Thai-lek Kauw-ong lalu menekuk kedua lututnya sampai hampir berjongkok, tubuhnya merendah dan ia mengumpulkan tenaga Thai-lek-kang, kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka dan agak ditekuk ujung menempel di kedua pangkal paha matanya mencorong memandang ke arah pohon itu, kemudian dari kerongkongannya keluar suara kasar dan parau seperti suara burung gagak dan kedua tangannya didorong ke depan, agak ke atas mengarah pohon. Hebat bukan main akibatnya. Dari kedua. lengan tangan raksasa gundul ini menyambar angin yang dahsyat ke arah pohon, membuat batang pohon seperti didorong tenaga raksasa sehingga miring dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang sehingga semua daunnya rontok dan melayang turun bagaikan hujan lebat! Itulah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa dahsyatnya dan sukar dilawan.
Kwi Lan terkejut sekali. Sekilas pandang saja ia dapat melihat bahwa kakek itu benar-benar telah berhasil merontokkan semua daun pohon sekali pukul! Ketika ia melihat daun-daun rontok berhamburan sebagian melayang ke arah tubuhnya, gadis ini cepat mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangan cepat sekali, menyambar dan menangkap beberapa helai daun lalu mengerahkan tenaga sin-kang menyambitkan daun-daun itu ke arah dahan pohon. Daun itu masih melayang-layang akan tetapi melayang ke atas dan dengan tepat tangkai daun-daun itu menancap pada ranting pohon!
“Hi-hik, Thai-lek Kauw-ong, masi, ada beberapa helai daun yang tinggal, tidak rontok semua!” Kwi Lan mengejek, Gadis ini tidak peduli apakah kakek itu tahu akan perbuatannya atau tidak karena ia memang hanya berniat menggangu sambil memperlihatkan pula kepandaiannya untuk membuktikan bahwa ia pun bukan tidak memiliki kepandaian.
Dan sebetulnyalah bahwa kakek itu telah melihat dan tahu apa yang dilakukan Kwi Lan. Raksasa gundul yang sudah berdiri tegak kembali napasnya agak terengah karena tadi ia telah mempergunakan tenaga besar sekali. Ia merasa yakin bahwa semua daun pohon akan rohtok dan tentu saja ia tadi melihat gerakan Kwi Lan. Alangkah heran hatinya karena ia segera mengenal gerakan ini yang tiada bedanya dengan gerakan Sian-twanio ketika menyambitkan daun-daun dari atas pohon!
“Eh, Nona.... apa hubunganmu dengan Sian-twanio....?”
Kini Kwi Lan yang menjadi tercengang. Ia cukup cerdik untuk menghubung-hubungkan sesuatu persoalan. Kakek gundul ini agaknya mengenal ilmunya menyambitkan daun sebagai senjata rahasia maka menyinggung nama Bibi Sian, gurunya.
“Bibi Sian adalah Guruku. Apakah kau kenal dengan Guruku?”
Kakek gundul itu mengangguk-angguk. Dia tidak banyak cerita, hanya mukanya yang menjadi berseri gembira. “Hemm, dia itu adik termuda dari Bu-tek Ngosian. Aku yang paling tua. Kausebut aku Twa-supek (Uwa Guru Tertua)!”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. “Ah, mana ada hubungan ini? Siapa dan apakah Bu-tek Ngo-sian itu? Guruku tidak pernah bercerita tentang itu kepadaku.“ bantahnya meragu.
Thai-lek Kauw-ong mengangguk. “Tentu saja. Baru pagi tadi terbentuk. Aku orang pertama. Kedua adalah Pak-sin-ong. Ke tiga Siauw-bin Lo-mo. Ke empat Bu-tek Siu-lam. Ke lima Gurumu. Bu-tek Ngo-sian menggantikan kedudukan Thian-te Liok-kwi.”
