Thursday 1 July 2010

Mutiara Hitam 4i

Thai-lek Kauw-ong lalu menekuk ke­dua lututnya sampai hampir berjongkok, tubuhnya merendah dan ia mengumpulkan tenaga Thai-lek-kang, kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka dan agak ditekuk ujung menempel di kedua pangkal paha matanya mencorong memandang ke arah pohon itu, kemudian dari kerongkongan­nya keluar suara kasar dan parau seperti suara burung gagak dan kedua tangannya didorong ke depan, agak ke atas meng­arah pohon. Hebat bukan main akibatnya. Dari kedua. lengan tangan raksasa gundul ini menyambar angin yang dahsyat ke arah pohon, membuat batang pohon se­perti didorong tenaga raksasa sehingga miring dan cabang-cabangnya bergoyang­-goyang sehingga semua daunnya rontok dan melayang turun bagaikan hujan lebat! Itulah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa dahsyatnya dan sukar dilawan.

Kwi Lan terkejut sekali. Sekilas pan­dang saja ia dapat melihat bahwa kakek itu benar-benar telah berhasil merontok­kan semua daun pohon sekali pukul! Ketika ia melihat daun-daun rontok ber­hamburan sebagian melayang ke arah tubuhnya, gadis ini cepat mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangan cepat sekali, menyambar dan menangkap bebe­rapa helai daun lalu mengerahkan tenaga sin-kang menyambitkan daun-daun itu ke arah dahan pohon. Daun itu masih me­layang-layang akan tetapi melayang ke atas dan dengan tepat tangkai daun-daun itu menancap pada ranting pohon!

“Hi-hik, Thai-lek Kauw-ong, masi, ada beberapa helai daun yang tinggal, tidak rontok semua!” Kwi Lan mengejek, Gadis ini tidak peduli apakah kakek itu tahu akan perbuatannya atau tidak ka­rena ia memang hanya berniat meng­gangu sambil memperlihatkan pula kepandaiannya untuk membuktikan bahwa ia pun bukan tidak memiliki kepandaian.

Dan sebetulnyalah bahwa kakek itu telah melihat dan tahu apa yang dilakukan Kwi Lan. Raksasa gundul yang sudah berdiri tegak kembali napasnya agak ter­engah karena tadi ia telah memperguna­kan tenaga besar sekali. Ia merasa yakin bahwa semua daun pohon akan rohtok dan tentu saja ia tadi melihat gerakan Kwi Lan. Alangkah heran hatinya karena ia segera mengenal gerakan ini yang tiada bedanya dengan gerakan Sian-twa­nio ketika menyambitkan daun-daun dari atas pohon!

“Eh, Nona.... apa hubunganmu dengan Sian-twanio....?”

Kini Kwi Lan yang menjadi terce­ngang. Ia cukup cerdik untuk menghu­bung-hubungkan sesuatu persoalan. Kakek gundul ini agaknya mengenal ilmunya menyambitkan daun sebagai senjata ra­hasia maka menyinggung nama Bibi Sian, gurunya.

“Bibi Sian adalah Guruku. Apakah kau kenal dengan Guruku?”

Kakek gundul itu mengangguk-angguk. Dia tidak banyak cerita, hanya mukanya yang menjadi berseri gembira. “Hemm, dia itu adik termuda dari Bu-tek Ngo­sian. Aku yang paling tua. Kausebut aku Twa-supek (Uwa Guru Tertua)!”

Kwi Lan mengerutkan keningnya. “Ah, mana ada hubungan ini? Siapa dan apa­kah Bu-tek Ngo-sian itu? Guruku tidak pernah bercerita tentang itu kepadaku.“ bantahnya meragu.

Thai-lek Kauw-ong mengangguk. “Ten­tu saja. Baru pagi tadi terbentuk. Aku orang pertama. Kedua adalah Pak-sin-ong. Ke tiga Siauw-bin Lo-mo. Ke empat Bu-tek Siu-lam. Ke lima Gurumu. Bu-tek Ngo-sian menggantikan kedudukan Thian-te Liok-kwi.”

