Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 4b

Bu-tek Siu-lam. Juga Kwi Lan dan terutama sekali Yu Siang Ki, memandang dengan hati tegang dan tertarik. Diam-diam Yu Siang Ki terheran menyaksikan orang aneh yang memalsukan nama ayahnya. Ia masih belum dapat menyelami isi hati orang itu. Kalau benar tindakannya itu demi perbaikan dan pembersihan kai-pang, kenapa kini ia diam saja melihat keadaan kacau-balau itu? Pihak manakah yang dibelanya?

Suling Emas yang duduk tak bergerak di atas kursinya dapat melihat betapa semua pengemis yang pro kepada Bu-tek Siu-lam dipimpin oleh dua orang kakek Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dilihat dari sikap mereka, me­mang agaknya dua orang kakek ini sudah mengaturnya terlebih dahulu, sengaja untuk mengacaukan pertemuan ini dan bahkan kini tampak olehnya betapa rom­bongan pengemis yang duduk di sebelah timur, yang jumlahnya banyak, adalah anak buah mereka yang diam-diam sudah siap untuk turun tangan jika terjadi perkelahian!

Yang menyeleweng secara sadar ha­nya beberapa orang saja, pikirnya. Seba­gian besar di antara para pengemis itu hanya ikut-ikutan karena tertarik oleh tingkat hidup yang lebih baik dan keme­wahan. Kalau sampai terjadi pertempuran, tentu akan banyak roboh korban di kedua pihak. Suling Emas tidak menghendaki hal ini terjadi, maka ia sudah siap untuk menegur mereka dan merobohkan para pimpinan pengacau. Orang-orang yang melakukan penyelewengan secara ikut-ikutan seperti mereka itu, sekali pimpinannya roboh, tentu akan mudah diinsyafkan dan diajak kembali ke jalan benar. Yang menjadi sumber penyelewengan para anggauta kai-pang ini sebetulnya adalah tokoh yang bernama Bu-tek Siu-lam. Ka­rena munculnya tokoh sakti yang sudah berhasil membunuh Ketua Im-yang-kauw itulah maka para pengemis yang lemah batinnya, mudah dibawa menyeleweng, karena ada yang mereka andalkan.

Akan tetapi dalam keadaan ketegang­an tengah memuncak itu, sebelum Suling Emas sempat turun tangan atau mem­biarkan Gak-lokai dan Ciam-lokai meng­urus keributan, tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak. Suara ketawa ini da­tangnya dari.... udara! Begitu nyaring dan hebat sehingga seakan-akan menggetarkan papan panggung.

“Hua-ha-ha-ha! Jembel-jembel busuk ini seperti sekumpulan anjing berebut tulang!”

“Heh-heh-heh! Tidak usah berebut pangkat, kamilah yang akan menjadi raja-raja kalian! Heh-heh!”

“Hua-ha-ha! Benar sekali! Aku ingin menjadi raja pengemis!”

Bagaikan dua ekor burung rajawali, dari atas menyambar turun tubuh dua orang kakek yang mengerikan keadaan­nya. Yang seorang bertubuh kurus ber­muka putih seperti orang kehabisan da­rah, kepalanya botak dan rambutnya ja­rang seperti sutera tua. Orang ke dua bertubuh besar kuat dan mukanya merah sekali, muka yang ditumbuhi rambut se­hingga muka itu menyerupai muka singa.

Bukan main hebatnya gerakan kedua orang kakek yang sudah amat tua ini. Begitu keduanya turun ke atas papan panggung, sambil tertawa-tawa mereka menggerakkan kedua tangan ke sekeliling dan.... tubuh para, pimpinan pengemis yang tadinya berhadapan dan cekcok sa­ling maki itu seperti layang-layang putus talinya, terlempar ke bawah panggung! Dan hebatnya, kedua orang kakek itu tidak pilih-pilih orang, siapa saja yang tadi saling maki memenuhi panggung itu mereka lemparkan turun. Mereka itu ber­jumlah belasan orang, hampir dua puluh, dan rata-rata adalah pimpinan kai-pang yang memiliki kepandaian tinggi. Ketika dua orang kakek aneh ini muncul dan menyergap, belasan orang itu sudah ber­usaha menerjang dan memukul roboh dua orang kakek pengacau, bahkan banyak di antara mereka yang menggunakan tong­kat besi menggebuk. Memang terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu mengenai tubuh dua orang kakek ini, akan tetapi sama sekali tidak dirasakan­nya, dan tanpa dapat dicegah lagi semua orang itu telah mereka lempar-lemparkan dengan cara yang luar biasa mudahnya. Dalam waktu beberapa menit saja, de­lapan belas orang pimpinan para penge­mis baju bersih dan baju butut itu telah dilempar turun dari atas panggung!

