Hayo siapa yang dapat mengalahkan aku?” seru kakek itu sambil berdiri tegak, agak membungkuk seperti seekor monyet besar.

Kwi Lan tertawa lalu berkata, “Wah, lagaknya! Tentu saja, karena tahu di sini tidak ada siapa-siapa lalu mengeluarkan ucapan besar dan bersumbar! Sekarang begini saja, eh.... siapa namamu tadi?”

Thai-lek Kauw-ong menyipitkan mata­nya, memandang penuh perhatian. Masih terbayang ia akan Bu-tek Siu-lam yang mempermainkan Po Leng In tadi dan diam-diam ia membayangkan bahwa gadis di depannya ini jauh lebih cantik jauh lebih indah bentuk tubuhnya daripada Po Leng In! Thai-lek Kauw-ong bukan se­orang bermata keranjang, bahkan sudah puluhan tahun ia tidak pernah mau mendekati wanita. Namun, perbuatan, Bu-tek Siu-lam tadi membuat hatinya ber­gerak dan nafsu yang sudah lama tidur kini ikut bergerak hendak bangkit kem­bali.

“Orang menyebutku Thai-lek Kauw-­ong,” jawabnya singkat.

“Wah, cocok. Memang mukamu seperti raja monyet! Dan melihat nama julukan­mu, tentu engkau memiliki tenaga besar.

Nah, sekarang coba kauperlihatkan ke­pandaianmu agar dapat kubandingkan dengan ilmu-ilmu yang pernah kusaksikan dari Bu Kek Siansu.”

Thai-lek Kauw-ong berpikir sejenak.

Ia harus mendemonstrasikan kepandaian, terutama tenaganya untuk menundukkan gadis yang beraniini. Ia melihat seba­tang pohon tak jauh dari tempat itu, maka ia mendapat pikiranbaik. Ia menu­dingkan telunjuknya ke arah pohon sam­bil berkata.

“Kaulihat, dari tempat ini aku sang­gup sekali pukul, membikin rontok semua daun dari atas pohon itu!”

Kwi Lan memandang dan ia terce­ngang. Betulkah itu? Seorang yang me­miliki sin-kang amat hebat sekalipun, sekali memukul dari jarak jauh pa­ling-paling hanya akan membikin rontok puluhan , helai daun. Pohon itu daunnya amat lebat, tidak hanya puluhan, bahkan ratusan dan ribuan helai daunnya! Mung­kinkah kakek ini akan mampu memukul rontok semua daun itu hanya dengan sekali pukul? ia tidak percaya dan meng­geleng kepala, tersenyum lebar dan ber­kata.

“Kakek sombong, bagaimana aku bisa percaya kalau tidak melihat buktinya sendiri? Akan tetapi kau harus merontok­kan semua daunnya, sehelai pun tak boleh ketinggalan.”

“Hemm, kaulihat baik-baik!” Thai-lek Kauw-ong berseru, panas juga hatinya diejek dan digoda oleh nona yang pandai bicara itu.

No comments:

Post a Comment