Kwi Lan tidak puas. Biarpun ia tahu bahwa gurunya orang yang amat aneh dan harus ia akui kadang-kadang tidak waras jalan pikirannya, akan tetapi ia pun tahu akan watak angkuh gurunya. Mana mungkin gurunya sudi bersekutu dengan orang-orang jahat macam ini? Betapapun juga, hal itu merupakan perto­longan baginya, karena setelah kakek itu tahu bahwa dia murid Sian-twanio, tentu tidak akan diganggunya.

“Nah, biarlah kau kusebut Twa-supek, boleh saja. Setelah kau tahu bahwa aku murid Sian-twanio, tentu saja aku tidak dapat menjadi muridmu.”

Sejenak kakek itu termenung. Memang ia tadi menawan gadis ini sama sekali bukan karena ingin mengambil murid, hanya terdorong oleh rangsangan hati yang timbul setelah melihat Bu-tek Siu­-lam mempermainkan Po Leng In. Maka ia lalu menjawab.

“Bukan murid. Kita orang sendiri. Kautemani aku beberapa hari. Keponakan harus bersikap manis kepada Supeknya.” Sambil berkata demikian, sepasang mata itu memandang Kwi Lan seolah-olah hendak menelan tubuh gadis itu bulat-bulat dengan pandang matanya. Kwi Lan bergidik. Sudah terlalu sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti ini. Akan tetapl biasanya ia hanya memandang rendah, tidak mempedulikan, atau kalau hatinya terlalu jengkel, menghajar si pemandang. Kini melihat pandang mata Si Kakek Gundul yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, ia merasa ngeri, sungguhpun hal ini belum menim­bulkan rasa takut.

Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda. Hal ini bagi Kwi Lan amat kebetulan karena seolah-olah mem­bebaskan dia pada saat yang tegang. Mereka berdua menengok dan tampaklah dua orang penunggang kuda. Mereka itu adalah dua orang laki-laki tua yang berpakaian indah dan gagah, penuh hiasan yang berkilauan. Pakaian dua orang pang­lima Khitan. Kepala mereka memakai topi yang berhiaskan bulu burung yang amat indah, sikap mereka angker dan gagah. Melihat sikap mereka dan cara mereka duduk di atas kuda mudah diduga bahwa dua orang panglima asing ini ten­tu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apa­lagi gagang dan sarung senjata yang ter­gantung di pinggang mereka berhiaskan emas permata! Kwi Lan sama sekali tidak tahu panglima-panglima dari mana mereka itu, akan tetapi ia dapat men­duga bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian. Oleh karena inilah, otak­nya yang cerdik segera bekerja dan ia berseru kepada Thai-lek Kauw-ong.

“Twa-supek! Kepandaianmu tadi sama sekali tidak mengesankan hatiku. Kalau engkau bisa mengalahkan dua orang pe­nunggang kuda itu, barulah aku mau mengaku bahwa kau memang gagah per­kasa!”

Thai-lek Kauw-ong boleh jadi telah memperoleh tingkat ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi karena terlalu lama bertapa mengasingkan diri, agaknya jalan pikirannya menjadi amat sederhana dan tentu saja ia tidak dapat menandingi Kwi Lan dalam hal kecerdikan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu sengaja memanaskan hatinya untuk mengalihkan perhatian yang tercurah pada pandang matanya yang penuh nafsu berahi tadi, dan menganggap gadis itu sebagai murid Sian-twanio besar-benar belum merasa yakin akan kelihaiannya. Oleh karena itu ia segera menjawab.

“Baik, kaulihatlah!”

Sambil berkata demikian, tubuhnya yang tinggi besar itu sudah berkelebat membuat loncatan tinggi melayang ke arah dua orang penunggang kuda yang sudah datang dekat. Sekali berjungkir balik di tengah udara, kakek itu sudah menyambar ke depan dan kedua tangan­nya mencengkeram ke arah pundak dua orang panglima itu sambil berseru keras.

“Turun kalian....!” Suaranya keras, sambarannya cepat.