Kwi Lan tidak puas. Biarpun ia tahu bahwa gurunya orang yang amat aneh dan harus ia akui kadang-kadang tidak waras jalan pikirannya, akan tetapi ia pun tahu akan watak angkuh gurunya. Mana mungkin gurunya sudi bersekutu dengan orang-orang jahat macam ini? Betapapun juga, hal itu merupakan pertolongan baginya, karena setelah kakek itu tahu bahwa dia murid Sian-twanio, tentu tidak akan diganggunya.
“Nah, biarlah kau kusebut Twa-supek, boleh saja. Setelah kau tahu bahwa aku murid Sian-twanio, tentu saja aku tidak dapat menjadi muridmu.”
Sejenak kakek itu termenung. Memang ia tadi menawan gadis ini sama sekali bukan karena ingin mengambil murid, hanya terdorong oleh rangsangan hati yang timbul setelah melihat Bu-tek Siu-lam mempermainkan Po Leng In. Maka ia lalu menjawab.
“Bukan murid. Kita orang sendiri. Kautemani aku beberapa hari. Keponakan harus bersikap manis kepada Supeknya.” Sambil berkata demikian, sepasang mata itu memandang Kwi Lan seolah-olah hendak menelan tubuh gadis itu bulat-bulat dengan pandang matanya. Kwi Lan bergidik. Sudah terlalu sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti ini. Akan tetapl biasanya ia hanya memandang rendah, tidak mempedulikan, atau kalau hatinya terlalu jengkel, menghajar si pemandang. Kini melihat pandang mata Si Kakek Gundul yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, ia merasa ngeri, sungguhpun hal ini belum menimbulkan rasa takut.
Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda. Hal ini bagi Kwi Lan amat kebetulan karena seolah-olah membebaskan dia pada saat yang tegang. Mereka berdua menengok dan tampaklah dua orang penunggang kuda. Mereka itu adalah dua orang laki-laki tua yang berpakaian indah dan gagah, penuh hiasan yang berkilauan. Pakaian dua orang panglima Khitan. Kepala mereka memakai topi yang berhiaskan bulu burung yang amat indah, sikap mereka angker dan gagah. Melihat sikap mereka dan cara mereka duduk di atas kuda mudah diduga bahwa dua orang panglima asing ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apalagi gagang dan sarung senjata yang tergantung di pinggang mereka berhiaskan emas permata! Kwi Lan sama sekali tidak tahu panglima-panglima dari mana mereka itu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian. Oleh karena inilah, otaknya yang cerdik segera bekerja dan ia berseru kepada Thai-lek Kauw-ong.
“Twa-supek! Kepandaianmu tadi sama sekali tidak mengesankan hatiku. Kalau engkau bisa mengalahkan dua orang penunggang kuda itu, barulah aku mau mengaku bahwa kau memang gagah perkasa!”
Thai-lek Kauw-ong boleh jadi telah memperoleh tingkat ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi karena terlalu lama bertapa mengasingkan diri, agaknya jalan pikirannya menjadi amat sederhana dan tentu saja ia tidak dapat menandingi Kwi Lan dalam hal kecerdikan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu sengaja memanaskan hatinya untuk mengalihkan perhatian yang tercurah pada pandang matanya yang penuh nafsu berahi tadi, dan menganggap gadis itu sebagai murid Sian-twanio besar-benar belum merasa yakin akan kelihaiannya. Oleh karena itu ia segera menjawab.
“Baik, kaulihatlah!”
Sambil berkata demikian, tubuhnya yang tinggi besar itu sudah berkelebat membuat loncatan tinggi melayang ke arah dua orang penunggang kuda yang sudah datang dekat. Sekali berjungkir balik di tengah udara, kakek itu sudah menyambar ke depan dan kedua tangannya mencengkeram ke arah pundak dua orang panglima itu sambil berseru keras.
“Turun kalian....!” Suaranya keras, sambarannya cepat.