“Dua orang iblis dari mana berani mengacau pertemuan Khong-sim Kai-pang?” Teriakan ini keluar dari mulut Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah melompat maju dan menerjang dengan tongkat mereka.

Suling Emas terlampau heran dan kaget menyaksikan munculnya dua orang kakek luar biasa itu sehingga ia tidak sempat mencegah majunya Gak-lokai dan Ciam-lokai. Dengan muka berubah Suling Emas bangkit dari kursinya, memandang dengan mata terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri bahwa dua orang kakek yang muncul itu bukan lain adalah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong! Dua orang kakek yang sakti itu tiba-tiba saja muncul di situ. Apakah kehendaknya? Benarkah mereka menghendaki menjadi raja pengemis?

Teringatlah Suling Emas pada pertemuan­nya dengan kedua orang tokoh ini puluh­an tahun yang lalu. Ketika itu pun dua orang kakek ini mengacau Khitan dan ingin menjadi raja di Khitan (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Hanya dengan su­sah payah, setelah dibantu Lin Lin (Ra­tu Yalina di Khitan), Liu Hwee puteri Ketua Beng-kauw, dan Kauw Bian Cin­jin tokoh Beng-kauw, ia berhasil meng­usir dua orang kakek itu. Kini secara tiba-tiba dan tak terduga-duga dua orang kakek ini muncul lagi dan begitu muncul telah mengacaukan keadaan dengan sepak terjang mereka yang aneh. Melihat bah­wa mereka berdua itu tidak memilih bulu, merobohkan semua pengemis baik yang berpakaian butut maupun yang ber­sih, jelas bahwa mereka ini bukan peng­gerak kaum sesat dan tidak mewakili mana-mana, hanya bergerak menurutkan kata hati mereka sendiri yang aneh luar biasa!

Terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai dahsyat sekali. Mereka ini memang me­rupakan dua orang tokoh Khong-sim Kai-pang yang sudah tinggi tingkat ilmu si­latnya, apalagi dalam beberapa hari ini mereka telah mendapat petunjuk dari Suling Emas, maka tentu saja terjangan mereka itu amat hebat. Akan tetapi, dengan gerakan yang tenang sekali, dua orang kakek aneh di atas panggung itu menggeser kaki dan terjangan kedua lokai itu hanya mengenai angin belaka.

“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Makin banyak muncul tokoh jembel makin baik. Hayo naiklah, keroyoklah kami, ha-ha­ha!” seru Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah.

“Bagus sekali, Ang-bin Siauwte (Adik Muka Merah)! Baru sekarang kita bisa berkelahi dengan enak!”

Dua orang kakek itu terkekeh-kekeh dan menghadapi terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai seenaknya saja, dengan ta­ngan kosong. Si Kakek Muka Merah menghadapi Ciam-lokai, sedangkan kakek muka putih menghadapi Gak-lokai. Mere­ka ini memang merupakan dua orang tokoh yang berwatak luar biasa. Makin tua makin gila dan sejak dahulu mereka amat doyan berkelahi! Tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan hati mereka melebihi perkelahian yang ramai. Melihat terjangan dua orang pengemis bertongkat itu, mereka sudah bergembira karena mengira tentu akan menghadapi lawan tangguh karena mereka pun mak­lum bahwa di dunia pengemis terdapat banyak orang-orang berilmu tinggi. Akan tetapi mereka kecewa sekali ketika men­dapat kenyataan bahwa dua orang tokoh Khong-sim Kai-pang yang menyerang mereka itu sama sekali bukan tandingan mereka!

“Ho-ha-ha, kiranya jembel busuk tidak ada harganya!” Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah terbahak-bahak dan pada saat Ciam-lokai memukulkan tongkatnya ke arah dada, ia menyambut dengan ke­palan tangannya.