Akan tetapi dua orang panglima itu biarpun merasa ngeri, ternyata benar-benar bukan orang sembarangan. Tampak bayangan tubuh mereka berkelebat dan cepat sekali mereka sudah bergerak de­ngan jalan melakukan gerakan meluncur turun dari atas kuda dengan loncatan miring. Terdengar suara keras dari pa­tahnya tulang-tulang punggung kedua ekor kuda itu disusul meringkiknya kuda dan robohnya tubuh dua ekor kuda besar yang kini berkelojotan di atas tanah dalam keadaan sekarat! Dapat dibayang­kan betapa hebatnya tenaga Thai-lek-kang di kedua tangan Thai-lek Kauw-ong yang sekali pukul dapat merobohkan dua ekor kuda besar dengan tulang-tulang punggung patah-patah

Dua orang Panglima Khitan yang bertubuh tinggi besar, hampir sama de­ngan bentuk Thai-lek Kauw-ong itu se­sungguhnya bukanlah orang-orang biasa. Mereka itu keduanya adalah dua orang panglima yang berkedudukan tinggi di kerajaan Khitan yang mukanya brewok dengan jenggot panjang adalah panglima barisan berkuda di Khitan dan sebagai tanda pangkatnya antara lain adalah lukisan kepala kuda di baju depan dada. Nama kakek ini adalah Hoan Ti-ciangkun. Adapun orang ke dua yang bermuka bengis adalah Loan Ti-ciangkun, panglima barisan penjaga benteng, seperti dapat dikenal pada lukisan pilar benteng di de­pan dadanya. Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun inilah adanya dua orang pang­lima yang belum lama ini telah menyam­paikan surat dari Ratu Yalina di Khitan untuk Suling Emas. Selain ilmu kepan­daian kedua orang panglima ini lihai, juga mereka berdua merupakan utusan-utusan ratu setiap kali pemerintah Khi­tan mengadakan hubungan dengan raja-raja di selatan. Oleh karena itu, kedua­nya amat mahir berbahasa selatan untuk memudahkan perkenalan, mereka pun me­makai nama Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun. Mereka merupakan pang­lima-panglima Kerajaan Khitan yang setia karena semenjak muda mereka sudah menjadi perajurit yang kemudian makin menanjak kedudukan mereka ber­kat ilmu kepandaian mereka yang tinggi.

Tanpa sebab sama sekali kini mereka dalam perjalanan pulang ke Khitan telah diserang Thai-lek Kauw-ong sehingga kuda mereka berkelojotan hampir tewas. Tentu saja mereka menjadi marah sekali di samping rasa heran dan kaget. Namun sebagai orang-orang berpengalaman, me­reka maklum akan keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia selatan ini, maka mereka menindih perasaan amarah. Hoan Ti-ciangkun yang jenggotnya panjang dan halus, menoleh ke arah dua ekor kuda yang berkelojotan, mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang.

“Kasihan, kalian menderita tanpa dosa.” Setelah berkata demikian, Hoan Ti-ciangkun melangkah maju setindak dan tangan kanannya memukul ke arah dua ekor kuda dua kali berturut-turut. Pukulan jarak jauh yang cukup dahsyat, karena seketika dua ekor kuda itu berhenti ber­kelojotan karena pukulan yang tepat mengarah kepala itu membuat dua ekor blnatang ini tewas seketika! Kemudian Hoan Ti-clangkun bersama kawannya mengangkat kedua tangan dirangkapkan ke dada memberi hormat.

“Maaf, kami berdua Hoan Ti dan Loan Ti dari Khitan merasa belum per­nah kenal dengan Lo-suhu, juga tidak merasa melakukan sesuatu kesalahan, apa sebabnya Lo-suhu menyerang kami? Sia­pakah Lo-suhu?”

Ucapan ini benar-benar merupakan sikap yang amat merendahkan diri, sikap yang amat terpuji dari dua orang pang­lima itu sehingga tidak mengherankan apabila Ratu Khitan mengagkat mereka sebagai utusan-utusan negara. Memang pada masa itu, Kerajaan Khitan di bawah pimpinan Ratu Yalina selalu berusaha untuk menjauhi permusuhan dengan rak­yat selatan. Sikap ini ditambah kekuatan Khitan agaknya membuat Kerajaan Sung tidak berdaya dan selama itu belum juga mau menaklukkan Khitan, padahal kera­jaan-kerajasn lain telah ditaklukkannya.