Akan tetapi dua orang panglima itu biarpun merasa ngeri, ternyata benar-benar bukan orang sembarangan. Tampak bayangan tubuh mereka berkelebat dan cepat sekali mereka sudah bergerak dengan jalan melakukan gerakan meluncur turun dari atas kuda dengan loncatan miring. Terdengar suara keras dari patahnya tulang-tulang punggung kedua ekor kuda itu disusul meringkiknya kuda dan robohnya tubuh dua ekor kuda besar yang kini berkelojotan di atas tanah dalam keadaan sekarat! Dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga Thai-lek-kang di kedua tangan Thai-lek Kauw-ong yang sekali pukul dapat merobohkan dua ekor kuda besar dengan tulang-tulang punggung patah-patah
Dua orang Panglima Khitan yang bertubuh tinggi besar, hampir sama dengan bentuk Thai-lek Kauw-ong itu sesungguhnya bukanlah orang-orang biasa. Mereka itu keduanya adalah dua orang panglima yang berkedudukan tinggi di kerajaan Khitan yang mukanya brewok dengan jenggot panjang adalah panglima barisan berkuda di Khitan dan sebagai tanda pangkatnya antara lain adalah lukisan kepala kuda di baju depan dada. Nama kakek ini adalah Hoan Ti-ciangkun. Adapun orang ke dua yang bermuka bengis adalah Loan Ti-ciangkun, panglima barisan penjaga benteng, seperti dapat dikenal pada lukisan pilar benteng di depan dadanya. Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun inilah adanya dua orang panglima yang belum lama ini telah menyampaikan surat dari Ratu Yalina di Khitan untuk Suling Emas. Selain ilmu kepandaian kedua orang panglima ini lihai, juga mereka berdua merupakan utusan-utusan ratu setiap kali pemerintah Khitan mengadakan hubungan dengan raja-raja di selatan. Oleh karena itu, keduanya amat mahir berbahasa selatan untuk memudahkan perkenalan, mereka pun memakai nama Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun. Mereka merupakan panglima-panglima Kerajaan Khitan yang setia karena semenjak muda mereka sudah menjadi perajurit yang kemudian makin menanjak kedudukan mereka berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi.
Tanpa sebab sama sekali kini mereka dalam perjalanan pulang ke Khitan telah diserang Thai-lek Kauw-ong sehingga kuda mereka berkelojotan hampir tewas. Tentu saja mereka menjadi marah sekali di samping rasa heran dan kaget. Namun sebagai orang-orang berpengalaman, mereka maklum akan keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia selatan ini, maka mereka menindih perasaan amarah. Hoan Ti-ciangkun yang jenggotnya panjang dan halus, menoleh ke arah dua ekor kuda yang berkelojotan, mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang.
“Kasihan, kalian menderita tanpa dosa.” Setelah berkata demikian, Hoan Ti-ciangkun melangkah maju setindak dan tangan kanannya memukul ke arah dua ekor kuda dua kali berturut-turut. Pukulan jarak jauh yang cukup dahsyat, karena seketika dua ekor kuda itu berhenti berkelojotan karena pukulan yang tepat mengarah kepala itu membuat dua ekor blnatang ini tewas seketika! Kemudian Hoan Ti-clangkun bersama kawannya mengangkat kedua tangan dirangkapkan ke dada memberi hormat.
“Maaf, kami berdua Hoan Ti dan Loan Ti dari Khitan merasa belum pernah kenal dengan Lo-suhu, juga tidak merasa melakukan sesuatu kesalahan, apa sebabnya Lo-suhu menyerang kami? Siapakah Lo-suhu?”
Ucapan ini benar-benar merupakan sikap yang amat merendahkan diri, sikap yang amat terpuji dari dua orang panglima itu sehingga tidak mengherankan apabila Ratu Khitan mengagkat mereka sebagai utusan-utusan negara. Memang pada masa itu, Kerajaan Khitan di bawah pimpinan Ratu Yalina selalu berusaha untuk menjauhi permusuhan dengan rakyat selatan. Sikap ini ditambah kekuatan Khitan agaknya membuat Kerajaan Sung tidak berdaya dan selama itu belum juga mau menaklukkan Khitan, padahal kerajaan-kerajasn lain telah ditaklukkannya.