“Krakkk!!” Tongkat di tangan Ciam-lokai itu patah-patah menjadi beberapa potong dan setiap kali pengemis tua itu menghantamkan tongkatnya selalu disam­but kepalan dan terpotong-potong lagi!

Sementara itu, Pak-kek Sian-ong yang menghadapi Gak-lokai juga merasa kece­wa. Akan tetapi berbeda dengan Si Muka Merah yang mendemonstrasikan tenaga Yang-kang dahsyat dan amat kuatnya itu, ia mengeluarkan keahliannya, yaitu tena­ga Im yang lemas dan halus. Ketika Gak lokai menghantamnya dengan tongkat, ia menyambut dengan telapak tangan dan.... tubuh Gak-lokai bersama tongkatnya mencelat ke atas. Gak-lokai terkejut, namun karena ia pun seorang yang lihai biarpun tubuhnya mencelat ke atas, ia bergerak di udara dan menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Pak-kek Sian­-ong. Kakek muka putih ini lagi-lagi me­nyambut dengan telapak tangan dan se­kali lagi tubuh Gak-lokai mencelat ke atas. Berkali-kali hal ini terjadi sehingga tubuh Gak-lokai bagaikan sebuah bal yang dipermainkan lawan.

“Iblis-iblis tua, berani kau memper­mainkan Khong-sim Kai-pang?” Bentakan halus ini keluar dari mulut Yu Siang Ki. Pemuda ini menjadi marah ketika me­nyaksikan betapa dua orang kakek aneh itu mengacaukan pertemuan kai-pang yang mempunyai maksud baik itu. Apala­gi ketika melihat betapa Gak-lokai dan Ciam-lokai dipermainkan, ia segera tahu bahwa dua orang tokoh pengemis itu bukanlah lawan dua orang kakek yang datang mengacau. Ia sendiri belum tentu dapat mengalahkan dua orang kakek yang sakti itu, namun melihat usaha persatuan yang diadakan Khong-sim Kai-pang itu terancam bahaya, ia segera meloncat naik, menegur dan sekaligus ia melemparkan hiasan bunga yang biasanya menghias topinya.

Lontarkan itu bukanlah sembarang lontaran, melainkan serangan yang hebat dan yang mengancam jalan darah di de­kat siku Lam-kek Sian-ong. Siang Ki sengaja menyerang kakek muka merah karena melihat betapa kakek muka me­rah ini amat dahsyat kedua tangannya dan pada saat itu keadaan Ciam-lokai amat berbahaya. Sekali saja tangan ka­kek muka merah itu berhasil menonjok tubuh Ciam-lokai, tentu tokoh Khong-sim Kai-pang itu akan roboh tewas!

“Aihh....!” Kakek muka merah itu mengeluarkan seruan kaget ketika le­ngannya terasa kesemutan karena jalan darah di sikunya secara tepat sekali tertusuk gagang hiasan bunga. Tadi ia melihat benda ini menyambar, akan te­tapi tentu saja ia memandang rendah. Siapa kira, totokan gagang bunga itu cukup mengandung tenaga Iwee-kang yang dahsyat sehingga lengannya kesemutan, ia terheran-heran. Ini bukan sam­bitan orang biasa. Maka ia berseru kaget dan memutar tubuh menghadapi Yu Siang Ki.

Keheranannya bertambah ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang menyambitnya hanya seorang pemuda tampan yang masih amat muda. Pada saat itu, Ciam-lokai yang merasa marah dan penasaran, menggunakan sisa tongkatnya menusuk dari belakang, mengarah lam­bung dan menusuk di bagian yang me­matikan.

“Dukk!” Tusukan tongkat itu tepat mengenai lambung, akan tetapi membalik seperti menusuk karet yang keras saja. Ciam-lokai kaget sekali akan tetapi se­belum hilang kagetnya, tiba-tiba tubuh­nya sudah melayang jauh turun ke bawah panggung karena pada saat itu kaki Lam-kek Sian-ong sudah melakukan ge­rakan menyepak (menendang ke belakang) persis seperti gerakan kaki kuda. Tanpa menoleh kakek muka merah itu mampu menendang Ciam-lokai yang lihai itu sampai terlempar ke bawah panggung. Hal ini benar-benar membuktikan bahwa kesaktiannya memang luar biasa.