Siapa kita, ucapan yang halus dan merendah itu malah membuat Thai-lek Kauw-ong marah-marah. Hal ini karena dua orang panglima itu salah duga dan menyebutnya Lo-suhu, sebutan bagi se­orang hwesio. Agaknya karena ia berke­pala dundul maka orang Khitan itu me­nyangkanya hwesio, tidak tahu bahwa gundulnya adalah gundul aseli, bukan karena dicukur, melainkan gundul sebagai akibat dari latihan Thai-lek-kang!

“Aku Thai-lek Kauw-ong bukan pandeta. Aku orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Tidak ada permusuhan. Hanya kalian harus mengakui keunggulanku. Lihat seranganku!” Setelah berkata demikian, kakek gundul itu sudah menerjang maju kalang-kabut, menggunakan kedua lengannya yang besar dan kuat.

Dua orang panglima Khitan itu men­dongkol bukan main. Tiada hujan tiada angin kakek gundul yang bukan hwesio ini telah membunuh kuda mereka, dan menyerang mereka secara membabi buta hanya karena ingin diakui keunggulannya! Kalau saja permintaan itu dilakukan secara baik-baik, mereka berdua yang men­taati pesan ratu mereka tentu akan suka mengakui keunggulan Si Gundul gila ini. Akan tetapi karena mereka diserang, maka keduanya cepat mengelak dan bah­kan kini balas menyerang.

“Ji-wi Ciangkun, kakek gundul itu sombong sekali. Harap Ji-wi suka kalah­kan dia!” Tiba-tiba Kwi Lan berteriak dan kini kedua orang panglima itu dapat menduga sebabnya mengapa Si Gundul ini bertindak secara edan-edanan. Kiranya karena gadis cantik itu. Tentu saja Si Gundul ini hendak memamerkan kepandaian kepada Si Gadis Cantik! Keparat, sudah tua bangka, mukanya seperti mo­nyet, masih hendak berlagak di depan seorang gadis remaja! Pikiran ini mem­buat kedua orang panglima Khitan ini makin marah dan mereka lalu berdecak dan menyerang sungguh-sungguh.

Dua orang panglima itu adalah orang-orang gagah. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka melakukan penyerang­an. Biarpun mereka berdua adalah ahli-ahli bermain senjata tajam, namun me­lihat bahwa lawan mereka tidak meme­gang senjata, mereka juga tidak men­cabut senjata, melainkan maju menerjang dengan kepalan. Melihat gerakan mereka, jelas bahwa biarpun mereka berdua ada­lah panglima-panglima Khitan, namun me­reka memiliki ilmu silat selatan yang amat kuat. Terutama mereka amat kuat dalam daya tahan, juga memiliki tenaga dalam yang tak boleh dipandang ringan.

Thai-lek Kauw-ong memang sudah menyangka bahwa dua orang ini bukan orang sembarangan, akan tetapi tidak mengira bahwa mereka memiliki lwee­kang demikian kuatnya, maka karena ia merasa khawatir kalau-kalau tidak dapat merobohkan kedua orang lawannya secara cepat sehingga akan diremehkan Kwi Lan, kakek ini segera mengeluarkan se­ruan keras sekali dan tubuhnya lalu ber­gerak berpusingan dengan kedua lengan dikembangkan. Hebat bukan main akibat­nya gerakan ini karena dari kedua lengan itu timbul angin menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan luar biasa, kemudian makin lama tubuh kakek itu makin cepat berputaran, angin pun makin hebat pula berpusingan. Inilah ilmunya yang amat ia andalkan, yaitu Soan-hong-sin-ciang! Ja­rang sekali Thai-lek Kauw-ong menge­luarkan ilmunya yang ampuh ini, seka­rang karena dalam hatinya timbul do­rongan nafsu dan ingin sekali ia mem­buat Kwi Lan kagum akan kepandaiannya, ia hendak merobohkan kedua lawannya itu dalam waktu sesingkat-singkat­nya!