Siapa kita, ucapan yang halus dan merendah itu malah membuat Thai-lek Kauw-ong marah-marah. Hal ini karena dua orang panglima itu salah duga dan menyebutnya Lo-suhu, sebutan bagi seorang hwesio. Agaknya karena ia berkepala dundul maka orang Khitan itu menyangkanya hwesio, tidak tahu bahwa gundulnya adalah gundul aseli, bukan karena dicukur, melainkan gundul sebagai akibat dari latihan Thai-lek-kang!
“Aku Thai-lek Kauw-ong bukan pandeta. Aku orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Tidak ada permusuhan. Hanya kalian harus mengakui keunggulanku. Lihat seranganku!” Setelah berkata demikian, kakek gundul itu sudah menerjang maju kalang-kabut, menggunakan kedua lengannya yang besar dan kuat.
Dua orang panglima Khitan itu mendongkol bukan main. Tiada hujan tiada angin kakek gundul yang bukan hwesio ini telah membunuh kuda mereka, dan menyerang mereka secara membabi buta hanya karena ingin diakui keunggulannya! Kalau saja permintaan itu dilakukan secara baik-baik, mereka berdua yang mentaati pesan ratu mereka tentu akan suka mengakui keunggulan Si Gundul gila ini. Akan tetapi karena mereka diserang, maka keduanya cepat mengelak dan bahkan kini balas menyerang.
“Ji-wi Ciangkun, kakek gundul itu sombong sekali. Harap Ji-wi suka kalahkan dia!” Tiba-tiba Kwi Lan berteriak dan kini kedua orang panglima itu dapat menduga sebabnya mengapa Si Gundul ini bertindak secara edan-edanan. Kiranya karena gadis cantik itu. Tentu saja Si Gundul ini hendak memamerkan kepandaian kepada Si Gadis Cantik! Keparat, sudah tua bangka, mukanya seperti monyet, masih hendak berlagak di depan seorang gadis remaja! Pikiran ini membuat kedua orang panglima Khitan ini makin marah dan mereka lalu berdecak dan menyerang sungguh-sungguh.
Dua orang panglima itu adalah orang-orang gagah. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka melakukan penyerangan. Biarpun mereka berdua adalah ahli-ahli bermain senjata tajam, namun melihat bahwa lawan mereka tidak memegang senjata, mereka juga tidak mencabut senjata, melainkan maju menerjang dengan kepalan. Melihat gerakan mereka, jelas bahwa biarpun mereka berdua adalah panglima-panglima Khitan, namun mereka memiliki ilmu silat selatan yang amat kuat. Terutama mereka amat kuat dalam daya tahan, juga memiliki tenaga dalam yang tak boleh dipandang ringan.
Thai-lek Kauw-ong memang sudah menyangka bahwa dua orang ini bukan orang sembarangan, akan tetapi tidak mengira bahwa mereka memiliki lweekang demikian kuatnya, maka karena ia merasa khawatir kalau-kalau tidak dapat merobohkan kedua orang lawannya secara cepat sehingga akan diremehkan Kwi Lan, kakek ini segera mengeluarkan seruan keras sekali dan tubuhnya lalu bergerak berpusingan dengan kedua lengan dikembangkan. Hebat bukan main akibatnya gerakan ini karena dari kedua lengan itu timbul angin menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan luar biasa, kemudian makin lama tubuh kakek itu makin cepat berputaran, angin pun makin hebat pula berpusingan. Inilah ilmunya yang amat ia andalkan, yaitu Soan-hong-sin-ciang! Jarang sekali Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan ilmunya yang ampuh ini, sekarang karena dalam hatinya timbul dorongan nafsu dan ingin sekali ia membuat Kwi Lan kagum akan kepandaiannya, ia hendak merobohkan kedua lawannya itu dalam waktu sesingkat-singkatnya!