Yu Siang Ki maklum akan hal ini maka pemuda ini tidak berani sembrono. Tadi pun menyaksikan sambitannya yang tepat mengenai jalan darah itu tidak melumpuhkan lengan kakek muka merah, ia sudah tahu bahwa lawannya benar-benar sakti. Kini pemuda itu sudah me­nyambar tongkatnya dan berseru keras. “Tak seorang pun boleh menghina Khong-sim Kai-pang!” ia lalu menggerakkan tongkat dan menerjang dengan gerakan yang mantap dan penuh tenaga sin-kang.

“Hua-ha-ha, bagus, bagus! Eh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih)! Kaulihat lawanku ini biarpun masih muda, baru berharga untuk diajak main-main!” ia bi­cara sambil menggerakkan tubuh meng­elak. Sekali lihat saja Lam-kek Sian-ong mengerti bahwa ilmu tongkat pemu­da ini hebat dan tak boleh dipandang ringan, maka timbullah kegembiraannya untuk melayani Yu Siang Ki.

“Eh, Kakek tua, kau mundurlah. Kau bukan lawan iblis ini!”

Inilah suara Kwi Lan. Ketika gadis ini melihat Yu Siang Ki sudah melompat naik ke atas panggung dan turun tangan, ia pun tidak mau tinggal diam. Tentu saja ia pun mengenal dua orang kakekitu. Ia tahu bahwa mereka itu, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li, adalah dua orang kakek yang sakti. Tentu Yu Siang Ki tidak me­ngenal mereka maka pemuda itu secara gegabah berani maju. Kalau tidak ia bantu, mana mungkin Yu Siang Ki dapat menandingi dua orang kakek itu. Biarpun ia maklum bahwa dengan bantuannya sekalipun amat sukar untuk mendapat kemenangan, namun ia tidak bisa mem­biarkan sahabatnya menghadapi bahaya seorang diri. Maka ia pun lalu meloncat tinggi keudara. Ia anggap bahwa gerak­an Gak-lokai yang dibuat permainan oleh Pak-kek Sian-ong itu hanya akan menghalangi dan membuatnya tidak leluasa, maka sekali meloncat, ia sudah menge­luarkan ucapan tadi dan tahu-tahu diudara ia sudah menjambret leher baju Gak-lokai dan melemparkan kakek itu ke bawah panggung!

Gerakan ini tentu saja kelihatan he­bat luar biasa. Inilah demonstrasi gin­kang yang hebat, juga sekali jambret saja ia dapat melemparkan seorang tokoh seperti Gak-lokai sudah membuktikan betapa lihainya gadis ini! Semua penge­mis yang menyaksikan ini menjadi makin bengong dan bingung. Bahkan Suling Emas sendiri yang tadi terkejut melihat munculnya pengemis muda yang berani menentang Lam-kek Sian-ong, kini me­longo menyaksikan munculnya seorang gadis remaja yang bagaikan seekor naga muda kini sudah menerjang Pak-kek Sian-ong dengan pedangnya!

“Ho-ho-ho, Ang-bin Siauwte kaubilang lawanmu hebat? Kaulihat ini, Nona mu­da yang galak ini apakah kalah hebat­nya?” Pak-kek Sian-ong berkata demi­kian, akan tetapi cepat mengelak dari gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar dahsyat. Pertandingan di atas panggung kini benar-benar mengagumkan dan membuat para pengemis terlongong keheranan. Dua orang kakek tua renta itu dengan gerakan-gerakan aneh dan ringan menghadapi seorang pengemis muda yang memutar tongkat secara hebat dan seorang gadis cantik yang memain­kan pedang secara ganas. Gak-lokai dan Ciam-lokai juga sudah bangun. Untung bahwa tadi mereka tidak terbanting he­bat dan juga tidak terluka. Hati mereka menjadi gentar karena maklum bahwa orang-orang yang sedang bertanding di atas panggung itu adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kepandaian mereka.