Dua orang panglima itu terkejut bu­kan main. Tak pernah mereka menyangka bahwa kakek gundul itu sedemikian lihai. Betapa pun dia mempertahankan diri, kedua kaki mereka mulai menggigil dan perlahan-lahan tubuh mereka mulai men­doyong dan akhirnya, makin cepat Thai-lek Kauw-ong berputar, makin hebat tenaga angin berpusing yang menyedot, mereka tak dapat mempertahankan diri lagi dan terhuyung-huyung ikut dengan pusaran angin yang amat kuat itu. Ter­lambat mereka sadar akan bahayanya ilmu kakek gundul itu dan selagi mereka ber­dua mengerahkan tenaga mempertahankan diri, topi terhias bulu yang berada di atas kepala mereka telah terlepas dan terlempar entah ke mana, dibawa angin yang timbul dari ilmu pukulan Soan-hong­sin-ciang yang hebat itu. Hoan Ti-ciang­kun dan Loan Ti-ciangkun, berusaha men­cabut senjata mereka, namun terlambat, karena pada saat itu, sambil memutar-mutar tubuhnya, kedua lengan Thai-lek Kauw-ong menyambar, dua tamparan me­ngenai pundak Hoan Ti-ciangkun dan dada Loan Ti-ciangkun. Dua orang pang­lima itu mengeluh dan terlempar ke be­lakang, masih berputar karena kini mereka terbawa angin, kemudian roboh ter­guling-guling! Pada saat itu terdengar suara melengking merdu sekali dan jelas bahwa itu adalah suara suling yang ditiup dengan indahnya. Namun, ketika dua orang panglima itu roboh pingsan, suara suling yang masih merdu itu kini mengandung nada kemarahan dan mengandung pula penga­ruh yang membuat jantung Kwi Lan ber­detak keras. Seketika tubuhnya menjadi lemas dan lesu, seperti orang kehilangan tenaga. Terkejut sekali gadis ini. Sebagai murid Kam Sian Eng, tentu saja ia mak­lum bahwa suara melengking yang meru­pakan nyanyian suling ini mengandung khi-kang yang amat kuat. Gurunya malah pernah mengajarkan kepadanya tentang ilmu menyerang lawan menggunakan sua­ra ini, akan tetapi selama hidupnya be­lum pernah ia menyaksikan pengaruh yang begini hebat sehingga secara lang­sung merampas tenaganya! Gurunya sen­diri tidak akan mampu mengeluarkan suara sekuat ini pengaruhnya. Karena maklum bahwa hal ini amat berbahaya baginya, Kwi Lan cepat menjatuhkan diri, duduk bersila dan mengerahkan se­luruh tenaganya untuk melindungi jan­tungnya.

Juga Thai-lek Kauw-ong menjadi ter­kejut sekali ketika tiba-tiba mendengar suara melengking tinggi sehingga tubuh­nya yang masih berpusing itu menjadi terhuyung. Terpaksa ia mengurungkan niat hatinya untuk mengirim pukulan susulan untuk membunuh dua orang panglima Khitan itu, dan menghentikan gerakannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan suara itu. Tiba-tiba suara melengking itu berhenti dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang bagian bawah mukanya tertutup sehelai saputangan. Di tangan kiri laki-laki ini tampak sebatang suling dan kepalanya terlindung sebuah topi lebar pinggirannya yang sudah butut. Thai-lek Kauw-ong memandang penuh perhatian dan matanya bersinar-sinar girang. Inilah seorang lawan yang tang­guh, pikirnya. Ia boleh mengharapkan perlawanan gigih, pertandingan yang seru, tidak seperti dua orang Panglima Khitan yang tiada guna itu.

“Eh, permainanmu boleh juga. Kau siapakah?”

“Thai-lek Kauw-ong sejak engkau turun ke dunia ramai, engkau telah mengangkat nama besar dengan perbuat­an-perbuatan keji dan ganas. Kini secara kebetulan kita bertemu di sini dan kem­bali engkau telah berlaku sewenang-we­nang mengandalkan kepandaianmu. Andai­kata aku tidak mengambil pusing sulingku ini saja tentu takkan membiarkan engkau melakukan segala macam keganasan se­kehendak hatimu sendiri!”

No comments:

Post a Comment