Dua orang panglima itu terkejut bukan main. Tak pernah mereka menyangka bahwa kakek gundul itu sedemikian lihai. Betapa pun dia mempertahankan diri, kedua kaki mereka mulai menggigil dan perlahan-lahan tubuh mereka mulai mendoyong dan akhirnya, makin cepat Thai-lek Kauw-ong berputar, makin hebat tenaga angin berpusing yang menyedot, mereka tak dapat mempertahankan diri lagi dan terhuyung-huyung ikut dengan pusaran angin yang amat kuat itu. Terlambat mereka sadar akan bahayanya ilmu kakek gundul itu dan selagi mereka berdua mengerahkan tenaga mempertahankan diri, topi terhias bulu yang berada di atas kepala mereka telah terlepas dan terlempar entah ke mana, dibawa angin yang timbul dari ilmu pukulan Soan-hongsin-ciang yang hebat itu. Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun, berusaha mencabut senjata mereka, namun terlambat, karena pada saat itu, sambil memutar-mutar tubuhnya, kedua lengan Thai-lek Kauw-ong menyambar, dua tamparan mengenai pundak Hoan Ti-ciangkun dan dada Loan Ti-ciangkun. Dua orang panglima itu mengeluh dan terlempar ke belakang, masih berputar karena kini mereka terbawa angin, kemudian roboh terguling-guling! Pada saat itu terdengar suara melengking merdu sekali dan jelas bahwa itu adalah suara suling yang ditiup dengan indahnya. Namun, ketika dua orang panglima itu roboh pingsan, suara suling yang masih merdu itu kini mengandung nada kemarahan dan mengandung pula pengaruh yang membuat jantung Kwi Lan berdetak keras. Seketika tubuhnya menjadi lemas dan lesu, seperti orang kehilangan tenaga. Terkejut sekali gadis ini. Sebagai murid Kam Sian Eng, tentu saja ia maklum bahwa suara melengking yang merupakan nyanyian suling ini mengandung khi-kang yang amat kuat. Gurunya malah pernah mengajarkan kepadanya tentang ilmu menyerang lawan menggunakan suara ini, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan pengaruh yang begini hebat sehingga secara langsung merampas tenaganya! Gurunya sendiri tidak akan mampu mengeluarkan suara sekuat ini pengaruhnya. Karena maklum bahwa hal ini amat berbahaya baginya, Kwi Lan cepat menjatuhkan diri, duduk bersila dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melindungi jantungnya.
Juga Thai-lek Kauw-ong menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba mendengar suara melengking tinggi sehingga tubuhnya yang masih berpusing itu menjadi terhuyung. Terpaksa ia mengurungkan niat hatinya untuk mengirim pukulan susulan untuk membunuh dua orang panglima Khitan itu, dan menghentikan gerakannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan suara itu. Tiba-tiba suara melengking itu berhenti dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang bagian bawah mukanya tertutup sehelai saputangan. Di tangan kiri laki-laki ini tampak sebatang suling dan kepalanya terlindung sebuah topi lebar pinggirannya yang sudah butut. Thai-lek Kauw-ong memandang penuh perhatian dan matanya bersinar-sinar girang. Inilah seorang lawan yang tangguh, pikirnya. Ia boleh mengharapkan perlawanan gigih, pertandingan yang seru, tidak seperti dua orang Panglima Khitan yang tiada guna itu.
“Eh, permainanmu boleh juga. Kau siapakah?”
“Thai-lek Kauw-ong sejak engkau turun ke dunia ramai, engkau telah mengangkat nama besar dengan perbuatan-perbuatan keji dan ganas. Kini secara kebetulan kita bertemu di sini dan kembali engkau telah berlaku sewenang-wenang mengandalkan kepandaianmu. Andaikata aku tidak mengambil pusing sulingku ini saja tentu takkan membiarkan engkau melakukan segala macam keganasan sekehendak hatimu sendiri!”
No comments:
Post a Comment