Suling Emas sejak tadi sudah bangkit berdiri. Matanya tajam menonton pertan­dingan, menimbang dan menilainya. Se­bentar ia memandang ke arah pengemis muda yang menghadapi Lam-kek Sian-ong, sebentar kemudian ia memandang ke arah gadis cantik yang menerjang Pak-kek Sian-ong. Ia makin terheran-heran. Pengemis muda itu ilmu tongkatnya hebat dan tinggi, tenaganya kuat dan memiliki kecepatan gerak yang membuk­tikan bahwa dia bukan ahli silat semba­rangan. Diam-diam ia menjadi kagum sekali dan ia merasa seperti pernah me­ngenal ilmu tongkat yang dimainkan pe­muda itu. Kalau dasarnya sudah jelas ilmu silat dari pantai timur, akan tetapi siapakah pernah mainkan tongkat seperti ini? Ia lupa lagi.

Namun kekagumannya terhadap pemu­da tampan itu tidak ada artinya ketika ia menonton pertempuran antara kakek muka putih dan gadis cantik. Suling Emas melongo dan benar-benar ia ter­heran-heran menyaksikan sepak terjang gadis itu. Ilmu silat apa gerangan yang dimainkan oleh gadis dengan pedang ka­yunya itu? Dalam hal Ilmu pedang, se­tidaknya telah mengenal dasar-dasarnya. Akan tetapi gerakan pedang yang dimain­kan gadis itu benar-benar membuat ia terlongong. Gerak kakinya seperti gerak kaki ilmu silat Siauw-lim-pai, tegap dan digeser-geser kuat. Akan tetapi ketika sambaran pedang diimbangi tendangan kaki, maka tendangan itu bukanlah ten­dangan ilmu sliat Siauw-lim-pai, lebih mirip tendangan ilmu silat utara Go­bi-pai. Dan gerakan pedang itu, kacau ­balau antara ilmu pedang Beng-kauw dan Ilmu pedang Kun-lun. Aneh bukan main, kacau-balau namun justeru kekacauannya inilah yang merupakan sifat ilmu silat gadis itu yang benar-benar luar biasa dan dahsyatnya bukan main, keganasannya membuat Suling Emas mengerutkan ke­ning. Pantas saja Pak-kek Sian-ong berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan kagum, dan agaknya kakek yang doyan berkelahi itu melayaninya dengan sung­guh-sungguh sambil memperhatikan ilmu silat gadis itu. Namun sukarlah untuk mengenal atau mempelajari ilmu kacau­ balau ini sehingga Si Kakek merasa sayang kalau cepat-cepat menghentikan pertandingan.

Setelah meneliti sejenak tahulah Suling Emas bahwa dua orang muda itu benar-benar bukan orang sembarangan, tentu murid-murid orang pandai yang memiliki kepandaian luar biasa. Juga ia sudah mengenal sifat-sifat dan keampuh­an Ilmu silat mereka. Ia sudah tahu pula akan sifat Pak-kek Sian-ong. Dibanding­kan dengan Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu lebih lunak dan agaknya tidak akan tega untuk mencelakai orang muda. Oleh karena itu, ia lalu meloncat ke dekat Lam-kek Sian-kong dan berkata kepada Yu Siang Ki sambil menangkis sebuah pukulan tangan kiri, Lam-kek Sian-ong, “Orang muda, kaubantulah gadis itu. Biarkan dia yang menyerang, kau memperkuat pertahanan kalian!”

“Dukkk....!” Dua lengan yang sama­-sama mengandung tenaga sinkang yang dahsyat bertemu. Lam-kek Sian-ong sejak tadi tidak pernah ditangkis Yu Suang Ki karena pemuda yang cerdik itu maklum bahwa ia kalah tenaga, kini melihat ada orang yang berani menangkis, sengaja mengerahkan tenaga Yang-kang yang menjadi keistimewaannya. Akibatnya, pertemuan kedua lengan itu membuat Suling Emas terhuyung ke belakang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong juga terjengkang dan hampir roboh! Bukan main kaget dan herannya sehingga kakek muka merah mengeluarkan seruan seperti seekor singa yang membuat papan panggung tergetar dan sejenak ia hanya berdiri memandang dengan mata melotot.

Sementara itu Yu Siang Ki yang me­lihat gerakan orang bertopeng yang mengaku ayahnya itu, seketika maklum bahwa orang ini kepandaiannya hebat, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menerjang Pak-kek Sian-ong yang sedang melayani Kwi Lan.

No comments:

Post a Comment